After Love Part 4

Mendengar nama pasangan Tuan dan Nyonya Louis Hendrick, kawasan asri itu akan teringat akan sepasang suami istri yang sangat romantis. Sepasang suami istri itu selalu terlihat bersama dan menempel dengan erat seolah mereka akan mati jika keduanya terpisahkannya. Sudah menjadi tontonan yang hangat dan membawa senyum jika melihat sang suami mengecup dahi sang istri di halaman rumah jika sang suami itu akan pergi atau keluar dari rumah.

Louis sekarang tengah sibuk-sibuknya mengurus perusahan ayahnya yang sedang benar-benar berkembang pesar. Sedangkan Aluna, dia tengah sibuk bekerja sebagai salah satu perawat yang paling diandalkan di rumah sakit swasta milik yang masih di kelola oleh keluarga Louis.

Jarak tempat kerja yang sedikit jauh dan jadwal siang yang padat tidak membuat mereka terganggu dan mengurangi kebersamaannya sebagai suami istri yang saling mencintai. Mereka selalu berusaha menyempatkan diri kapan pun yang mereka bisa untuk saling melepas rindu dan memberi kabar tentang keadaan mereka masing-masing saat bekerja.

Semua berjalan begitu harmonis sehingga tak ada yang menyangka bahwa setiap rumah tangga yang bahagia seperti itu akan tertimpa oleh bencana yang akan menguji rasa cinta mereka.

***

Hari ini Aluna pulang lebih cepat dari jam kerja biasanya. Jika biasanya ia pulang jam sua siang, sekarang Aluna meminta izin untuk pulang sejam lebih awal dari rumah sakit.

Hari ini genap dua bulan umur pernikahannya bersama Louis, suami tampan yang begitu ia cintai. Ia sengaja pulang lebih awal untuk berkeliling dan berbelanja di supermarket untuk membeli bahan-bahan makanan kesukaan Louis. Ia berniat untuk memasak semua makanan yang Louis sukai tanpa terkecuali.

Butuh waktu beberapa jam hingga semuanya jadi dengan sempurna. Ia cukup bersyukur karena masakannya yang selalu Louis puja, selesai tepat jam lima sore. Jam lima sendiri adalah jam pulang kantor Louis.

***

Empat jam berlalu. Jam dinding mulai menujukkan jam sembilan lewat dua puluh menit dan jam itu terus berdetak tanpa adanya tanda-tanda kemunculan suaminya.

Benar-benar aneh, pikir Aluna. Louis tak pernah pulang selarut itu. Bahkan saat paling larut pun dulu, Louis pulang jam delapan malam karena beberapa masalah di kantornya. Bagaimanapun pria itu selalu mengutamakan Aluna yang menunggunya di rumah, jadi jarang ada hal yang berhasil menahan Louis begitu lama di luar.

Ting tong! ting tong! ting tong!

Suara bel rumah yang terdengar tak sabaran itu pun menyadarkan Aluna dari kebingungannya hingga melamun di meja makan.

Dengan perasaan riang, Aluna segera berlari antusias ke arah pintu utama. Ia begitu yakin bahwa itu adalah pria tampannya yang telah pulang ke rumah mereka. Memangnya siapa lagi yang akan pulang?

"Lou?" Aluna terdiam di sana setelah membuka pintu rumah itu.

Seketika rasa sakit yang tak kasat mata dan tak terdefinisikan menghantam rongga dada saat ia melihat suaminya, Louis menggendong seorang perempuan yang tampak tak sadarkan diri di atas kedua lengan yang sering Louis gunakan untuk memeluk Aluna setiap malamnya. Bahkan perempuan itu berpakaian minim seperti perempuan klub.

Tak sampai di situ, Louis juga langsung memasuki rumah itu tanpa sepatah kata pun. Tak ada ciuman selamat datang penuh kerinduan, yang ada hanya melewati perempuan itu seperti udara.

Aluna terdiam cukup lama di depan pintu dengan tatapan bingung dan sedikit kecewa. Ia berusaha memahami apa yang sedang terjadi saat ini. Namun, sebelum mendapatkan jawaban untuk siatuasi itu, terdengar suara Louis memanggilnya dengan cukup lantang. Membuat perempuan itu sedikit terbirit mendatangi tempat asal suara Louis.

Aluna segera menahan nafasnya dengan sedikit perasaan nyeri saat melihat perempuan yang tak sadarkan diri itu sudah berada di kamarnya, di atas tempat tidurnya, di sisi bagian tempat Aluna sering tidur bersama Louis. Aluna benar-benar tak menyangkan bahwa Louis akan tega menidurkan perempuan lain di atas tempat tidur mereka yang merupakan area pribadi Louis dan Aluna.

"Ambil balsem aroma terapi." perintah Louis tanpa mengalihkan wajah dan tatapannya dari perempuan yang tampak tak sadarkan diri karena mabuk. Terbukti dari aroma alkohol yang yang menguar dari diri perempuan itu.

"Apa? Dia kenapa?" Aluna bergeming tak mengerti di ambang pintu. Ia masih belum mengerti situasi ini. Ada begitu banyak pertanyaan berterbangan di dalam kepalanya seolah berusaha ingin keluar.

"Dia mabuk. Aku menemukannya di klub malam sudah seperti ini," jawab Louis acuh. "Sekarang tolong balsemnya, Aluna!"

Apa?! Klub malam?! sejak kapan Louis pergi ke tempat seperti itu?! pikir Aluna kalut. Begitu banyak hal yang membingungkan yang menabrak pikirannya sehingga ia hanya bisa mematung di tempatnya.

"Aluna! Balsem! Sekarang!" perintah ulang Louis masih memandangi wajah perempuan itu bahkan memegang kening perempuan itu lama. Namun, nadanya menyiratkan perintah tegas dan sedikit amarah. Aluna semakin tertegun saat mendengar Louis memanggil namanya seperti itu. Mengingat Louis selalu memanggilnya Luna atau Sayang.

"Tapi—"

"Aku bilang ambil balsem!!! Apa kau tuli, huh?!!" reriak Louis yang akhirnya memandang Aluna yang terperanjat di tempatnya.

Aluna benar-benar tertegun dengan kata-kata Louis. Dua tahun lebih dia mengenal Louis dan ini pertama kalinya sejak mereka bertemu pria itu membentak Aluna dengan nada yang begitu tinggi. Hal itu pun membuat Aluna semakin membeku, tak tahu harus berbuat apalagi.

"Baiklah! biar aku sendiri yang mengambil!" pada akhirnya Louis mendengus kesal saat melihat perempuan itu tetap berdiri mematung di ambang pintu. Louis pun bangkit dan melewati perempuan itu sekali lagi seperti udara. Bahkan Louis menyempatkan diri menggerutu di dekat Aluna saat ia melewati perempuan itu. "Begitu saja tak bisa."

Air mata Aluna sukses terjatuh dengan mulus dalam diamnya. Ia tak terisak maupun meraung sedih. Ia hanya berdiri tertegun di ambang pintu kamar besar itu dengan air mata yang terus mengalir menyedihkan.

Itu adalah air mata kesedihan pertama yang Aluna keluarkan karena Louis. Dan entah kenapa ia merasa itu bukanlah yang terakhir.

***

Paginya Aluna terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa nyeri dan kaku. Bagaimana tidak? Perempuan itu semalam penuh tidur di sofa yang berada depan televisi karena ia tak mau tidur dengan perempuan yang saat ini masih ada di dalam kamarnya itu.

Bahkan Louis juga ada di dalam sana! Terus mengompresi dan memberikan balsem aroma terapi pada pelipis perempuan itu. Dan itu terlalu menyakitkan untuk Aluna agar tetap di kamar itu, menyaksikan bagaimana wajah khawatir suaminya pada perempuan lain secara terang-terangan di depan wajahnya seolah-olah Aluna tak ada di dalam kamar mereka. Dan dia terlalu pengecut untuk kembali melihatnya.

Aluna kembali merasakan nyeri di dadanya setiap mengingat dan melihat kejadian itu. Sebenarnya siapa perempuan itu? Ingin rasanya ia meminta jawaban dari Louis tapi pria itu selalu mengacuhkannya dengan dingin sejak semalam. Dan itu benar-benar menyakitinya.

Pasti Louis punya alasan sendiri melakukan semua itu. Dan Aluna hanya bisa harap alasan itu cukup bagus dan memuaskan hatinya.

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Aluna segera berjalan ke dapur untuk memasakkan sarapan pagi untuk suaminya. Ia tak mau maag suaminya kambuhnya hanya karena terlambat makan sedikit pun.

Tak melihat tanda-tanda Louis, Aluna memutuskan untuk menyantap makanan itu sendiri terlebih dahulu mengingat ia hanya makan siang sedikit kemarin karena menunggu Louis untuk makan malam bersama.

Makanan itu turun ke tenggorokannya dengan rasa yang hambar. Mungkin bagi orang lain itu sangat lezat tapi bagi Aluna, makan pagi tanpa Louis di sisinya begitu hambar hingga ia merasa ia hanya memakan nasi saja tanpa lauk. Pikirannya begitu kacau di penuhi hal-hal negatif yang ia takutkan terjadi.

Hingga akhirnya terdengar suara pintu kamar mereka yang terbuka. Aluna kembali menahan nafasnya sebentar saat melihat suaminya dan perempuan itu keluar dari kamar bersama, Louis pun terkadang tampak membantu perempuan yang sempoyongan itu berjalan, sehingga Aluna merasa bahwa merekalah sepasang suami istrinya dia hanyalah juru masak rumah itu.

"Aluna, untuk beberapa minggu ke depan, dia akan tinggal di sini," kata Louis langsung tanpa basa-basi selamat pagi atau ciuman selamat paginya seperti biasa.

"Maksudnya?" Aluna kembali bisa merasakan matanya memanas, siap untuk menangis lagi. Ya tuhan, kemana perginya keluarga harmonisku, jeritnya dalam hati.

"Dia temanku sekarang dan dia tak punya tempat tinggal lain untuk saat ini. Dia yatim piatu dan semalam tunangannya meninggalkannya sehingga ia minum banyak alkohol hingga pingsan. Jadi dia akan tinggal di sini hingga waktu yang belum tentu," tegas Louis yang langsung memakan masakan Aluna tanpa banyak bicara lagi. Seolah ia tak meminta persetujuan istrinya, melainkan hanya memberikan informasi.

Mata Aluna yang menyiratkan kesedihan mendalam pun beralih pada perempuan cantik yang belum berbicara sama sekali sejak tadis. Perempuan itu pun menyadari bahwa tatapan Aluna seolah menayakan dirinya. Dengan senyum yang tampak cantik namun menyembunyikan kesan misterius, dia mulai bersuara dengan tajam.

"Aku Victoria. Senang berkenalan denganmu."

Aluna menegang di tempatnya. Tidak mungkin. Victoria yang itu. Tiba-tiba saja kepalanya berdenyut mengetahui kepastian yang ada di hadapannya sekarang. Ia berharap ini benar-benarlah bukanlah pertanda buruk.

"Maaf atas ketidaknyamanannya," tambah perempuan itu masih dengan senyumannya yang terlihat aneh.

Tubuh Aluna serasa berubah menjadi agar-agar. Begitu lemah. Ia sangat tahu bahwa Victoria yang ada di hadapannya sekarang adalah Victoria yang itu. Namun, apa maksud Louis membawa pulang dan membiarkan perempuan yang pernah menjadi kekasih yang sangat ia cintai itu menginap di rumah mereka? Apa mereka kembali bersama dan berselingkuh di belakang Aluna? Atau memang mereka hanya berhubungan sebagai teman yang saling perduli sekarang?

Aluna menggeleng samar. Ia mempercayai, Louis. Ia mempercayai bahwa suaminya takkan melakukan hal rendah bernama perselingkuhan. Bagaimanapun pria itu sudah berjanji dan ia mempercayai janji itu sampai ia tahu bahwa ia janji itu sebenarnya mungkin tak patut ia percaya.

Aluna menghela nafas kasar. Tak ada pilihan lain. Aluna yang notabene seorang anak yatim yang tak pernah merasakan kasih sayang ayah pun tergugah. Kehilangan adalah hal yang paling menyakitkan. Ia juga tak tega membiarkan perempuan itu berkeliaran di kota sebesar ini tanpa siapapun. Setidaknya hingga kehidupan perempuan itu membaik.

"Ya, tak masalah." balas Aluna dengan senyuman manisnya yang begitu tulus. Walau masih ada jarum kecil yang membuat hatinya terasa janggal sekaligus nyeri.

***

Hari demi hari berlalu hingga dua minggu berlalu saat Victoria mulai hidup di antara Louis dan Aluna. Semua tampak normal. Louis dan Victoria benar-benar terlihat seperti teman dekat, teman yang sangat-sangat dekat.

Louis selalu memperhatikan Victoria tanpa pria itu menghilangkan perhatiannya pada Aluna hanya dalam beberapa hari. Hingga perlahan-lahan. Perhatian itu mulai benar-benar hilang darinya dan terkumpul pada diri Victoria. Perempuan yang memang menurutnya memiliki kecantikan yang jauh lebih darinya.

Tak ada lagi Louis yang perhatian, tak ada lagi Louis yang selalu menciumnya setiap saat, tak ada lagi Louis yang memeluknya dengan posesif setiap malam, dan tak ada lagi senyum memuja yang tergambar untuknya. Sekarang ia merasa bahwa ia hanyalah istri tua yang telah usang digantikan oleh istri baru yang lebih baik darinya. Walaupun secara harfiah Aluna-lah yang paling muda di antara Louis dan Victoria.

Perlahan-lahan janji itu seperti terkikis sedikit demi sedikit. Hingga benar-benar menghilang layaknya mimpi indah yang telah pergi setelah ia terbangun ke alam nyata. Membuat sisi lemah Aluna mengusai perempuan itu. Perempuan seperti dia dari awal memang tak pantas bersama seorang pria yang seperti Louis. Ia hanya beruntung bisa merasakan pelukan pria itu selama ini.

"Apa yang kau pikirkan, Nak?" suara lembut Dana pun membuyarkan lamunannya yang sedang membantu ibunya memasak. "Kau bisa memotong jarimu sendiri jika kau memotong sayur-sayur dengan tatapan kosong seperti itu."

Aluna hari ini memutuskan mengunjungi ibunya, untuk pertama kalinya tanpa Louis. Pernikahannya yang bahagia membuatnya tak sempat mengunjungi Dana di rumah mungil tempat ia tumbuh besar. Dan itu cukup membuatnya merasa bersalah walaupun Dana terus memakluminya dengan senyuman.

Aluna pun hanya tersenyum lemah menanggapi kalimat Dana.

"Kau yakin tak apa-apa, nak? Kenapa Louis tak mengantarmu hari ini? Apa kalian bertengkar?" tanya Dana beruntut dengan cemas.

Aluna sekali lagi tersenyum lemah dengan sebuah gelengan kecil. "Tidak, bu. Louis hanya sedang sibuk," bersama Victoria. batinnya melanjut.

"Ya, itu sudah menjadi resiko menikah dengan pengusaha besar yang tampan," kekeh Dana berusaha mencairkan suasana hati putrinya. Namun yang ada, Aluna hanya menanggapinya dengan senyum miris.

Resiko? hati Aluna tersenyum masam mengulang kata itu dalam pikirannya.

***

Dengan langkah gontai dan tak berenergi, Aluna memasuki rumahnya dalam diam. Ia begitu tak bersemangat hari ini, padahal hari ini adalah hari minggu. Hari libur yang biasa ia habiskan bersama Louis seharian hingga mereka kambali berpisah untuk bekerja.

"Lou?" Aluna harus menahan nafasnya sekali lagi dan lagi, itu adalah kebiasaannya saat ia gugup, kaget, atau pun sedih.

Ia begitu kaget begitu melihat Louis dan Victoria tengah berpelukan dengan hangat di sofa depan televisi. Hati Aluna menjadi nyeri melihat itu. Biasanya Louis memeluknya seperti itu di depan televisi di hari libur ini sambil menonton film kartun kesukaan Aluna bersama.

Ya tuhan, ada apa dengan rumah tanggaku sebenarnya? jerit tangisnya dalam hati.

Louis dan Victoria pun hanya saling memandang sebentar seolah mereka berdua tak merasa bersalah mempertontonkan kemesraan mereka di depan Aluna. Victoria bahkan tersenyum—licik—seperti biasa, seolah ia menyambut Aluna dengan pisau di belakang tubuhnya, siap menikam Aluna. Sedangkan Louis, untuk pertama kalinya wajah pria itu begitu datar padanya. Seolah yang pria tatap itu bukanlah istri yang selama ini ia puja sejak pernikahan mereka.

"Kau sudah pulang?" tanya Louis basa basi. Bahkan salah satu tangan pria itu masih menempel di sekeliling pundak Victoria tanpa ada niat melepaskannya.

Aluna hanya bisa terdiam di tempatnya seolah ia tak mendengarkan apa yang Louis baru saja katakan.

"Kita perlu bicara," akhirnya tangan Louis melepas pundak Victoria membuat Aluna bersorak lega dalam hatinya. Pria itu pun berjalan mendahului Aluna masuk ke kamar mereka.

Aluna hanya bisa mengikutinya dari belakang dengan langkah kecil dan gugup akan sesuatu yang ia takuti. Entah kenapa wajah datar Louis seolah menakutinya. Perasaan buruk itupun semakin terasa saat Aluna tak sengaja melihat seringai Victoria padanya sebelum memasuki pintu kamar besar itu.

"Aluna," sahut Louis setelah mereka sudah berada di dalam kamar mereka yang dulunya begitu hangat. "Aku ingin mengatakan sesuatu."

Ke mana perginya panggilan 'Luna', 'sayang' dan 'istriku' itu sekarang? Jerit Aluna kembali di dalam hatinya yang begitu perih teriris mendengar suaminya sendiri memanggilnya seolah mereka adalah orang asing.

"Aku masih mencintainya. Kami masih saling mencintai," kata Louis datar dengan pandangan tajam seolah melarang Aluna berpendapat akan apa yang baru saja ia katakan.

Aluna seketika merasakan kehilangan detak jantungnya

"Aku masih sangat mencintainya. Dan kami memutuskan untuk kembali bersama. Kuharap kau tak mengganggu kami."

Aluna meringis dalam hatinya. Sekarang mukanya sebagai seorang istri benar-benar hilang di mata suaminya. Bahkan suaminya dengan gamblang dan terang-terangan mengatakan itu padanya seolah ia tak mengkhawatirkan jika perasaan Aluna terluka.

Tak bisakah kau memakai kata yang lebih halus dan raut yang lebih bersahabat, Lou? Kenapa kau tak bilang 'kumohon mengertilah' atau 'aku tahu ini berat untukmu' atau kata-kata lain yang mungkin terdengar halus tanpa terlalu memperlihatkan makna menyakitkan itu? Apa aku benar-benar sudah tak dibutuhkan? Apa selama ini aku hanyalah pengisi kekosongan perempuan itu di hatimu? batin Aluna dalam diam.

Aluna membungkuk kecil dengan hormat, persis seperti yg sering ia lakukan saat pertama mengenal Louis Hendrick yg menurutnya tak sederajat dengan perempuan rendahan sepertinya. Entah kenapa ia merasa begitu jauh dari Louis sekarang. Pria itu ada di hadapannya tapi ia tak bisa menggapainya sama sekali.

"Aku keluar dulu. Aku baru ingat kalau aku melupakan ponselku di rumah Ibu," bohong Aluna dengan suara yang bergetar serak seolah menahan suatu gejolak pedih di tenggorokannya. Kakinya pun dengan perlahan mulai mundur sedikit demi sedikit sambil menunduk kecil dan ia langsung berbalik pergi setelah merasakan pintu keluar kamar itu di belakang punggungnya.

Sekali lagi ia melihat Victoria menyeringai sebelum Aluna benar-benar keluar dari rumah itu dengan langkah yang cukup cepat.

Ia berbohong. Ponselnya jelas-jelas ada di saku sweaternya sekarang. Aluna bukan tipe yang teledor dan Louis tahu itu, tapi Louis tetap diam di sana. Memberikan sorot pandangan datar yang sebenarnya menyorot tidak perduli. Seolah ia memang membiarkan Aluna pergi jauh.

***

Aluna berlari. Ia terus berlari tanpa perduli bahwa semua orang sedang memandangnya aneh karena menangis seperti itu. Aluna terus berlari tanpa arah. Ia tak tahu harus berlindung dan mengadu di mana. Ia hanya butuh seseorang untuk berbagi perasaan sakit ini. Namun, ia tak tahu siapa orang itu. Orang tua Louis? Sungguh tak mungkin! Ibunya, Dana? Ia tak mau membuat ibunya ikut sedih. Seryn dan Yuri? Tidak, mereka berdua akan membunuh Louis nanti jika mengetahui kehidupan rumah tangganya yang sekarang.

Hujan rintik-rintik mulai membasahi bumi. Musim hujan tahun ini memang menyebalkan. Selalu muncul dengan tak terkira, padahal langit tadi terlihat terang.

Sekarang Aluna sudah tak berlari lagi. Ia sudah lelah berlari. Ia tahu seberapa jauh pun ia berlari, masalah itu tetap tidak akan menjauh darinya. Dengan tatapan kosong, Aluna berjalan gontai di antara semua orang yang berpayung di sekitarnya. Ia terus berjalan menjauh hingga orang-orang berpayung itu menghilang.

Aluna tak sadar bahwa ia sekarang berjalan di tengah jalan yang cukup sepi namun tidak dipastikan bahwa takkan ada kendaraan yang melintas. Semuanya terasa kosong baginya sebelum suara klakson yang sangat keras dan nyaring memecahkan keheningannya hingga membuatnya sadar dan berteriak kaget.

Ia bahkan tak punya waktu itu memindahkan kaki-kakinya yang tiba-tiba berubah mati rasa karena syok. Ia sungguh tak mau mati dengan sia-sia seperti ini. Namun, kenapa ia malah membeku seperti ini?

CIIIITTTTT!

Suara ban mengkilat itu beradu cukup keras di aspal sehingga menimbulkan suara dan asap peraduan itu di ke empat ban mobil mewah itu. Siapapun penggendaranya, dia bisa cukup diacungi jempol karena pengendara mobil itu masih bisa menguasai mobilnya di jalan licin seperti itu, hingga hanya butuh beberapa senti lagi sebelum membuat tubuh mungil Aluna terpental ke depan.

Aluna masih terdiam di tempatnya. Berjongkok dengan ketakutan memegangi kedua sisi kepalanya dan masih menutup matanya sebelum ia mendengar suara pintu mobil yang dibanting kasar dan langkah buru-buru sepatu terdengar.

"Hey! Kau gila, huh?! Kalau mau bunuh diri jangan pakai mobilku! Aku tidak mau disalahkan!" bentak suara itu di balik punggung Aluna.

Perempuan itu hanya bisa menangis dengan suara tangisan yang cukup terdengar memilukan. Dia menangis bukan karena bentakkan pria itu, ia tahu ia pantas dimarahi karena kesalahannya dan dia tak pantas menangis hanya karena bentakkan itu. Ia malah menangisi nasibnya dengan haru, ia bersyukur ia masih bisa terselamatkan.

Raut marah pria itu pun tergantikan dengan raut menyesal. Ia tahu perempuan yang hampir ia tabrak itu mungkin adalah seorang perempuan yang rapuh perasaaannya.

Mendengar tangis pilu tersebut, pria itu hanya bisa menggaruk kikuk belakang lehernya, belum lagi hujan yang masih tak terlalu reda mulai membasahinya.

"Maaf, aku tak bermaksud untuk..."

Belum sempat pria itu menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba saja Aluna berbalik dan menunduk minta maaf beberapa kali sebelum menatap pria itu dan kembali meminta maaf.

"Maaf aku yang salah. Aku sedang tak fokus," kata Aluna yang telah menghapus air matanya dalam sekejap. Meninggalkan hidung dan sekitar mata yang sedikit berwarna merah muda karena terlalu banyak menangis.

Pria itu terdiam menatap wajah cantik Aluna. Dengan sekali hentakan, ia menarik tangan kiri Aluna dengan tangan kanannya dan langsung membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Pelukan hangat dan erat. Seakan ia tak mau kehilangan perempuan itu. Lagi.

"Julie, kau masih hidup!" lirih pria itu tak percaya.

Pria itu semakin mengeratkan pelukannya pada perempuan yang berwajah pinang di belah dua dengan orang yang sangat ia cintai itu.

"Ya tuhan! Aku sangat merindukanmu, sayang!"

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top