After Love Part 29

Jangan lupa untuk vote dan comment. Thank you~

Media : Potrait of You - CHEN

***

Yuri terdiam di tempatnya menatap Aluna yang tampak begitu cantik dan manis di balik balutan gaun putihnya itu. Namun, yang membuat Yuri terdiam sebenarnya adalah gaun itu. Yuri hapal betul gaun itu karena saat pernikahan Aluna dulu, Yuri terus-terusan mengelus dan memuji gaun Aluna saat itu.

Yuri sedikit mengernyit melihat ada sesuatu yang berubah derastis dari gaun itu. Ia kemudian membulatkan matanya tak percaya saat ia mulai menyadari apa yang berbeda dari gaun itu.

"Sial, kau memotongnya?!" pekik Yuri tak percaya membuat beberapa pelanggan ikut memandangnya heran kehebohannya.

Dengan wajah polos, Aluna menatap turun gaun yang melekat di tubuhnya lalu kemudian menatap Yuri yang tampak kaget dan mengangguk membenarkannya. Ia tersenyum lebar pada Yuri yang hanya bisa menatap terperangah.

"Apa kau tahu harga gaunmu itu? Louis bahkan memesannya langsung dari seorang desainer terkenal! Bahkan kudengar kainnya terbuat dari bahan terbaik! Dan kau memotong gaun indah nan mahal itu seperti pesawat kertas? Woah, Aluna. Kau memang hebat," kata Yuri menggeleng-geleng dengan mata yang tetap membulat tak percaya.

Aluna terkekeh melihat Yuri. Sejak dulu Yuri tak berubah, sahabatnya itu tetap mengangumi gaunnya seperti biasa.

"Habisnya jika tak kupotong, akan terlihat sangat jelas bahwa ini adalah gaun pernikahan. Kalau orang lain tahu, akan akan malu karena memakai gaun pernikahan di pernikahan orang lain," kekeh Aluna seperti menertawai dirinya sendiri.

Yuri sekali lagi hanya bisa terdiam tak percaya. "Itulah kenapa aku bilang kau pakai gaunku saja. Dengan begitu kau tak perlu memotong gaun berhargamu itu."

Sekali lagi Aluna terkekeh bahkan ia mulai mencoba tertawa melihat ekspresi lucu sahabatnya. "Sudahlah, kau bilang aku harus mengikhlaskan semuanya secara resmi, kan? Dan ini adalah langkah pertamaku. Walau berat memotong gaun penuh kenangan ini, aku senang setidaknya ini salah satu bukti bahwa aku akan bangkit dan menatap ke depan, bukan ke belakang lagi. Pokoknya, ayo kita pergi, ini sudah hampir jam delapan. Aku ingin memberi selamat pada mereka, nanti gara-gara terlambat malah tidak sempat bertemu mereka."

"Kalau begitu ayo. Aku akan ambil kunci mobilku dulu," kata Yuri mengangguk, mengimbangi senyuman indah Aluna, yang direspon dengan anggukan oleh Aluna. Namun, gerakan Yuri terhenti begitu saja saat perhatiannya terpusatkan pada suara yang berasal dari pintu masuk kafe.

"Eisshh, menyebalkan sekali!" Jun dengan jas hitamnya yang tampak begitu mempesona, berjalan memasuki kafe dengan menghentakkan kakinya kecil.

Tampilan Jun yang memakai jas dengan rambut yang terlihat sangat rapih oleh gel rambut, bahkan poni bocah tampan itu ia naikkan, seperti biasa memikat semua pandangan perempuan pelanggan kafe itu. Bahkan beberapa karyawan yang sudah sering melihat Jun setiap hari, ikut terdiam melihat betapa tampannya Jun malam ini.

Yuri dan Aluna menatap heran, Jun tampak sebal. Dengan bengis, Yuri langsung menjewer telinga pria muda yang tampan itu dengan gemas saat Jun sudah berada di hadapan mereka. Mengabaikan Jun yang meringis meminta dilepaskan.

"Dari mana saja kau, bocah? Menghilang sejak sore hingga malam begini tanpa kabar dan izin dariku? Lalu kau datang dengan wajah sebal begitu?"

"Akh! Noona! Noona! Sakit! Lepaskan dulu," rengeknya.

Dengan delikan sebal, Yuri pun melepaskan tangannya dari telinga Jun sehingga pria itu dengan sigap mengusap-usap telinga yang dijewer itu dengan sayang.

"Maaf, Noona. Tadi sore aku baru ingat kalau hari ini hari pernikahan Sophia. Karena tadi sore aku baru ingat belum bersiap-siap, jadi aku pulang begitu saja. Tadi aku bahkan sempat mencari Noona, tapi Noona tadi tak terlihat sama sekali," jelas Jun masih mengusap kecil telinganya. "Hah, tidak di Seoul tidak di Jakarta, semuanya suka mejewerku," gumam Jun kecil pada dirinya sendiri dengan sebal.

"Kau pergi ke pernikahan Sophia? Bagaimana bisa kau pergi ke sana?" tanya Yuri tak percaya bahwa ternyata Jun menghilang karena mendatangi pernikahan itu.

"Apanya bagaimana? Sudah lama aku sudah diundang oleh si pendek manja itu bahkan sebelum undangannya menyebar. Jadi, aku tak punya pilihan lain selain menghadirinya. Tapi sekarang gadis itu benar-benar menyebalkan!" katanya masih dengan wajah sebal. "Buat apa dia mengundangku kalau ternyata tidak ada pernikahan sama sekali? Apa dia sedang mengerjaiku?! Awas saja si manja itu, aku akan memasukkan garam ke strawberry milk kesukaannya nanti."

Curhatan kesal Jun pun seketika terabaikan begitu saja saat Yuri dan Aluna mendengar kalimat Jun yang mengatakan 'tidak ada pernikahan sama sekali'. Raut wajah kedua perempuan itu menegang seketika, mendengar penuturan Jun.

"A-apa maksudmu tidak ada pernikahan?" tanya Yuri sedikit terbata tak percaya, mewakili Aluna yang sekarang membeku di tempatnya, tak bisa mengatakan apa-apa.

Jun yang tak tahu apa-apa tentang yang sebenarnya dengan kedua perempuan itu hanya bisa menjelaskan seadanya. "Tadi aku ke hotel yang tertera di undangan, tapi setelah aku sampai di ballroom hotel, di sana tak ada acara apapun. Bahkan ruangan besar itu kosong melompong. Kupikir aku salah tempat tapi setelah kutanya pada pegawai yang mengurus ballroom itu, ia mengatakan kalau memang seharusnya ada acara pernikahan di ruangan besar itu, tapi katanya pernikahannya sudah dibatalkan."

Aluna semakin membeku layaknya es batu di tempatnya. Mendengar apa yang baru saja disampaikan Jun, membuat terdiam tak percaya. Pernikahan itu batal? Kenapa?

"Kenapa? Bagaimana bisa?" gumam Aluna menyuarakan pikirannya.

Jun yang mendengar itu hanya mengedikkan bahunya tak yakin. "Entahlah, aku juga tak tahu. Tapi katanya, salah satu pengantin membatalkannya."

***

Kafe tutup di jam seperti biasa, yaitu jam sembilan, mengingat Kafe yang dimiliki Yuri itu bukanlah Kafe malam ataupun kafe 24 jam, jadi tidak aneh jika kafe tutup lebih awal dibanding kafe-kafe yang lain. Hal itu sendiri karena kemauan Yuri, ia tak mau jika pergawainya pulang terlalu malam. Bagaimana pun, sebenarnya kafe Yuri hanya fokus untuk makan siang jam dua belas siang dan makam malam di jam delapan malam saja.

"Kau yakin, tidak ingin kuantar pulang? Ini sudah malam," kata Yuri yang melihat Aluna yang masih memakai gaun pengantin pendek itu di balik mantel yang sempat Aluna lepas.

"Tidak perlu. Aku bisa naik taksi. Lagipula aku ingin berjalan-jalan di malam hari sebentar. Sudah lama aku tidak mencari angin malam yang segar," kata Aluna.

Yuri akhirnya mengangguk pasrah. Hingga kemudian matanya melihat Jun-yang masih memakai kemeja menawannya sedangkan jasnya ia pegang-hendak keluar dari kafe. Baik Aluna maupun Jun, tak sempat pulang mengganti baju mereka sehingga mereka melanjutkan pekerjaan mereka di kafe dengan pakaian seperti itu, plus dengan celemek di pinggang mereka sejak sejam lalu. Dan pakaian mereka yang dipadukan dengan celemek lucu itu cukup membuat beberapa pelanggan menatap heran sekaligus tertarik.

"Kau sudah mau pulang, Jun? Dimana sepedamu?"

Jun berbalik saat tangannya sudah berada di depan kaca pintu kafe. "Sepedaku kutinggal di rumah tadi. Aku akan pulang naik taksi. Kalau begitu, aku pulang duluan Yuri Noona, Aluna Noona! Sampai jumpa!"

Aluna dan Yuri hanya tersenyum geli melihat tingkah Jun yang melambai tinggi layaknya seorang artis yang menyapa penggemarnya. "Kalau begitu aku pergi juga. Sampai besok, Yuri sayang," kata Aluna sembari berjalan keluar kafe, mencontohi sifat penggoda Jun membuat Yuri menggeleng-geleng.

***

Sambil terus berjalan menjauh dari kafe itu, Aluna memasukkan kedua tangannya di dalam saku mantelnya. Malam ini cukup dingin mengingat musim ini akan segera memasuki musim hujan. Aluna berjalan santai, benar-benar menikmati pemandangan pusat kota yang ramai tak ditelan gelapnya malam. Ia tersenyum tipis melihat banyak orang lalu lalang dengan raut bahagia. Hingga kemudian sebuah fakta sekali lagi membuat Aluna terdiam.

Pernikahan itu batal. bisik batin Aluna seolah tak percaya dengan fakta itu sendiri. Tapi siapa yang membantalkannya?

Aluna menghela nafas panjang. Ia kemudian menengadahkan kepalanya ke atas melihat langit malam yang begitu cerah tanpa adanya awan di langit itu. Sepertinya malam ini sangat cocok untuk pergi ke taman kota.

Aluna memutar balik langkahnya, menuju sebuah taman yang memang sejak SMA sering ia datangi jika ia sedang merasa bosan atau ia datangi untuk sekedar jalan-jalan mencari udara segar.

Saat memasuki wilayah taman itu, seketika sebuah ingatan dan suara terbayang di dalam kepalanya. Sebuah ingatan saat ia dan Louis bertemu di sini dua minggu lalu. Dan secara tak sadar, ingatan itu membuat Aluna sedikit menerbitkan senyuman manisnya.

"Bagaimana denganmu, sedang apa kau melamun di taman ini sendirian? Bahkan es krimmu sampai meleleh."

"Aku juga merasa bosan untuk pulang ke rumah, jadi aku jalan-jalan ke sini."

"Benarkah?"

"Hm um."

"Apa kau masih mau es krim? Kulihat kau baru makan sedikit sebelum es krim itu meleleh karena melamun."

"Ah tidak apa-apa. Aku memang sedang tak berniat makan es krim."

"Kau kenapa?"

"Ah, tak apa-apa. Aku tak apa-apa. Aku harus pulang sekarang."

"Apanya yang tak apa-apa? Lihat, pergelangan kakimu sedikit bengkak!"

"Tapi aku ingin pulang."

"Kalau begitu aku antar kau pulang."

"Selamat malam, Lou. Aku mencintaimu."

"Apa?"

Aluna mengulum kecil senyuman geli mengingat beberapa hal kecil dari kejadian itu. Kejadian itu bisa dibilang memalukan bagi dirinya karena Aluna muncul dengan keadaanya yang cukup aneh, yaitu tangan yang belepotan es krim, kaki terkilir, serta ucapannya yang kelepasan di depan pria itu.

Dengan langkah pelan namun pasti, kaki Aluna mulai melangkah menuju tempat kejadian memorinya itu. Entah kenapa, mengingat semua itu membuat Aluna ingin duduk di kursi itu sambil melamun atau mungkin kembali memakan es krim segar lagi.

Karena melamun, tanpa sadar kaki Aluna tepat berada di dekat bangku taman itu. Tatapannya masih terlihat kosong, tetapi senyuman manis yang terbit di bibir itu membuat Aluna tampak lucu sekaligus aneh. Hingga kemudian tatapan kosong Aluna berubah fokus saat sebuah suara yang menggetarkan saraf tubuhnya, terdengar.

"Aluna," lirih suara yang terdengar seperti gumaman tak percaya. Kemudian tatapan tak percaya pria itu berubah miris dan sedikit tertawa, seolah sekarang Aluna hanyalah terbuat dari angin yang tak kasat matanya. "Huh, aku benar-benar gila, hingga sekarang aku berpikir seolah melihatnya," gumam miris Louis sangat kecil sehingga Aluna sendiri hanya mendengar samar-samar.

"Louis?"

Panggilan yang juga sama tak percayanya, membuat Louis menegangkan tubuhnya semakin tak percaya. Dan saat perlahan ia kembali menengokkan dan sedikit menengadahkan kepalanya, tatapannya pun terfokus pada wajah kaget Aluna. Dan saat perlahan ia kembali menengokkan dan sedikit menengadahkan kepalanya, tatapannya pun terfokus pada wajah kaget Aluna. Saat itulah ia sadar bahwa Aluna yang ada di hadapannya adalah sama sekali bukan khayalannya.

Sesaat setelah Aluna juga menyadari bahwa Louis yang sedang duduk di bangku taman yang sama itu bukanlah khayalannya, kaki kanannya pun terseret beberapa senti untuk mundur, seolah ia akan berbalik dan pergi dari hadapan pria yang ada di hadapannya itu.

"Apa kau akan terus menghindar seperti ini, Aluna? Aku tahu alasanmu sebenarnya karena kau takut, kan? Kau takut pada dirimu sendiri, kau takut pada dirimu sendiri, itulah kenapa kau mencoba menghindar sejauh mungkin." Suara Yuri yang kembali terdengar di dalam kepalanya itu pun membuatnya mengurungkan niatnya untuk menghindar kali ini.

"Aluna?" gumam Louis seolah sekali lagi ingin memastikan bahwa perempuan yang ada di depannya adalah sebuah sosoknya nyata.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Aluna berusaha seramah mungkin dan mencoba melupakan pertemuan terakhir mereka dulu yang begitu menyesakkan. Bagaimanapun ia tahu, Louis tak sungguh-sungguh mengatakannya, pria itu hanya terbawa emosi dan keterkejutan saat itu.

Setidaknya ia berharap Louis hari ini bersikap baik dan ramah sebagaimana Aluna sekarang memperlakukan Louis sekarang. Sungguh, ia sudah benar-benar lelah terus bertengkar bersama Louis.

"Tentu," jawab Louis dengan menatap dalam perempuan yang sekarang berjalan dan duduk tepat di sampingnya. Berada di samping perempuan itu, membuat seluruh saraf Louis menegang dan memohon agar segera mendekap perempuan itu dalam pelukannya persis seperti dulu. Namun, sayangnya Aluna belum mengetahui bahwa Louis sudah mendapatkan seluruh ingatannya kembali.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Aluna, memecah keheningan yang menyelimuti mereka selama beberapa menit terakhir setelah Aluna duduk di bangku taman itu di samping Louis. Mata Aluna sendiri menatap langit malam yang cerah tanpa berbalik ke arah Louis saat pertanyaan itu ia lontarkan.

"Sedang mencari udara malam yang segar," jawab Louis dengan melakukan hal yang sama, memandangi langit. "Kau?"

Louis sendiri mendatangi tempat ini karena ia juga mengingat kejadian yang sama di bangku ini dua minggu lalu. Sehingga Louis langsung menuju ke taman ini, untuk mengenangnya. Dan siapa sangka keberuntungan membawanya kembali bertemu dengan perempuan yang sangat ia rindukan itu.

"Aku juga."

Seketika, suasana hening nan canggung kembali menyelimuti mereka selama beberapa menit lamanya. Keduanya hanya terpaku pada pikiran rumit masing-masing serta mata mereka yang juga seolah terpaku yang pada langit berbintang. Aluna terdiam bingung karena tiba-tiba saja kembali bertemu sang mantan suami yang baru saja menyakitinya beberapa hari lalu, serta Louis yang bimbang antara memeluk perempuan itu atau terus berpura-pura seperti ini. Hingga kemudian terdengar helaan nafas dari Aluna. Aluna sendiri memutuskan menanyakan kebenarannya secara langsung.

"Kudengar... pernikahannya batal?" tanya Aluna ragu-ragu sembari meneguk salivanya gugup dan mulai menatap Louis yang masih menengadahkan kepalanya. Sebenarnya ini salah satu caranya berbasa-basi dengan Louis supaya keadaan canggung dan mencekam itu tidak terus berlanjut.

"Ya, pernikahannya batal. Kami sudah mengumumkannya kepada para tamu pagi tadi. Kau tak mendengarnya?"

Aluna menggeleng polos. Ia sejenak heran menatap wajah Louis. Wajah Louis sama sekali tak menunjukkan wajah seorang pria yang pernikahannya dengan perempuan yang ia cintai batal. Bahkan wajah Louis malah menunjukkan raut yang terlihat lega, membuat Aluna mengernyit heran sekaligus tak mengerti.

Namun yang membuatnya Aluna semakin tertegun heran yaitu tatapan pandangan Louis. Pandangan Louis yang sekarang terasa begitu familiar. Cara Louis memandangnya sekarang persis dengan cara pandang Louis yang tujuh tahun lalu. Tatapan itu adalah tatapan milik Louis yang dulu sering mengatakan kalimat cinta padanya.

"Bagaimana bisa?" lirih Aluna yang sebenarnya bertanya pada dirinya sendiri, tetapi tanpa sadar ia menyuarakan pikirannya.

Louis semakin menyinggungkan senyuman senangnya dan berusaha menutupinya dengan sesekali menunduk. Louis sekarang malah terlihat seperti orang yang akan memberikan kabar bahagia.

"Sophia yang membatalkanya."

***

"BERHENTI!" Jun yang tadinya tengah berada di dalam taksi yang dengan santainya menatap keluar, tiba-tiba saja berteriak sehingga sang supir dengan spontan langsung memberhentikan mobilnya dengan bingung.

Jun yang melihat raut bingung serta kaget supir itu hanya terkekeh polos sembari memberikan beberapa lembar uang.

"Hehehe, maaf. Saya turun di sini. Terima kasih."

Jun pun bergegas menuju sebuah warung pinggir jalan yang tampak begitu sederhana. Warung itu adalah warung yang berbentuk dari rumah tenda yang cukup besar di pinggir jalan yang berdiri di trotoar besar itu. Namun, bukan hal itu yang membuat Louis berhenti bukanlah itu, melainkan seorang perempuan yang tengah makan dengan lahap.

Jun segera mendekat ke arah meja perempuan itu berada dan tercengangan melihat porsi besar perempuan itu. Bahkan masih ada beberapa mangkuk seperti bakso, nasi goring, serta makan khas warung lainnya. Melihat itu membuat Jun bergidik ngeri. Terbuat dari apa lambung perempuan itu? Karet? batinnya.

Jun duduk di depan perempuan yang masih sibuk dengan makanannya itu. Bahkan setelah beberapa menit, perempuan itu masih juga belum menyadari ke hadiran Jun yang sekarang tengah menopang dagunya, menikmati pemandangan perempuan yang tengah makan.

"Sudah kenyang?" tanya Jun dengan nada ejekan, begitu melihat Sophia mengambil secangkir air.

Pertanyaan itu cukup membuat Sophia terlonjat kaget di tempatnya, bahkan air yang berada di cangkir plastik itu sedikit tertumpah ke gaun imutnya.

"Hei! Kau! Jangan membuat kaget seperti itu!" protes Sophia sembari menyapu-nyapu sedikit gaunnya dengan sebal sebelum kemudian meminum airnya. "Sejak kapan kau ada di sini?"

"Mungkin sepuluh menit lalu?" jawab Jun mengedikkan bahunya tak yakin. Ia kemudian menatap horror pada Sophia yang sekarang tengah melanjutkan makannya dari piring satu, ke piring lain. "Sedang apa kau di sini dengan ribuan makanan ini? Kau mencoba meledakkan perutmu? Ternyata tubuh pendekmu itu menyimpan lambung yang luas rupanya," sahut Jun kembali mulai mengejek Sophia seperti biasa.

Sophia hanya mendelik tajam pada pria yang selalu mengejeknya itu. "Aku belum makan sejak tadi pagi. Jadi, aku kelaparan dan aku dengar di sini makanannya enak. Dan ternyata di sini memang enak. Ngomong-ngomong kenapa kau selalu memanggilku pendek?! Memangnya berapa umurmu?! Aku yakin kau masih bocah belasan tahun, kan? Aku 22 tahun jadi sopanlah padaku! Panggil aku Noona seperti kau biasa memanggil perempuan yang lebih tua!" ancam Sophia sembari mengacungkan garpunya di depan hidung Jun.

"Aku dua puluh tahun, tahun ini. Aku hanya memanggil Noona pada perempuan yang lima tahun lebih tua atau lebih. Lagipula dengan tubuh pendekmu itu, kau akan tetap kupanggil pendek walau umurmu tiga puluh tahun," tambah Jun mengabaikan wajah sebal Sophia.

"Terserah kau saja!" kata Sophia mendengus mendengar ejekan Jun.

Kemudian Jun teringat kesebalannya sejak tadi. "YHA! Kau! Kau mempermainkanku!" teriak Jun tak terima membuat beberapapelanggan di warung itu berbalik menatap Jun.

"Kau berisik sekali sih! Kau mengganggu orang lain! Kau itu kenapa sih?!" sahut Sophia malu karena suara berisik Jun yang sedang bersamanya.

"Aku datang ke pernikahanmu tadi! Sampai sekarang aku bahkan masih memakai jas kesayanganku ini! Kau sedang balas dendam padaku? Karena insiden rok itu?" tambah Jun.

Tiba-tiba saja, tawa Sophia meledak. Membuat Jun terbengong dengan respon perempuan itu, sekaligus terdiam karena ia merasa tawa Sophia cukup menyenangkan untuk didengar.

"Kau datang ke sana?! Kau bodoh, yah? Pernikahannya batal. Kami bahkan sudah mengumumkannya. Dan kau masih pergi ke sana?" tawa Sophia mulai mereda, tapi tatapan geli perempuan itu masih menancap di Jun.

Jun semakin tertegun. Ia heran kenapa perempuan itu tampak baik-baik saja setelah pernikahannya batal. Bahkan Jun bisa melihat bahwa Sophia cukup bahagia. Walaupun tak bisa dipungkiri, sedikit tatapan kekecewaan tetap terpancar di wajah perempuan itu. Namun, Jun bisa memastikan bahwa perasaan lega lebih mendominasi di mata perempuan itu.

"Kenapa?" suara lirih yang terdengar serius itu membuat tawa Sophia berhenti.

Sophia yang mendengar pertanyaan itu tersenyum kecil, matanya menatap lurus makanannya dengan sedikit kekosongan di dalam sana. Ia kemudian mengangkat kepalanya dan menatap Jun dengan senyuman yang kali ini terlihat sangat tulus dan sendu. Membuat Jun kembali tertegun merasakan gejolak di dadanya.

"Aku yang membatalkannya."

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top