After Love Part 19
"Hi."
Vomment, enjoy and happy reading^^
***
Dunia Aluna rasanya kembali berhenti berputar. Rasanya tubuhnya benar-benar membeku hingga Alu tak bisa menggerakkan seinci pun tubuhnya. Semua memori masa lalu kembali ke dalam ingatannya. Terputar cepat bagai kaset yang mulai usang dan tidak terputar dengan baik saat ia melihat wajah yang sudah sangat-sangat lama tak ia lihat.
Aluna melirik meja tempat Seryn dan Yuri berada seolah ia meminta tolong dalam diam dan membekunya layaknya patung. Ia berharap semua itu tidaklah terjadi, ia berharap sekarang ia sedang bermimpi karena ia belum siap. Namun, Seryn dan Yuri yang menutup mulut menganga mereka dengan syok membuat Aluna yakin, ia sedang tidak berimajinasi saat ini.
Pria berjas abu-abu gelap itu itu benar-benar nyata, berada di depannya, dengan sosok tampilan yang cukup berbeda membuat Aluna ragu kalau pria itu adalah Louis, mantan suaminya.
"Aluna?"
Aluna tersentak dari diamnya begitu tangan itu melambai-lambai di depan wajahnya, membuat Aluna kembali memfokuskan pandangannya ke Louis.
"Namamu Aluna, kan?" tanya Louis memastikan sembari menunjuk nametag yang ada di dada kiri Aluna—lebih tepatnya di pinggir apronnya— "Maaf memanggilmu dengan nama depan, habisnya kau terus melamun."
Aluna semakin mengernyit tak suka. Di saat ia hampir stroke karena kemunculan pria itu, pria itu malah bicara menggunakan nada aneh dengannya, layaknya orang asing.
Apa pria itu sedang mempermainkannya? Atau mengejeknya bahwa lelaki itu sudah bangkit dan melupakannya seolah tak pernah ada masa lalu di antara mereka? Kalau memang Louis sekarang mempermainkannya, baik! dia akan ikut permainan itu.
"Noona, tak apa-apa? Kenapa Noona melamun?" tanya Jun yang tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya dan memegang kedua lengan atas Aluna. Jun heran, tadi ia melihat Aluna dari jauh hanya melamun menatap pelanggan itu. "Ada apa, Noona?"
Louis pun juga tampak memusatkan perhatiannya pada Jun dan ikut mengernyit bingung melihat Aluna.
"Aku tidak apa-apa."
Setelah mendengar jawaban itu, Jun akhirnya mengangguk dan kembali ke dapur, meninggalkan Louis dan Aluna yang masih saling berhadapan dan hanya dihalangi oleh sebuah meja kasir yang tak terlalu besar.
"Iya, saya Aluna. Anda butuh sesuatu?" tanya Aluna setelah menetralkan dirinya. Jika Louis berpura-pura tak mengenalnya, maka ia juga akan melakukan hal yang sama.
"Apa kau melihat gadis bergaun biru?"
Seketika pikiran Aluna menuju ke arah perempuan yang cantik itu. Satu-satunya perempuan di kafe ini yang sendiri sedang menunggu seseorang. Aluna kembali teringat kata-kata Jun yang bilang bahwa perempuan itu menunggu tunangannya.
Jadi, Louis tidak pernah muncul lagi selama ini karena Louis telah mendapat penggantinya? Yang jauh lebih sempurna dibanding dirinya. Aluna tersenyum kecut di dalam hatinya. Tentu saja, pria normal mana yang mau tetap mempertahankannya kalau pria itu telah menemukan hal yang lebih bersinar dan sempurna dibanding dirinya. Realistislah Aluna!
Ternyata pria memang hanya bisa bertutur kata. Setelah kalimat perpisahan yang Louis katakan padanya tujuh tahun menjadi kalimatnya yang tak bisa dilupakan Aluna di antara kalimat-kalimat lainnya, pria itu malah muncul dengan dagu terangkat dan berbicara dengan asing pada Aluna.
Namun entah kenapa rasa sakit di dada Aluna semakin berat menyadari itu? Hatinya seakan kembali menangis walaupun air matanya tidak mengalir sama sekali. Ini pertama kalinya Aluna kembali merasakan perasaan sesak ini setelah tujuh tahun lamanya.
Entah kenapa rasanya bahkan susah sekali untuk membuka mulutnya hanya untuk menjawab pertanyaan itu.
Louis hanya bisa diam dan bingung dengan respon pegawai kasir yang menurutnya sangat cantik itu. Apa pertanyaannya salah sehingga respon pegawai itu terlalu berlebihan? Hanya itu yang ada di pikiran Louis yang kebingungan menunggu respon perempuan itu.
Bahkan Louis mulai merasa dongkol dengan respon yang lama itu. Jika perempuan itu adalah pegawai kantornya, mungkin sekarang ia mulai menegur perempuan itu dengan nada tinggi.
"Dia di sana." Akhirnya Yuri yang muncul entah dari mana, menjawabnya membuat Louis segera berlalu pergi menuju perempuan yang berstatuskan tunangannya.
"Aluna, kau tak apa?" tanya Seryn yang tiba-tiba juga sudah berada di samping Aluna, begitupun dengan Jun.
Aluna masih bergeming di tempatnya membuat Seryn dan Yuri hanya bisa menatap iba.
"Kenapa pria sialan itu tampak baik-baik saja sih?! Apa dia mau pamer punya tunangan yang sempurna di depan mantan istrinya?!" maki Yuri yang melihat Louis tengah tertawa bersama perempuan itu.
"Jadi pria itu adalah mantan suahhmmppt..." Jun yang juga mengetahui masa lalu Aluna akhirnya memekik tak percaya melihat pria yang menurutnya telah menyakiti Aluna Noonanya yang ia sayangi. Namun, mulut Jun langsung dibekap oleh Yuri yang menyeretnya kembali ke dapur sebelum pria manis itu membeberkan semuanya di depan pelanggannya.
"Aluna," lirih Seryn yang berusaha menyadarkan Aluna yang tampak berperang dengan batin dan pikirannya sendiri.
"Aku tidak apa-apa." kata Aluna akhirnya, dengan nada yang begitu kecil sebelum tersenyum dengan bibir yang bergemetaran. Membuat Seryn semakin iba melihat sahabatnya yang pasti syok dan trauma.
***
Louis terbangun dari salah satu tidurnya yang nyenyak saat ia mulai merasa kegelian pada matanya. Sehingga membuatnya mau tak mau terbangun dari tidurnya.
"Maaf, aku pasti membangunkanmu," sahut suara lembut itu. Tangan jahil perempuan yang terpesona dengan bulu mata panjang Louis itu sekarang terhenti mengelus dan menyentuh bulu mata Louis saat melihat sang empunya terbangun.
Louis yang awalnya tersentak kaget karena terbangun di samping seorang perempuan, akhirnya mulai tersenyum geli sembari memejamkan matanya kembali. Ia baru ingat bahwa kemarin ia menjalani sebuah pernikahan dan ini adalah paginya bersama perempuan yang paling ia cintai dalam hidupnya, Aluna.
"Kau membuatku kaget, sayang," kata Louis yang meraih pinggang Aluna dan memeluk perempuan itu dari belakang dengan posisi menyamping.
"Kaget kenapa?" tanya perempuan itu polos.
"Aku pikir aku baru saja diculik. Ternyata istri baruku ternyata menggodaku pagi ini." kata Louis dengan jahil memainkan rambut Aluna. "Bagaimana tidurmu? Nyenyak?"
Louis bisa merasakan kepala itu mengangguk, membuat senyumannya semakin mengembang.
"Lou,"
"Hmm."
"Kau tidur?"
"Tidak, sayang. Aku hanya menikmati pagi baruku bersamamu. Kenapa?" tanya Louis lagi dengan keadaan masih menutup matanya dengan nyaman. Louis memang selalu merasa nyaman dengan tenang jika bersama Aluna apalagi saat Louis memeluknya.
"Lou,"
"Hmm?"
"Aku mencintaimu." bisik Aluna. "Kau tidak akan pernah meninggalkanku, kan?"
"Aku juga mencintaimu, Luna. Sangat. Aku berjanji tidak akan ke mana-mana. Kau juga, jangan pernah tinggalkan aku, apapun yang terjadi," kata Louis sembari mengeratkan perlukannya pada tubuh polos Aluna.
"Aku berjanji."
Aluna menghela napas kasarnya saat kenangan bahagianya kembali muncul. Jika dulu kenangan buruk selalu muncul dan menyakiti kepala Aluna, sekarang, semenjak bercerai, kenangan manislah yang selalu muncul. Seolah mengingatkan Aluna kenangan manis saat mereka belum mempunyai hambatan. Seperti malam yang sepi ini, membuatnya selalu mengenang masa lalu.
Ia mengingat pagi pertamanya bersama Louis saat itu. Saat mereka berdua berjanji akan selalu bersama dan tak saling meninggalkan dalam keadaan apapun. Tapi faktanya, mereka berdua melanggarnya. Louis melanggarnya, dan Aluna pun melanggarnya. Louis melanggarnya dengan berselingkuh dan dirinya melanggarnya dengan cara menceraikan Louis. Sepertinya benar, cinta itu memang membutakan. Buktinya dia sampai seperti itu dulu.
"Taksi kenapa susah sekali malam ini?" gerutu Aluna di depan kafe yang sudah tertutup itu.
Kafe itu berada di jantung kota dan di pinggir jalan yang tidak kecil, tidak juga terlalu besar. Namun, malam ini tampaknya taksi sudah tak melewati jalan itu lagi, ia juga tak melihat angkutan umum lainnya. Dan jika ia ingin ke halte bus, itu jaraknya dua kilometer dari kafe. Dan ia benar-benar tak kuat berjalan sekarang. Apalagi ia sangat terlambat untuk makan malam bersama keluarga angkatnya.
"Aluna!"
Aluna yang merasa di panggil pun menolehkan kepalanya kepada mobil yang tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Mobil itu tampak asing, tapi tidak dengan pengendarannya.
Louis! Apa-apan pria itu memanggilku?! pikir Aluna.
"Kau baru pulang kerja?" tanya Louis.
Aluna hanya mengangguk. Tak tahu harus bicara apa. Ia benar-benar bingung dengan sikap pria itu. Sebenarnya ada apa dengan pria itu? Bahkan pandangan mata pria itu tampak asing.
"Kau mau ke mana?"
Entah kenapa dengan telatennya, Aluna menjawab dan memberitahukan alamat rumah ibu Ryan. Membuat Louis mengangguk.
"Kita searah. Naiklah, kau kuantar," kata Louis mengajaknya tapi Aluna menggeleng-geleng dengan raut wajah aneh. Seolah tak yakin walaupun ia benar-benar butuh tumpangan sekarang. "Ini bentuk terima kasihku karena tadi sudah menjaga tunanganku di kafe tadi sendiri."
"Aku tak menjaganya, aku hanya mengawasinya karena dia sendirian." kata Aluna dengan nada yang terdengar ketus. Entah kenapa ia mulai merasa kesal sekarang.
"Sama saja, naiklah!"
"Tidak perlu, aku bisa berjalan ke halte."
Louis yang mendengar itupun segera keluar dari mobilnya dan menahan lengan Aluna saat ia melihat perempuan itu berjalan pergi. "Aku memaksa, Nona Aluna."
Aluna hanya bisa mendengus kesal saat Louis menariknya masuk ke dalam mobil mewah pria itu. Ia tahu, sejak Louis adalah tipikal pria yang pemerintah, mengingat ia berstatus atasan untuk ratusan bahkan ribuan orang. Lagipula ia sedang buru-buru ke rumah itu sekarang.
Mereka hanya diam dalam mobil itu. Aluna yang canggung serta Louis yang tampak menyetir tak perduli bahwa ada orang di sampingnya. Diam-diam Aluna memperhatikan Louis yang tujuh tahun tak pernah ia temui. Dan satu kesimpulannya, Louis telah banyak berubah.
Pria itu, Louis Hendrick. Dia banyak berubah. Kecuali mata elangnya tetap seindah dan setajam dulu. Wajahnya pun terlihat jauh lebih tampan sekarang, sangat tampan. Dengan semua gurat kedewasaan yang terlihat jelas di setiap lekukan sempurna wajahnya. Sangat berkarisma memakai jas abu-abu gelapnya dengan kemeja putih bersih bersama dasi bermotifnya. Dia terlihat lebih dewasa sekarang mengingat sudah tujuh tahun mereka tidak bertemu.
Disamping fisik yang telah sangat berwibawa dan dewasa, sifat Louis yang sekarang juga sangat berbeda. Seakan benar bahwa raga itu adalah Louis Hendrick namun jiwanya bukanlah Louis Hendrick yang dulu. Sangat berbeda!
Jika dulu gaya Louis lebih sporty khas anak kuliahan dengan gaya rambut sedikit berantakan dan hampir seluruh dahinya tertutupi rambut depan alias ponjnya, sekarang Louis sangat dewasa dengan setelan-setelan rapi yang melekat di tubuhnya-mungkin karena sekarang dia pasti sudah resmi memegang seluruh saham keluarganya, jadi penampilannya pun semakin mengintimidasi-sedangkan rambutnya sekarang disisir rapi, bahkan sekarang ia telah manaikkan rambut depannya sehingga mempelihatkan dahinya. Terlihat sangat berkarisma dan berwibawa, benar-benar gaya CEO tampan yang pantas.
Tapi satu perubahan yang terlihat sangat jelas oleh Aluna adalah sifatnya, karakter seolah Louis. Louis yang ia kenal dulu begitu hangat, jahil dan murah senyum. Ia juga mudah tertawa kapan saja.
Namun, Louis yang sudah tujuh tahun tak ia temui ini, berubah bahkan dari dalamnya. Louis yang sekarang memiliki raut wajah yang dingin, tidak banyak bicara, sekali bicara pun nadanya begitu datar, dingin dan mengintimidasi seolah pria itu sedang bicara dengan kolega bisnisnya. Louis lebih terlihat berlaku demi sopan santun, bukan berlaku sesuai hatinya. Ya, Louis sekarang tampak begitu jauh dan redup. Dan Aluna tak berani menebak apa penyebab hal itu.
Bahkan senyuman hangat sudah susah terlihat dari bibir pria itu, senyuman itu hanya selalu terbit hanya jika ia melihat Louis berbicara dengan perempuan cantik itu seperti tadi siang. Sepertinya memang benar bahwa Louis sudah tidak memperdulikan Aluna lagi karena mendapatkan perempuan yang lebih sempurna dibandingnya.
Kenapa dia sedikit sedih memikirkan hal itu? Aluna sedikit tertunduk.
Ia sendiri hanya bisa terus duduk dengan nyaman di dalam mobilitu dengan mantan suami yang bersikap layaknya orang asing padanya. Entah apa maunya pria itu, Aluna hanya bisa pasrah. Ia tak mau memulai pertengkaran dengan Louis seperti dulu lagi. Namun, jika Louis berani melakukan sesuatu yang buruk karena mungkin saja pria itu dendam padanya, Aluna akan dengan senang hati menjambak rambut yang tertata sempurna itu.
Sesaat Aluna masih terjebak dalam pikirannya sendiri, Louis, pria itu mengulurkan tangannya, membuat Aluna semakin mengernyit tak mengerti. "Namaku Louis. Louis Hendrick tapi panggil saja Louis. Namamu Aluna Ariana, kan? Aku masih ingat nametag itu."
Aluna hanya memandangi tangan itu. Apa-apaan lagi sekarang ini? tentu saja aku tahu namanya. Namun, Aluna lebih memilih berlaku biasa dan membalas uluran itu demi sopan santun. Mungkin saja dugaannya salah. Mungkin saja pria itu memang berniat baik untuk menjadi temannya, mengingat Louis juga sudah bangkit melupakannya.
"Iya, aku Aluna. Tapi... kenapa kau mengantarku?" tanya Aluna yang bingung. Walaupun alasannya karena pria itu bersopan santun atau ramah, Aluna tetap tak bisa memasukkannya di akalnya. Pasti ada alasan lain karena mereka berdua mantan sepasang suami istri.
"Sudah aku bilang, kita searah. Jadi sekaligus saja aku mengantarmu." jawabnya tanpa ada niat berbalik pada Aluna sama sekali.
"Aku rasa bukan hanya itu," sela Aluna.
Akhirnya Louis berbalik memandangnya, menatapnya seolah tak pasti, sebelum kembali menatap jalanan yang ada di depannya. "Apa terlihat jelas?"
Aluna benar, ada alasan lain!
Aluna mengangguk. Walau Louis tak melihat perempuan itu mengangguk atau tidak, Louis bisa tahu kalau perempuan cantik di sebelahnya itu membenarkan ucapannya baru saja.
"Entahlah, aku hanya merasa aku mengenalmu."
"MERASA?!" tiba-tiba saja Aluna memekik, membuat Louis sedikit terlonjak dari kursinya dan menatap bingung Aluna.
Dari pekikkan Aluna terdengar nada kaget dan sedikit... marah?
Aluna mendengus kesal, tanpa ia sadari tangannya terlipat di depan dadanya dengan kesal, seperti seorang gadis kecil yang sedang merajuk. Ia benar-benar tersinggung dengan kalimat Louis yang mengatakan pria itu merasa seperti mengenalnya. Ia merasa direndahkan, seolah pria itu memamerkan bahwa ia telah melupakan Aluna.
Aluna tahu kalau umur penikahan mereka memang tidak terlalu lama, hanya setahun, itupun setengahnya lebih ia habiskan koma di rumah sakit. Tapi bagaimana bisa pria itu mengatakan merasa mengenal Aluna?! Apa tujuh tahun membuat wajah Aluna tampak kabur di mata pria itu?! Yang benar saja!
"Iya, aku merasa seperti itu," kata Louis lagi dengan nada yang seolah ragu. "Sebenarnya aku tidak mengingat siapa-siapa saja di masa laluku. Lebih tepatnya apa yang terjadi beberapa tahun belakangan."
Lipatan tangannya yang berada di depan dada Aluna pun mengendur. Tatapan matanya yang sekarang ia hamburkan ke luar jendela mobil, perlahan mulai menengok dan menatap Louis. Ia berusaha mencerna kata-kata yang baru saja Louis katakan. Ia bingung dengan makssud 'aku tidak mengingat siapa-siapa di masa lalu.'.
"Tidak mengingat siapa-siapa?" beo Aluna pada kalimat terpenting menurutnya.
Hal itu pun sukses kembali membuat Aluna dipandang oleh Louis. Dan kali ini tubuh Aluna bergetar aneh saat sebuah senyuman kecil yang samar namun mempesona, muncul di kedua sudut bibir Louis, sebelum pria itu kembali berucap dan membuat Aluna-entah kenapa-kembali memokuskan perhatiannya.
"Sebenarnya aku mengalami amnesia dan hingga sekarang aku tak ingat apa-apa sebelum ini. Yang aku ingat hanya sebagian masa SMA-ku, itupun tidak semuanya. Hanya awalnya yang kuingat."
Aluna semakin terdiam. Mulutnya bahkan seolah tidak bisa mengatup lagi. Ia merasa tak enak sudah menuduh Louis macam-macam bahkan mengira dirinya sedang dipermainkan oleh Louis. Ternyata pria itu kehilangan ingatannya.
Anehnya, begitu banyak pertanyaan yang ingin di lontarkan oleh Aluna, tapi ia tak bisa. Ia takut ia akan terlihat aneh jika ia bertanya ini itu sedangkan dalam otak Louis sekarang menganggapnya hanyalah seorang kenalan baru sekarang. Jadi, Aluna memutuskan hanya diam dan menanggapi seadanya, membiarkan Louis sendiri yang terus berbicara.
"Jadi maaf jika aku sedikit memaksa. Aku hanya merasa kita telah saling mengenal sejak lama saat pertama kali memandangmu tadi, seolah aku telah menemukan sesuatu yang telah lama hilang, seperti itu. Hanya itu yang kurasa. Aku tidak bermaksud buruk atau apapun," tambah Louis lagi sebelum berbalik dan menatap tajam penuh penasaran. "Atau kita pernah bertemu sebelumnya? Atau kita pernah kenal sebelumnya? Apa kau mengenalku sebelumnya?"
Aluna semakin bingung. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengangguk dan menceritakan semuanya karena ia merasa membohongi pria itu jika ia terus diam. Namun, logikanya melarang. Seolah logikanya memberitahukan padanya, bahwa kebenaran itu tidaklah penting. Akhirnya Aluna menggeleng, tanpa bicara. Ia takut akan terlihat aneh jika ia berbicara.
Terdengar helaan nafas panjang dari pria itu. "Sudah kuduga hanya perasaanku. Kau tahu, sebenarnya aku sangat ingin bertemu dengan orang-orang dari masa lalu yang kulupakan. Aku ingin bertanya pada mereka seperti apa aku dulu. Mengingat tahun yang kulewati tanpa ingatan apapun, tidaklah sebentar. Pasti banyak hal yang terjadi sebelum itu." kata Louis dengan nada yang seolah tidak puas.
Ya, banyak yang terjadi sebelumnya. Kata Aluna dalam hati dan menatap lekat Louis. Entah kenapa dia merasa sedih saat Louis secara tak langsung mengatakan bahwa pria itu melupakannya? Apa ia masih mempunyai sesuatu jauh di dalam hatinya untuk Louis?
Aluna menggeleng tegas tanpa sepengetahuan Louis. Tidak! Ia tidak goyah! Ia memang Memaafkan Louis, tetapi rasa cinta? Tidak! Aluna harus berpikir ribuan kali untuk kembali jatuh cinta. Ia benar-benar masih belum siap dengan perasaan itu. Perasaan yang masih meninggalkan bekas dan membuatnya sedikit trauma, apalagi jika perasaan itu kembali kepada Louis.
Mereka berdua kembali terdiam selama perjalanan. Benar-benar suasana yang sangat canggung. Hingga mereka tiba di alamat yang dituju oleh Aluna.
"Terima kasih atas tumpangannya," kata Aluna begitu ia turun dari mobil itu dan pria itu hanya mengangguk, tanpa turun dari mobil.
"Sama-sama. Kalau begitu selamat malam," sahut Louis. Entah kenapa nada pria itu selalu saja terdengar ragu jika berbicara dengan Aluna, seolah ia mencoba memastikan sesuatu tidak pasti.
"Selamat malam," balas Aluna dengan kaku. Ia hanya merasa aneh setiap bersama Louis. Seolah tubuhnya berada berbeda. Apalagi jalan pikirannya yang selalu tak menentu di samping pria itu, membuatnya bingung sendiri dengan dirinya sendiri.
Aluna dengan ragu dan sedikit canggung pun berbalik pergi setelah membalas salam Louis,
"Aluna!"
Namun saat beberapa langkah ragunya sudah melewati pagar rumah itu, suara bass yang berat itu pun memanggilnya. Membuat tubuhnya seketika berhenti bergerak dan berbalik pada Louis, seolah tubuhnya memang menunggu panggilan itu, seolah tubuhnya memang diciptakan untuk menuruti pria itu.
Aluna pun hanya terdiam, tanpa merespon panggilan itu. Tatapannya tak lepas dari tubuh tinggi berjas abu-abu seperti langit malam yang cerah, sudah turun dari mobilnya, berjalan, mendekati Aluna yang tetap membatu di tempatnya.
"Aluna," panggil pria itu lagi, kali ini lebih lirih dan lebih serak.
Aluna masih terdiam, tapi tatapannya seolah menjawab panggil Louis.
"Boleh aku bertemu denganmu lagi?" Louis sendiri bahkan tak tahu kenapa ia mengeluarkan pertanyaan itu dengan gugup.
"Apa?"
"Boleh aku melihatmu lagi? Boleh aku menjadi temanmu?" Melihat Aluna yang masih terlihat terdiam dan berperang dengan dirinya sendiri, Louis pun menggaruk belakang lehernya yang tak gatal dengan canggung. "Ini mungkin aneh, tapi entah kenapa, walaupun kusangkal, aku tetap merasa seperti mengenalmu sejak lama. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan tubuh dan pikiranku. Aku, merasa... nyaman."
Louis tak yakin dengan dirinya. Namun ia tak mau mengira-ngira yang terlalu berlebih. Ia anggap sekarang ia nyaman sebagai teman ngobrol dengan Aluna, walaupun obrolan mereka terkesan canggung, Louis entah kenapa tetap menikmati waktunya bersama Aluna.
Jadi ia memutuskan berteman dengan Aluna, sebenarnya bukan bisa di bilang temannya juga, tapi ia tak terlalu suka dengan status kenalan. Jadi, berteman lebih baik bukan?
Aluna terdiam. Ia heran bagaimana pria itu mengajak berteman dengan ekspresi datar seolah tak menggambarkan perkataannya. Wajahnya terlalu datar untuk orang yang meminta pertemanan.
"Bagaimana? Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai suasana canggung yang mencekam. Jadi anggap saja aku temanmu, teman dekat," kata Louis lagi.
Entah bagaimana, kepala Aluna mengangguk kecil dengan suara lirihan yang sama kecilnya. "Baiklah."
Dan saat mendengar itu, lagi-lagi Louis harus bingung dengan reaksi tubuhnya. Bibirnya entah kenapa langsung menyinggung senyuman penuh kepuasan mendengar jawaban perempuan itu.
Seolah ia baru saja mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan.
To be continue...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top