Delapan Belas

Kafi mengajak Aisyah untuk tidur. Hari ini ia sangat lelah karena dari pagi hingga malam. Hatinya terus dikuasai emosi yang menjengkelkan.

"Mas."

"Hm." Kafi hanya berdehem sebagai jawaban. Matanya sudah sangat mengantuk.

Aisyah gugup setengh mati. Ia mengulurkan tangannya kearah wajah Kafi dan mengusapnya perlahan.

"Jangan begitu." Kafi menggegam tangan Aisyah dan meletakkan di atas dadanya.

Aisyah menggeser tubuhnya supaya lebih dekat dengan Kafi.

"Bagaimana kalau sekarang, Mas?" Aisyah ragu, tapi ia harus melaksanakan kewajibannya.

Mata Kafi yang hampir terpejam, kini terbuka lebar. "Apa maksudnya?"

"Kita_____" Aisyah malu dan bingung untuk mengucapkannya.

"Apa?" Kafi memiringkan badannya menghadap Aisyah.

"Kita lakukan itu."Aisyah menundukkan kepalanya. Mungkin saat ini wajahnya pasti sudah merah padam.

"Kamu yakin?" Kafi tidak bodoh. Ia tahu apa maksud dari ucapan Aisyah meskipun sepotong-sepotong.

Aisyah mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Aku akan berdoa dulu." Kafi bangun lalu berjalan ke arah laci mengambil secarik kertas.

Aisyah mengerutkan keningnya bingung. Apa yang tengah dilakukan oleh suaminya. Namun sesaat kemudian Aisyah tertawa ketika Kafi membaca kertas yang dia ambil dari dalam laci.

Kafi membaca doa sebelum berhubungan. Entah darimana Kafi mendapatkan kertas itu.

"Siapa yang menulis doa itu pada kertas, Mas?" tanya Aisyah yang tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Aku yang menulisnya. Supaya tidak lupa dan terutama supaya tidak di ganggu oleh setan." Kafi menyimpan kembali kertas itu pada laci. Ia menulis doa tersebut sudah beberapa hari yang lalu.

Aisyah kembali tertawa. Meskipun doa itu ada yang salah, mungkin Kafi lupa tapi ia tetap menghargai usaha Kafi.

"Jadi sekarang bisa?"

"Iya, Mas." Aisyah terus memandangi wajah Kafi. Wajah yang terlihat sangat bersemangat.

Aisyah seakan tak ingin memalingkan wajahnya. Ia takut jika ia akan mengingat kejadian dulu. Karena saat ia berkedip saja, wajah orang jahat itu langsung terlihat dan tampak mengerikan bagi Aisyah. Meskipun orang itu telah tiada tapi tidak di ingatan Aisyah. Kejadian itu masih tergambar jelas menorehkan luka cukup dalam baginya.

Pria yang tanpa belas kasihan telah menghancurkan hidupnya dan membuat dirinya rendah serendah-rendahnya karena keadaan mengenaskan dirinya disaksikan oleh banyak orang.

Aisyah semakin merasa beruntung saat ini. Karena Kafi mau menerima dirinya apa adanya.

"Teruslah lihat aku! perintah Kafi. Ia ingin Aisyah hanya fokus padanya.

Kafi juga ingin sekali menghapus memori mengerikan yang pernah di alami Aisyah hingga menimbulkan trauma. Karena itu, Kafi ingin memberikan kesan yang baru dan Kafi berharap, bisa membuat Aisyah sembuh dari traumanya.

Keringat dingin mulai keluar dari kulit mulus Aisyah. Sungguh, melakukan apapun yang membuat kita trauma tak semudah membalikkan telapak tangan.

Aisyah berusaha keras untuk bisa lakukan kewajibannya yang terasa mengerikan. Andaikan saja ia tak memiliki trauma itu, mungkin semuanya akan terasa indah.

"Jangan takut, percayalah padaku." Kafi mengecup setiap inci wajah Aisyah yang cantik.

Dalam hati, Kafi ingin mengutuk orang-orang kejam yang selalu menyakiti Aisyah. Seorang wanita lemah lembut dan sabar namun entah mengapa, banyak yang tak menyukainya. Kafi tak mengerti, apakah semua itu sebagai tanda benci atau iri pada Aisyah.

"Mas." Aisyah gemetar hebat saat perlahan Kafi membuka pakaian yang ia kenakan.

"Tetap lihat aku, lihat wajah ganteng suamimu ini." Kafi tersenyum dan berusaha bercanda supaya Aisyah tidak tegang.

Senyum Kafi membuat Aisyah tersipu malu.

"Sekarang?" Kafi ingin memastikan sebelum melakukan hal lebih. Ia tak mau, membuat Aisyah makin trauma.

Aisyah mengangguk kecil seakan tak yakin. Tapi ia tetap akan menunaikan kewajibannya sebagai istri.

Setelah mendapatkan persetujuan dari Aisyah. Kafi mulai memasuki Aisyah perlahan.

"Akhhh..!!"

Aisyah menjerit kencang. Matanya terpejam dan tangannya meremas seprai kuat-kuat. Keringat dingin mengucur deras. Semua bayangan mengerikan malam itu seakan berputar seperti kaset rusak yang diingatan Aisyah.

"Jangan, ampun." Aisyah mulai merancu tak jelas.

"Sayang, buka matamu." Kafi mengusap lembut wajah Aisyah.

Aisyah terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya pun tak lepas dari seprai yang kini telah kusut.

"Sayang, sabar. Kamu pasti bisa." Kafi membisikkan kata-kata penenang di telinga Aisyah. Ia juga berusaha untuk melakukan selembut mungkin.

Hingga akhirnya Aisyah berangsur-angsur tenang dan membuka matanya perlahan.

Kafi mengecup kedua kelopak mata Aisyah yang terlihat basah karena air mata. "Semua akan baik-baik saja, percayalah padaku. Aku sangat mencintaimu."

Aisyah menatap wajah Kafi lekat kemudian mengangguk. Ia memang harus percaya pada Kafi dan Aisyah yakin setelah ini semua akan baik-baik saja.

Dalam hidup, memang tak akan pernah ada kesempurnaan yang hakiki kecuali kesempurnaan Allah SWT.

Aisyah hanya berusaha pasrah dan menerima takdir. Meskipun Kafi bukanlah pria sempurna namun Aisyah percaya, bahwa Kafi akan menjadi pelengkap dirinya yang juga tak sempurna.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top