15
Bagi Anira, Panji berubah. Berubah total dan menjadi lebih buruk dari yang ia tahu. Apa salahnya ia malam itu hingga hubungan mereka jadi terasa dingin begini? Benar kan yang Anira katakan, jika Panji selalu bersikap layaknya suami yang menikahi istrinya dengan cinta? Harusnya pria itu minta maaf dan memberikan Anira kompensasi atas sikapnya yang sok mesra di mana pun.
Anak Pak Budi bahkan tak lagi semangat kerja. Meski Panji tetap menghidupinya seperti kemarin-kemarin, pria itu kini tampak lebih menjaga jarak. Mereka tak lagi makan bersama entah siang di depot atau malam di kontrakan. Makan bersama mereka hanya saat sarapan sebelum ke depot, di warung bubur ayam atau nasi uduk pagi hari.
"Pecel Ayam Senyum Pantura, ada yang bisa dibantu?" Bahkan, untuk urusan menyapa pelanggan saja, anira sudah mulai jenuh. Matanya melirik pada Panji yang tengah fokus memeriksa stok teh celup dan gula pasir di lemari logistik. "Baik. Lima ayam bakar paha, tujuh dada bakar. Yang dua puluh kotaknya, goreng semua campur." Dengan malas, ia mencatat semua pesanan yang harus diantar kurang dari tiga jam lagi. "Baik. Gedung sebelah SLB itu ya, Bu. Baik, baik." Setelah memahami seluruh pesanan pelanggan, Anira memutus sambungan dan menyuruh satu karyawan memberikan nota pesanan kepada Nissa agar diproses dan dicatat tagihannya.
Anira menghela napas. Ponselnya berdenting lagi, pemberitahuan jika ada tagihan yang jatuh tempo hari ini. Ia menatap Panji yang masih berada beberapa meter di depannya, lalu menimbang apakah harus bicara atau tidak.
"Ada satu tagihan yang jatuh tempo hari ini, Bang." Anira akhirnya bersuara, lirih dan terdengar ragu. "Nira minta tolong," lanjutnya dengan cicitan pelan sekali.
Panji hanya menoleh sepintas kepada Anira, lalu bergumam lirih dan meninggalkan perempuan itu. Entah mengapa, seperti ada hal menyesakkan yang Anira rasa dari perubahan sikap Panji kepadanya. Ia merasa seperti kembali sendiri, tak ada yang menemani dan ikut merasakan apa yang ia rasa.
Sejak dikhianati oleh Anaya, Anira merasa bahwa dalam hidup ini tak ada yang peduli kepadanya. Panji hadir sebagai suami yang membantu menolongnya dari masalah. Panji juga tak pernah berlaku buruk kepadanya. Tentang hal yang ia katakan kepada Panji tempo lalu, itu hanya ... hanya alasan Anira saja, agar Panji tahu jika mereka itu sudah sedikit melewati batas kesepakatan.
Panji kerap mencium, memeluk, bahkan mengusap lembut beberapa bagian tubuhnya. Mereka bahkan tanpa sadar, seringkali nyaman jika menghabiskan minuman satu gelas berdua atau makan sepiring bersama. Dada Anira kini bergemuruh, saat pikirannya mengatakan sesuatu kemungkinan yang mungkin saja tak perempuan itu sadari sedari dulu, entah kapan. Anira nyaman hidup bersama Panji dan mungkin saja ... jatuh cinta.
"Enggak. Enggak. Yang gue cinta itu, Dion." Anira menggeleng dengan cepat dan keras. "Bang Panji cuma pria sesaat, sampai gue bisa melunasi utang doang."
Dalam kebingungan, Anira menepuk pelan dadanya dan menerawang pada tangga, mengingat bagaimana Panji meninggalkannya ke bawah sesaat lalu.
"Gue harus ngomong sama Bang Panji. Gak bisa gini." Anira beranjak dari tempat duduknya, lantas turun ke bawah demi menyusul suaminya. "Kita gak bisa diem-dieman berhari-hari kaya gini. Gak enak banget."
Saat langkah Anira sampai di meja kasir, ia hendak bertanya kepada Nissa, di mana suaminya berada. Namun, suaranya urung terdengar saat mata Anira lebih dulu menangkap Panji yang tengah tertawa lirih bersama Eva di salah satu sudut meja pelanggan.
Panji tengah mencatat sesuatu dalam buku kecil, lalu memeriksa entah apa di ponsel pria itu dan menunjukkan dengan gestur mesra pada Eva. Sedang perempuan penjual kerupuk di sebelah Panji, hanya bisa tersenyum lirih dan ikut tertawa sesekali.
"Gak Anaya, gak Panji, memang sialan semua." Anira bergumam sendiri.
"Kenapa, Mbak?" Nissa yang sejak tadi ada di meja kasir, tiba-tiba membuyarkan lamunan Anira. "Cemburu ya, Bang Panji sama mantan pacarnya?" Nissa tertawa lirih seraya menghitung lembar rupiah yang ada di meja kerja perempuan itu. "Kirain yang bucin tuh Mas Panji, ternyata malah Mbak Nira."
Alih-alih membantah tentang kebucinan di antara ia dan Panji, Anira justru lebih fokus pada fakta yang baru saja ia dengar. "Tukang kerupuk itu ... pernah jadi pacar Bang Panji?"
Nissa yang baru selesai mengikat uang dengan karet, menoleh pada Anira seraya mengangguk. "Katanya iya. Malah, yang aku dengar, Eva masih ada rasa sama Bang Panji, tapi Bang Panjinya keburu nikah sama Mbak Nira. Ya ... sebagai manusia biasa yang hanya menjadi rakyat jelata, Nissa sih pahamlah kenapa Bang Panji milih Mbak Nira."
Bukan, ini bukan masalah memilih. Nira tak peduli alasan Panji memilihnya, karena fakta pernikahan merekaadalah Anira yang memohon kepada Panji untuk menolongnya dengan cara menikah.
Anira menatap Nisaa dengan binar penuh tanya. Ia tak menyangka sedikit pun jika ternyata, perempuan yang selalu menatap Panji dengan sorot yang berbeda adalah sosok yang pernah berharga di masa lalu mereka. "Misal ... misal nih ya, misal aku gak nikah sama Bang Panji, kemungkinan mereka bisa menikah gitu?"
Nissa mengangkat bahunya ragu. "Soal itu aku mana tahu, Mbak. Itu kan urusan hatinya Bang Panji." Mata perempuan bercepol sederhana itu, kini ikut melihat ke titik di mana ada Panji dan Eva yang sedang melihat ponsel bersama. "Hati orang siapa yang tahu. Aku pikir mereka akan dekat lagi dan menikah. Mana sangka kalau pintu hati Bang Panji justru terbukanya untuk Mbak Nira." Lalu, seperti dipukul oleh sesuatu yang tak kasat mata, Nissa seketika mengambil sesuatu dari kolong meja kerjanya. "Aku lupa! Kemarin Bang Panji titip aku belikan ini untuk Mbak Nira. Aku kan jalan ke mal sama anak-anak kemarin, terus diminta belikan ini. Ini pasti punya Mbak Nira."
"Body serum dan lulurku?" Anira bahkan tak habis pikir dengan apa yang ia terima. Panji hapal merek dan varian produk perawatan tubuh yang biasa ia gunakan?
"Iya." Nissa memecah keterkejutan Anira atas apa yang diterima anak pemilik depot itu. "Bang Panji suruh aku beli ini. Pasti punya Mbak Nira. Soalnya harganya mahal dan hanya dijual di mal."
Hati Anira entah mengapa tiba-tiba seperti disengat listrik dan panas mulai menjalari tubuhnya. "Aku mau minta tolong." Nira menatap Nissa lamat. "Kalau kamu lagi berdua sama tukang kerupuk itu, bilangin ke dia supaya jangan terlalu dekat dan berharap sama suami orang. Kalau dulu ada yang lempar uang ke pelakor, aku akan lempar arang panas bekas bakar ayam ke dia, andai dia berani macam-macam sama pernikahan aku. Ingat ya, Nissa, tidak ada pintu maaf untuk perusak hubungan orang."
Nissa mengerjap dengan wajah takjub. "Mbak Nira bisa tega juga, lemparnya pake areng bakar ayam. Kan panas dan pedas itu pasti rasanya di kulit."
"Aku gak peduli! Bang Panji itu punyaku," ucap Nira tegas sebelum beranjak dari meja kasir dan kembali ke lantai dua.
Napas perempuan itu memburu dengan tangan yang entah sejak kapan gemetar halus. Seharusnya ia tak perlu seemosi ini mendapati Panji tengah berduaan dengan masa lalu pria itu, dan mereka tertawa dengan posisi duduk yang sangat dekat. Toh, bukankah Anira sendiri yang berkata tak mencintai Panji? Lalu, mengapa tiba-tiba ia merasa ketakutan begini?
Dalam bimbang yang masih menggelayuti pikirannya, Anira semakin bertanya-tanya tentang kondisi hubungannya dengan Panji. Mereka memang menikah, tinggal bersama, dan Panji berlaku seperti suami pada umumnya. Suami yang mencintai istri dan menikah karena cinta.
Tak Anira pungkiri, jika Panji sangat perhatian dan bertanggung jawab. Ia tak pernah merasa kekurangan apa pun selama tinggal bersama pria itu. Bahkan, sampai pada urusan perawatan tubuh saja, Panji tak abai pada kebutuhan perempuan itu.
"Ah, gue harus gimana kalau gini?" gumam Anira kalut sendiri.
*******
Masih sampe tanggal 27 yess open POnya ... hahahhaa Hapsari ngiklan teroosss wkwkkwkw
Oya, buat yang tanya apakah ada ebooknya, inshaallah ada, tetapi agaknya masih lama. Penerbit biasanya memproses versi cetaknya dulu, sampai selesai terdistribusi ke pembeli yang PO, lalu baru proses untuk ebook. Itu pun, belum antri sama naskah-naskah lain. Jadi, mohon lebih sabar menunggu, karena ketentuannya biasanya memang begitu.
Buat yang sudah ikutan PO baik lewat aku, OS, marketer atau penerbit, nih ... lagi proses cetak. Terima kasih sudah ikutan waiting list dan pre order kisah ini. Mari kita tunggu kedatangan mereka dan membucin bersama. Ada total 38 bab di versi terbit cetak/ebook. Banyak banget, kan, ekstrapartnya dan .... uhuk ... mengandung bucinisasi hahahhaa
Yang belum ikutan PO, hayuk mangga merapat ke marketer, olshop, atau nomor yang tertera pada banner. Muaaccchh
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top