After Love Part 28

"Let All Go."

Media : Beautiful Goodbye - CHEN

Saat membaca bisa sambil dengerin suara indah chen yang menyentuh yang ada di media~ *promosi lagu baru salah satu pacar uhuk*. Pokoknya, jangan lupa vote dan comment ya biar kita semua semangat untuk cerita ini haha! Enjoy~

***

Let's say our last goodbyes
Mari kita ucapkan perpisahan terakhir.

I pray that before this time ends
Sebelum semua ini berakhir, kuharap...

You can find happiness
Kau bisa menemukan kebahagian.

Let's not forget our love
Jangan lupakan cinta kita.

***

"Noona, bisa tolong antarkan pesanan ini ke meja tiga dan sembilan?"

"Sini, berikan padaku," respon Aluna cepat dan cekatan saat Jun meminta tolong padanya untuk membawakan dua nampan yang masing-masing berisi nasi goreng namun berbeda minuman.

"Terima kasih, Noona," kata Jun yang mengedipkan sebelah matanya menggoda Aluna saat ia mengambil dua nampan yang ada di dekat Jun, membuat perempuan itu hanya memutar bola matanya jengah dengan tingkah Jun yang tidak pernah ada habisnya untuk menggodanya.

"Nasi goreng serta lemonade Anda, Tuan," kata Aluna formal diiringi senyuman cerianya seperti biasa, sambil meletakkan sepiring nasi goreng dan minuman itu di hadapan seorang pria paruh baya yang ada di meja nomor tiga tersebut.

Lalu Aluna kemudian pindah, mencari meja bernomorkan angka sembilan itu lalu tersenyum setelah menemukan seorang perempuan tampak duduk bersama seorang perempuan kecil yang cukup menggemaskan.

"Satu jus jeruk peras, satu milk tea, dan sepiring nasi goreng seafood," kata Aluna dengan ramah seperti biasa.

"Terima kasih, " kata bocah itu membuat Aluna semakin menyinggungkan senyuman mendengar suara perempuan kecil itu.

Semenjak ia pernah mengandung, ia semakin bahagia dan merasakan kehangatan berada di sekitar anak-anak. Apalagi jika ia mendengar suara anak perempuan, hatinya akan jauh lebih menghangat. Hal itu membuatnya menyimpulkan, apa mungkin saja bayinya adalah perempuan? Entahlah, ia merasa itu hanyalah insting seorang perempuan sekaligus seorang ibu.

"Woah, kau sangat pintar!" puji Aluna dengan nada yang begitu antusias sambil mengusap-usap pucuk kepala sang perempuan kecil itu dengan lembut, membuat sang perempuan kecil terkikik malu. Ia kemudian memandang sang ibunya dengan ramah pula. "Berapa umurnya?"

"Sayang, berapa umurmu? Ditanya tuh," kata sang ibu pada anaknya dengan lembut.

"Tujuh tahun. Aku kelas dua di sekolah dasar," kata gadis itu dengan malu-malu.

Aluna sedikit terdiam selama dua detik dengan pandangan sendu. Perempuan kecil itu mungkin seumuran dengan anaknya jika saja Aluna tak kehilangannya. Dan pastinya hidup Aluna akan jauh lebih baik jika buah hatinya masih ada, dan juga pasti Aluna akan dengan senang hati memperkenalkannya dengan perempuan kecil itu.

Aluna pun kembali tersenyum sembari mencubit gemas pipi perempuan kecil itu kali ini. "Ah, kau sangat manis."

Sang ibu dan Aluna pun tertawa geli melihat perempuan kecil yang tampak semakin menekuk lehernya seolah ingin menyembunyikan kepalanya seperti seekor kura-kura yang pemalu.

Tawa manis nan cantik Aluna pun tak pernah luput dari pandangan seseorang yang berada di dalam sebuah mobil hitam mengkilat yang tampak mendominasi di luar kafe, tepatnya di seberang jalan kecil di kafe itu. Tak ada yang menyadari bahwa sudah berjam-jam lamanya, orang itu tak beranjak dari tempatnya, memantau sang perempuan, memperhatikan semua gerak tubuh mungil itu kesana-kemari dan tersenyum manis pada semua pelanggan yang ada di kafe itu.

Kedua tangannya mencengkram erat kemudi mobil mewahnya itu dengan begitu kuat, berusaha menahan dirinya sendiri agar tak lepas kendali—untuk memeluk, berlutut, dan memohon—seperti dulu pada sang perempuannya.

Di hatinya ada perasaan berbunga-bunga yang begitu banyak melihat perempuannya hari ini tersenyum cukup banyak, tetapi di hatinya ada pula rasa cemburu melihat pelanggan-pelanggan beruntung yang mendepatkan senyuman perempuannya. Serta ada rasa sakit dan penyesalan di hatinya karena ia sempat membuat senyuman perempuannya pudar, hilang, tergantikan dengan air mata kesedihan yang awalnya pernah ia janjikan tak akan pernah ia biarkan jatuh dari mata bulat indah perempuannya. Namun sayangnya, ia kembali melanggar semuanya. Ia kembali menyakiti perempuannya.

Louis Hendrick, ia telah mengingat semuanya. Semuanya. Tanpa terkecuali. Ia mengingat semua yang pernah ia lupakan dan ia juga mengingat semua yang pernah ia lalui selama ia lupa.

Kemarin, saat dirinya terbangun dari mimpi yang merupakan gambaran lain dari masa lalunya itu, membuatnya mulai mengingat semuanya. Semua kepingan masa lalu itu datang dan menghantam kepalanya bak palu besar seolah memaksanya mengingat, membuat Louis yang tidak tahan menahan rasa sakitnya pun jatuh pingsan di atas kasurnya.

Ia baru terbangun tadi pagi dan menyadari bahwa dirinya sudah tak sadar selama seharian lebih. Rasa sakit yang kemarin pagi sempat ia rasakan pun sudah hilang tak berbekas, digantikan ribuan ingatan yang membuatnya dadanya nyeri kesakitan mengingat semua itu. Lalu saat ia terbangun pagi tadi, tanpa banyak berpikir lagi, Louis pun langsung menyambar baju kantornya yang bahkan tergeletak begitu saja. Ia langsung melajukan mobilnya dengan tak sabaran ke kafe itu saat mengetahui sudah jam sepuluh pagi.

Ia bahkan tak memperdulikan telepon dari kantornya yang mencemaskan ketidakhadiran sang pimpinan mereka seharian penuh kemarin. Louis pun hanya berkilah bahwa ia sedang sakit dan tak bisa bangun dari tempat tidurnya seharian kemarin. Lagipula, menurut Louis itu tidak bisa dikategorikan sebagai berbohong, karena kemarin, ia memanglah benar-benar kesakitan.

Jam yang berada di mobilnya pun sudah menunjukkan pukul dua siang, yang berarti ia sudah ada di dalam mobilnya berdiam diri menatap Aluna hampir kurang lebih empat jam, dengan kegiatan hanya menatap sang perempuan itu melalui dinding-dinding kaca kafe itu.

Louis terus menatap Aluna yang tampak sibuk melalui matanya yang berkaca-kaca penuh penyesalan, tetapi sesekali sudut bibir Louis tertarik untuk tersenyum kecil yang miris saat sang perempuannya juga tersenyum ceria di dalam sana. Rasanya ia begitu merindukan senyuman itu.

Louis sekarang hanya bisa meruntuki kebodohan dirinya yang tak sempat membuat senyum itu mengembang lebih lama selama ia kembali bertemu dengan Aluna. Ia meruntuki sikap dinginnya yang sering membuat perempuannya hanya bisa tersenyum sendu nan miris. Ia bahkan meruntuki dirinya bodohnya yang mengabaikan dan menepis rasa cintanya sendiri kepada Aluna.

Sejak dulu ia memang menjadi pria bodoh di hadapan Aluna. Dan hanya Aluna-lah perempuan yang bisa membuatnya menjadi sebodoh itu. Bahkan sekarang pun ia begitu ingin memeluk Aluna, tetapi sayangnya ia hanya bisa berdiam diri seperti sekarang. Ia tak bisa masuk ke sana begitu saja, menerobos dan langsung menarik perempuan itu ke dalam pelukan. Ia tak bisa melakukan itu untuk dua hal. Pertama, ia masih sangat malu dan menyesal akan perlakuannya pada perempuan itu. Dan kudua adalah satu hal yang sudah ia mulai dan sekarang tengah memanggilnya.

Ponsel yang berada di dalam saku jas bagian dalam Louis terasa, membuatnya dengan enggan mengalihkan pandangan tak berkedipnya dari Aluna ke ponselnya itu.

Sophia... nama yang tertera di layar ponsel itu.

Seketika suasana hati Louis semakin mendung, ia sadar bahwa hari ini adalah hari mereka harus mengecek pakaian pengantin untuk besok. Saat ingatannya kembali, Louis mulai merasa asing dengan perempuan itu. Ia memang mengingat semua memori tentang perempuan itu selama ia lupa ingatan, tetapi sekarang ia tetap merasa asing dengan sosok Sophia yang notabene adalah tunangan sekarang.

Bahkan dalam satu hari kedepan atau lebih tepatnya besok, Sophia akan segera menjadi istri sahnya. Louis mengerang, bukan Sophia yang ia inginkan. Sejak awal ia memang menyayangi Sophia, tetapi ia merasa ada yang kurang jika dia bersama perempuan itu, dirinya tak merasa lengkap. Dan mengingat masa lalu, membuat Louis sadar kenapa ia merasa tidak lengkap selama ini. Namun, sekarang ia tak punya pilihan lain.

Sophia banyak membantunya di masa lalu. Sophia yang setiap hari yang menemaninya di rumah sakit selama beberapa bulan di Swiss. Ia tahu betul bagaimana perempuan itu mencintainya. Dan sekarang adalah saat di mana Louis benar-benar merasa menjadi pengecut karena tak bisa melakukan apapun demi dirinya. Dimana ia tak bisa memilih antara kebahagiannya sendiri, atau kebahagian orang lain.

Louis sadar betul bahwa dirinya begitu brengsek dulunya. Bahkan hingga sekarang ia masih menjadi pria brengsek yang kejam untuk Aluna yang berusaha bangkit dari masa lalu mereka. Namun, Louis tak ingin terus menjadi pria seperti itu. Setidaknya ia tidak ingin memperlakukan Sophie seperti Aluna dulunya. Walau itu berarti dia harus merelakan kebahagian dan cintanya sendiri, Louis tahu bahwa ia tidak boleh menjadi lebih brengsek dari yang pernah ia lakukan.

Dirinya sendiri yang menerima Sophie karena kebaikan perempuan itu padanya saat di Swiss. Dirinya sendiri juga yang menyakiti Aluna agar menjauh dari Louis menggunakan kata-kata kejam karena dirinya yang bimbang dengan perasaan sendirinya. Dia harus mulai belajar, apa yang ia tanam, itulah yang ia harus tuai. Apa yang ia mulai, harus ia selesaikan sendiri. Bukan mencoba menjadi brengsek lagi.

***

Keesokkan paginya, Aluna bangun pagi di jam yang seperti biasa. Ia pun segera membersihkan dirinya untuk bersiap bekerja, setelah ia memasak sarapan paginya, seorang diri.

Dengan pakaian kasual seperti biasa, Aluna berjalan ke dapurnya, berniat memakan sarapan yang ia masak sebelum mandi tadi. Namun langkahnya sedikit terhenti, saat tanpa sengaja matanya menemukan sebuah benda yang berada di meja di depan televisinya. Benda itu adalah undangan pernikahan Louis.

Aluna cukup tahu hari apa ini. Ia bahkan sangat jelas mengingat kapan acara itu akan mulai. Ia ingin datang sebagai wujud sopan santunnya, tetapi ia tak bisa. Ia tak mau dirinya sampai menangis dan mengacau di pernikahan orang lain. Ia tak ingin Sophia semakin sedih dan membuat Louis semakin membencinya. Karena itulah Aluna tak mempersiapkan apapun untuk pergi ke sana.

Aluna lebih memilih menenggelamkan dirinya dalam pekerjaannya lalu kemudian pulang dan mencoba tidur saat itu juga, seolah bahwa hari ini tak pernah ia lewati. Itulah cara Aluna menghilang kesedihannya.

Aluna bergegas ke kafe cukup pagi, jam tujuh—walau jam bekerja Aluna yang sebenarnya adalah jam delapan, tetapi ia tetap pergi lebih awal—untuk sekedar membuatnya sibuk.

Jam berlalu begitu saja hingga sore menjelang. Aluna pun benar-benar bekerja dan bersikap layaknya biasanya. Namun, tetap terlihat jelas ada hal yang berbeda di kedua matanya. Yuri yang melihat itu hanya bisa menatap iba sahabatnya yang tampak mencoba terlihat baik-baik saja. Yuri juga tahu betul hari apa ini dan ia tahu itu berhubungan dengan sikap biasa-biasa Aluna yang tampak dipaksakan.

Melihat Aluna seolah tenggelam dengan pekerjaannya sebagai kasir, Yuri yang berada di depan Aluna pun mulai mencoba mengajak bicara perempuan yang selalu tampak sibuk bahkan di waktu senggang kafe itu.

"Aluna, kau lihat Jun, tidak?" tanya Yuri mencoba untuk berbasa-basi dengan Aluna. Yuri mencoba membuat nada suaranya terdengar jengkel agar menarik perhatian Aluna "Tadi siang dia ada di sini, tapi jam empat tadi dia menghilang tiba-tiba. Bocah itu bahkan tidak pamit padaku seperti biasa dan langsung menghilang begitu saja."

Sebenarnya Yuri tak terlalu memperdulikan kemana pria bermata khas itu pergi mengingat dia punya banyak pekerja serta Jun yang tipe pekerja giat, membuat Yuri sedikit memberi kebebasan pada Jun. Apalagi ia tahu Jun selalu mempunyai alasan yang bagus saat ia menghilang tiba-tiba. Namun, respon yang diberikan Aluna cukup membuat Yuri bingung. Karena perempuan itu hanya tersenyum lalu kembali mengalihkan pandangannya dari Yuri seolah memberikan senyuman aku-juga-tak-tahu.

Yuri mulai kehabisan akal untuk menarik perhatian perempuan itu. Ia pun memilih pertanyaan yang lebih ekstrim untuk mendapatkan respon lebih dari Aluna.

"Bukankah hari ini hari pernikahan Louis? Kukira kau dapat undangan? Acaranya 'kan malam ini, kau tidak bersiap? Aku akan menginjinkan pulang lebih awal," kata Yuri sedikit waspada. Sebenarnya ia tahu jawabannya karena ia pernah bertanya sebelumnya. Ia kembali bertanya seperti itu hanya agar perhatian Aluna terpusat padanya.

Sesaat kemudian, Yuri ingin memukul mulutnya sendiri karena mengeluarkan pertanyaan menyeramkan itu karena setelah mengatakan itu, Aluna yang tengah membalik-balik halaman sebuah majalah, terdiam begitu saja. Pandangan perempuan itu terlihat berubah jelas. Tatapan Aluna semakin menyenduh hingga kemudian Aluna mengangkat wajahnya dan menatap Yuri yang sedang gugup. Namun, Yuri terdiam saat melihat senyuman Aluna jauh lebih lama kali ini.

"Aku tidak pergi," jawab Aluna dengan senyumnya yang terlihat begitu lembut. "Aku tidak punya baju yang cocok untuk ke acara seperti itu," jujur Aluna, karena ia memang tak pernah membeli baju untuk acara besar seperti itu. Semenjak bercerai, Aluna juga sedikit menutup dirinya dari luar. Jadi membeli baju pesta menurutnya percuma.

Yuri tahu apa yang dikatakan Aluna memanglah jujur, tapi tetap saja ia tahu itu adalah salah satu alasan kecilnya.

"Kau bisa pinjam bajuku." Entah kenapa Yuri sekarang terdengar memaksa Aluna. Ia tahu bahwa ia tak seharusnya seperti ini, tapi melihat Aluna yang menghindar terus menurus membuat Yuri gemas sendiri.

"Tidak usah, aku memang tidak berniat pergi," kata Aluna akhirnya mengatakan apa yang memang menjadi alasan utamanya.

"Apa kau akan terus menghindar seperti ini, Aluna? Aku tahu alasanmu sebenarnya karena kau takut, kan? Kau takut pada dirimu sendiri, itulah kenapa kau mencoba menghindar sejauh mungkin," sahut Yuri iba.

Aluna terdiam. "Ya, aku takut."

Yuri kali ini terdiam, ia terlalu fokus memandang iba Aluna.

"Aku takut seperti dulu. Kau tahu 'kan, aku yang dulu dan yang sekarang tidaklah berbeda sama sekali. Aku masih memikirkan pria itu, aku bahkan masih mencintainya sedangkan di lain sisi aku juga masih takut tersakiti lagi. Aku hanya ingin hidup dengan tenang sekarang. Membiarkan mereka berdua bahagia," kata Aluna sedikit bergetar.

"Pergilah, Aluna. Hadiri acara itu. Lalu tepat setelah kau menjabat tangan kedua orang itu, akhirilah semuanya. Tepat saat kau memberikan mereka selamat, lepaskan semua kesedihan, dendam bahkan rasa cintamu. Obat yang paling tepat adalah melepaskan mereka dengan sepenuh hatimu secara resmi. Anggap saja malam ini, malam terakhir kau terikat dengan Louis Hendrick untuk selamanya."

Aluna terdiam. Melepaskan rasa sakitnya? Melepas kesedihannya? Melepas masa lalu? Bahkan termasuk melepas rasa cintanya? Aluna meneguk salivanya gugup. Namun, apa yang dikatakan Yuri sangatlah benar. Malam ini ia harus benar-benar mengakhiri semuanya. Dengan sahnya Louis bersama Sophia, dengan begitu juga Aluna akan mengakhiri semuanya. Termasuk perasaannya sendiri, walau ia harus memaksa itu.

"Baiklah. Ini benar-benarlah malam terakhirku mengenang masa lalu. Setelah malam ini, aku kali ini akan benar-benar menjadi Aluna yang baru. Aluna yang takkan pernah melirik ke belakang lagi sama sekali," ucapnya pada Yuri sekaligus untuk dirinya sendiri sebagai tekad.

"Kalau begitu pulanglah dan bersiap-siap lalu kembali ke sini, aku akan mengantarmu. Dan setelah kembali dari sana, kau harus menjadi Aluna yang persis seperti sembilan tahun yang lalu, Aluna polos yang masih belum mengenal rasa sakitnya cinta," kata Yuri memberi semangat pada keputusan sulit yang diambil sahabatnya itu.

***

Aluna menatap lembut gaun yang ada di depannya. Gaun itu adalah gaun terindah sekaligus gaun yang paling ia sayangi selama ini. Gaun itu mempunyai banyak cerita indah yang berujung sedih. Gaun itu juga merupakan salah satu saksi bisu penting drama hidupnya.

Awalnya Aluna mengira ia hanya akan mengenakan gaun ini keluar sekali seumur hidupnya. Namun sekarang, ia tak percaya bahwa kini ia hendak akan memakainya lagi, di sebuah acara yang sama pula, yaitu pernikahan. Hanya saja bedanya, kali ini ia tak memakai gaun itu untuk pernikahannya, melainkan untuk pernikahan pria yang pernah menjadi mempelai prianya tujuh tahun yang lalu.

Dengan sedikit ragu pada dirinya namun yakin dengan kemampuannya, gunting yang berada di tangan Aluna mulai bergerak mendekat ke arah gaun panjang itu. Tangannya pun dengan lincah membawa gunting itu menari-nari di permukaan kainnya.

Sekilas, Aluna tanpa seperti merusak gaun indah itu, tapi sebenarnya Aluna sedang memodifikasinya. Dengan berbekalkan alat-alat sederhana seperti gunting, benang putih, dan jarum, Aluna mulai mengubah gaun indah itu sedikit. Ia hanya berniat mengubah gaun itu agar tak terlalu kentara sebagai gaun pengantin.

Aluna sebenarnya sedikit sedih memotong beberapa kain di gaun itu, tapi hanya gaun ini yang pantas ia pakai. Ia hanya sedang mencoba menghilangkan kesan pernikahan di gaun yang mahal itu. Bagaimanapun, hatinya juga harus diubah layaknya gaun pernikahan yang ia gunting agar tak menjadi gaun pernikahan lagi, melainkan gaung pesta biasa.

Aluna cukup tersenyum bangga melihat hasil karya saat ia kembali membentangkan gaun itu di hadapannya. Gaun yang tadinya berpermukaan bawah yang lebar serta panjang menjuntai, berubah menjadi gaun mungil yang manis.

Kain bagian bawah gaun itu ia potong hingga di atas lututnya, sedangkan rendanya ia potong sedikit lebih panjang dari kain tebal bagian dalamnya.Lengan berenda gaun itu pun juga ikut dipotong oleh Aluna. Jika dulu panjang lengan berenda itu hingga sedikit melewati pergelangan tangannya, sekarang panjang lengan berenda itu hanya tinggal dua pertiga pengannya.

Hasilnya tidak buruk juga. Malah hasilnya lumayan. Bahkan senyuman lembut Aluna terus terbit memandang gaun yang tetap sangat cantik itu.

Dengan lembut, Aluna melepas semua pakaiannya, menyisahkan pakaian dalamnya yang melekat di tubuh mungilnya. Ia kemudian memakai gaun itu dengan hati-hati seolah ia tak ingin membuat gaun itu rusak sedikit pun.

Aluna sebenarnya hendak menggulung semua rambutnya agar lebih rapih. Namun, melihat jam yang telah menunjukkan pukul tujuh lebih, Aluna akhirnya memilih menggerai rambutnya itu di punggungnya. a tahu ia terlambat karena jam sebenarnya acara itu di mulai pukul tujuk malam tadi. Namun, Aluna tak perduli. Ia juga tahu bahwa kedua orang itu bahkan telah sah, tetapi sekali lagi ia tak perduli. Ia kesana untuk mengakhiri drama hidupnya, bukan untuk merusak kebahagian orang lain.

Dengan menggunakan mantel tebal dan cukup besar untuk menutupi tubuhnya hingga bawah lututnya. Aluna segera pergi kembali ke kafe untuk diantar dengan mobil milik Yuri.

Ia melihat Yuri juga sudah siap menunggunya di meja kasirnya. Aluna pun berjalan ke hadapan sahabatnya yang tengah sibuk membolak-balik majalah lalu berdiri di depan Yuri hingga menarik perhatian sahabat itu.

Dengan senyuman lebar yang benar-benar terlihat lebih berbinar, Aluna menatap sahabatnya. "Ayo, kita pergi."

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top