After Love Part 17

Media : Jason Derulo - Stupid Love

***

I'm crazy for you.
Aku tergila-gila padamy.

Lord knows what I'd do.
Tuhan tahu apa yang bisa kulakukan.

I'd even die for you.
Aku bahkan bisa mati untukmu.

Whatever you need.
Apapun yang kau butuhkan.

I'm down on my knees.
Aku akan berlutut untukmu.

I guess that means...
Kurasa itu arti bahwa..

I'm stupid in love.
Aku bodoh saat jatuh cinta.

***

Pagi yang cerah berjalan seperti biasanya. Begitu juga bagi Louis dan Aluna. Louis yang selalu hangat dan berusaha mencari perhatian istrinya serta Aluna yang selalu berlidah tajam dan berusaha mengabaikan Louis walau tanpa melepas tanggung jawabnya sebagai seorang istri yang mengurus suaminya.

Louis benar-benar sudah tidak perduli jika kedua orang tuanya telah mengetahui bagaimana kehidupan rumah tangganya yang sebenarnya kemarin. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah Aluna dan bagaimana caranya agar mendapatkan hati perempuan itu kembali.

Aluna sendiri seolah tak bisa berubah seperti dulu. Penyebab semua itu adalah Louis Hendrick. Louis sendiri yang menggubah istrinya menjadi sosok es membeku yang sulit dicairkan mungkin dengan api sekalipun. Dan ia harus menuai apa yang telah ia tanam sekarang.

Namun bagi Louis, bagaimana Aluna dulu dan sekarang, takkan merubah apapun untuknya. Aluna tetap menjadi Aluna yang ia cintai. Aluna yang menolong hidupnya, Aluna yang menjadi pembawa tawa bahagianya, dan Aluna sang istrinya yang kuat berdiri di sampingnya. Selamanya, Louis akan mencintai istrinya apa adanya dan takkan pernah meninggalkan mulai sekarang.

Dengan langkah yang ringan, Louis tampak begitu ceria pagi itu. Kemeja kantor beserja jas mewahnya telah melekat dengan proporsionalnya di tubuhnya, kecuali jasnya yang masih belum di kancing. Perutnya pun sudah diisi hingga kenyang oleh masakan istrinya yang selalu setia memasakkan makanan kesukannya.

Louis menghampiri Aluna yang seperti biasa, lambat dalam memakan sarapannya. Memanggil perempuannya dengan manis untuk menarik perhatiannya. "Sayang, tolong pasangkan dasiku."

Aluna pun dengan wajah khas datarnya yang tak pernah berubah, bangkit dari duduknya. Hendak meraih dasi itu sebelum kemudian mematung begitu dasi itu di tangannya.

Tiba-tiba saja rasa sakit yang amat sangat menyerang seluruh penjuru isi kepalanya. Sangat sakit hingga membawa perasaan menyakitkan itu ke dadanya, sehingga matanya berkaca-kaca dalam geming. Dasi ini mengingatkannya pada salah satu malam terkelamnya. Malam di hari ulang tahun Louis.

Bukannya memasangkannya ke leher Louis, Aluna malah menitihkan sebuah air mata karena tak kuat menahan rasa sakit di kepala serta di dadanya yang terasa sangat sesak. Dengan langkah hentak nan keras, Aluna meremas salah satu dasi yang pernah Aluna berikan di hari ulang tahun Louis dulu. Dengan kasar pun Aluna membuang dasi itu ke dalam tong sampah.

"Aluna!"

"Keluar," lirih Aluna menatap lantai. Ia tak mau memperlihatkan Louis akan air matanya yang sejak lama ia tahan, walau itu hanya setetes. Namun, pada akhirnya tetes itu tetap keluar karena rasa sakit yang menyerang beberapa bagian tubuhnya. Terutama bagian memori kepalanya, di situ terasa sangat sakit.

"Aluna! Kenapa kau membuang dasi itu?!" sela Louis masih tak terima dengan dasi itu.

Awalnya ia pikir, Aluna akan merasa sedikit terobati jika melihat dirinya memakai dengan bangga dasi pemberian istri tercinta itu di hari-hari kerjanya. Namun, respon yang ia dapat sekarang malah berbanding sangat terbalik dengan apa yang ia bayangkan hingga tersenyum bahagia memikirkannya.

"AKU BILANG KELUAR!!" Jerit Aluna yang membuat Louis tersentak kaget. Ia hendak merengkuh tubuh rapuh istrinya tapi ia mundur begitu perempuannya kembali menjerit menyuruhnya menjauh.

Demi istrinya agar Aluna tenang, Louis pun dengan perasaan sedih serta kecewa, melangkah pergi. Tanpa memakai dasi di hari senin ini. Jika ia perlu pergi selama beberapa jam agar Aluna tenang, maka ia lakukan. Namun jangan harap, Louis akan pergi untuk selamanya dari sisi perempuannya itu.

Tubuh Aluna tersorot ke lantai begitu ia mendengar deru mobil yang menjauh pergi dari lingkungan rumah itu, meninggalkan Aluna yang sekarang tengah menatap menerawang dalam diamnya dengan air matanya terus meluncur perlahan.

Aluna terus memukul dada dan kepalanya secara bergantian, berusaha menghilangkan rasa ditikam pada kedua tempat itu. Namun sayangnya, yang Aluna dapatkan malah sakit yang semakin jadi. Membuat perempuan itu mengerang, merasakan sakit. Sakit yang berasal dari memorinya dan berdampak pada bagian tubuhnya. Rasa sakit yang dibuat oleh pria itu, Louis.

***

Louis pulang lebih awal dari kantor. Ia tak bisa berkonsentrasi sama sekali selama mengerjakan tugasnya sebagai pimpanan di perusahaan itu. Jadi, ia lagi-lagi memilih pulang saja lebih awal. Ia tak mau perusahaannya kenapa-kenapa hanya karena pimpinan yang sedang dirundung kegalauan.

Namun, sebenarnya Louis tak benar-benar pulang. Ia memang pulang lebih awal, tetapi tidak pulang ke rumahnya. Ia merasa Aluna masih membutuhkan waktu yang lebih agar menenangkan dirinya sendiri.

Walau itu berat, Louis harus melakukannya. Ia harus mengorban dirinya yang seperti biasa selalu merindukan Aluna. Jujur, ia ingin menjadi obat Aluna dan menenangkan perempuan itu dalam dekapannya sebagai pria Aluna. Namun, ia tak bisa, ia malah seperti menjadi racun bagi Aluna, membuat perempuan itu semakin menjerit ketakutan setiap Louis membawa memori yang selama ini selalu menyakiti Aluna. Dan cara terbaik adalah menjauh sang racun ini dari sang perempuan.

Itulah kenapa sekarang ia malah berhenti di salah satu klub yang menyediakan bar mewah yang sering ia datangi dulu. Hanya untuk minum. Namun, bukannya meminum alkohol mewahnya, Louis malah hanya diam menatap gelas langsing itu tanpa minat sedikit pun meminumnya.

Begitu terus hingga jam menunjukkan pukul delapan malam. Menandakan bahwa Louis sudah ada di bar itu selama empat jam lebih dan ia baru menenguk dua kali minumannya itu.

Akhirnya Louis tak bisa menahannya lebih lama lagi. Ia ingin melihat wajah istrinya, perempuan yang ia cintai. Jika perempuan itu tak bisa membuka hatinya lagi untuk Louis, maka ia sendiri yang akan memaksa perempuan itu kembali menjadi miliknya kembali. Entah cara apapun itu. Louis bahkan tak perduli jika ia harus dianggap egois ataupun brengsek.

***

Louis tiba di rumah itu tepat jam hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Dengan tak sabaran ia memasuki rumah itu, entah kenapa ia merasa sangat cemas sekarang. Ia tak mau Aluna sampai pingsan seperti yang dulu-dulu.

Namun Louis terheran begitu memasuki rumahnya. Lampu-lampu ruangan itu sudah menyala dengan terang di setiap penjuru rumah itu. Namun bukan itu yang membuat Louis heran, melainkan Aluna yang duduk bak patung di salah satu sofa ruang tengah rumah itu. Perempuan itu menatap Louis tanpa ekspresi sehingga sulit bagi Louis untuk menebak atau mencerna isi pikiran istrinya itu.

Dan yang membuat Louis semakin tertegun di tempatnya yaitu adanya kedua orang tua Louis yang duduk masing-masing di samping Aluna. Melihat itu seketika membuat perasaannya panik dan tidak tenang. Apalagi Alun tampak tak menatapnya sedangkan kedua orang tuanya menatap dirinya seperti Louis telah menghancurkan kehidupan seseorang.

"Akhirnya kau pulang juga," ucap Rachel pada Louis yang tetap bergeming.

Kemudian ia mulai menyadari hal yang aneh dan membuat dadanya bergemuruh ketakutan saat ia sadae pandangan mata Aluna berada dia atas meja kaca yang ada di hadapan Aluna dan Louis yang sedang saling berhadapan.

Dan saat itulah kemarahannya memuncak di ubun-ubun kepala Louis, siap meledakkannya kapan pun ia mau. Ia melihat sebuah amplop cokelat tengah berada di meja itu.

Tanpa Louis membuka atau membaca surat itu, Louis tahu apa isinya. Mengingat ini bukanlah kali pertamanya ia melihat amplop laknat itu.

"Aluna..."

"Louis, kau harus-"

"Biar aku yang bicara, Bunda," ucap Aluna menyela Rachel yang hendak berucap kepada Louis yang benar-benar terlihat marah.

"Ayo, kita bercerai." kata perempuan itu dengan nada yang begitu dingin dan tegas. "Kali ini benar-benar bercerai," tambah Aluna dan kembali menekan kata cerai, membuktikan bahwa ia benar-benar tak bercanda sekarang.

"ALUNA!" teriak Louis frustasi melihat Aluna bahkan tak ada niat untuk memandangnya. "Kumohon sayang, kita bisa memulai semua ini kembali! takkan ada pengkhianatan lagi, aku bersumpah!" kata Louis memohon bahkan ia sudah menggeggam erat kedua tangan Aluna, bersimpuh di hadapan Aluna.

Aluna hanya memejamkan matanya dengan rapat seolah menahan suatu gejolak yang akan ia tumpahkan semuanya, jika ia tak bisa menahannya lebih lama lagi. Sedangkan kedua oorang tua Louis tetap memilih diam. Berharap Aluna bisa mengakhirinya sendiri.

Rachel dan Joan sebenarnya juga tak ingin semuanya berakhir seperti ini. Namun, mereka sudah malu untuk meminta Aluna memaafkan putra mereka. Mereka hanya datang untuk berbicara secara langsung dengan Aluna setelah mengetahui kebenarannya, dan mereka hanya bisa menghela napas pasrah saat Aluna menunjukkan surat cerita kepada mereka. Baik Rachel maupun Joan, mereka tidak akan membujuk atau menghalangi keputusan Aluna.

Kedua orang tua Louis kemudian keluar dari rumah itu. membiarkan keduanya menyelesaikan apa yang memang harus mereka akhiri karena semuanya sudah hancur.

"Aluna..." lirih Louis lagi.

"CUKUP LOUIS!" teriak Aluna di depan Louis yang perlahan mulai meneteskan air matanya.

Semakin lama air mata Louis semakin berlinang saat mendengar semua perkataan Aluna.

"Berhentilah mencoba memperbaiki semua ini. Tempatmu di hatiku sudah tidak ada lagi. Bahkan sepertinya hatiku juga sudah tidak ada. Jadi berhentilah bersikap seperti ini!"

"KENAPA?! KENAPA ALUNA!" akhirnya Louis tidak bisa mengatur emosinya lagi. Ia sudah menangis sejadi-jadi di hadapan perempuan yang pernah mencintainya dengan tulus yang bodohnya ia buang dan ia acuhkan. "Kenapa tidak ada tempat lagi untukku di hatimu?! Aku mencintaimu!"

"Aku juga mencintaimu! Memberikan seluruh hatiku padamu! Tapi lihat apa yang terjadi! Kau malah membuang cinta yang kuberikan suka rela padamu hanya demi selingkuhanmu! Hanya demi perempuan itu!" Aluna sebenarnya sangat ingin menangis. Miris sekali keadaannya sekarang. Tapi air matanya sudah bener-benar mengering sekarang. Air mata yang ia tumpah untuk rumah tangganya yang berantakan sudah habis sekarang.

Aluna hanya terus menatap Louis yang berlutut di hadapannya, memohon cinta dan kepercayaannya lagi. Aluna tersenyum miris menatap Louis yang memohon dengan air mata yang berlinang. Sangat menyedihkan di mata Aluna.

Apa Aluna juga semenyedihkan itu dulu saat memohon cinta Louis? Apa Aluna dulu seputus asa Louis sekarang? Jadi begini cara Louis menatap Aluna dulu? Dengan tatapan merendahkan seakan dia bukan siapa-siapa? Hanya itu pertanyaan yang membuat Aluna melamun menatap sinis Louis. Betapa bodohnya ia dulu.

Aluna pun bangkit dari duduknya, berniat pergi meninggalkan Louis bersama kertas perceraian yang siap Louis tandatangani. Namun pergerakannya terhenti karena Louis langsung memeluk perut Aluna sambil berlutut.

"Sayang, beri aku kesempatan kedua!" mohon Louis yang hanya bisa berharap dengan wajah yang ia benamkan di perut rata Aluna, tempat buah cinta mereka pernah ada, dengan sangat pasrah dan putus asa membuat Aluna semakin menyinggung senyuman pedih.

"Kesempatan kedua?" Aluna tertawa dengan nada merendahkan. "Apa maksud kesempatan yang untuk kesekian kalinya?"

Louis mengangkat kepalanya menatap Aluna, tidak mengerti sama sekali dengan maksud Aluna.

"Kesempatanmu keduamu sudah lewat hampir setahun yang lalu. Bahkan di hari berikut setelah kau mengatakan kau mencintai mantanmu itu dan kembali bersama dengannya, kesempatan kedua mulai keberikan hingga hari-hari berikutnya berubah menjadi kesempatan ketiga, keempat dan seterusnya hingga aku tidak tahu sudah kesempatan keberapa yang aku berikan padamu." teriak Aluna frustasi. "Tapi setelah melihat kalian berdua berpesta di hari kematian ibuku dan merayakan buah cintamu bersama Victoria, saat itu juga aku benar-benar sudah menutup seorang Louis Hendrick untuk memasuki hatiku. Dan kesempatan terakhir pun berakhir saat itu juga. Lalu sekarang kau dengan tidak malunya meminta kesempatan kedua?! Kau pikir kau siapa?! Kau pikir aku Tuhan yang bisa memaafkanmu begitu saja!"

Dengan air mata yang masih mengalir dengan begitu derasnya, Louis tidak pantang menyerah. Sekarang pilihannya mendapatkan Aluna kembali atau tidak sama sekali. Pilihan untuk hidup kembali atau mati dengan cara apapun.

"Kumohon Aluna." hanya itu terus yang dapat keluar dari bibir Louis.

Ia tidak bisa mengatakan hal lainnya lagi walaupun untuk membela diri dan memberikan alasan untuk Aluna kembali padanya. Bagaimana pun semua yang dikatakan Aluna benar. Tapi baginya sekarang yang terpenting adalah Aluna ada di sekitarnya, di sisinya, tidak peduli jika cinta Aluna sudah tidak bisa ia miliki. Asalkan ia dapat melihat wajah Aluna setiap saaat, dia tidak peduli lagi akan mendapatkan cinta Aluna. Egois memang, tapi kalau hanya itulah caranya agar Aluna menjadi miliknya. Akan dia lakukan!

"Aku ingin bercerai. Aku sudah bilang bahwa aku tidak bisa mempertahankan pernikahan ini selamanya. Dan sepertinya inilah batasnya. Bersama dirimu hanya membuatku semakin menyakitkan. Membawa memori-memori yang membuat kepalaku sakit dan rasanya ingin mati," ucap datar Aluna dengan tatapan kosong namun menyorotkan tatapan pasti.

Louis lagi-lagi membelalakkan matanya penuh ketidaksukaan mendengar kalimat itu kembali. Louis melepaskan pelukannya. Sekarang kesedihan Louis telah bercampur amarah yang sangat. Louis pun menatap Aluna dengan tatapan matanya yang terkenal tajam dan membunuh. Seakan mengunci kata-kata Aluna bahwa yang berhak memutuskan Aluna untuk pergi dari kehidupannya, hanya ialah sendiri.

"Berhentilah mengatakan kalimat sialan itu!!! Tidak akan pernah ada perceraian antara kita!!! Tidak akan pernah!!!"

Louis bangkit dan terus mengguncang bahu Aluna berusaha membuat Aluna menarik dan membatalkan keputusan. Tapi perlakukan Louis itu malah menyakiti fisik Aluna karena Louis mencengkram bahu Aluna terlalu keras karena pria itu begitu diliputi oleh kemarahan.

"Louis lepaskan!! Sakit!" Aluna berusaha menghentikan Louis yang kali ini memeluknya dengan sangat erat, tidak mau melepaskannya sedikit pun.

"Tidak akan! Aku tidak akan pernah melepaskanmu dari hidupku lagi! Dengar itu baik-baik!" bentak Louis sembari mempererat pelukannya pada Aluna hingga terasa perempuan itu bisa remuk jika Louis lebih mempererat pelukan itu lagi.

Namun, Aluna berhasil menghentakkan tangan Louis agar terlepas dari tubuhnya dan saat itu terjadi,Aluna segera berlalu pergi, sebelum Louis benar-benar akan mengingatnya di dalam rumah itu.

Tepat setelah Aluna keluar, Joan dan Rachel kembali masuk dengan tatapan wajah yangbenar-benar kecewa. Sedangkan Louis hanya bisa berdiri dengan lunglai di tempatnya. Pandangan Louis hanya bisa menunduk. Penyesalan sekali lagi tak ada artinya. Semuanya karena salahnya sendiri.

Louis akhirnya menangis karena dipenuhi penyesalan. Benar-benar ia merasa bahwa ia telah menjadi pria terkutuk. Selain telah berdosa menyakiti hati istrinya, Louis juga berdosa karena durhaka tidak mendengarkan nasihat sang bunda dan lebih memilih membangkang dengan tidak mendengarkan bahwa Victoria bukanlah perempuan yang baik.

Ya tuhan! Louis sadar. Seharusnya ia dibunuh saja. Namun ia berjanji! Selama Aluna masih hidup, maka Louis Hendrick juga akan terus hidup bersama Aluna.

"Ceraikan Aluna," titah ayahnya yang sekarang tengah sibuk memijat kedua pelipisnya. Rasanya ingin ia terkena serangan jantung karenamelihat semua tingkah tak terhormat putranya. Joan sudah benar-benar kehilangan kata-kata untuk putra satu-satunya itu.

Air mata Louis seketika terhenti. Ia menatap ayahnya dengan beribu perasaan yang menyakitkan, sedih, marah, kaget dan lain-lainnya. Louis dengan bergontai berjalan ke arah Joan yang sangat ia hormati sejak ia kecil. Berlutut di hadapan sang ayah yang duduk di sofa rumah mereka masih sambil memijat pelipisnya yang berdenyut sakit.

"Kumohon, Ayah. Akan kulakukan apapun kecuali berpisah dengan Aluna. Kumohon!" pinta Louis yang mengemis permohonan pada ayahnya sendiri.

Namun sang ayah hanya menatap Louis tajam, berusaha menjelaskan bahwa itu bukan permintaan melainkan perintah dari sang ayah.

"LOUIS! CERAIKAN ALUNA!" titah Joan lagi dengan bentakan yang tidak membuat Louis bergeming sedikit pun. "Demi Aluna sendiri."

"Louis! Ikuti perintah ayahmu!! Kau harus memikirkan kebahagian Aluna juga!!" kali ini Rachel kembali mengangkat suaranya.

Louis pun memandang emosi kedua orang tuanya. Sekarang matanya tidak lagi menyorotkan permohonan ataupun kepasrahaan. Sekarang matanya tajam berapi karena sangat marah. Mungkin bisa dibilang, hari ini adalah titik kemarahan terbesarnya selama ia hidup.

Louis yang tadinya berlutut menyedihkan, bangkit dan menatap tajam.

"BAIK... AKU AKAN MENCERAIKAN ALUNA... TAPI DETIK ITU JUGA SAAT PALU TERKETUK... KALIAN AKAN MELIHAT MAYAT MENGENASKANKU DI DEPAN KALIAN SEMUA!!" bentak Louis penuh amarah. "KARENA ALUNA BUKAN SEKEDAR ISTRIKU, DIA NAFASKU! BUKAN SEPARUH! TAPI SELURUH NAFASKU!"

Rachel dan Joan yang ada di sana menatap Louis tidak percaya. Apa Louis segila itu hingga memikirkan hal separah itu? Mereka sebenarnya takut dengan kata-kata Louis karena mereka sangat mengenal putra mereka, seorang pria yang selalu menepati kata-katanya termasuk ancaman.

"LOUIS!" hanya kata itu yang bisa keluar dari bentakan Joan. Ia rasanya benar-benar kehilangan akal dan kata-kata untuk putra satu-satunya itu.

"Apa kalian tahu bagaimana perjuanganku selama ini?! Apa kalian tahu seberapa banyaknya doa yang kulantunkan setiap detik saat mendengar Aluna kecelakaan?! Semua doaku saat itu hanya berharap bahwa Aluna selamat dan membiarkan perempuan jalang itu saja yang mati!! Apa kalian tahu segila apanya diriku ini saat Aluna tidak bangun dari koma?! Apa kalian tahu akan semua yang telah kulalui?! TIDAK! KALIAN TAK TAHU APA-APA!" Louis yang kehilangan kendali dirinya sudah marah dengan urat leher yang terlihat jelas. Keringat dan air matanya telah menjadi satu. Sungguh, pemandangan yang menyedihkan dan menakutkan. "Dan sekarang dengan mudahnya kalian menyuruhku meninggalkan Aluna?!!"

"Louis... Aluna sudah tidak menginginkanmu lagi," ucap Rachel.

Ucapan ibunya membuat Louis benar-benar terpukul hingga rasanya dunia di sekitarnya berputar. Matanya kembali memanas. Ia bisa merasakan dengan jelas aliran air mata terus meluncur dengan mulus di pipinya.

"BAIK. BAIKLAH!! AKU AKAN BERCERAI!"

Louis dengan marah meraih amplop itu. Tanpa membaca ataupun melirik hal lain, Louis langsung mengambil penanya. Menandatangani beberapa halaman dengan gertakkan gigi yang geram emosi. Lalu membanting pena itu bersama kertas-kertas itu ke meja di hadapan Aluna dan kedua orang tuanya, menimpulkan suara dentuman kaca yang cukup keras.

Louis pun menatap dengan tatapan amarah penuh kesakitan pada dua orang di depannya itu. Louis kemudian memberikan beberapa kata yang membuat semuanya kembali tertegun sebelum pintu kamar Louis itu ditutup dengan bantingan yang benar-benar memekakan telinga.

"SEKARANG, SIAPKANLAH PETI MATIKU!"

Aluna yang berada di balik pintu utama rumah itu hanya bisa diam bersandar. Dia mendengar semuanya. Ia akhirnya mendengar putusan akhir Louis yang menyetujui perceraian mereka. Mendengar bantingan pintu Louis pun membuat Aluna perlahan menutup matanya sehingga setitik air mata jatuh dari salah satu matanya.

Ia harus meninggalkan Louis. Ia harus bisa hidup tanpa Louis. Ia harus bisa bangkit dan melupakan masa lalu kelam di belakang mereka. Aluna harus menyembuhkan dirinya. Dia harus pergi dari cintanya sekaligus racunnya.

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top