After Love Part 8

Meja makan itu tidak terlalu besar, tapi atmosfer yang tercipta sangatlah jauh berbeda. Seolah ia berada dia sisi lain meja yang berada di tempat lain, di tempat yang gelap dan dingin. Mereka sarapan dengan suasana yang luar biasa aneh.

Louis dan Victoria duduk persis di depan Aluna yang makan di sisi lain berlawanan keduanya. Jika suasana makan Louis dan Victoria begitu hangat dan ceria, berbeda dengan Aluna, ia hanya bisa makan sambil tertunduk. Membuat siapapun yang melihatnya menjadi kasihan pada Aluna.

Suaminya dan perempuan itu makan dengan tanpa perasaan bersalah, menikmati makanan nikmat yang dibuat oleh perempuan yang mereka khianati secara langsung. Mereka memakan sarapan pagi itu dengan lahap seolah-olah koki rumah merekalah yang memasaknya.

Bahkan saat setelah sarapan pagi itu berakhir, Aluna-lah yang mencuci piring-piring yang lumayan banyak itu. Sedangkan Louis pergi untuk mandi sebelum ke kantor dan perempuan itu menonton televisi kecil yang ada di dapur sambil meneguk sebotol jus jeruk yang ia dapat di kulkas. Jus itu milik Aluna, tapi Aluna lebih memilih diam daripada harus berdebat dengan perempuan itu.

Aluna mencuci dengan terburu-buru karena ia sendiri hampir terlambat untuk bekerja. Saking terburu-burunya ia, Aluna hampir memecahkan piring-piring sehingga ia hanya bisa mendesah lega dengan kasar saat ia berhasil menyelamatkan piring itu agar tak jatuh dan pecah.

Aluna kemudian mendengus melihat betapa nyamannya posisi perempuan itu. Meminum jus miliknya, bermain ponsel dan juga menonton. Benar-benar seperti seorang ratu dongeng yang dapat melakukan semuanya dan Aluna adalah babunya.

"Victoria, bisa bantu aku mencuci piring-piring ini? Aku harus buru-buru soalnya. Aku tak bisa meninggalkan piring-piring ini begitu saja," perintahnya dengan selembut mungkin untuk meminimalisir perdebatan, mengingat perempuan itu terlihat begitu anti dengan Aluna.

"Tidak mau," jawabnya singkat tanpa menoleh pada Aluna yang kembali mendengus.

"Kumohon sekali ini saja," pinta Aluna memelas berusaha menarik perhatian perempuan itu.

"Tidak mau, Aluna! Untuk apa kau di sini jika tak melakukan semua itu? kau 'kan istrinya," jawabnya masih tanpa menoleh pada Aluna.

Huh! apa sekarang aku dianggap istri jika sedang mengurus rumah?! Dia pikir seorang istri itu kerjanya sebagai pembantu?! ketus batinnya bertanya.

Aluna mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus menahan kesabarannya. Ini baru lebih. Ia harus bertahan! "Setidaknya buatlah keberadaan Nona berguna sedikit saja di sini. Bagaimana pun Nona tinggal di rumah kami ini gratis," kata Aluna sarkastik sambil menekankan beberapa kata agar membuat perempuan itu sadar akan dirinya sedikit saja.

Namun, seperti Aluna salah. Bukannya membuat perempuan itu bergerak untuk membantunya, perempuan itu malah berbalik dan mendelik dengan tajam kepada Aluna karena tersinggung dengan kalimat yang baru saja ia dengar.

"Apa?!" Victoria berseru tak terima.

"Ada apa ini?!"

Louis yang mendengar jeritan penuh amarah Victoria pun akhirnya muncul dengan baju kantor yang sudah rapih dan mempesona seperti biasa. Louis pun menatap tajam Aluna seolah langsung menjadikan Aluna sebagai tersangka tanpa perlu mencari tahu.

"Kenapa pagi-pagi sudah ribut saja sih?!" tanya Louis pada Aluna yang bertegun.

Louis membela wanita itu lagi. bisik batin Aluna pada hatinya yang mulai kembali menjerit kesakitan.

"Istrimu itu, menyuruhku mencuci," adunya sambil bersedekap tak suka menatap Aluna.

Aluna meringis dalam hati. Perempuan itu menyebut 'istrimu itu' dengan nada yang seolah mengatakan 'pembantu tak bergunamu itu'. Tak tahukah perempuan itu kalau status sebagai istri itu mulia? Sepertinya mulut perempuan itu harus disekolahkan kembali agar lebih menghargai status ataupun seseorang.

Louis mendengus kasar mendengarnya lalu menatap Aluna dengan geram.

"Sudah kubilang 'kan berhenti mengaturku?" desis Louis yang berjalan mendekat ke Aluna yang masih terdiam di tempatnya. "Itu juga berlaku untuknya. Itu sudah tugas untukmu mengurus rumah ini. Untuk apa kau menerima posisi itu jika tak mampu?"

Aluna tertegun. Bahkan Louis juga hanya menganggapnya istri jika berhubungan dengan mengurus rumah. Apakah selama ini ia menyalah artikan posisi seorang istri? Apa selama ini menjadi seorang istri memang tak seperti bayangannya? Yaitu bahagia dan bahagia?

Kata-kata Louis tidaklah menyakitkan. Namun, makna di balik kata-kata itulah yang menyakitkan. Louis seolah mengatakan bahwa 'siapa suruh mau menjadi istriku?!'.

"Sudahlah, ayo kita pergi," kata Louis menarik tangan Victoria yang tersenyum kemenangan melihat kesedihan yang terpancar jelas di wajah Aluna.

Mereka meninggalkan Aluna yang masih terdiam di tempatnya bak patung bahkan setelah dentuman pintu tertutup ia terdengar. Ia kemudian langsung mengambil napas dalam-dalam sekali lagi dan menghembuskannya dengan tergesa. Begitu terus sebanyak tiga kali. Ia sedang berusaha menahan sekaligus memasukkan kembali air matanya agar tak terjatuh.

Aluna kemudian menoleh pada jam dinding yang menunjukkan bahwa ia benar-benar telah terlambat. Lalu pandangan nanarnya berpindah ke westafel yang masih menampung piring-piring yang masih baru setengah tercuci itu lalu tersenyum miris.

"Semangat, Aluna." lirih perempuan itu dalam rumah indah yang sunyi dan dingin.

***

"Ahh... leganya bisa keluar dari rumah sakit ini!" teriak girang Ryan begitu Aluna masuk ke kamar inap pria itu dan memberitahukan bahwa perban luka kecelakaan Ryan akan dibuka dan Ryan sudah diperbolehkan kembali pulang karena tangannya yang juga sempat terkilir parah, sudah benar-benar sembuh.

"Sepertinya kau senang sekali," kekeh Aluna yang telah membuka perban Ryan dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di ruangan itu. Ia kemudian menyentuh beberapa titik syaraf Ryan untuk memastikan pria itu benar-benar sudah sembuh. "Apa masih sakit?"

Ryan menggeleng-geleng dengan riang, membuat Aluna kembali terkekeh dengan senyuman manisnya. "Tentu saja aku senang. Kau tahu betapa sebalnya aku karena Ibuku menelpon para dokter agar membuatku harus berada di rumah sakit selama dua minggu hanya karena kecelakaan kecil?"

Aluna lagi-lagi tertawa kecil. "Semua Ibu akan seperti itu. Jika aku adalah kau, Ibuku malah akan membuatku berada di rumah sakt selama sebulan. Lagipula selain syarafmu yang terkilir, beberapa luka di lengan serta lututmu memang sedikit parah jadi harus disembuhkan dengan baik."

"Syukurlah aku tidak tampak berlebihan. Ngomong-ngomong, kau pulang jam berapa?" tanya Ryan.

"Satu jam lagi. Kenapa?"

"Aku akan mengantarmu. Tapi sebelum itu kita ke rumahku dulu untuk menyimpan barang-barangku yang kupakai selama di sini. Lalu aku akan terus mengantarmu. Bagaimana? Kau mau, kan?" pinta Ryan dengan memohon membuat Aluna tak tega menolaknya.

"Baiklah."

"Oke! Kau gantilah bajumu! Aku akan menunggumu di sini!"

***

"Kau tinggal bersama ibumu? Lalu ayahmu?" tanya Aluna yang mulai turun dari mobil Ryan sambil bertanya lagi saat Ryan menceritakan bahwa ia tinggal bersama ibunya. Sedangkan keluarganya yang lain ada di Los Angeles.

"Hm um," jawab Ryan dengan deheman yang lucu sembari berjalan ke arah pintu rumah yang cukup besar itu dengan tas yang bersisi baju-bajunya selama di rumah sakit.

Mengingat Ryan tinggal dengan ibu pria itu membuat Aluna teringat ibunya juga. Sudah dua minggu ini ia jarang mengunjungi ibunya yang berada di rumah lama mereka. Itu karena ia begitu sibuk di rumah sakit dan ia juga begitu sibuk memikirkan kelangsungan rumah tangganya yang sangat ingin ia adukan ke Dana, tapi ia tahan karena tak mau membuat ibunya turut sedih.

Ryan kemudian berbalik menatap Aluna begitu hendak mengetuk pintu rumahnya sendiri. "Begini, ibuku mungkin akan menjerit melihatmu tapi kau tenang saja. Kau cukup santai saja dan perkenalkan dirimu."

Aluna sebenarnya tak mengerti tapi ia hanya bisa mengangguk. Beberepa detik kemudian. Louis pun mengetuk pintu yang dengan sekejap di buka dengan kasar.

"Ryan, kau! Kau sudah keluar dari rumah sakit?! Kenapa kau keluar?! Apa kau benar-benar sudah sembuh?! Semua lukamu sudah sembuh, kan?! Kau itu! Beraninya membawa motor besar itu tanpa berhati-hati!" Suara yang terdengar itu tampak kesal sekaligus khawatir dengan tangan yang menjewer telinga Ryan membuat Aluna tertawa kecil.

"Ibu! jangan sekarang. Ada tamu. Malu, Bu," pinta Ryan dengan memelas membuat sosok yang dari tadi masih berada di dalam rumah, menyembulkan kepalanya keluar untuk menatap tamu yang dimaksud anaknya.

Mata ibu Ryan dan Aluna pun bertemu. Perempuan paruh baya itu tertegun selama beberapa detik saat Aluna mulai tersenyum untuk menyapa. Dan beberapa detik kemudian perempuan itu pun menjerit kaget, takut, dan bahagia secara bersamaan.

"Ya tuhan, Julie!!" teriak perempuan itu hingga meneteskan air matanya dan berhamburan memeluk Aluna yang membeku di tempat karena tak mengerti.

"Namaku Aluna," kata Aluna canggung sambil membalas pelukan itu dengan ragu. Ryan yang melihat itu hanya bisa tersenyum, tersenyum simpul yang tampak miris.

Ibu Ryan yang mendengar perkenalan itu pun itu tertegun dan kemudian menatap Aluna dan Ryan penuh tanda tanya secara bergantian. Saat perempuan itu melihat anggukan kecil dari putranya, ia mulai mengerti dengan dengan keadaan yang sedang terjadi.

"Apa ini perempuan yang kau ceritakan?"

Ryan hanya mengangguk menanggapi ibunya masih dengan senyum kecil.

Mata ibu Ryan yang masih berkaca-kaca pun kembali menatap Aluna, dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tak percaya membuat Aluna canggung sendiri.

"Ya tuhan, benar-benar seperti kloningannya," ucap ibunda Ryan membuat Aluna tak mengerti.

***

Aluna sedang sedang duduk sendirian di ruang tamu besar itu. Ibu Ryan di dalam dapur, sedangkan Ryan izin untuk mengganti bajunya sebentar. Sebenarnya ia merasa ada yang aneh dengan kedua orang itu tapi Aluna lebih memilih tidak terlalu memusingkannya.

Lama hanya berdiam diri, Aluna memilih berdiri dan melihat-lihat sekitar ruang tamu itu untuk mengusir kebosannya. Ia tersenyum melihat banyaknya bingkai foto yang bertengger di atas sebuah lemari kecil panjang. Mulai dari foto kedua orang tua Ryan dan Ryan yang masih bayi hingga remaja.

Sebelum kemudian, mata Aluna terpaku pada sebuah bingkai foto yang menampilkan seorang perempuan—yang sepertinya sedikit lebih muda darinya—memegang sebuah permen kapas besar dengan sebuah bando mickey mouse yang bertengger manis di kepalanya.

Di foto itu, perempuan itu terlihat begitu bahagia. Hidupnya seolah penuh senyuman dan tawa yang tiada akhirnya. Aluna mengusap perlahan permukaan bingkai itu dengan tak percaya. Lalu tangannya itu beralih mengusap wajahnya sendiri dengan mata yang membulat sempurna.

Kini semua terjawab kenapa Ryan dan Ibunya tampak begitu kaget dengannya di pertemuan mereka. Ia sudah tahu kenapa kedua orang itu menerjangnya dengan pelukan hangat dan memanggil dirinya dengan nama indah namun sangat asing terdengar. Julie.

"Apa perempuan ini Julie?" lirih Aluna masih memandang tak percaya kembaran beda darahnya.

"Ya, itu Julie."

Aluna segera berbalik begitu mendengar sebuah suara yang seolah menjawab pertanyaan kepastiannya. Ia berbalik dengan masih sambil memegang bingkai itu kemudian berjalan ke arah sofa dan sekali lagi memandang foto itu.

"Dia sangat cantik."

Ryan terkekeh geli. Entah perempuan itu memuji Julie atau sedang secara tak langsung sedang narsis, Ryan menatap geli perempuan itu dan duduk di sampingnya sambil ikut menatap foto gadis kecilnya.

"Ya, persis sepertimu."

Melihat foto wajah yang persis seperti dirinya itu dengan lekat membuat Aluna menerbitkan sebuah senyuman. Entah kenapa melihat orang yang wajahnya persis seperti dirinya dengan tawa yang begitu lebar, membuat Aluna seolah melihat dirinya sendiri.

"Aku tak pernah tertawa sebahagia ini," lirih Aluna sambil melirik Ryan sekilas dengan senyum bahagianya. "Apa aku akan terlihat secantik ini jika aku tertawa seperti dia?"

Ryan tersenyum. "Dia memang selalu tertawa. Dia gadis paling ceria yang pernah aku kenal. Dia bahkan tak pernah terlihat sedih. Satu-satunya ia terlihat cemberut sedih hanya saat ia kelaparan," kata Ryan diselingi tawa geli namun Aluna bisa menangkap kesedihan dan kerinduan di dalamnya. "Dia perempuan yang paling berharga bagiku setelah Ibuku. Aku bahkan rela melakukan apa saja agar tawa bahagianya itu selalu terbit."

Aluna yang mendengar nada pria itu mulai menyendu pun mengernyit. "Di mana dia sekarang?"

"Di surga."

Aluna tertegun. Ia merasa bersalah menanyakan itu tapi ia tak bisa berbohong, ia juga merasakan kesedihan besar melihat perempuan-kembaran beda darahnya-itu ternyata sudah pergi ke sang cipta lebih dulu.

"Bagaimana bisa?"

"Kanker."

Aluna kali ini membekap mulutnya tak percaya dengan salah satu tangannya. Ia benar-benar tak percaya perempuan yang mirip dengannya yang selalu tersenyum dan tertawa bahagia seolah tanpa beban di pundaknya ternyata memiliki masalah yang jauh lebih besar di belakangnya.

"Sepertinya kau sangat mencintainya," lirih Aluna prihatin. Pasti sangat sakit rasanya ditinggalkan oleh perempuan yang sudah pasti sangat dicintai oleh Ryan itu.

"Ya, aku sangat mencintainya dan ingin melindunginya selalu agar ia tetap bahagia selamanya. Aku bahkan tak pernah melirik para wanita karena aku terlalu fokus memperhatikannya." Ryan kembali tersenyum dengan pandangan yang menerawang jauh. "Sewaktu kecil aku adalah bocah yang sakit-sakitan, membuat tak ada anak yang mau bermain denganku karena mereka bilang aku anak yang penyakitan. Tapi gadis kecil yang selalu memanggilku 'kakak' dengan nada yang begitu ceria selalu menghiburku. Di saat anak lain bermain bola, aku lebih memilih bermain Barbie dengannya. Dari dulu aku sudah berjanji akan menjaganya dan selalu membahagiakannya. Tapi sayangnya dia pergi begitu cepat."

Aluna terenyuh. Ternyata mereka telah berteman dari masih kecil. Itu mungkin jauh lebih menyakitkan. Apalagi tatapan penuh kasih Ryan masih terpancar jelas matanya. Sudah pasti ia sangat mencintainya.

Ryan kemudian tertawa geli mengingat satu hal. "Bahkan orang-orang berpikir mengira aku mengalami sister complex karena aku lebih memperhatikan gadis kecilku dari pada wanita-wanita cantik yang mendekatiku."

Aluna terdiam. Sister complex?!

"Julie, adik kandungmu?!"

Ryan terdiam kebingungan menatap Aluna yang kembali kaget. "Tentu saja, Julie adikku. Dia adik kandungku satu-satunya. Dia lebih muda enam tahun dariku dan lebih muda setahun darimu. Memangnya kau pikir Julie itu siapa?"

"Kekasihmu."

Ryan tertawa geli. Ternyata benar, sejak dulu pandangan orang tak berubah. Di mata orang asing dia dan Julie pasti terlihat seperti sepasang kekasih dan di mata orang yang mengenalnya pasti menuduhnya yang tidak-tifak.

Padahal ia hanya begitu mencintai Julie sebagai adiknya satu-satunya tapi banyak yang menyalah artikannya. Apakah salah jika dia begitu menyayangi adiknya hingga begitu posesif pada adiknya? Bagaimanapun sejak lahir, Julie sudah menemani dirinya yang tak punya teman sejak dulu dan Julie juga sangat menyayangi dan memuja Ryan sebagai sosok kakak yang sering Julie sebut sebagai 'superman'.

Mereka selalu ke mana-mana dan melakukan hal-hal bersama. Bahkan Ryan juga menyeleksi dengan ketat laki-laki yang mencoba mendekati adiknya itu layaknya seorang ayah yang garang. Bagaimanapun masa kecilnya terselamatkan karena kehadiran adik manisnya itu sehingga ia tak menghabiskan masa kecilnya dalam kesendirian. Jadi itulah kenapa Ryan sangat mencintai adik manjanya itu sehingga ia hanya ingin yang terbaik untuk Julie agar perempuan itu tetap bahagia, hingga akhirnya perempuan yang selalu menemaninya itu direnggut dengan cara yang sama merenggut ayahnya waktu ia masih kecil, kanker yang sama. Menurun pada gadis kecilnya.

Itulah kenapa Ryan begitu tak percaya melihat sosok Aluna. Perempuan itu benar-benar pinang yang dibelah dua dari adiknya. Melihat Aluna seperti melihat sosok adiknya yang telah lama hilang beberapa tahun ini. Bahkan tadi ia sempat menenangkan ibunya yang terisak karena tak percaya melihat kehadiran Aluna. Itulah sebabnya ia lama mengganti bajunya.

Baginya Aluna seperti gadis kecilnya yang telah beranjak dewasa. Aluna yang selalu tersenyum—walaupun tidak seceria dan sebahagia Julie—membuat Ryan seolah menemukan kembali adik yang begitu ia sayangi. Perasaan untuk melindungi Aluna sebagai kakak sebagaimana yang ia lakukan pada Julie muncul kembali. Karena itulah Ryan selalu berusaha dan menjaga Aluna selama ini.

Dan saat mendengar kisah hidup perempuan itu yang disakiti oleh suaminya membuat Ryan sangat geram. Ia seolah membayangkan bahwa yang disakiti oleh Louis selama ini adalah Julie adiknya. Dan ia sangat tak suka jika raut kesedihan muncul di wajah—mirip Julie—milik Aluna. Ia benar-benat tak suka wajah itu bersedih.

Itulah kenapa Ryan suka memperlakukan Julie dengan protektif dulunya jika menyangkut pria. Karena ia takut Julie-nya akan merasakan apa yang sekarang Aluna rasakan. Terkhianati.

"Dia adikku, Aluna. Aku mencintainya seperti seorang ayah yang protektif. Dia segalanya bagiku. Hanya ia yang kupunya semenjak ayah meninggal karena kanker juga, tepat delapan bulan kehamilan ibuku," jawab Ryan dengan kekehan yang menyedihkan.

Aluna tersenyum tegar agar membuat pria itu semangat. "Hei, aku yakin Julie tetap tersenyum seperti biasa bahkan setelah ia sudah berada di sana. Aku yakin juga begitu bangga padamu."

Ryan kemudian menatap lekat pada Aluna membuat Aluna seolah mengerti bahwa Ryan ingin mengatakan sesuatu.

"Aluna, bisa aku meminta tolong?" tanya Ryan dengan panggil waspada.

"Apa?"

"Panggil aku kakak," pinta Ryan penuh pengharapan tulus di matanya.

Aluna tahu betul. Pasti Ryan begitu merindukan sosok adik kandung yang begitu ia sayangi. Bagaimanapun perempuan berwajah sama dengannya itu sudah menemani Ryan sejak perempuan itu masih di kandungan. Jadi tidak ada salahnya mengabulkan permintaan seorang kakak. Bagaimanapun ia juga ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki sosok seorang kakak lelaki yang akan selalu melindungimu.

"Baiklah, Kak."

***

"Terima kasih sudah mengantarku pulang," kata Aluna berterima kasih saat ia turun dari mobil Ryan tepat di depan rumahnya. "Lain kali Kakak harus jaga kesehatan dan lebih berhati-hati. Aku tak mau melihat wajahmu muncul lagi di kamar inap rumah sakit."

Ryan yang juga ikut keluar dari mobilnya hanya tersenyum. Rasanya ia mengalami déjà vu dengan wajah yang sama tapi dengan orang yang berbeda. Ia kemudian mengacak-acak rambut Aluna dengan gemas. "Apa kau tak mau melihatku lagi, adik kecil?"

"Bukan begitu," Aluna mendengus kecil. Ia menjadi serba salah di depan kakaknya itu.

Ya, dia dan Ryan sepakat akan saling berbagi dan berhungan layaknya seorang kakak dan adik. Bagaimanapun keduanya membutuhkan sosok itu. Ryan menginginkan sosok Julie yang baru sedangkan Aluna menginginkan sosok kakak yang selalu membuatnya tertawa di samping ia berusaha melupakan penderitaannya.

Mereka berdua tertawa cukup hangat hingga tak menyadari bahwa seorang pria yang mendengar suara keduanya dari dalam rumah, keluar dengan raut wajah mengerikan memandang keduanya.

Walau Aluna tak menyadarinya, tapi Ryan menyadarinya. Dan begitu menyadari kehadiran Louis yang berada tepat di belakang Aluna, Ryan menyinggung seringai menantang yang licik pada Louis yang memandang tajam.

Dengan sekali hentakan, Ryan menarik tubuh mungil itu masuk ke dalam pelukannya dan menahan wajah Aluna di dadanya agar perempuan itu tak berbalik. Mata Ryan sendiri tak pernah lepas dari Louis sejak pria itu keluar dari rumah mewah itu. Ia memandang Louis dengan pandangan meremehkan dan menantang, sembari Ryan mengusap lembut kepala Aluna layaknya sepasang kekasih saling mencintai.

Ryan melakukan ini untuk membuat Louis gerah. Aluna telah menceritakan semuanya padanya tentang pernikahannya sebagai tanda bahwa Aluna telah mempercayai Ryan sebagai kakak barunya.

Walau ia mendengar cerita Aluna yang menjelaskan bagaimana Louis memperlakukannya dengan kebencian membuat Ryan tahu bahwa sebenarnya Louis itu masih sangat mencintai Aluna. Namun, cinta itu tertutup oleh awan gelap obsesi masa lalunya. Aluna hanya sedang sial karena mencintai pria bodoh menurutnya.

Itulah kenapa ia memeluk intens Aluna yang tidak membalas pelukannya karena perempuan itu terlalu kaget. Ryan hanya ingin membuat cemburu Louis dan menyadari perasaan terpendamnya pada perempuan itu. Ryan berusaha menyadarkan Louis dengan cara membuatnya cemburu seolah ia akan merebut Aluna.

Bukankah sebuah hal akan terasa berharga jika kau kehilangannya? Dan Ryan ingin membuat Louis merasa kehilangan—walau ia tak punya niat sama sekali merebuat Aluna—agar pria itu lebih tahu. Mana barang berharga miliknya dan mana barang yang tidak dibutuhkan sebenarnya.

Aluna bergerak tak nyaman dalam pelukan intens yang menyesakkan itu. Ia mencoba keluar dari pelukan erat itu namun gagal karena Ryan yang terus memeluknya erat.

"Biarkan seperti ini. Aku hanya sangat ingin terus memelukmu malam ini sebelum kita berpisah untuk hari ini," sahut Ryan lembut pada Aluna yang bergerak gusar di pelukannya. Namun,sebenarnya kalimat itu ia tujukan pada Louis yang hanya bisa terus diam memandang tajam kedua orang di depannya.

Rasakan ini. batin Ryan.

Aluna akhirnya mendesah pasrah. Ia hanya bisa memaklumi, menganggap Ryan sedang sangat merindukan adik kandungnya. Dengan perlahan Aluna pun membalas pelukan Ryan sama hangatnya. Sekali lagi ia tak bisa menolak permintaan seorang kakak yang merindukan adiknya.

"Baiklah, Kak."

Ryan tersenyum kemenangan pada Louis begitu merasakan Aluna membalas pelukannya dan merespon dengan kata-kata yang lembut dan merdu. Ia tahu, Louis melihat dan mendengar Aluna.

Kena kau. batin Ryan yang melihat keterkejutan di mata Louis saat melihat Aluna membalas pelukannha.

"Aluna!!"

Aluna seketika terdiam dan melepas paksa pelukan itu setelah mendengar suara yang seruan yang begitu mengancam dan mengerikan. Betapa kagetnya ia melihat Louis berada di belakangnnya dengan rahang tegas yang mengeras.

"Masuk sekarang!"

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top