After Love Part 32
Hi guys!
Sebelum membaca AL, cek yuk informasi tentang cerita terbaruku 'My Red Daisy'. Ceritanya di update setiap hari kamis. Untuk info lebih bisa singgah di work di akunku seperti di bawah ini ^ω^
***
Btw, tinggal satu part lagi cerita ini selesai yeay! ≧∇≦
Enjoy~
****
Hari-hari berlalu hingga dua minggu kemudian. Hari-hari Aluna serasa berseri. Sophia pun juga tetap menjadi sosok perempuan manis yang sering membantu di kafe sekaligus masih bersahabat dengan Aluna. Serta Ryan dan Selena yang akhirnya memutuskan menetap di Indonesia lebih lama mengingat kehamilan muda Selena. Kafe milik Yuri pun semakin ramai sehingga membuat beberapa pelayan kewalahan namun tetap merasa senang dengan keramaian itu. Serta juga Seryn yang baru saja melahirkan bayi yang sangat lucu.
Semua terasa berjalan kembali dengan harmonis, membuat Aluna mensyukuri setiap detik yang berlalu penuh senyuman dan tawa. Ia melihat seolah masing-masing telah mendapatkan kebahagiannya.
Namun, selama seminggu itu pula Aluna tak pernah bertemu dengan Louis. Sophia-yang sekarang bersahabat dengan Louis-mengatakan bahwa Louis sedang dalam perjalanan bisnis ke Dubai, tepat dua minggu yang lalu.
Aluna sedikit meruntuki hatinya yang begitu lemah terhadap Louis sekarang. Ia tak bisa berbohong, ia merindukan Louis. Membuat Aluna bertanya-tanya. Apa pria itu juga merindukannya?
Aluna sekarang sedang membantu pelayan lainnya untuk menyajikan makan siang itu kepada para pelanggan sebelum sebuah sosok membuat pandangan Aluna teralihkan.
"Kau mau ke mana?" tanya Aluna mengernyit heran, begitu ia telah menyajikan semua makanan dan menghampiri Sophia yang sekarang duduk di depan meja kasir.
Aluna terheran melihat sosok Sophia yang sudah terbalut dengan gaun indahnya dengan sebuah koper berwarna merah muda bermotif bunga-bunga serta sebuah tas tangan di tangan lainnya.
"Aku ingin menyusul bocah itu ke Seoul. Menurutku dia sudah benar-benar keterlaluan dengan pergi tanpa pamit dan tidak kembali juga! Dia bahkan meng-email kalian semua kecuali aku. Padahal dia sudah mencuri ciuman pertamaku! Jadi aku memutuskan, aku akan ke Seoul dan menangkap maniak pencuri ciuman pertama itu. Aku tidak mau sampai banyak perempuan lain yang menjadi korban." Sekali lagi, sosok anggun Sophia akan hilang entah ke mana saat membicarakan Jun.
"Sepertinya kau cemburu," sela Yuri yang datang dari bagian dalam dapur dengan membawa segelas jus alpukat yang sepertinya baru saja ia buat sendiri.
Sophia mendengus, membuang mukanya dengan menggemaskannya, membuat Aluna sedikit terkekeh. "Cemburu?! Huh! Aku hanya takut akan banyak perempuan di sana yang emosi sepertiku karena ciuman pertama mereka diambil oleh si Jun itu!"
"Kau tahu? Kau malah terdengar seperti seorang istrinya yang ingin menyusul suaminya yang ketahuan selingkuh di negeri lain," cibir Yuri sembari menyesap jusnya melalui sedotannya.
Aluna semakin terkekeh geli saat melihat semburat rona merah muncul di pipi Sophia yang sekarang mencoba memalingkan wajahnya. Hingga kemudian Shopia mengingat sesuatu dan menatap Aluna dengan cepat.
"Oh iya, kak Louis semalam menelpon dan menanyakan kabarmu, Kak."
"Benarkah? Dia menelponmu?"
***
"Hai sayang, Bunda datang," sapa Aluna begitu ia berdiri tepat di samping pusara itu.
Hari ini, sebelum ke kafe, Aluna memutuskan untuk singgah melihat buah hatinya. Sebenarnya tempat inilah yang menjadi tempat keluh kesah Aluna selama ini. Saat ia bahagia, sedih atau marah, ia akan datang ke sini dan berbicara di depan pusara itu. Seolah-olah bahwa anaknya yang berada di surga akan mendengarkannya melalui pusara itu.
Kemarin pun ia sudah izin pada Yuri melalui Sophia bahwa ia akan datang terlambat ke kafe hari ini untuk mengunjungi makam buah hatinya. Jadi ia tak khawatir untuk terlambat hari ini, mengingat Yuri juga memberi waktu leluasa untuknya.
Senyum Aluna yang sejak tadi mengembang dengan ceria tiba-tiba saja memudar, digantikan sebuah senyum yang tampak geli sekaligus miris. "Mungkin ini akan terdengar menggelikan tapi... Bunda merindukan ayahmu."
Ada jeda sejenak seolah Aluna menunggu respon. "Dulu Bunda bisa bertahan selama tujuh tanpanya, tapi sekarang entah kenapa, dua minggu terasa seperti dua tahun tanpanya." Aluna kemudain terkekeh, membuat siapa pun yang melihatnya akan mengira Aluna sedang gila. "Sepertinya Bunda telah benar-benar terbutakan oleh pesona ayahmu hingga bunda benar-benar merasa sangat rindu padanya."
"Sekarang dia semakin membuat Bunda merasa bersalah sejak dua minggu lalu," kata Aluna lagi pada pusara itu. "Kau tahu, saat sebelum pernikahan ayahmu itu. Bunda berjanji bahwa akan melepaskan rasa cinta ini sungguh-sungguh dan mengikhlaskan ayahmu bersama Sophia. Tapi entah kenapa saat mendengar pernikahan itu batal, rasa cinta yang hendak Bunda hilangkan malah semakin meluap."
Aluna kemudian berjongkok. Tangannya menyentuh tanah yang membentuk gundukan kecil itu.
"Sejak awal aku memang berjanji. Kalau pernikahan itu terjadi, bunda akan benar-benar melepaskan ayahmu. Namun jika sebaliknya, bunda berjanji akan memperjuangkan ayahmu kembali, tidak perduli jika orang mengatakan bunda akan jatuh di lubang yang sama. Bunda tetap tak perduli, dan bertekad akan menutupi lubang yang sama itu kemudian melewatinya tanpa halangan," Aluna kemudian tersenyum sendu. "Tapi entah kenapa, saat bunda mempunyai kesempatan besar kembali bersama ayahmu, bunda malah menolaknya. Padahal saat itu bunda benar-benar menunggu hal itu. Tapi ketakutan itu tiba-tiba saja meluap. Padahal Bunda bisa melihat dan percaya dengan pandangan cinta ayahmu."
Aluna tertawa miris sebentar. "Bunda bodohkan? Bunda melepaskan kesempatan emas hanya karena ketakutan yang belum tentu benar-benar terulang."
Pandangan Aluna yang awalnya sendu penuh kerinduan, tiba-tiba saja berubah tajam. Ia kesal sekarang. Bukan pada anaknya, tapi pada pria yang sejak tadi menjadi nama utamanya yang keluar dari mulutnya.
"Tapi ayahmu itu benar-benar keterlaluan!" Tiba-tiba Aluna berdiri tegap dengan kesal. Ia bahkan sedikit berteriak. "Bagaimana bisa ayahmu menghubungi Sophia sedangkan Bunda tidak? Ayahmu bilang dia mencintai Bunda tapi ia malah menelpon perempuan lain terlebih dahulu setelah beberapa minggu menghilang! Kenapa Ayah bodohmu itu tak menelpon langsung pada Bunda jika benar-benar ingin mengetahui keadaan bunda?! Kenapa malah menanyakan keadaan bunda pada perempuan lain?!"
"Karena Ayah takut bahwa bunda masih marah pada Ayah."
Sebuah suara dari belakang punggung Aluna, membuat perempuan itu terlonjak kaget dari tempatnya, sehingga Aluna sedikit menjerit saat mendengar selaan suara itu.
"Louis?!" mata Aluna membulat tak percaya melihat sosok yang selama ini ia pikirkan setiap saat, ada di depannya. "Ke-kenapa kau di sini?"
"Tadi pagi, aku mencarimu di kafe. Tapi Sophia bilang bahwa kau ke sini," jawab Louis kemudian memandang Aluna protes. "Lagipula aku ingin mengunjungi kuburan anakku juga, jadi apa salahnya aku datang kesini?"
Tiba-tiba saja pipi Aluna merona merah. Sejak pagi tadi? Berarti pria ini sudah berada di sini sejak awal bahkan sebelum Aluna datang ke tempat ini. Karena memang tadi Aluna sempat sedikit terlambat sampai di tempat itu. "Sejak tadi? Kalau begitu..."
Louis menyeringai melihat rona wajah Aluna yang semakin memerah malu itu. Sungguh menggemaskan. Ia kemudian mengangguk membuat wajah Aluna semakin pucat gugup. "Hmm... Aku mendengar semua, betapa kau merindukanku."
Aluna segera memalingkan wajahnya. Ia tahu wajahnya sedang merona di depan pria itu. Ia bisa merasa kedua pipinya memanas, sebelum ia kembali berbalik menatap Louis saat ia merasa rona itu sudah berangsung-angsur menghilang.
"Lalu ada apa kau mencariku? Selama dua minggu ini kau tidak pernah mencariku, lalu untuk apa sekarang mencariku?" tanya Aluna berusaha seketus mungkin.
Namun, hal itu malah membuat Louis semakin gemas akan tingkah perempuan yang ia cintai itu. Ia tahu bahwa Aluna sedang berusaha menyembunyikan rasa malu sekaligus rasa kesalnya.
Menyadari itu, membuat seringai kemenangan Louis tercetak jelas di kedua sudut bibirnya. Sehingga Aluna yang menyadari tatapan menggoda sekaligus mencemooh itu, hanya bisa mendengus kesal.
"Baiklah, kalau kau tidak mau menjawab! Aku mau pergi duluan! Aku harus ke kafe sekarang!" kata Aluna berjalan pergi melewati Louis.
Tidak secepat itu, cantik. Louis pun langsung menangkap pergelangan tangan Aluna begitu tubuh perempuan itu hendak melewatinya pergi. Mata elang Louis pun tak lepas dari mata bingung Aluna yang terlihat berbinar indah di bawah sinar matahari pagi.
"Kau tahu, sejak seminggu yang lalu, aku sangat bingung menentukan tempat yang bagus untuk melakukan ini. Tapi setelah melihatmu dan mendengar semua yang kau katakan sejak tadi, aku yakin yakin bahwa ini adalah tempat yang tepat," kata Louis membuat Aluna mengerutkan alisnya tak mengerti dengan rentetan kalimat itu.
"Tempat? Tempat untuk ap-"
Sebelum Aluna sempat menyelesaikan pertanyaannya, Louis tiba-tiba saja mengeluarkan sebuah kotak yang terbuat dari alumunium keras berwarna perak mengkilap dari saku samping celananya. Louis juga bahkan langsung membuka kotak kecil itu dan mengambil sebuah cincin dari dalam sana.
Dengan tindakan tiba-tiba juga, Louis meraih tangan Aluna dan memasangkan cincin itu di jari manis Aluna yang terdiam syok di tempatnya.
Cincin itu sangat indah. Bentuknya pun cukup bisa memukau siapa saja yang melihatnya. Lekukan dinding cincin tersebut membentuk seperti tanaman merambat dengan beberapa bentuk daun di sekitar mata berliannya, membuatnya terlihat sangat cantik di jari siapa saja.
"Maaf karena pergi selama dua minggu tanpa memberitahukanmu. Aku pergi ke Dubai saat itu," kata Louis yang terus menatap cincin yang melekat indah di jari perempuannya. "Sebenarnya urusan bisnis di sana hanyalah seminggu tapi setelah mendengar ada perancang dan pembuat cincin yang sangat terkenal di sana, jadi aku terlambat pulang."
Aluna terdiam. Ia membiarkan Louis menyelesaikan ceritanya.
"Aku menemui orang itu itu saat urusan bisnis dengan orang di Dubai usai. Aku bilang aku ingin merangcangkan sebuah cincin yang sangat spesial untuk perempuan yang spesial juga. Pembuatannya pun cukup lama, yaitu lima hari, jadi aku memilih menetap lebih lama di dubai untuk mengambilnya sendiri saat selesai nanti." Louis kemudian mengusap permukaan cincin indah itu. "Semua lekukan pada cincin ini adalah rancanganku. "
Aluna menggeleng kecil. Ia akui ia begitu sangat terpesona dengan cincin itu, tapi baginya, ini semua berlebihan. Soal membuang-buang banyak uang, Louis tidak berubah soal itu.
"Louis, ini salah. Ini terlalu berlebihan..."
"Tidak ada yang salah Aluna," sela Louis cepat. "Ini bukanlah berlebihan. Yang kuinginkan hanyalah yang terbaik untukmu. Bahkan kotak cincin untuk menyimpan cincinmu harus special hingga kau terharu dan terhipnotis untuk kembali bersamaku."
Sebenarnya bukan kotak yang cukup berat-karena terbuat dari alumunium tebal-itu yang membuatnya ingin menangis sekarang. Melainkan sebuah kalimat yang terukir sangat indah di atas permukaan kotak itu, membuat Aluna benar-benar ingin menitihkan air matanya saat ini juga.
Dipermukaan kotak itu tertulis kalimat 'Will You Marry Me?' yang memenuhi permukaannya
"Impianku satu-satunya sekarang adalah menjadikanmu kembali sebagai perempuanku. Aku hanya ingin kau yang kulihat saat terbangun di pagi hari dan juga hanya kau juga yang menjadi orang terakhir yang kuajak mengobrol saat hendak tidur," sahut Louis lirih penuh ketulusan.
"Louis."
"Aku tahu kau belum siap," sela Louis lagi dan tersenyum lembut kepada Aluna. Bagaimanapun Louis juga ingin menghargai keputusan perempuan yang ia cintai itu walau sedikit berat ia rasakan. "Tapi biarlah cincin dan kotak itu padamu. Kau bisa menjawabku kapan pun kau siap. Aku akan menunggumu."
Aluna hanya terdiam sekali lagi. Ia benar-benar tak bisa berkata-kata lagi. Semua tindakan Louis ini membuatnya bungkam seribu bahasa sekaligus ingin menangis.
"Kau tunggu di sini. Aku juga membawakan hadiah untuk anak kita." Louis kemudian berlalu menuju tempat ia memarkirkan mobilnya, meninggalkan Aluna yang sekarang masih terdiam menatap cincin indah yang ada di jarinya.
Aluna kemudian melirik pusara anaknya. Menatap seolah ia sedang berbicara melalui pandangan matanya. Aluna pun hanya bisa tersenyum saat matanya kembali menatap cincin yang tak henti ia usap dengan lembut sekarang. Ia seolah bisa melihat bagaimana tak sabarnya hingga pria itu sendiri gemas menunggu Aluna mengatakan iya untuk kembali pada pria itu.
Aluna kemudian ia melihat siluet Louis yang kembali mendekat. Aluna hanya diam di tempatnya. Melihat apa yang akan Louis lakukan kali ini dengan sebuket besar yang berisikan banyak bunga, mulai dari mawar, krisan, dan lain-lainnya.
Louis sendiri hanya tersenyum manis saat melihat Aluna melongo menatapnya. Louis kemudian berjongkok dan mengeluarkan semua bunga itu dari buket plastiknya dan menancapkan serta menidurkan bunga-bunga itu di atas tanah di depan nisan itu.
Louis tahu, ia sekarang cukup berlebihan dengan memberikan banyak bunga yang indah dan mahal hanya untuk janin yang bahkan baru berumur 3 bulan. Namun ia tak perduli jika itu hanyalah janin kecil atau bukan, dia tetaplah buah hati Louis, darah dagingnya sendiri yang sangat ia cintai, maka ia akan melakukan yang terbaik.
"Hai, sayang. Apa kau merindukan Ayah?" sapa Louis mengusap lembut nisan itu dengan senyuman khas seorang ayah pelindungnya. "Maaf karena pergi tiba-tiba. Kau pasti sangat merindukan Ayah seperti bundamu itu, kan? Tenang saja, mulai saat ini aku akan selalu berada di sisi kalian. Jadi bantulah Ayah, luluhkan hati Bunda yah, supaya Ayah dan Bunda kembali seperti dulu dan juga menebus kesalahan kami padamu, sayang. Ayah tahu kau pastijuga menginginkan ini, kan?"
Kali ini, air mata yang sejak tadi Aluna tahan, akhirnya jatuh meluncur dengan senyuman yang kembali terbit. Bahkan Aluna mulai terkekeh kecil melihat tingkah Louis.
"Benar-benar romantis, Lou," cemooh Aluna membuat Louis yang sudah berdiri hanya mengernyit kecil. "Kemarin melamarku di halaman rumah, sekarang melamarku di pemakaman, apa masih ada tempat aneh lainnya yang kau pikirkan?" kekeh Aluna dengan beberapa tetes air mata yang masih berjatuhan.
Louis tersenyum mendengar cibiran Aluna. Ia kemudian berjalan mendekat ke hadapan Aluna. "Ada tiga hal yang harus kau ketahui. Pertama, aku melamarmu di halaman rumah karena saat itu aku benar-benar sudah tak tahan ingin mengatakan semuanya. Kedua, sebenarnya aku ingin melamarmu kembali di taman tempat kita piknik tengah malam dulu. Dan ketiga, aku kemudian sadar, di sini adalah tempat yang tepat, karena di sini ada anak kita, dan aku ingin melamarmu di depannya," jelas Louis.
Air mata Aluna yang awalnya sudah mulai reda, kembali berjatuhan mendengar semua itu. Ia kemudian mengangkat tangan yang terdapat cincin di sana, tangan itu kemudian ia usapkan di rahang tegas Louis. Membuat Louis yang merasakan kehangatan itu, hanya bisa menutup matanya. Meresapi rasa nyaman yang melandanya kembali.
"Aku mencintaimu," bisik Aluna sangat pelan karena air matanya yang terus mengalir, tetapi terdengar jelas di telinga Louis.
Louis membuka matanya. Memandang Aluna dengan penuh kasih sayang. "Aku tahu," respon Louis dengan senyuman yang mengembang sempurna. "Dan kau pun tahu aku sangat mencintaimu."
Aluna ikut tersenyum lebar. "Ya, aku tahu."
"Baiklah, kalau begitu, ayo kita pulang. Kau harus kembali ke kafe, kan? Aku akan mengantarmu." Louis kemudian meraih tangan Aluna yang masih mengusap rahangnya, hendak menarik perempuan itu untuk pergi bersamanya, sebelum kemudian langkah pria itu terhenti dengan keterkejutan yang besar mendengar suara perempuan itu.
"Aku bersedia."
"Apa?" tanya Louis yang perlahan membalikkan kepalanya dan menatap Aluna.
"Aku bilang aku bersedia. Aku ingin kembali ke sisimu. Sebagai suamiku," kata Aluna yang sedikit terkekeh melihat mata elang yang sekarang membulat sempurna. "Aku akan terima semua konsekuensinya. Aku tidak peduli jika masa lalu yang kutakutkan akan terulang. Yang terpenting sekarang. Aku ingin kembali bersamamu saat ini."
Louis terdiam cukup lama hanya untuk mencerna kata-kata itu.
"Aluna, ka-kau... aku... ini bukan mimpi, kan? Katakan sekali lagi!"
Aluna mendengus. Pria itu benar-benar terlalu drama. Apakah pria itu segitu bodohnya hingga tak bisa membedakan mimpi dan bukan.
"Sudahlah, lupakan. Kau menyebalkan. Aku tidak akan mengatakan semuanya untuk kedua kalinya." Aluna yang kesal kemudian melangkah pergi, meninggalkan Louis yang masih terlalu syok di tempatnya.
Aluna berjalan pergi hingga kemudian ia menjerit keras saat sepasangan tangan kekar itu langsung membalut perutnya dengan sempurna dan mengangkat Aluna bahkan memutarnya di udara.
"Aku mencintaimu, Aluna Ariana!!! Aku bersumpah akan membuatmu bahagia hingga akhir khayatku kali ini!!" teriak Louis penuh kebahagian terus mengangkat dan memutar tubuh Aluna dengan begitu bahagianya.
Membuat Aluna mau tak mau tertawa bahagia dalam jeritannya.
***
"Kami akan merestui kalian dengan satu syarat." Ryan mengacungkan terlunjuknya langsung ke depan hidung Louis. Menantang Louis yang biasanya akan selalu terlihat arogan, kecuali saat ini.
Louis awalnya mengira bahwa hal yang perlu ia lakukan sekarang hanyalah menyiapkan semua pernikahan itu. Namun, Louis langsung bergidik saat Aluna mengatakan harus meminta restu kepada ibu angkatnya serta Ryan dan juga istrinya, jika benar-benar ingin menikahi Aluna.
Louis bahkan sangat ingat bagaimana Ryan pernah membuatnya terbaring selama seminggu di samping Aluna yang koma karena pria itu memukulinya. Dan sekarang ia harus kembali bertemu dengan Ryan. Walaupun dalam hal beladiri ia yang terbaik, tapi ia tak mungkin memukul kakak angkat Aluna. Bisa-bisa Aluna menarik kata-kata bersedianya jika ia membalas Ryan.
Dan di sinilah Louis malam ini. Berada di hadapan tiga orang yang sekarang menjadi keluarga Aluna, yaitu ibu Ryan, Ryan. serta perempuan yang ia ketahu bernama Selena. Mereka sedang bersedekap, menatapnya sengit.
Ketiganya bahkan tak membiarkan Louis duduk dan hanya boleh berdiri seperti anak yang dihukum ayahnya sekarang. Sedangkan Aluna hanya duduk di sofa yang sedikit jauh dari mereka karena Aluna dilarang mendekat dan membantu Louis sekarang.
"Apapun syaratnya, akan aku lakukan," jawab Louis tegas.
Ryan hanya mendengus kecil mendengar pernyataan yang terdengar sok keren bagi Ryan itu, sebelum kemudian ketiganya tampak saling berbisik selama beberapa detik hingga kemudian ketiganya mengangguk pasti.
Lalu yang Louis dan Aluna tangkap sekarang adalah Selena yang berdiri dari duduknya mendekat ke Louis. Berjalan dengan pasti ke arah Louis yang masih berdiri tegak di tempatnya.
"Apa kabar, kakak ip...Akkkhhh!" Louis yang mencoba memberi kesan baik dengan menyapa Selena, terkejut karena kalimatnya terpotong begitu saja saat Selena melayangkan telapak tangannya dengan posisi mendatar sehingga Selena seolah baru saja menjadi algojo yang memotong leher Louis dengan tangannya sebagai pedang.
Bahkan Aluna yang melihat itu hanya bisa meringis ngeri dengan kelakuan kakak iparnya. Louis pun hanya bisa terbatuk-batuk memegangi lehernya, wajahnya bahkan sampai memerah karena serangan itu.
Sedangkan Selena hanya tersenyum sinis sebelum menatap tajam Louis. "Awas jika kau sampai menyakiti Aluna lagi, atau aku akan menggunakan pedang sungguhan! Tuan Hendrick! Huh!"
Louis kemudian menatap was-was saat Selena berlalu, digantikan ibu Ryan yang berdiri lalu berjalan mendekatinya. Dengan lucunya, Louis menatap waspada sembari melindungi lehernya, mengingat kemungkinan besar ia akan mendapatkan jatah kedua.
PLAKK! PLAKK!
Dan benar saja. Ibu Louis melayangkan dua tamparan beruntun di pipi kanan dan kiri Louis. Membuat Louis meringis frustasi. Seharusnya ia melindungi pipinya juga!
Kemudian ibunda Ryan tersenyum manis dan hangat, membuat Louis tertegun melihat tatapan yang langsung berubah 180 derajat itu. Bahkan ibunda Louis langsung memeluk hangat Louis yang hanya bisa dengan canggung sekaligus waspada membalas pelukan itu.
"Jika kau butuh es batu, kau bisa ambil di kulkas," kata ibunda Ryan dengan lembut kemudian ikut berlalu pergi, membuat Louis semakin melongo di tempatnya.
Aluna sendiri sudah terkikik geli di tempatnya. Kemudian yang membuat Louis semakin bergidik saat Ryan yang kali ini berjalan mendekat. Louis pun dengan sigap melindungi lehernya dan sedikit menjauhkan wajahnya ke belakang untuk mewanti-wanti jatah selanjutnya.
"Ugghhhh!"
Sebuah tinju dari kepalan tangan besar Ryan, langsung mendarat seperti rudal tepat di perutnya, membuat Louis spontan memegang perutnya yang kesakitan hingga ia sedikit menunduk. Ryan kemudian mendekat dan membisik pada Louis dengan senyum penuh kemenangan.
"Selamat datang, adik ipar," kata Ryan tak bisa bisa menyembunyikan senyuman kepuasaanya menghajar Louis hingga wajah tampan pria itu semakin memerah menahan sakit.
"Ugghhh!"
Bahkan saat hendak berlalu, Ryan kembali meninju di tempat yang sama, membuat Louis yang kembali merasakan sakit dua kali lipat di tempat yang sama, sehingga ia jatuh berlutut memegang perutnya.
Ketiga orang itu pun hanya bertos ria di belakang Louis, sedangkan Aluna sekarang meringis kecil melihat tingkah brutal para keluarga angkatnya. Dengan perasaan menyesal dan kasihan, Aluna menghampiri Louis.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Aluna yang sekarang berjongkok di depan dengan cemas.
Dengan pandangan polos, Louis memandang manja Aluna dengan wajah yang masih memerah menahan rasa sakit hingga ia sedikit menahan nafasnya. Dan kalimat manja yang diucapkan Louis selanjutnya pun, membuat ketiga orang di sana tertawa terbahak-bahak penuh kepuasaan.
"Aku rasa lambung terbagi dua."
To be continue...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top