10
10.
Anira masih jengkel kepada Panji. Minggu lalu, setelah dua bulan berusaha terus melamar kerja, akhirnya ada satu panggilan untuk Anira. Jabatan sederhana, hanya staf admin marketing, tetapi di sebuah perusahaan ternama. Namun, saat Anira memberitahu kabar membanggakan ini, Panji justru menolak dan melarang Anira datang wawancara.
"Gara-gara Abang, Nira sampai sekarang masih belum berpenghasilan. Gak banyak HRD yang bisa melihat potensi Nira yang besar ini. Sekalinya ada perusahaan besar yang tertarik sama Nira, Abang sok-sok'an melarang." Anira masih terus mendumal setiap mereka sedang duduk berdua malam-malam di kontrakan. "Nira yakin gaji di sana besar dan bisa membantu Nira menyelesaikan utang dengan cepat."
"Saya gak mau kamu kerja di perusahaan yang memproduksi minuman keras."
"Lah, kan Nira cuma jadi admin marketing aja, bukan yang incip mirasnya," bantah Anira dengan wajah masam. "Abang terlalu parno. Gaji di sana tuh besar. Nira bisa bayar utang secepatnya ke Abang."
"Apa pernah saya tagih kamu untuk semua yang sudah saya keluarkan? Saya tidak pernah menuntut kamu untuk melunasi utang itu secepatnya. Saya hanya ingin kamu hidup dengan lebih baik dan benar." Bersama saya, lanjut Panji dalam hati. Mata pria itu menatap Anira dengan binar serius. "Kalau mau dapat uang, mau bantu saya menaikkan omset penjualan pesan antar. Saya bisa ajukan gaji yang bagus dan komisi ke Pak Budi."
Anira menggeleng enggan. "Kalau Nira ketemu orang, terus Nira harus bilang kerja jadi tukang pecel ayam, gitu? Nira anti melukai harga diri."
Anak Pak Budi memang lebih sering menjengkelkan daripada menyenangkan sebagai perempuan. Entah apa yang selama ini gadis itu makan hingga pikirannya selalu tentang hal yang bergengsi dan tinggi. Panji ingin sekali berkata keras, jika mencari kehidupan bukan melulu tentang citra dan gaya. Asal bukan pekerjaan yang haram, semua layak diperjuangkan.
Pak Budi saja memulai bisnis pecel ayam itu dari sebuah warung tenda lima belas tahun lalu. Panji ingat betul, ia bekerja bersama mendiang ibu Nira sebagai tukang cuci piring dan goreng ayam. Ayah Nira yang bertugas mencatat pesanan dan menghitung laba, sedang ibu Nira membuat bumbu ayam serta sambal dan menyajikan pecel ayam ke pelanggan. Tahun demi tahun mereka lalui hingga bisnis kecil itu berkembang pesat dan membuat Panji memiliki teman sesama karyawan. Lima tahun setelahnya, Pak Budi mulai membuka kios kecil yang membesar hingga saat ini memiliki lima ruko.
Sayang, peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu, tampaknya tak berlaku bagi Pak Budi dan istrinya. Panji tak melihat sifat pekerja keras yang dimiliki kedua majikannya itu, menurun pada Anira. Yang selalu ia lihat, Anira yang seperti enggan mengaku sebagai anak pengusaha pecel ayam, gengsi tinggi, dan suka seenaknya sendiri.
"Ada dua pilihan pekerjaan yang bisa kamu lakukan, kalau mau." Panji melanjutkan lagi penawarannya. "Jadi karyawan depot yang bertugas mengurusi pesanan besar atau mengurus kontrakan petak. Kalau mau urus kontrakan, kerjanya memantau pembayaran dari penyewa dan melaporkan ke pemilik kontrakan andai ada kerusakan pada bangunan yang disewa. Nanti saya coba atur untuk kamu."
"Pilihannya gak ada yang enak," jawab Anira seraya merebahkan diri di atas pangkuan Panji.
Ah, hanya ini satu perubahan pada Anira yang Panji suka. Istri Panji ini, tak lagi merasa sungkan atau risi jika berada dekat dengan Panji. Ia tak malu lagi menyandar pada bahu Panji, memeluk Panji saat mengendarai motor berdua atau merebahkan tubuhnya di pangkuan Panji seperti ini saat sedang berdua. Anira hanya enggan tidur satu ranjang, karena perempuan itu menganggap, jika mereka tidur berdua, akan ada anak yang terlahir di antara mereka.
"Terserah. Solusi saya hanya itu. Jadi pengurus kontrakan atau mengurusi pesanan nasi boks ayam partai besar."
Anira tampak memutar matanya dengan wajah menimbang. "Gajinya berapa, Bang, kalau Nira kerja di depot Ayah?"
"Yang jelas, bisa mencukupi kebutuhan kamu dan menolong kamu terlepas dari utang. Kamu hanya tinggal menerima pesanan dan melaporkannya kepada saya. Bagusnya lagi, mencari pelanggan baru yang sekiranya akan memesan banyak nasi boks ayam kepada kita."
"Setiap hari kerja sama Abang?" Mata Anira kini menatap wajah Panji. "Di meja kerja Abang yang deket sama baskom terasi itu?"
Panji sangat suka jika jarak mereka hanya setipis ini. Aroma wangi Anira selalu mampu menenangkan dirinya. Gadis itu selalu tahu caranya tampil cantik, meski kadang sifat dan ucapannya berbanding terbalik dengan kecantikan wajahnya. Tak apa, perasaan Panji yang sudah lama pada Anira, membuat pria itu bertekad mempertahankan apa yang saat ini terjalin.
Panji mengangguk seraya mengusap lembut rambut Anira yang tergerai bebas, harum, lembut, dan wangi. Panji berharap bisa menghidu aromanya secara langsung dengan hidung dan bibirnya kelak. "Kalau gak mau dekat terasi, nanti Abang suruh anak-anak atur lantai dua biar lebih rapi. Kamu harus punya kegiatan, jangan dulu memikirkan banyaknya penghasilan. Belajar banyak hal, bisa dilakukan dari tempat kerja. Jangan memandang remeh sesuatu yang tampaknya tak bergengsi untuk kamu. Jalani saja dulu."
"Tapi kalau Nira dapat kerja yang lebih bagus, Nira cabut dari depot Ayah."
"Silakan, selama bukan tempat kerja yang membuat saya khawatir. Selama menikah dengan saya, semua yang berhubungan dengan kamu, jadi tanggung jawab saya."
Anira tak lagi menjawab. Gadis itu mengangguk lantas beranjak dari rebahannya di pangkuan Panji. Kini, perempuan itu duduk bersila menghadap suaminya dengan dekat. "Ya sudah, besok Nira kerja. Tolong bilangin Ayah, gaji Nira harus besar. Ingat, mau gimana juga, Nira anak kandung Ayah." Matanya yang memiliki bulu lentik itu, mengerjap dengan indah.
Panji hanya berdeham seraya tersenyum tipis. Ia tak menjawab, tetapi justru mengusap lembut wajah Anira dengan tangannya. "Tidur sana. Besok kita harus berangkat pagi," ucap Panji dengan suara serak dan parau. Jika Anira tidak tidur sekarang, Panji takut pertahanannya terhadap kecantikan Anira bisa runtuh tak berbentuk.
******
Anira Mandalika resmi bekerja sebagai tim dari depot pecel ayam milik ayahnya. Anira duduk dengan ragu di meja kerja Panji di lantai dua yang berisi banyak logistik sayur dan bahan mentah lainnya. Jika dilihat, wajah berkilau Anira memang kurang cocok berada di tengah-tengah baskom sayuran dan tahu tempe. Meski ia berpenampilan sederhana dengan kaus kerah seragam depot ayam dan rambut yang dikuncir kuda, tetap saja ia terlihat yang paling berbeda.
Panji mengarahkan kipas angin dinding menghadap wajah Anira, saat perempuan itu tampak kurang nyaman dan mengibaskan tangan ke wajah. "Pakai ini sementara. Kamu boleh pakai komputer ini dan fasilitas apa pun untuk tetap cari kerja. Telepon depot terhubung ke meja ini, jadi kamu harus angkat, jaga-jaga ada pesanan. Nissa sudah sibuk menghitung pembayaran pelanggan di bawah. Kamu bantu kami, ya."
Nira hanya berdeham, lalu melepas kardigan yang ia kenakan. Ruang keja barunya jauh dari yang ia harapkan. Ia selalu berpikir bahwa sarjana seperti dirinya, hanya pantas bekerja di gedung bertingkat yang mewah, sejuk, penuh orang-orang berpakaian rapi dan cantik. Tak ada bayangan sedikit pun jika harus menangani pesanan nasi kotak ayam bakar atau goreng.
Namun, apa daya jika tak ada lagi pilihan mencari uang. Panji tak memberinya nafkah sedang ayahnya hanya mengirimi uang sejumlah biaya perawatan tubuhnya. Ia rindu belanja, jalan-jalan, dan membeli barang-barang yang ia inginkan.
Wajah sendu Anira berganti penasaran saat Panji terlihat menerima telepon dari ponsel pria itu. Anira memperhatikan Panji yang tampak serius menjawab panggilan dari seberang sana.
"Belum, Bu. Sabar. Semua ada waktunya." Panji bicara dengan sopan dan lembut. "Ibu doakan saja."
Anira beranjak dari duduknya, lantas mendekati Panji yang sedang melihat-lihat stok sayuran. "Siapa, Bang?" tanyanya dengan suara lirih, tetapi cukup kencang terdengar.
"Ibu," jawab Panji singkat. "Ibu mau bicara sama kamu."
Anira mengerjap. Ia jarang berinteraksi dengan mertua yang tampaknya nyaman tinggal di desa. Bukannya apa, Anira hanya takut mereka tak bisa bicara dengan baik. Namun, sudah terlanjur. Ibunya Panji meminta bicara kepadanya, meski ia ragu mampu mengimbangi topik yang dibahas nanti.
Panji mengangsurkan ponselnya yang diterima oleh Anira dengan gestur ragu.
"Halo," sapa Anira pelan. Jantung Anira entah mengapa mulai berdegup kencang. "Sehat, Bu. Kami sehat-sehat saja. Anira kerja di depot bersama Bang Panji sekarang."
Anira menjawab ala kadar, apa pun yang ibu Panji bicarakan. Di hadapan gadis itu, Panji terus memindai wajah istrinya yang bicara langsung dengan sang ibu. Kening Panji mulai mengernyit dengan satu alis terangkat, saat mendapati makin lama wajah Anira makin tampak pucat.
Hingga sambungan itu akhirnya Anira tutup dan Panji menerima kembali ponselnya. "Ibu ngomong apa? Kok wajah kamu jadi aneh?"
Bibir Anira gemetar dengan wajah yang tampak bingung juga kalut. "Ibu ... Ibu tanya kenapa Nira belum hamil. Ibu ... tadi Ibu bilang mau kirimkin Nira jamu penyubur. Ibu ... Ibu tadi mohon-mohon ke Nira supaya kasih dia cucu." Nira bergerak tak nyaman. "Nira bingung, gak bisa jawab semua ucapan Ibu. Lain kali, Abang jangan biarin Nira bicara sama Ibu. Nira takut." Air mata gadis itu jatuh satu per satu. Tubuhnya tampak sedikit terguncang dengan pembahasan yang juga tak Panji duga.
"Maafkan ibuku." Dengan sabar dan penuh kasih sayang, Panji merengkuh tubuh Nira ke dalam pelukannya dan tanpa sadar mendaratkan satu kecupan ringan di pucuk kepala Anira. "Kita tidak akan melakukannya kalau kamu belum siap. Kita fokus pada urusanmu dulu. Soal Ibu, nanti saya bantu bicara agar kita tidak dikejar dan ditekan."
Anira hanya bisa mengangguk. "Nira belum mau punya anak. Apalagi sama Abang. Nira kan gak cinta Abang."
Panji tak menjawab. Pria itu terus saja memeluk Anira dan mengusap lembut punggung istrinya. Dalam hati, ia sendiri bingung harus bagaimana menyikapi pertanyaan ibu juga Pak Budi yang sesekali membahas tentang kehamilan Anira.
"Sekarang fokus kerja dulu. Lakukan apa pun yang kamu rencanakan kepada saya kemarin. Kamu bilang, akan merubah sistim pemesanan depot ini?"
Anira mengurai pelukan mereka. "Bukan merubah, tapi mengembangkan. Anira mau buat sosial media dan promosi gencar-gencaran. Kita juga harus ada nomor whatsapp yang bisa kirim daftar harga menu. Calon pembeli jadi bisa semakin mudah memutuskan mau pesan apa."
Senyum Panji terukir manis. Ada bahagia dan senang dalam hati pria itu, mendapati bahwa ia tak salah pilih mengajak orang untuk bergabung dengan depot ini. Perasaan Panji optimis, jika dengan adanya Anira, penjualan pesan antar mereka bisa naik drastis sesuai keinginan Pak Budi.
Panji menatap Anira dengan wajah penuh harapan, seraya menangkup kedua pipi Anira yang tadi sempat basah air mata. "Sepulang kerja nanti, saya traktir kamu makan di luar. Kamu mau makan apa?"
"Se'i sapi atau sate kambing," jawab Anira. "Setelah itu, belikan Anira milktea."
"Iya, saya belikan semua." Panji mengusap pipi Anira, lalu berlanjut ke kepala perempuan itu. Tanpa sungkan dan canggung, Panji mencium kening Anira sebelum pamit untuk pergi keliling cabang.
Sepeninggalan suaminya. Anira hanya bisa terdiam dengan tubuh yang berdiri menyandar tembok. Sebentar, tadi itu apa? Panji mencium dan mengusap lembut wajahnya dengan binar bahagia? Melihat bagaimana senyum Panji, mengapa semangat kerja Anira jadi naik drastis begini? Ia akan meminta karyawan membuat semua menu yang dijual, lalu akan Anira foto dan mulai unggah di sosial media yang akan ia buat hari ini.
******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top