1.

1

Mata Anira memanas dan air sudah merebak ingin jatuh dari kelopak ber-eyeshadownya. Rasanya menyakitkan. Anira tak pernah merasakan patah hati yang parah dan sakit hati teramat perih. Selain kepergian ibunya, mungkin ini adalah saat terpahit hidup Anira. Ia tak tahu harus bagaimana dan memutuskan apa untuk masa depannya. Semuanya terasa hancur lebur dan ia tak yakin bisa kembali utuh seperti semula. Andai ia masih memiliki ibu, mungkin dunia tak akan berani berlaku sekejam ini kepadanya.

Anira mendongak, berusaha menghalau air mata yang hampir jatuh. Lipatan buku jarinya mengusap ujung mata yang baru saja ia poles dengan eyeliner satu jam lalu, sebelum seorang pria memanggil Anira ke ruang kerjanya dan membuat hidup Anira hancur berkeping dalam sekejap.

"Gue tuh gak bisa diginiin!" Anira berucap lirih dan penuh nada tak terima. "Ini tuh gak fair! Dia gak bisa putusin gue seenaknya gini!" Ia membaca kembali surat yang masih ada di genggaman tangannya, lalu tanpa bisa dicegah, air mata itu akhirnya luruh juga. "Harusnya dia bisa ngertiin perasaan gue, kebutuhan gue, keinginan gue. Dia gak bisa main udahan dengan cara kaya gini. Beneran gak fair!" Gumaman itu akhirnya berubah menjadi isak. Anira menangis di meja kerjanya, menatap monitor komputer yang menampilkan tumpukan pekerjaan yang belum sedikit pun ia selesaikan.

"Salah gue apa, coba?" Anira mengusap hidungnya yang mulai berair setelah puas menangis lirih, tanpa peduli dengan kanan-kiri yang mungkin saja risi dengan monolog penuh nestapanya itu.

Saat ini masih pukul sepuluh pagi, dan akhir bulan adalah waktu-waktu padat perusahaan untuk persiapan tutup buku. Rekan kerja Anira di ruangan itu, semuanya fokus pada tenggat waktu dan beban kerja yang harus mereka selesaikan hari ini. Mulai dari bagian pemasaran hingga keuangan, memiliki target dan tenggat yang harus mereka menangkan. Bukannya tak ingin peduli dengan musibah atau kesialan yang menimpa Anira. Hanya saja, menemani gadis menangis pagi-pagi bukanlah pilihan tepat, karena tiga hari lagi sudah tanggal untuk gajian dan penyerahan laporan.

"Sorry, Nira. Uhm, bisa di rumah aja gak, patah hatinya? Gue butuh laporan penjualan lo periode bulan ini, karena mau hitung jumlah komisi yang berhak lo terima untuk−". Ucapan salah satu rekan kerja di ruangan itu terhenti. Entah karena tak tega atau malas melihat wajah penuh drama yang Anira tampakkan di pagi cerah ini. Si rekan kerja itu akhirnya mendengkus malas. "Terserah lo, deh. Gue tunggu paling lambat jam dua belas siang. Kalau gak ada laporan lo di meja gue, sorry banget andai komisi lo gak cair."

Dunia memang kejam. Setidaknya, itulah yang Anira rasa. Mengapa seperti tak ada yang mampu atau mau memahami diri dan perasaannya? Indah terlalu tegas sebagai kordinator bagian pemasaran yang membawahi dirinya. Sementara Pak Eko, lebih terlihat kejam merespons dirinya yang hanya alpa beberapa hari saja kemarin.

Anira menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Hatinya yang merasa teraniaya itu, kembali menguatkan diri untuk sekali lagi membaca surat dari pria yang sesungguhnya ia kagumi. Pria berusia akhir tigapuluhan itu selalu tampil berkelas dan berkharisma. Pakaiannya rapi dan penampilannya paripurna dengan wajah tampan. Andai Pak Eko belum menikah, mungkin Anira akan gencar melakukan pendekatan kepadanya. Sayang, sebelum semua khayalannya menjadi nyata, Pak Eko yang mobilnya Anira taksir seharga 700 juta, memberinya surat per tanggal hari ini.

Surat pemutusan hubungan kerja tanpa hormat. Itu artinya, beberapa hari lagi Anira harus angkat kaki, tanpa pesangon, pesta perpisahan atau bonus dan penghormatan. Pak Eko jahat! Hatinya bukan lagi patah, tapi sudah hangus terbakar. Tak ada lagi kagum, tinggallah dendam dan sakit hati atas perlakukan pria itu kepadanya.

Masalahnya sekarang, jika ia tak memiliki perkerjaan, bagaimana ia bisa ....

Degup jantung Anira semakin tak keruan saat otaknya mulai mengingat tanggal dan menyadari jika minggu ini, atau hari ini, surel-surel itu pasti sudah sampai dan wajib ia baca. Dengan gerakan kaku bak robot rusak, Anira membuka surelnya perlahan. Benar, ada lima tagihan baru yang akan jatuh tempo kurang dari dua minggu.

Anira menelan ludahnya dengan gugup. Bagaimana ia bisa membayar tagihan itu nantinya, jika gaji pun sebentar lagi ia tak punya. Jemari lentik Anira yang dua hari lalu baru saja di-manicure, perlahan gemetar saat membuka satu per satu surel tagihan dari lima kartu kredit yang ia miliki, tanpa sepengetahuan ayahnya.

Keringat Anira mulai membasahi keningnya. "Mampus. Kenapa totalnya bisa lebih dari lima puluh juta begini?" Ia bergumam sendiri dengan wajah pucat, seakan-akan baru saja membaca hasil vonis dokter dan mendapati penyakit langka yang akan membuatnya mati muda.

"Anaya, Naya! Dia punya utang ke gue! Gue harus tagih segera untuk bantu bayar tagihan ini." Alih-alih fokus bekerja dan mengerjakan apa yang kordinatornya perintahkan tadi, Anira justru mengambil gawai dan sibuk sendiri menghubungi temannya yang tiga bulan ini menghilang.

"Nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif." Begitu terus yang Anira dengar setiap menekan kontak Anaya. Teman yang ia bantu cairkan sejumlah dana dari kartu kreditnya, tiga bulan lalu. Anaya berkata harus pulang kampung demi merawat ibunya yang sakit keras dan butuh operasi mendadak. Hati Anira yang saat itu terenyuh degan tangis Naya, menggesek tunai tiga kartu kreditnya dengan total pencairan dua puluh juta, yang Anaya janjikan akan lunas paling lambat dalam empat bulan.

Nyatanya, di bulan ketiga Anira meminjamkan uang, alih-alih mendapat cicilan dari Naya, ia justru mendapat PHK dari bosnya.

"Anaya!" Anira menggeram lirih dengan wajah frustrasi.

Dehaman Indah membuat Anira menoleh kepada atasannya. Telunjuk Indah yang mengarah pada jam dinding dan suasana ruangan yang mendadak hening, membuat bulu kuduk Anira merinding.

"Yah, Mbak Indah ... aku kerjain sekarang, deh. Janji jam satu sudah selesai." Anira semakin kalut dan takut. Bagaimana mungkin waktu berjalan secepat ini dan tiba-tiba sudah pukul dua belas lebih saja.

Indah menggeleng santai, tetapi tegas. "Ajukan sendiri komisi kamu ke Pak Eko. Aku mau turun untuk makan siang dulu. Kerjaanku masih banyak dan gak ada waktu untuk nungguin kamu yang leletnya minta ampun." Tubuh berpostur tinggi dan rambut panjang itu beranjak dari kubikelnya, lalu meninggalkan Anira yang rasanya ingin berteriak, menangis kencang, dan meminta Tuhan mengembalikan ibunya yang tiada.

Ingatan Anira berputar pada dua minggu lalu, saat ia nekad pergi ke Singapura dan berlibur sepuasnya di sana. Ia pergi bersama Timmy, teman kuliahnya yang mengajaknya menikmati setiap promo yang diberikan oleh kartu kredit. Hotel, akomodasi, transportasi, hingga belanja di setiap pusat perbelanjaan di negara itu.

Anira menghela napas panjang. Setan apa yang merasuki dirinya, hingga mau-mau saja menerima ajakan Timmy yang katanya ingin berlibur bersama Anira sebelum perempuan itu melanjutkan studi di Amerika sana. Anira yang ingin mencoba banyak merek busana dan parfum ternama, akhirnya menyetujui rencana liburan mereka berdua selama dua minggu tanpa henti, dengan menggunakan kartu kredit yang ia miliki.

"Mungkin Timmy bisa bantu gue," gumam anira sendiri. Ia mengetik pesan pada teman yang dua hari lagi terbang ke Amerika sana, meminta bertemu petang ini. Ya, Anira akan meminta bantuan Timmy mencari solusi masalahnya saat ini.

*****


Hallo ... Aku datang dengan judul baru! Ini adalah naskah parade Lovrinz batch 4 yang sedang proses cetak. Yang kuposting di sini adalah yang bersi terbit, dimana ada perbedaan dengan versi parade. Namun, untuk di sini, postingnya tidak akan selengkap di parade. Mungkin aku hanya akan posting sampai bab 15 atau 20.

Selamat menikmati kisah Anira dan ... utangnya yang menumpuk ini wkwkkwk


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top