After Love Part 24
Hi, everyone.
Hehehe maaf ya updatenya selalu ilang-ilangan soalnya sibuk banget sumpah kuliah. Aku selalu pengen maksain update tapi ngk sanggup gara-gara capek dan ngk mood. Dan selain itu aku ngerjain beberapa cerita baru jdi makin pusing haha. Hope you guys understand that.
Talking about new story, aku mau bilang kalau aku mengupdate cerita baru di wattpad malam ini! Yeay, hehehe judulnya Lover From The Hidden Side. Kalian bisa cek sinopsisnya di akun aku tentu saja dan memasukkannya di library kalian jika tertarik. Sejauh ini aku hanya mengudapte sinopsis. Untuk ceritanya akan mulai aku update setiap minggunya setelah After Love complete kupost di wattpad.
I think that's all.
Don't forget to vote and comment in this part. Love u~
***
"I'm Your Diary."
Media : Dear Diary - Jessica Jung.
***
Cinta adalah saat kamu memberikan separuh dirimu kepada orang lain. Dan tempat yang kosong itu kamu isi dengan separuh dari orang itu. - Flower Boy Next Door.
***
"Kau sudah makan?"
Shopia, perempuan yang mendapatkan pertanyaannya itu hanya bisa terdiam dengan pandangan mata ke depan dengan tidak fokus. Tidak memperhatikan apa yang sedang ia dengan di sekitarnya. Bahkan ini pertama kalinya perempuan itu tampak mengabai pria yang bernama Louis itu.
"Jika kau ingin merengek, mengerek saja. Aku janji kali ini aku tidak tidak akan menyebutmu manja. Terkadang kau terlihat manis saat merengek."
Kalimat beberapa hari yang lalu diberikan oleh Jun itu seolah mengambil alih dunianya. Kalimat sederhana yang seharusnya membuatnya sebal kareena ada ekspresi jahil di dalamnya. Namun, anehnya ia malah merasa menyukai kalimat itu. Terutama kalimat terakhirnya.
"Terkadang kau terlihat manis saat merengek." Satu kalimat terakhir itu menjadi yang paling bisa membuat Shopia merona dengan anehnya. Sehingga membuat Shopia semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi padanya.
Louis sendiri hanya mengerutkan dahinya yang melihat Shopia yang tampak begitu serius berpikir sembari duduk di salah satu sofa yang ada di ruangannya. Louis sendiri duduk di meja kerjanya, hendak merapikan berkas-berkasnya bersiap untuk makan siang di kafe itu lagi, hendak kembali mencoba berucap memecah sikap aneh Shopia saat ada suara lain yang langsung mengintrupsinya.
"Maaf pak, aku tak bisa menghentikan wanita ini," kata sekertarisnya. Yang hanya bisa Louis lihat yaitu kedatangan Aluna yang tampak terburu-buru terlihat dari napas berat berat perempuan itu.
"Tidak apa, kau bisa keluar," kata Louis pada sekretarisnya, pandangan kemudian beralih kepada Aluna yang sedikit tampak kacau namun anehnya tetap terlihat cantik, tepat setelah sekertarisnya itu keluar dan menutup pintu ruangan Louis. "Ada apa, Aluna? Kau perlu sesuatu..."
"Aku mencintaimu," sela Aluna tanpa melepaskan tatapannya dari Louis sejak memasuki ruangan itu. "Aku datang kesini hanya untuk mengatakan kalau aku mencintaimu. Dan Aku juga mau bilang kalau tak perlu membalasnya. Aku hanya ingin mengeluarkannya agar hidupku lebih tenang. Jadi dengar dengan baik-baik! Louis Hendrick, aku masih mencintaimu! Aku mencintaimu hingga kau tak bisa keluar dari pikiran dan halusinasiku karena aku mencoba menyangkal perasaanku. Aku... aku mencintai..."
Suara Aluna menghilang tiba-tiba saat ia mengalihkan pandangannya ke arah lain ruangan dan tertegun saat melihat seorang perempuan yang duduk di sofa empuk sudut ruangan, terdiam menatapnya, seolah ikut syok dengan penuturan Aluna.
"Sophia..."
"Kak Aluna..." lirih perempuan itu tak percaya akan semua apa yang baru saja perempuan—yang ia anggap kakak—itu katakan. "Kak Aluna jatuh cinta pada kak Louis?"
Aluna ternganga. Ya tuhan, apa yang baru saja aku lakukan?! batin Aluna. Ia munutup mulutnya tak percaya. "Maafkan aku, aku tak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin menenangkan hatiku dan menghentikan halusinasiku. Aku tak bermaksud apa-apa! Sungguh, Shopia!"
"Kak Aluna! Kak Aluna!"
Selesai mengatakan semua, Aluna langsung berbalik, pergi dari ruangan itu tanpa berbalik lagi untuk sekedar menunggu respon Louis atau menyahuti panggilan Sophia itu. Ia begitu malu, bodoh, sekaligus merasa sangat bersalah. Entah kenapa ia merasa bahwa ia mulai menjadi orang ketiga sekarang. Namun sungguh, ia tak bermaksud merebut Louis dari siapa-siapa. Ini memanglah murni mengeluarkan apa yang ia rasakan dan membuat dirinya lebih tenang.
Sekarang ia berharap rasa cintanya itu tak berubah menjadi rasa ingin memiliki seperti dulu. Karena jika itu terjadi, ia akan menjadi sisi yang paling tersakiti. Karena ia tahu, kembali seperti dulu bukanlah hal yang mungkin dan ia tidak akan memperjuangkan Louis. Biarlah perasaan yang kembali mekar itu ia simpan sendiri.
***
Louis sedang duduk di dalam kantor besarnya dalam diamnya. Ia duduk di kursi empuknya yang menghadap ke luar kaca, membuatnya lebih leluasa menatap suasana serta langit malam yang cukup cerah. Beberapa bintang yang bersinar cukup indah, tak membantu Louis menajadi antusias.
Hari ini ia hanya merasa begitu malas untuk pulang ke apartemennya. Ia sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya tertahan di ruang kerja besarnya.
"Aku mencintaimu,"
"Aku datang kesini hanya untuk mengatakan kalau aku mencintaimu. Dan Aku juga mau bilang kalau tak perlu membalasnya. Aku hanya ingin mengeluarkannya agar hidupku lebih tenang. Jadi dengar dengan baik-baik! Louis Hendrick, aku masih mencintaimu! Aku mencintaimu hingga kau tak bisa keluar dari pikiran dan halusinasiku karena aku mencoba menyangkal perasaanku. Aku... aku mencintai..."
Kepala Louis terus mengulang kalimat-kalimat yang cukup membuatnya kaget sekaligus merasakan perasaan bahagia yang membuncah entah kenapa, siang tadi. Ia masih merasa tak percaya sekaligus aneh karena perempuan yang baru genap sebulan ia kenal, jatuh cinta padanya begitu saja tanpa mengenal satu sama lain. Mereka bahkan hanya beberapa kali bertemu setiap minggunya.
Walaupun harus jujur, Louis merasa ada yang aneh dengan dirinya saat sejak kali pertama dirinya bertemu dengan perempuan bernama Aluna Ariana itu. Ia merasakan sebuah gejolak dalam dirinya jika berdekatan dengan perempuan itu. Gejolak yang familiar yang tidak bisa ia jelaskan. Gejolak yang membuat hatinya sakit sekaligus bahagia saat melihat perempuan itu. Sebenarnya siapa perempuan itu? Dan kenapa perasaannya juga terasa aneh berada di dekat perempuan itu? Kenapa terkadang ia merasa sangat antusias melihat sosoknya? Termasuk ke datangannya yang tiba-tiba tadi siang.ENtah kenapa ia sebenarnya menyukai kehadiirannya di tengah-tengah kantornya yang melelahkan?
Apakah ia juga jatuh cinta pada perempuan itu? Louis menggeleng cepat untuk mengenyah pikiran anehnya itu. Ia punya Sophia, bagaimana mungkin dia jatuh cinta pada perempuan lain! Ia tidak boleh melakukan itu!
Kalaupun jika benar ia jatuh cinta pada perempuan pegawai kafe bernama Aluna itu, ia harus segera menghapus perasaan itu. Karena ia tidak mengharapkan dan tidak membutuhkan perasaan itu.
"Louis Hendrick, aku masih mencintaimu!"
Louis mengernyit mengingat kalimat yang satu itu. "Kenapa dia bilang masih?" gumam Louis bingung setelah menyadari satu kalimat itu.
Setelah beberapa puluh detik lama Louis menggusap dagu tegasnya dengan tangan kanannya yang ia tumpu di tangan kursi, akhirnya Louis mengangkat wajahnya menyadari sesuatu,
Aluna adalah salah satu orang yang berasal dari masa lalunya! Ya, itu pasti! Louis mulai menyakininya setelah menelaah kalimat yang ia katakan tadi.
"Tidak salah lagi."
***
Setelah melakukan pengakuan yang cukup memalukan itu, bukannya tenang, Aluna semakin sulit tidur. Ia terus terpikir akan apa yang baru kemarin ia lakukan. Untung saja hari ini hari libur nasional, jadi Aluna tak perlu menampakkan kekacauan dirinya pada seisi kafe.
Ia masih bingung dengan dirinya sendiri, akan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Bagaimana bisa ia kembali mencintai pria itu bahkan setelah pria itu menyakitinya begitu dalam. Apa dia juga sekarang mendapatkan karma? Karena pernah membalas menyakiti?
Aluna tengah menonton film di televisinya ketika bel rumahnya berbunyi. Dengan langkah malas, Aluna berjalan ke arah pintunya, membuka kuncinya dan mulai membuka pintunya.
Mata membulat saat melihat siapa yang ada di depan pintunya, sosok pria yang tampan, Louis. Namun, keterkejutan Aluna tak berlansung lama. Perempuan itu kemudian tertawa dengan anehnya membuat orang yang ada di depan pintunya mengernyit heran. Bahkan Aluna terus tertawa sembari menutup rapat dengan lama kedua matanya.
Aluna tertawa kecil seolah mengejek dirinya sendiri sebelum ia membuka matanya dan terkaget bahwa sosok itu masih ada di hadapannya, menatapnya dengan tatapan elangnya. Membuat Aluna kali ini mengusap matanya tak percaya untuk menghilangkan sosok itu dari hadapannya, tapi hasilnya nihil. Sosok Louis itu masih berdiri di hadapannya.
Dan saat sosok itu berbicara, saat itulah rahang bawah Aluna hampir jatuh tak percaya. Apa yang dia lakukan di sini?
"Apa aku mengganggumu?" tanya Louis dengan datar seperti biasa.
Aluna terdiam sebentar, kemudian dia menggeleng.
"Boleh aku masuk?"
Aluna masih diam, tapi dia membuka lebar pintu rumahnya, sebagai tanda memperbolehkan Louis masuk. Rumah yang mana merupakan rumah kedua orang tuanya. Hanya sesekali Aluna menginap di rumah Ryan walaupun Ibu Ryan selalu menyuruhnya pindah saja biar tidak kesepian. Namun, Aluna tetap tidak maumengosongkan rumah yang menjadi saksi bisu itu dari kecil hingga dewasa.
Louis pun berjalan masuk ke dalam rumah sederhana Aluna, rumah yang selama ini hanya ia lihat dari luarnya saja saat beberapa kali ia pernah mengantar Aluna pulang.
Louis kemudian mendudukkan dirinya dengan nyaman di salah satu sofa Aluna sambil menumpu salah satu kakinya di atas kakinya yang lain, menunggu Aluna yang menutup pintu dan duduk di sofa yang ada di hadapan Louis.
Aluna pun hanya menunduk, ia begitu malu untuk menatap wajah Louis. Sekalipun ia mengangkat wajahnya, matanya pasti melihat ke arah lain, tak berani membalas tatapan mata Louis.
"Soal kemarin, itu..."
"Kau tak perlu memikirkannya, aku akan menganggapnya tak pernah terjadi," kata Louis menyela Aluna dengan wajah tanpa minatnya.
Aluna hanya semakin menunduk mendengar penuturan Louis. Ia tak ingin wajah tersakitinya terlihat oleh Louis. Sungguh, ia tak bisa berbohong bahwa ia sedih dan kecewa dengan respon Louis setelah kejadian kemarin. Sepertinya pernyataannya kemarin hanyalah dianggap angin lalu oleh Louis, sedangkan dirinya? Ia tak bisa tidur semalam.
Walau Aluna menyembunyikan wajahnya, Louis masih bisa melihat perubahan raut wajah Aluna yang murung. Sebenarnya Louis tak bermaksud datang untuk mengatakan kalimat dingin itu dan menyakiti perasaan Aluna. Bagaimana pun ia tak mungkin menjawab 'Aluna, sebenarnya aku juga sepertinya merasakan hal yang sama.' seperti itu. Ia mempunyai Shopian dan menurutnya Sophia sudah cukup baginya, walau ia merasa setengah dari hatinya memanggil-manggil nama Aluna, ia tetap akan memilih Sophia, perempuan yang selalu berada di sampingnya dan menemaninya selama ini.
Ia juga tak pernah mengharapkan atau menginginkan perempuan yang tidak ia kenal atau ingat sama sekali. Sophia sudah cukup.
"Aku hanya ingin menanyakan sesuatu," kata Louis lagi menambah, membuat Aluna yang sudah berhasil menetralkan raut wajahnya kembali seperti biasa, mulai menatap Louis. "Apa kau mengenalku, sebelumnya?"
Aluna menegang sesaat. Ia bingung dengan pertanyaan itu. Apa Louis sudah mulai mengingatnya? Memikirkan itu membuat Aluna sedikit takut.
"Apa?"
"Kemarin kau bilang bahwa 'kau masih mencintaiku'. bukankah itu berarti kita pernah bertemu sebelumnya? Kau mengenalku sebelum aku hilang ingatan, kan?" kata Louis kali ini dengan nada yang sedikit menuntut. Louis memang terkadang berubah menjadi tak sabaran jika menyangkut masa lalu yang berusaha ia ingat. Ia merasa ingatan masa lalunya adalah hal yang sengat penting. "Kumohon katakan yang sebenarnya," pinta Louis sekali lagi.
Aluna terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia mulai menyalahkan mulutnya yang tak terkontrol. Tidak mungkin jika ia harus mengaku jika mereka akan mantan suami-istri, bisa-bisa pria itu tertawa terbahak-bahak menganggapnya lelucon apalagi Rachel juga bilang bahwa Louis sebaiknya tak diingatkan akan masa lalunya mengingat Louis yang masih sering sakit kepala jika berusaha mengingat masa lalunya.
Namun, Aluna juga tak bisa berbohong bahwa mereka tidak saling kenal sebelumnya. Pria itu akan semakin tersakiti saat ia terus-terusan berbohong pada Louis. Aluna semakin bingung, apalagi tatapan Louis begitu mengintimidasi meminta jawabannya.
Akhirnya Aluna hanya mengangguk membenarkannya. Melihat itu, Louis merasa bahagia hingga sebuah senyum kepuasan terbit di kedua sudut bibirnya. Merasa puas setelah menemukan apa yang selama ini ia cari yaitu memorinya yang hilang, memori yang telah lama ia cari dan sangat ingin ia ketahui.
"Akhirnya! Kau tak tahu, aku telah mencarimu selama ini!"
Aluna tertegun mendengar. "Kau? Mencariku?" entah kenapa ada rasa bahagia mendengarnya.
"Tentu. Sudah kubilang aku sudah lama mencari orang yang berada di masa lalu yang kulupakan. Dan ternyata selama ini kau orangnya," kata dengan suara yang antusias. "Aku sudah bisa merasakan sejak kita awal bertemu bahwa kita terhubung. Tapi kenapa dulu kau pura-pura tak mengenalku?"
Aluna terdiam sejenak. "Karena aku pikir kau juga berpura-pura tak mengenalku jadi aku juga melakukan hal yang sama. Saat kau bilang kalau kau mengalami amnesia, saat itu aku bingung. Aku tidak mungkin kan langsung mengatakan bahwa aku sebenarnya mengenalku. Makanya sampai sekarang aku masih diam."
"Kau tahu betapa putus asanya aku ingin mengetahui apa yang terjadi sehingga memori itu menghilang. Aku selalu berusaha mengingatnya, tetapi itu malah membuatku sakit kepala. Karena itulah aku mencari orang yang bisa menceritakannya padaku," katanya sedikit frustasi bercampur antusias.
Aluna hanya menatap dengan sendu Louis yang sangat antusias sekarang. Awalnya ia pikir Louis mencarinya karena pria itu merasakan sesuatu dengannya, ternyata pria itu hanya ingin mengetahui kenangannya yang hilang.
"Aku sangat ingin mengetahui kehidupanku sebelum beberapa tahun ini. Aku ingin mendengar dari seseorang, betapa populernya aku saat kuliah, apa yang sering aku lakukan di univesitas, aku ingin tahu siapa-siapa saja teman-temanku selama kuliah," suara Louis kemudian melembut, matanya memandang penuh kerinduan, seolah yang sedang menatap merawang sekarang ada Louis yang dulu. "Dan yang paling penting, aku sangat ingin tahu, siapa kekasihku dulu. Aku selalu yakin aku memiliki seseorang kekasih dulunya. Dan aku ingin mengenal serta mengingatnya kembali."
Aluna terhenyuk melihat Louis yang berbicara dengan begitu tulus, seolah itulah memang yang ia inginkan. Permintaan Louis sangatlah sederhana, dan Aluna sudah pasti bisa menjawab semuanya mengingat Louis selalu menceritakan apa yang pernah dan baru saja terjadi pada pria itu saat mereka mulai menjalin hubungan.
Aluna tahu semuanya. Aluna sudah seperti buku diary hidup milik Louis sejak dulu. Hal bahagia, sedih, kecewa, apa saja hal yang mengganjal hati Louis dulu selalu ia bagi dengan Aluna, saat mereka menjadi sepasang kekasih.
Aluna kemudian tersenyum. "Aku bisa menceritakan semuanya." minus tentang kita. tambah batinnya.
Dan hari itu, Louis menghabiskan waktu libur nasionalnya bersama Aluna di rumah perempuan itu selama seharian, hingga sore menjelang. Mereka makan siang bersama, duduk di halaman bersama, dan minum teh bersama selama Aluna terus bercerita tentang kenangan yang Louis lupakan. Louis pun hanya diam, mendengarkan secara seksama dengan matanya yang berbinar di balik wajah tegasnya.
Aluna menceritakan kebiasaan Louis yang suka mendengarkan musik di taman universitas jika sedang bosan, Louis yang benci dengan menu kantin universitas yang membosankan, serta ia juga menceritakan bahwa Louis pernah hujan-hujan saat malam hingga sakit tanpa menjelaskan bahwa ia yang menemukan Louis malam itu.
Aluna sendiri hanya mengaku sebagai teman Louis selama kuliah dan mengatakan bahwa mereka berdua tetap berteman setelah keduanya mulai bekerja.
Aluna juga cukup lega karena Louis tampaknya tidak mengalami sakit kepala akan ingatan-ingatan yang Aluna berikan sedikit demi sedikit. Sepertinya Louis sengaja tidak berusaha mengingat apa yang baru saja Aluna katakan karena pria itu tahu bahwa pria itu hanya akan menyakiti kepalanya sendiri jika berusaha mengingatnya.
Itulah kenapa Louis hanya mendengarnya dan mencernanya seperti dongeng tanpa berusaha mengingatnya dalam dirinya. Louis sudah cukup puas mendengarnya walau tak bisa mengingatnya dengan jelas. Itu sudah cukup menurutnya.
"Sudah hampir malam, kurasa kita harus melanjutkan ceritanya lain waktu," kata Aluna yang melihat langit mulai berubah oranye dan juga mulai menggelap.
"Kau benar. Ingat, kau masih berhutang banyak cerita padaku."
Aluna hanya tertawa melihat Louis yang mengancam seperti bocah yang mengingatkan ibunya untuk dibawa ke kebun binatang.
"Iya." Aluna pun mengantar Louis hingga keluar pagar rumahnya, di mana mobil pria itu sedang terparkir dengan mencoloknya di kawasan itu.
"Dan satu lagi."
Louis yang sudah memegang gagang pintu mobilnya tiba-tiba saja berhenti lalu berbalik menatap Aluna yang ada di belakangnya. Ia menatap Aluna lekat membuat perempuan itu sedikit salah tingkah.
"Soal perasaanmu, apa benar kau masih mencintaiku?" tanya Louis mengingat Aluna tadi sempat bercerita bahwa Aluna pernah jatuh cinta padanya saat semasa mereka kuliah dan Aluna sekarang kembali jatuh cinta padanya.
Mendengar pertanyaan itu, Aluna kembali bersemu merah dengan malu. Ia kemudian mengangguk kaku mengiyakannya.
"Mulai sekarang, hapus perasaan itu,"
Aluna menegang. Dadanya serasa ditimpa benda berat hingga ia sedikit sesak karena bingung akan maksud Louis itu. Ia tahu ia memang tidak meminta balasan, tetapi ia cukup sedih mengetahui jika Louis merasa keberatan dengan perasaan Aluna. Walaupun Aluna memang sudah tidak mengharapkan balasan lagi. Aluna sendiri hanya ingin menyimpan perasaannya ini sendiri. Perasaan yang hanya datang sekali dan pada orang yang sama berturut-turut selama ia hidup.
"Kau tidak boleh mencintaiku, karena itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Kau tahu 'kan aku tidak mungkin membalas perasaan itu. Jadi kumohon, hapuslah rasa cintamu sebelum itu menyakitimu," kata Louis tak berekpresi membuat Aluna heran, merasa bahwa Louis yang sekarang sepertinya mempunyai kepribadian ganda. Tertawa kemudian berekspresi datar.
Baru saja tadi pria itu tersenyum dan tertawa bersama Aluna mengingat masa lalu, sekarang mereka kembali jadi formal dengan Louis yang dingin dan tak berekpresi.
"Tidak," Aluna menggeleng perlahan, membuat Louis mengernyit tidak mengerti. "Sejak awal aku memang bilang tak mengharapkan balasanmu, kan? Jadi biarkan perasaan cintaku itu ada. Lagipula aku tak apa-apa dan perasaanku juga tak merugikanmu. Jadi biarlah tersimpan seperti ini. Aku juga tidak akan melakukan apap-pun termasuk merusak hubungan kalian. Aku senang kau bersama gadis baik seperti Shopia. Sungguh. Jadi, tidak usah pikirkan perasaanku ini. Senang sedihnya, aku yang akan menanggung sendiri dan tidak perlu tanggung jawabanmu. Suatu saat mungkin ini akan berhenti dengan sendirinya."
Louis terdiam menatap Aluna lekat mendengar jawaban perempuan itu. Ada rasa membuncah di hatinya setiap Aluna mengatakan kalimat cintanya. Namun, ia segera menepisnya. Apalagi saat ia merasa sedikitmerah mendengar kalimat terakhir Aluna, membuat Louis semakin terus menepis hal yang sedang ia rasakan.
Tanpa berniat banyak berdebat akan cinta Aluna, Louis pun berbalik dan memasuki mobilnya itu lalu mengasnya, membuat Aluna segera menepi dari dekat mobil yang mulai berjalan pergi. Menyisahkan Aluna yang menghela nafas panjangnya dengan pasrah.
Aluna kemudian menempelkan telapak tangannya di dada kirinya, mencoba merasakan dentuman cepat dan keras dari dalam dadanya, berasal dari jantungnya. Selama ini ia berpikir dentuman itu sudah lama mati, tapi ternyata orang yang sama sekali lagi menghidupkannya, walaupun orang itu tidak sama lagi seperti dulu.
Hanya Louis yang bisa menghidupkan detak jantung itu.
***
Aluna baru saja mengurus pelanggan kue yang sedang duduk di kursi depan kaca etalase, saat ponselnya mulai berbunyi. Bibirnya tersenyum saat melihat nama kakak angkatnya tertera di layar ponselnya. Sudah cukup lama mereka tak bertegur sapa atau bertemu, mengingat Ryan sangat sibuk dengan kerjaannya di luar negeri.
"Halo, Kak Ryan?"
"Aluna, kau sibuk? Nanti malam kita makan malam bersama lagi di rumah yah. Sekalian ada yang kuberitahukan," kata Ryan di ujung sana. Kemudian suara Ryan terganti dengan suara melengking milik kakak ipar angkatnya, mengingat Selena dan Aluna juga dekat. "Aluna! Hai!"
Aluna hanya terkekeh sebentar. "Hai, Kak. Ngomong-ngomong aku akan ke sana saat kafe ingin tutup. Mungkin jam Sembilan atau setengah sepuluh aku akan sampai di sana."
"Hei, siapa yang makan malam jam begitu?" protes Selena. "Tenang saja, Ryan akan menjemputmu sebelum jam delapan. Izinlah sebentar di bos."
Aluna hanya terdiam menatap kafe yang tidak seramai biasanya, ia menimbang-nimbang sebentar sebelum kembali terfokus pada ponsel yang ada di telinga. "Hmm... baiklah aku akan minta izin, kafe juga sedang sepi."
"Baiklah, sampai jumpa, Aluna!" Kali ini suara Ryan dan Selena yang terdengar girang membuat Aluna bingung dan geli melihat kakak-kakaknya itu.
***
"Aluna, kakakmu ada di depan, katanya mau menjemputmu," kata salah satu pegawai perempuan yang menghampirinya.
Aluna yang memang sudah mengganti dan memakai baju kasualnya, segera keluar sembari melambai pada karyawan yang lain. Senyum Aluna yang mengembang ceria pun semakin mengembang saat ia melihat kakaknya, berada di depan mobil depan kafenya, sambil melambai padanya.
"Kak Ryan!" seru Aluna mendekat dan langsung melompat ke dalam pelukan Ryan, membuat pria itu terkekeh melihat tingkah Aluna yang akan menjadi sedikit manja.
Semenjak makan malam yang pertama, Ryan dan Selena kembali pergi ke Australia untuk bekerja sekaligus bulan madu kedua selama sebulan penuh ini. Jadi tidak aneh Aluna begitu merindukan sosok pria yang selalu menjadi pelindungnya.
"Tapi, ada acara apa? Sepertinya kau dan Kak Selena bahagia sekali," tanya Aluna penasaran.
Sekali lagi senyum Ryan mengembang. "Selena hamil."
Aluna terdiam, bengong, sebelum akhirnya ia mengerti dengan situasinya dan sekali lagi melompat ke dalam pelukan Ryan. Kali ini pelukan mereka lebih lama dan Ryan yang terbawa suasana juga memeluk sembari sedikit mengangkat tubuh mungil Aluna dengan sama bahagianya.
"Kalau begitu, ayo, kita semua mau merayakannya! Hari ini kita makan besar!" kata Ryan antuasias membuat Aluna juga langsung terpekik kegirangan.
Ryan pun menarik tangan Aluna ke sisi mobil di samping sopir lalu membukakan pintu untuk adik tersayangnya dengan gaya ala pelayan, membuat Aluna terkikik geli, sebelum pria itu kembali ke sisi awal tempat ia berdiri tadi dan masuk ke dalam mobil. Hingga akhirnya mobil itu berjalan dan menghilang di pembelokan jalan.
Mereka pergi tanpa sadar, meninggalkan seseorang yang berada di dekat kafe itu. Louis yang melihat semua kejadian tadi dari jauh, dari dalam mobilnya, hanya bisa mencengkram kuat kemudi mobil mewahnya, seolah berniat mematahkannya.
Ia merasa marah, kecewa, sedih dan geram entah kenapa melihat semua itu. Hal itu pun membuatnya langsung menancap gasnya, pergi dengan suasana hati yang terasa gelap.
***
To be continue...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top