After Love Part 5
Seorang pria sedang termenung di ruang kerja yang ada di rumahnya. Pria itu duduk di balik meja kerjanya dalam keadaan diam. Ryan, pria itu masih duduk termenung menyedihkan seperti biasa di hari seperti ini. Hari ini tepat dua tahun kepergiaan perempuan itu dari dunia ini, meninggalkan dirinya sendirian.
Tangannya perlahan meraih bingkai foto yang masih ia simpan dan tak pernah berpindah dari meja kerjanya. Ia menatap foto itu dengan raut penuh kerinduan. Di dalam foto itu terlihat dirinya—yang 2 tahun lalu—tersenyum penuh bahagia bersama seorang perempuan cantik bertubuh mungil yang terlihat sedang mencium hangat salah satu pipinya.
Sebuah senyuman tersinggung di kedua sudut bibirnya mengingat saat berfoto itu. Itu dua tahun yang lalu saat perempuan itu lulus dari SMA. Mereka berfoto dengan penuh senyuman bahagia, sebelum perempuan itu tiba-tiba mencium pipi Ryan dengan jahilnya membuat pria itu semakin tersenyum lebar dengan tatapan gelinya.
Senyuman Ryan berubah menjadi senyuman miris saat kembali mengingat kenyataan yang ada. Perempuan manisnya itu telah pergi dengan tragisnya, meninggalkannya.
"Julie..." lirih Ryan dengan serak.
Ryan pun mengambil kunci mobilnya. Ia memutuskan untuk berusaha menyibukkan dirinya di kantornya saja hari ini, daripada harus terus terdiam di hari peringatan tepat dua tahun meninggalnya Julie. Bahkan sampai sekarang ia masih tak percaya perempuan itu telah tiada.
Ryan tidak begitu berkonsentrasi dalam mengemudikan mobilnya. Pikirannya sekali lagi tertuju pada perempuan itu. Pikirannya seolah memutar ulangkan saat-saat bahagia penuh tawanya bersama Julie, bagaimanapun hanya Julie-lah yang selalu menemaninya sejak dulu. Jadi tidak aneh jika Ryan masih belum menerima kepergian perempuan itu.
Hujan yang terasa begitu melankolis membuatnya kembali melamun sembari berkemudi cepat. Sebelum kemunculan sebuah sosok berjalan di tengah jalan yang sepi mengagetkannya dan membuatnya langsung menginjak rem dengan kuat sehingga membuat tubuhnya sedikit terpental ke depan.
SIAL!
Dengan kesal Ryan langsung turun dan membanting pintu mobilnya. Mengabaikan hujan kecil yang mulai membasahinya. Ia melihat tubuh seorang perempuan tengah berjongkok dengan gemetar tepat beberapa senti di depan mobilnya.
"Hey! Kau gila, huh?! Kalau mau bunuh diri jangan pakai mobilku! Nanti aku yang malah disalahkan!" Tanpa memperdulikan kekagetan perempuan itu, Ryan membentak perempuan itu. Bagaimanapun perempuan itu juga salah, bukan hanya dia.
Perlahan tubuh itu semakin gemetar sebelum suara memilukan dari isakan tangis terdengar semakin membesar. Bahu Ryan yang tegang karena kesal perlahan menyusut. Ia sungguh tak bermaksud membuat perempuan itu menangis karena bentakkannya. Ia bukan tipe orang yang temperamental hingga membuat seorang perempuan menangis. Hanya saja hari peringatan menyedihkan ini membuatnya sedikit sensitif.
"Maaf, aku tak bermaksud untuk..." suara Ryan melembut dengan kikuk. Tetapi perempuan itu tiba-tiba saja menghentikan tangisnya dan berbalik sambil membungkuk beberapa kali untuk meminta maaf pada Ryan.
"Maaf aku yang salah. Aku sedang tak fokus."
Tubuh Ryan seketika menegang. Ia menatap tak percaya wajah cantik yang kini penatapnya penuh penyesalan dengan sisa-sisa tanda kemerahan karena menangis di wajahnya.
Ya tuhan, ini tidak mungkin, kan?! batinnya. Julie...
Ryan langsung menarik perempuan itu ke dalam pelukannya, memeluknya dengan sangat erat karena takut kehilangan akan kehadiran perempuan itu lagi. Sungguh betapa ia merindukan perempuan ini. Sungguh betapa inginnya ia bisa melihat wajah itu kembali menatapnya dengan binar seperti dulu.
"Julie, kau masih hidup! Ya tuhan! Aku sangat merindukanmu, sayang!" lirih Ryan tanpa melepaskan pelukan itu.
Setelah terdiam karena kembali syok untuk kesekian kalinya, akhirnya perempuan itu memberontak dalam pelukan pria itu. Ia berusaha sekuat tenaga melepaskan pelukan tiba-tiba Ryan.
PLAAK!
Suara tamparan dari tangan perempuan itu terdengar di antara keheningan dari hujan yang mulai mereda saat senja mulai datang mengantarkan malam.
Tamparan itu mulai menyadarkan Ryan yang tertegun tak ercaya. Julie-nya telah meninggal. Dia sendiri yang membantu orang-orang untuk memasukkan Julie ke dalam liang lahat saat perempuan itu meninggal. Tidak mungkin Julie-nya masih bisa berjalan seperti manusia sekarang, pikirnya tersadar.
Ryan pun sadar. Perempuan itu bukanlah Julie. Walaupun secara tampilan keseluruhan mereka mirip, tapi Julie-nya mempunyai sebuah tahi lalat mungil di lehernya dan perempuan itu tidak mempunyainya. Namun, ini sungguh keajaiban. Ia melihat seseorang yang terlihat persis dengan satu orang lainnya seperti ini. Bahkan ukuran tubuh mereka persis sama.
"Maaf, aku pikir kau seseorang yang aku kenal," lirih Ryan penuh penyesalan membuat perempuan yang awalnya ketakutan itu mulai merilekskan tubuhnya.
"Maaf juga karena menamparmu. Itu spontan." balas perempuan itu. Hujan pun telah benar-benar berhenti saat malam sudah mulai tampak.
"Tak apa. Itu salahku." Sebuah senyuman kecil terbit di wajah Ryan,
Ryan terdiam. Dia kembali menatap instens wajah perempuan itu dan berdecak kagum. Sunggu wajah pinang di belah dua. Sangat mirip. Tatapannya, senyumnya, dan bentuk wajahnya, semuanya sempurna, sangat mirip.
"Aku harus pulang," kata perempuan itu memecah keheningan mereka. "Aku harus memasak makan malam, ucapnya yang lebih terdengar seperti gumaman untuk dirinya sendiri.
"Biar aku antar!" teriak Ryan saat perempuan itu berjalan pergi kembali melewati jalan yang ia lewati tadi.
Dari jauh ia melihat perempuan itu berbalik, tersenyum kecil kemudian menggeleng sebelum kembali melangkah pergi. Namun, Ryan tak menyerah. Ia berlari kecil mengajar perempuan itu dan menangkap pergelangan tangannya. Mencegah perempuan itu pergi lebih jauh.
"Kumohon. Aku bukannya mau melakukan hal yang macam-macam. Hanya sebagai ucapan penyesalanku sudah hampir tak sengaja menabrak dan membentakmu," Ia menatap perempuan itu dengan tatapan penuh kepercayaan. "Ini sudah malam, tidak baik kau pulang sendiri apalagi dalam keadaan basah kuyup seperti ini."
Setelah berdebat kecil, akhirnya mereka pun menaiki mobil itu. Ryan pun mengantarnya mengikuti sesuai arahan rute dari perempuan itu.Membawa mobil itu berhenti di depan rumah besar Aluna bersama suaminya.
"Terima kasih, Tuan..."
"Adryan. Panggil saja Ryan, tanpa tuan."
"Ya, terima kasih, Ryan," ucap Aluna dengan senyum tulus saat pria itu telah mengantarnya tepat di depan rumah itu. Menurut Aluna, pria itu sangat ramah dan murah senyum, membuat Aluna juga membalas setiap senyuman Ryan dengan baik.
"Dan kau?" tanya Ryan begitu perempuan itu hendak membuka pintu mobil.
"Aluna Ariana," jawabnya.
"Nama yang indah."
Aluna hanya bisa tersenyum menanggapinya. Ia tak terlalu hebat dalam merespon pujian sehingga ia hanya bisa merona tanpa membalasnya.
Aluna akhirnya turun dari mobil itu diikuti oleh Ryan. Aluna memandang rumah indah itu dengan miris. Sebenarnya ia ingin sekali berlari pergi jauh dari rumah itu dan mungkin takkan kembali lagi mengingat rumah itu hanya menyakitinya saat ia menginjakkan kakinya itu.
Namun, di tengah-tengah pelariannya tadi, ia mengingat perkataan ibunya saat di hari pernikahannya
'Kau akan menjadi seorang istri, Aluna sayang. Kau harus menjadi istri yang baik dan setia pada suamimu tak perduli apapun yang terjadi. Setiap rumah tangga bahagia pasti memiliki hambatan. Kau harus kuat menerimanya. Tetaplah berada di sisi suami karena Ibu sangat percaya, Louis sangat mencintaimu.'
Aluna sadar, ia telah berjanji di depan tuhan dan keluarganya bahwa ia akan terus berada di samping suaminya dalam keadaan apapun; sakit, sedih, bahagia, cinta, maupun benci. Ia harus bertahan dan mempertahankan rumah tanggannya. Itulah kenapa ia mengurungkan niatnya untuk lari sejauh mungkin dari masalahnya. Ia harus berusaha mencoba melaluinya, bukan menghindarinya.
"Rumah yang cukup indah.
Suara Ryan terdengar kembali di samping Aluna, membuatnya berbalik menatap pria itu dengan senyuman kecilnya. Rumah itu memang indah. Sangat indah. Aluna juga sangat menyukai rumah mewah itu. Bukan karena harga atau tampilannya, karena banyak kenangan indah di sana.
"Rumah itu terlalu indah dan besar untuk kau tinggali sendiri, bukan? Jadi, kau tinggal bersama siapa? orang tua? saudara? keluarga? kekasih atau teman—"
"Dari mana saja kau? Kami kelaparan."
Jawaban Aluna pun tertelan begitu saja kembali ke tenggorokannya begitu ia menyadari bahwa Louis telah menatapnya tajam bersama Victoria yang memakai gaunnya. Gaun miliknya yang Louis pernah belikan sebagai hadiah untuk perayaan pernikahannya bersama Louis di bulan pertama.
"Maaf aku, tadi kehujanan sehingga aku berteduh sebentar," jawab Aluna sedikit berbohong.
Ryan yang entah kenapa melihat raut kesedihan yang memancar jelas di raut wajah cantik Aluna pun mengernyit tak suka mendengar nada tajam nan datar pria itu. Ia sungguh tak suka melihat wajah itu memelas sedih.
"Dan siapa kau?" Suara tajam setajam mata elang itu pun beralih pada Ryan.
"Kami baru saja berkenalan. Aku tadi melihatnya kehujanan jadi memberinya tumpangan," jawab Ryan tanpa mengatakan soal kecelakaan kecil tadi. "Lalu siapa kau?" ucap Ryan tak kalah tajamnya.
Wajah Aluna membuatnya benar-benar seperti melihat Julie-nya, sehingga secara tak langsung, Ryan berbicara dengan nada yang seolah Aluna miliknya. Namun, setelah melihat wajah Louis, Ryan merasa familiar tapi ia lebih memilih memendamnya daripada mempertanyakannya pada pria itu.
"Aku teman serumahnya dan ini kekasihku, Victoria," kata Louis yang sebenarnya tidak terlalu diperdulikan oleh Ryan karena pria itu lebih sibuk melihat wajah tersakiti Aluna sekali lagi, setelah mendengar kalimat Louis.
Aluna sungguh terluka mendengar jawaban Louis yang tak menganggapnya sebagai istrinya. Rasa sakitnya melebihi ucapan menyakitkan Louis sebelumnya. Bahkan pria itu lebih memilih memperkenalkan Victoria daripada dirinya. Sungguh, rasanya ia ingin sekali membenci pria yang sangat ia cintai itu. Namun, sayangnya ia tak bisa. Ia terlalu mencintai Louis.
"Kalau begitu, aku pergi, Aluna," sahut Ryan tak memperdulikan tatapan tajam Louis yang begitu mengintimidasi. "Aku harap kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti, Aluna."
Secara spontan Ryan mengacak-acak lembut pucuk kepala Aluna, itu adalah kebiasaannya saat ia akan berpisah dengan Julie dulu. Itu adalah bentuk perlakuan bahwa ia sangat menyayangi Julie. Louis yang melihat itu, hanya mengernyitkan matanya sedikit tak suka.
Mobil mewah itu pun berjalan dan perlahan pergi menghilang dari sekitar rumah itu. Meninggalkan Aluna bersama Louis dan Victoria, membuat perasaan Aluna semakin kalang kabut menghadapi dua orang itu. Ia persis seperti orang tertindas yang menghadapi dua orang yang selalu menindas dan menyakitinya. one versus two, benar-benar tak adil. Hanya Aluna yang berdiri di sisinya sendiri.
"Aku rasa kau sedang mencoba merayu lelaki kaya sepertiku," desis pria itu tanpa melepaskan tatapan tajam yang sedikit menggelap pada Aluna. Entah kenapa tatapan itu terlihat begitu geram.
"Louis!" jerit Aluna memperingatkan bahwa kata-kata Louis benar-benar keterlaluan. Secara tak langsung Louis seolah menggambarkannya sebagai perempuan murahan yang hanya menggoda lelaki-lelaki kaya.
Kenapa pria itu begitu kejam? Kenapa Louis harus terlihat semarah itu? Apa Louis marah karena ia menghilang atau pria itu marah karena ia pulang bersama seorang pria asing? Atau lebih menyedihkannya, pria itu marah karena tak ada yang memasak?
"Sudahlah, lupakan," kata Louis enteng, "Kami mau keluar dulu. Kami lapar."
Ya, dia marah karena tak ada yang memasak makan malam. Louis tak mencemaskannya sama sekali, batin Aluna tersenyum miris. Aluna hanya bisa terdiam. Semua berubah begitu cepat. Pernikahan indahnya berubah menjadi neraka penuh siksaan. Begitu menyakitkan untuknya.
Louis dan Victoria melangkah pergi, meninggalkan Aluna yang seperti biasa hanya bisa mematung di tempatnya. Hingga punggung dua orang itu benar-benar menghilang dari penglihatannya menyebabkan air mata yang sejak tadi ia tahan tumpah begitu saja.
"Lou." Tubuh Aluna merosot dan terduduk di tanah kotor yang masih basah itu. Meratapi nasibnya sebagai seorang istri yang sudah tak di pandang lagi oleh suaminya sendiri.
***
"Akh!"
Aluna memekik kecil saat pisau itu menyayat sedikit permukaan ibu jarinya yang mulai mengeluarkan beberapa tetes darah segar.Malam ini, untuk pertama kalinya ia memasak tanpa tujuan selain mengenyangkan perutnya sendiri. Biasanya ia selalu memasak untuk seseorang, selain dirinya sendiri.
Dulu ia sering memasak untuk ibunya, beberapa minggu yang lalu ia masih memasak dengan riang untuk suaminya dan sekarang ia harus memasak dalam kehening rumah mewah itu, sendirian. Ia bahkan tak tahu untuk siapa ia memasak makanan itu sekarang, ia sendiri bahkan tak punya nafsu makan karena memikirkan Louis dan Victoria yang sekarang sedang melakukan makan malam berdua.
Aluna segera membersihkan darah pada lukanya dan menempelkan plester kuning bermotif dinasaurus-dinasaurus yang lucu. Ia kemudian terduduk di meja makan itu masih dalam keadaan sendiri di tengah-tengah ruangan besar itu.
Rasa hangat yang biasanya menyelimuti ruangan-ruangan di rumah itu, lenyap entah ke mana digantingkan suasana dingin mencekam yang membuat Aluna rasanya ingin menangis. Rasanya ia sangat ingin menghilang bersama suasana hangat itu. Suasana dingin rumah itu benar-benar seolah menambah kesan betapa menyedihkannya dia.
Aluna kembali meneteskan setetes air mata. Namun, ia segera menghapusnya dengan kasar begitu ia menyadari bahwa ia tak boleh menangis di depan makanan buatannya yang lezat. Cukup dirinya saja yang tidak dihargai, jangan makanan lezat itu.
Ia juga merasa ia tak patut menangis sekarang. Sekarang ia harusnya berdoa dan berjuang. Berjuang untuk rumah tangganya yang di ambang batas kehancuran ini. Ia sudah menjadi seorang istri dan istri sudah sepatutnya untuk ikut membimbing suaminya yang khilaf.
Ia tahu, ia sangat tahu bahwa cinta untuknya masih ada di dalam hati suaminya yang kelam tertutupi dan dibutakan oleh masa lalu yang susah untuk ia hilangkan. Ia akan tetap menjadi istri yang berbakti pada Louis, tak perduli hambatan apa yang ia lalui, ia harus tetap berdiri di samping suaminya dalam keadaan apapun.
Itulah tujuan seorang istri. Berada di sisi suaminya tak perduli apapun yang terjadi, ia harus memberikan dirinya hanya untuk suaminya selamanya. Karena pernikahan adalah perkara serius yang harus ia pertahan sekarang. Bukan sekedar hubungan yang tak erat tanpa janji. Ia hanya perlu menguatkan dirinya mulai sekarang.
***
Aluna terdiam di atas kasur di dalam kamarnya yang masih terang benderang. Ia tak bisa berbohong kalau ia tak mengantuk sama sekali. Hari ini ia begitu lelah setelah pergi ke rumah Dana sepulang dari rumah sakit. Namun, rasanya ia tak bisa tidur nyenyak begitu saja sebelum suaminya pulang, apalagi jam sekarang menunjukkan pukul sepuluh malam semalam.
Sayangnya, mata Aluna mengkhianatinya. Matanya perlahan tertutup sehingga membawa Aluna terlelap dalam tidurnya. Kamarnya yang tetap terang karena lampu yang belum mati, tak membuat mata Aluna bertahan lebih lama. Hingga beberapa jam kemudian matanya kembali terbuka saat suara yang pintu kamar yang di buka. Ia sangat bersyukur melihat Louis telah pulang walaupun pria itu terlambat, sekarang sudah jam dua belas malam lewat.
Aluna ingin menyapa Louis tapi ia urungkan begitu melihat suaminya itu tidak berjalan ke tempat tidur mereka. Melainkan berjalan ke arah lemari. Aluna pun semakin mengernyit tak mengerti mulai menyalakan tanda alarm peringatan yang berbunyi di dalam pikirannya, saat ia melihat Louis membuka lemari pakaian mereka dan mengambil semua baju di dalamnya. Semuanya, baju kantor, jas, dasi, dan bahkan kaos rumah yang sering Louis pakai pun ia keluarkan dari lemari itu dan ia tumpuk dalam gendongannya.
Aluna tak bisa terus merebahkan tubuhnya melihat itu. Ia bangkit dan duduk dengan tak sempurna di tempat tidur itu. Ia bahkan tak sempat memakai selimut saat tertidur tadi.
"Lou?" panggil Aluna membuat Louis sadar bahwa istrinya itu terbangun. "Kau mau apakan baju-bajumu itu?" tanya Aluna yang tak bisa menerka-nerka akan baju itu.
Terdengar Louis menghela napas kasar tanpa berbalik pada Aluna, "Aku akan memindahkannya ke lemari lain," jawab Louis datar masih merapihkan baju-bajunya.
"Lemari lain?" tanya Aluna serak karena ia masih belum benar-benar terbangun segar dari tidur singkatnya malam ini.
"Lemari kamar tamu."
Aluna tertegun. Kamar tamu? Itu adalah kamar yang di tempati oleh perempuan itu, Victoria. Untuk apa Louis memindahkan bajunya ke sana? Kenapa Louis memindahkannya ke lemari yang sama dengan perempuan itu?
"Mulai malam ini aku akan tidur di kamar tamu..." tambah Louis yang membuat tubuh Aluna semakin menegang tak tenang, "...bersama Vic. Mulai saat ini aku ingin tidur bersama Vic."
Vic? bahkan Louis kembali memanggil perempuan itu dengan sebutan Vic? Louis dulu pernah bercerita padanya bahwa Vic adalah panggilan kesayangan Louis untuk mantan kekasihnya itu, maksudnya kekasihnya—lagi—itu. Apa Louis benar-benar kembali terjerat oleh perempuan itu? Mengingat Louis memang suka memendekkan nama orang yang dia sayangi. Seperti dirinya dulu, yang selalu Louis panggil dengan nama Luna.
Aluna hanya bisa terrdiam kembali di tempatnya. Ia tahu jika ia merespon kalimat itu, bisa-bisa ia menjerit histeris menangisi suaminya yang telah berpaling pada perempuan yang jelas-jelas berstatuskan selingkuhan terang-terangan Louis itu.
Saat suara dentuman pintu yang di tutup tanpa perasaan itu berbunyi di setiap rongga ruangan kamar besar itu, air matanya pun itu jatuh lagi untuk kesekian kalinya di hari ini. Louis, pria itu meninggal Aluna yang kini terlihat seperti sampah yang teronggok di atas tempat tidur itu sendirian.
Aluna akhirnya meringkuk seperti janin bayi di tengah-tengah di atas tempat tidur berukuran besar itu sendirian, semalaman, menangis hebat, tetapi tanpa suara. Seakan ia begitu malu mengeluarkan suara tangisnya untuk didengar oleh orang lain. Ia bahkan menutup erat mulutnya dengan kedua tangannya agar isakan pilu itu tak keluar dari tenggorokannya. Karena ia tahu, tangisannya hanya akan ditertawakan di luar sana. Tak ada satupun orang yang mengasihaninya di luar.
Jangan menyerah Aluna. Perjuangkan cinta pertamamu, cinta sejatimu, cinta tulusmu itu. Percayalah, Louis dan kau telah ditakdirkan bersama. Ini hanya hambatan kecil. Berjuanglah, Aluna... hingga titik batasanmu, bisik suara optimis yang mengiang di dalam pikirannya, seolah berusaha memberikannya semangat.
Dan malam itu, Aluna menangis semalam hingga rasa kantuk yang hebat yang menghentikannya saat subuh menjelang. Ia bahkan belum menyalakan AC kamar itu, tapi rasanya ruangan itu berubah menjadi begitu dingin, sangat dingin, tanpa ada sepasang tangan yang sering merengkuh dan menghangatkan tubuhnya seperti malam-malam bahagia yang pernah ia lewati.
"Louis..." gumam lirih Aluna yang kemudian menutup matanya perlahan karena kantuk, membuat sebuah bulir air mata terakhir untuk malam itu, jatuh membasahi seprei sutera tempat tidur tersebut.
To be continue...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top