11
11.
"Pecel ayam Senyum Pantura, selamat siang. Ada yang bisa dibantu?"
Sebenarnya, Anira agak sedikit merasa aneh setiap menyapa siapa pun penelepon depot tempatnya bekerja. Hingga 25 tahun usianya, ia masih bingung mengapa ayah dan ibunya memilih Senyum Pantura sebagai merek dagang produk makanan mereka. Tak menjual, begitu menurut Anira.
Hanya saja, ia tak bisa banyak bicara saat fakta mengungkapkan bagaimana usaha orang tuanya berjalan sangat lancar. Memang, Anira pernah mengalami satu dua kali waktu saat ayahnya bingung mengelola bisnis. Mereka pernah mengalami kerugian akibat tertipu pemasok ayam yang selalu mengirim ayam yang tidak segar. Namun, semua itu bisa terselesaikan, entah bagaimana caranya.
Anira ingat, saat ia berusia dua belas tahun dan hendak meminta uang saku jalan-jalan perpisahan sekolah dasar. Ayahnya tak bisa memberikan sesuai yang ia pinta, karena harus mengeluarkan modal untuk pesanan nasi kotak isi ayam bakar. Saat itu hujan deras, tetapi ayah Nira tetap berangkat ke pasar besar dengan sepeda motor untuk berbelanja bahan masakan. Sedang ibu Anira, tak menutup mata hingga larut malam demi mempersiapkan kemasan dan keperluan lainnya.
"Iya, baik. Lima puluh boks nasi ayam goreng, minta dada semua. Sepuluh dengan petai bakar, tiga puluh dengan tahu tempe lengkap, dan sepuluh lagi ekstra sambal." Anira kembali memfokuskan diri pada pesanan yang harus ia catat. Ingatan tentang masa lalu harus ia abaikan dulu agar pekerjaannya bisa lekas selesai. "Untuk jam enam sore, ya, Bu," lanjutnya seraya mencatat pesan dan alamat si penelepon.
Usai menutup panggilan, Anira mengetik pesanan pada catatan yang Panji buat di komputer, lalu memanggil salah satu karyawan yang kebetulan lewat, agar memproses pesanan sesuai catatan yang ia buat. Semua sudah berjalan selama tiga minggu. Awalnya, Anira merasa pekerjaan itu membosankan, nyatanya tidak.
Setidaknya, ia bisa streaming sambil bekerja dan membuka laman lowongan kerja untuk terus memasukkan lamaran kerja dirinya.
"Mbak Nira. Kalau pesanan lima puluh ke atas, kita biasa kasih free kerupuk. Ini Mbak lupa tanya, dia mau kerupuk putih atau cokelat." Nissa si kasir datang dengan napas yang tersengal. Perempuan itu suka berjalan cepat dan menaiki tangga dengan tenaga angin.
Anira meringis seraya mengelus pelipisnya. "Lupa tanya tadi aku. Kasih kerupuk putih saja, deh," putusnya sepihak. "Atau aku telepon lagi ya, untuk tanya?"
"Baiknya gitu, Mbak, soalnya aku harus hubungi Eva biar datang antar kerupuk sesuai jumlah pesanan nasi kotaknya."
Anira mengangguk, lantas menghubungi nomor pemesan barusan. "Kerupuk putih semua, Nissa. Bener, kan, tebakanku," ucapnya saat baru selesai menutup panggilan konfirmasi itu.
Nissa mengangguk, lantas kembali ke lantai bawah untuk lanjut memproses pesanan. Saat Nira sudah kembali sendiri, tiba-tiba pikirannya mengarah pada sosok Eva si pemasok gorengan dan kerupuk yang setiap hari datang menemui Panji.
Di minggu pertama Anira bekerja, ia tak begitu peduli dengan siapa pun yang berurusan dengan Panji. Bagi Anira, tugasnya hanya mencatat pesanan dan memberikan laporan harian kepada Panji yang bertugas mengelola operasional lima cabang depot. Namun, pada minggu kedua, saat perempuan bernama Eva itu berpapasan dengan dirinya, Anira merasa sorot mata Eva kepada dirinya tampak berbeda. Seperti ... iri? Ya, Anira mewajari. Siapa yang tak iri pada kecantikan dan statusnya yang seorang anak pemilik depot ayam lima cabang? Tukang kerupuk dan gorengan itu tak boleh julid kepadanya, jika setiap hari Anira bisa mendapatkan hal yang tak semua orang dapatkan di hidup ini.
"Mau makan siang apa?" Suara Panji tiba-tiba hadir. Pria itu tengah menaiki tangga dengan langkah santai tetapi tegas. "Saya mau keluar, bertemu dengan pelanggan penting Pak Budi."
"Pelanggan penting?" Kening Anira mulai mengernyit. "Bukannya semua pemesan harus lewat Nira, ya?"
Panji menggeleng, lantas duduk di kursi plastik yang ada di hadapan Anira. "Ini pelanggan lama dan spesial. Dia hanya menghubungi saya atau Pak Budi jika mau pesan. Kamu mau ikut? Khusus hari ini, kita bisa makan di luar, selain menu yang tersedia di depot ini."
Mata Anira berbinar bahagia. "Serius? Abang mau traktir Nira makan yang bukan ayam lagi-lele lagi?" Senyum di bibir Anira entah mengapa secara ajaib membuat Panji ikut senyum juga. "Nira mau makan sate kambing, Sate Senayan. Abang yang beliin."
"Iya, tapi setelah bertemu dengan pelanggan ini, ya." Tanpa sungkan, Panji mengambil gelas berisi es jeruk yang ada di meja kerja Anira, lalu meneguknya hingga habis. "Ngomong-ngomong, kamu sudah cetak tagihan untuk bulan ini? Saya harus pelajari untuk pembukuan pribadi saya."
Anira mengangguk, lalu menunjuk satu map di antara tumpukan map di meja itu. "Sudah. Abang tinggal bayar sesuai tanggal jatuh tempo masing-masing tagihan. Kalau sudah gajian, Nira cicil pelan-pelan, ya. Nira juga harus beli bedak dan baju baru soalnya."
"Gampang," jawab Panji seraya mengangguk santai. "Atur senyamannya kamu saja." Bahkan jika pernikahan ini tak pernah berakhir karena Nira tak pernah bisa membayar, Panji pun rela. "Oya, aku sudah bicara dengan Ibu. Kita gunakan kesibukan kita sebagai alasan menunda anak. Nanti, saya pikrikan lagi cara agar Ibu tak menanyakan hal itu lagi kepada kamu."
Wajah Anira yang semula tampak antusias membayangkan makan siang, seketika berubah muram dan segan. "Maaf. Gara-gara kita menikah, Ibu jadi berharap yang mustahil terjadi."
Panji tak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu membawa gelas bekas es jeruk itu menuju tempat cuci. "Kita jalan sekarang. Aku tunggu di bawah."
*****
Motor matik besar Panji memasuki satu gerbang rumah mewah. Mata Anita membelalak penuh kagum dengan wajah yang terus menoleh ke kanan dan kiri.
"Ini dia kerja apa, Bang, sampe punya rumah kayak istana begini." Anira bahkan tak malu dan sungkan bicara seperti ini, saat mereka turun dari motor. "Jadi menantunya ini orang sih, Anira gak nolak."
Panji meletakkan helm Anira sebelum meraih tangan perempuan itu dan mengajaknya masuk ke pintu utama. "Faktanya kamu menantu ibu saya."
Anira mencebik, lalu bungkam. Ia masih terkesima saat pelayan rumah itu menyambut dan mempersilakan mereka duduk menunggu sang majikan. Selama menunggu, mata Anira tak putus memandang dan mengagumi kemewahan rumah dengan guci-guci antik—yang Anira yakini belum tentu mampu ia beli.
"Assalamualaikum, Mas Panji." Saat suara ini terdengar bersamaan dengan pria yang berpakaian formal datang ke ruang tamu itu, Panji seketika berdiri dan membalas jabat tangan si pelanggan spesial Pak Budi. Pria itu tersenyum kepada Anira, tanpa mengajak berjabat tangan. "Sama istri?"
"Iya," jawab Panji santai tapi sopan. "Alhamdulillah, dibantu istri untuk urusan pesanan depot sekarang. Ini Anira, istri saya yang juga anak dari Pak Budi."
Pria itu tertawa lirih. "Nasib kita serupa ternyata, Mas."
"Maksudnya?" Anira berbisik kepada Panji, tetapi sayang pemilik rumah ini terlanjur mendengar pertanyaannya.
Senyum bahagia tercetak jelas di wajah pria tampan kaya itu, saat seorang wanita dengan jilbab panjang, datang menyusul. "Ini Annisa, istri saya, anak pemilik perusahaan property tempat saya bekerja." Pria itu tersenyum manis pada istrinya dan mempersilakan duduk dengan cara yang lembut. "Mohon doanya, Annisa sedang hamil anak ketiga."
"Mas Haikal mau ada acara?" Panji memulai diskusi bisnis mereka. "Tumben panggil saya siang ini."
Haikal dan istrinya mengangguk bersamaan. "Saya ingin syukuran empat bulanan kehamilan istri saya. Kami ingin memesan seribu nasi kotak dengan menu ayam, baik bakar atau goreng, dan tolong diantar ke beberapa panti asuhan yang sudah kami kantungi alamat dan jumlah penghuninya." Lalu, Haikal si milyader properti yang tampan dan kaya itu, menjelaskan teknis pengantaran nasi boks yang harus Panji dan timnya penuhi, juga menu lengkap dan kesepakatan harga.
"Lengkap banget, ya, dengan kue dan buah." Anira bahkan kagum, saat otaknya menghitung berapa jumlah rupiah yang akan ayahnya kantungi. Pantas saja bagi Pak Budi pelanggan ini spesial.
Selama kurang lebih satu jam, mereka membahas pesanan dan segala hal teknis lainnya. Setelah semua dirasa cukup, Panji undur diri karena tahu Haikal akan pergi ke rumah sakit bersama istrinya.
****
"Saya perhatikan, kamu selalu bersemangat jika menu makannya adalah sapi atau kambing." Panji tersenyum dengan mata yang mengamati bagaimana Anira mengunyah se'i sapi yang menjadi menu makan siang mereka. "Berbeda jika di depot. Kamu seperti kurang selera makan."
Anira tersenyum tipis sebelum menyedot es jeruk. "Nira kurang suka daging unggas juga ikan sungai. Kalau di depot, menu makan kita ya menu jualan depot. Nira gak suka, tetapi harus makan karena gak boleh boros jajan menu lain di luar. Itu sebabnya Nira gak pernah keberatan kalau Abang bantu Nira habiskan makan siang Nira dan kita sepiring berdua."
"Kenapa gak bilang?"
Satu alis Anira terangkat dengan gestur mengejek. "Jika Nira koar-koar masalah selera makan, apa kata orang-orang depot? Anak Pak Budi yang manja, sok iye, banyak gaya? Anira harus jaga martabat, citra, juga harga diri, ya. Meski jujur aja rasanya tersiksa setiap harus makan dengan lele atau ayam, Anira masih bisa berushaa untuk kuat."
Panji tertawa lirih dengan senyum simpul. Tangan pria itu maju mengusap ujung bibir Anira yang kotor dengan sambal. "Kalau begitu, mulai besok, kita bawa bekal lauk untuk kamu saja. Kita bisa beli di perjalanan menuju depot, atau saya yang belikan makan siang sekalian saat keliling cabang."
"Eh, gak usah repot. Anira gak mau nambahin utang ke Abang."
"Yang ini bukan utang," jawab Panji dengan gelengan. "Kebutuhan kamu itu tanggung jawab saya sekarang. Jadi, saya yang akan memenuhi semuanya untuk kamu."
Kunyahan Anira terhenti. Mata perempuan itu memandang Panji dengan binar yang menyirakan banyak penilaian terhadap pria yang menjadi suaminya. "Selama kita menikah, Nira merasa Abang selalu perhatian terhadap kebutuhan Nira. Abang bahkan gak perhitungan saat belikan Nira body serum dan lulur. Abang gak pernah mengeluh saat mengantar Nira ke klinik untuk facial dan perawatan. Semua itu tidak ada di kesepakatan kita. Jujur, kadang Nira curiga kalau Abang diam-diam ada rasa sama Nira."
Panji mengambil gelas es teh miliknya, lantas menyedot minuman itu dengan cepat. Matanya meliar ke berbagai arah sebelum kembali membalas tatapan Anira yang tampak penuh curiga. "Tanggung jawab itu, bukan soal rasa," kilah Panji yang mencoba mati-matian untuk tetap tenang. "Saya suami kamu, dan bertanggung jawab penuh atas kebutuhan kamu. Mungkin bagi kamu, kita menikah hanya karena utang-utang itu. Bagi saya, menikah lebih dari sekadar itu."
"Berarti ... benar kalau jangan-jangan Abang ada rasa sama Nira?" Mata Anira semakin tajam memicing kepada suaminya. "Padahal Abang tahu kalau Nira gak ada rasa sama Abang."
"Saya tidak sedang bicara soal rasa. Saya bicara tentang tanggung jawab saya terhadap setiap keputusan yang saya buat." Panji mengambil kembali gelas es teh, lantas menyedot cairan itu hingga tandas tak bersisa. "Jika sudah selesai, sebaiknya kita kembali ke depot. Saya masih harus lanjut berkeliling cabang."
Anira mengangguk, lantas menghabiskan sisa es jeruk miliknya. "Nira juga mau bantu Abang urus pesanan Pak Haikal. Ayah harus membayar mahal Anira untuk projek ini. Nira mau beli serum bibir keluaran terbaru merek Korea."
Panji hanya tersenyum tipis sebelum beranjak lebih dulu dan berjalan di depan Anira, meninggalkan restoran se'i sapi yang Panji tahu menjadi salah satu makanan kesukaan istrinya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top