16

Anira menghela napas panjang, seraya melihat saldo di internet banking ponselnya. Tanggal gajian masih lama, masih sekitar tiga minggu lagi atau lebih, tetapi saldo rekening Anira sudah sangat tipis. Bulan ini saja, Anira hanya membayar utang semampunya dengan nominal yang sangat jauh dari keseluruhan utang yang ia miliki. Masalahnya, Anira mulai tak nyaman dengan Panji yang diam dan dingin sejak pertengkaran mereka soal rumah kontrakan. Panji seperti mencoba jaga jarak dan itu membuat Nira merasa diabaikan dan tak nyaman.

Satu sisi, Anira tak terima dengan kenyataan bahwa Panji memiliki seseorang yang mencintai pria itu. Panji bisa saja besar kepala dan merasa paling tampan karena dicintai Eva dan menikah dengan Anira. Meski pernikahan mereka hanya karena utang, tetap saja orang-orang hanya tahu jika Panji menikahi perempuan cantik anak pengusaha depot ternama.

Mata Anira yang entah berapa lama melirik suaminya, harus membuang pandangan saat Panji ternyata membalas tatapannya tanpa sengaja. Pria itu menatap Anira dengan binar penuh tanya sekaligus dingin. Mereka masih perang dingin dan belum ada tanda-tanda perdamaian. Anira bersikap seakan sibuk dengan ponselnya, lalu berbalik dan naik ke lantai dua.

Beberapa saat Anira menunggu, barangkali Panji menyusulnya ke meja kerja. Namun, hingga dua jam berjalan, Panji tak juga datang. Anira jadi gemas sendiri. Ia mencoba turun tangga dengan langkah yang mengendap, demi mengintip apakah Panji masih sibuk dengan arang atau hal apapun lainnya. Namun, hingga tubuh Anira sampai di lantai dasar, perempuan itu tak menemukan suaminya.

"Nissa, Bang Panji kok gak ada?"

Nissa yang tengah melakukan traksaksi dengan pelanggan, menoleh sepintas sebelum kembali fokus dengan pelanggan, hingga urusan mereka selesai. Saat tak ada lagi pelanggan yang harus ia layani pembayarannya, Nissa menoleh lagi kepada Nira yang masih menunggu di bawah tangga. "Uhm ... tadi pergi sama Eva. Katanya mau ke cabang lain, seperti biasa. Sekalian antar Eva ke cabang itu untuk kirim gorengan."

Mata Nira sedikit membelalak. "Itu tukang kerupuk kenapa gatel banget sih sama suami orang?"

"Aku gak tahu, Mbak. Pas Eva tadi ke sini antar kerupuk sama gorengan, Bang Panji ada sapa dia dan ngobrol lama. Terus, Bang Panji bilang ke Eva supaya barengan aja ke cabang lainnya. Gak lama, mereka jalan deh berdua." Gerak Nissa agak rikuh menatap Nira yang tampak mulai panas. "Memangnya ... Bang Panji gak pamit ke Mbak?"

Anira mendengkus lirih, lalu menghela napas panjang demi meredam emosi yang kini menyelimuti. "Kalau dia pamit, aku gak mungkin cariin dia kaya gini." Sayang, Anira yang lebih didominasi emosi, tak juga bisa meredakan amarah dan sakit hati. "Nanti siang aku mau keluar. Kamu tolong gantiin aku catat pesanan aja, ya." Tanpa menunggu jawaban Nissa, Anira beranjak dengan entakan kaki kesal ke lantai atas.

Dion: Aku baru selesai shift. Capek banget, tapi memang ada yang harus aku cari, sih. Mau makan bareng?

Senyum Anira terbit saat balasan pesannya dari Dion terasa positif dan manis.

Anira: Ayuk! Nira yang traktir. Biar gantian, gitu.

Persetan dengan saldo yang semakin menipis. Kesabaran Anira bahkan jauh lebih sedikit dari sisa uang yang ia miliki. Jika akhir bulan nanti saldonya sudah sangat sekarat, Nira bisa melobi ayahnya untuk menerima upah duluan. Gampanglah itu, pokoknya sekarang ini ia harus menghibur diri dan hatinya yang terasa nyeri gara-gara Panji.

Nyeri? Kenapa Panji bisa membuat hatinya nyeri? Tentu saja karena sikap dingin pria itu kepada Anira dan bagaimana sikap pria itu pada Eva. Panji marah besar saat Anira kedatangan Dion di depot, tetapi tak erasa canggung berdua terus dengan Eva ke mana-mana. Anira lambat laun murka dan tak terima dengan sikap Panji yang semena-mena.

Dion: Jangan. Aku kan punya gaji. Aku yang traktir, tapi aku yang pilih tempatnya, gimana?

Anira: Setuju! Sampai ketemu siang ini.

Coba bandingkan Dion dengan Panji. Mereka itu bagaikan langit dan bumi. Dion selalu tahu cara membuat Nira tersenyum, seakan pria itu mampu menembus isi hati anak Pak Budi. Berbeda dengan Panji yang memperlakukan Nira seakan perempuan ini benalu di hidup lelaki itu.

Seringai di wajah Anira tercetak penuh misteri. Entah apa yang terpikirkan oleh istri Panji itu, hingga ia membalas pesan Dion dengan kalimat mesra.

*****

Kali ini, Dion tak mengajak Anira bertemu di pusat perbelanjaan. Dokter muda yang bertugas di IGD itu mengajak Anira bertemu di sebuah kafe dekat rumah sakit tempatnya bekerja. Pria itu mengirim pesan kepada Anira agar langsung menemuinya di alamat kafe yang sudah ia bagikan lokasi melalui perangkat telepon genggam.

Tak sampai sepuluh menit, Anira sudah sampai di lokasi. Gadis itu tersenyum senang, karena akhirnya bisa kembali menikmati hidangan ala kafe yang kekinian, alih-alih tradisional dan kaki lima seperti selera suaminya.

"Kak Dion!" Anira yang tampil cantik dengan riasan dari kosmetik ternama itu, menyapa dokter yang baru selesai tugas, lalu mengambil kursi tepat di depan pria itu. "Udah lama nunggu?"

Dion menggeleng santai, seraya menyodorkan buku menu pada Nira. "Belum lama, kok. Aku aja belum selesai pilih menu. Kamu mau makan apa?"

Anira membuka buku menu itu dengan wajah yang tampak berpikir. Ini memang saatnya beraji-mumpung. Anira bisa bebas memilih menu yang ia rindu seperti pasta atau chicken cordon bleu. Hanya saja, bukankah ia harus menjaga citranya sebagai perempuan yang sederhana dan tak rakus di depan pria? Jangan lupa, harga diri dan gengsi yang harus ia jaga sampai mati.

"Simple lunch aja, deh," putus Anira saat melihat buku menu. "Nasi goreng aja."

Dion tertawa geli. "Jangan dong, Nira. Itu menu sarapan. Bukannya kamu suka cordon bleu, ya? Pilih aja menu itu. Kalau sedang ingin nasi, kentang gorengnya tinggal minta ganti nasi."

Ah, janganlah! Apa kata dunia jika Anira memakan nasi dengan ayam krispi yang diisi beef dan mozarella? Anira harus menjaga citra dan harga diri. Gengsi itu, pasal pertama pada kencan pertama.

"Pengen, sih, tapi ...." Anira mengulum bibir. "Ya sudah, deh. Cordon bleu aja pake kentang goreng dan minumnya jus jeruk."

"Oke." Dion menarik kembali buku menu dari Anira, lantas memanggil pramu saji untuk dan menyebutkan pesanan mereka.

Lagu-lagu pop populer terdengar di kafe itu. Anira merasa rileks dengan hawa sejuk dan suasana santai yang terkesan romantis. Dari lirikan matanya, Anira menangkap Dion tengah melipat snellinya dan membenahi letak tas kerja pria itu. Dion tampan, gagah, terpelajar, dan tampak berwibawa. Bagaimana wajah pria itu lima atau sepuluh tahun kedepan? Andai saat itu Anira adalah istri Dion, ia yakin akan menjaga Dion sepenuh hati.

"Kamu masih kerja di depot, Nira?" Dion memecah hening dan lamunan Anira.

"Iya," jawab Anira seraya mengangguk malas. "Tapi kayak udah bosan di sana. Nira mau cari kerja kantoran."

Kening Dion terlihat mengernyit. "Kenapa begitu? Bukankah biasanya usaha orang tua akan diteruskan oleh anaknya? Menurutku, lebih baik kamu fokus membantu ayahmu mengembangkan bisnis. Bagaimana pun, usaha itu milik keluarga kamu dan sudah jadi tanggung jawab kamu untuk menjaga dan mengelola itu."

Kini, giliran Anira yang mengernyit seraya bertopang dagu. "Kenapa Kakak berpikir begitu?"

Dion tak langsung menjawab. Pria itu tersenyum kepada Anira sesaat, dengan binar mata yang sarat akan misteri. "Karena ... kalau kedekatan kita berakhir pada kebersamaan, aku lebih suka memiliki istri yang bekerja mengelola usahanya sendiri daripada harus tunduk pada aturan korporasi. Dengan begitu, aku gak perlu khawatir dengan tumbuh kembang anakku, karena istriku pasti bisa mengelola waktu antara bisnis yang ia geluti dan rumah tangga yang kami miliki."

Anira mengerjap cepat dengan kening yang semakin tampak berkerut. "Sebentar. Maksud Kak Dion?"

Tangan Dion kini bergerak maju menangkup satu punggung tangan Anira. "Kita sedang dekat, kan, Nira? Saya menganggap serius kedekatan kita."

Alih-alih jantungnya berdebar dengan hangat yang menjalari pipi, Anira justru merasa pusing dan bingung dengan apa yang ia hadapai saat ini. Ini ... maksudnya gimana?

*****


Votes tembus 750, aku dobel update hari ini wkwkwkkwk ...


Mau celemek lucu seperti yang dipakai karyawan depot Senyum Pantura? Ikutan pre order After Payment Due sekarang! (Ngiklan lageee)


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top