After Love Part 14

Media : Moment of Farewell - Kyuhyun

***

I let out a big breath.
Kumenghela napas berat.

I couldn't really hear what you just said.
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang baru saja kau katakan.
All of our moments, all of the scenes have gotten blurry.
Semua memori kita, semua kenangan kita menjadi buram.

I remember when you said.
Aku ingat saat kau berkata.
You didn't hate me enough to break up.
Kau tidak cukup membenciku untuk berpisah.
But, then you didn't care enough to love me.
Tapi kau menjadi tidak perduli untuk terus mencintaiku.
You already brought your cold words one by one.
Kau mulai mengatakan kata-kata dingin satu demi satu.
And I have nothing really to say.
Dan aku menjadi bungkam.

In your smoothly flowing words.
Dalam setiap kata yang mengalir darimu.
Even the erased memories are being written again, as it becomes smaller.
Bahkan memori yang perlahan terhapus dicoba untuk perlahan dituliskan kembali.

Maybe I feel sorry, maybe I want to run away right now.
Mungkin aku menyesal, mungkin aku ingin melarikan diri sekarang.
I'm just filled with resentment during the moment of farewell.
Aku dipenuhi oleh rasa kebencian dari perpisahan ini.

Did it have to be today? Did it have to be here?
Haruskah hari ini? Haruskah di sini?
I'm not even ready for this.
Aku bahkan tidak siap untuk perpisahan ini.

***

Awalnya Louis hanya terdiam menelaah informasi tambahan itu. bagaimanapun setelah bertemu Tony yang menjelaskan hal yang sebenarnya, Louis langsung sadar bahwa surat kehamilan yang diberikan oleh Victoria sebelumnya sudah pasti palsu. Mengingat Louis memang tidak pernah menyentuh jauh Victoria secara langsung. Sehingga tanpa perlu menanyakan kebenarannya pada perempuan itu, Louis sudah tahu bahwa perempuan itu memang tidak pernah mengandung anak Louis. Dan malah membuat cerita yang sama dengan cerita yang ia pakai untuk menjebak Tony.

Namun, mendengar apa yang yang dikatakan oleh dokter itu membuat Louis tak bisa berkata-kata. Korban kecelakaan itu adalah Victoria dan Aluna. Setelah mengetahui kebohongan Victoria, harusnya dokter itu tidak mengungkit apapun tentang kehamilan. Karena perempuan itu sama sekali tidak sedang hamil. Tidak mungkin, kecuali satu hal.

Dengan was-was dan rasa frustasi yang kembali menyerang perlahan, Louis kembali berbicara, "Ha—hamil?"

Dokter itu mengangguk. "Iya, salah satu korban sedang hamil dan sayang sekali karena janin yang masih muda dan cukup rapuh, wanita tersebut harus kehilangannya di kecelakaan ini."

Bahu Louis yang menegang ketat, seketika menyurut dan punggungnya langsung ia jatuhkan ke sandaran kursi itu dengan kasar, seolah nyawanya baru saja terengut dengan paksa.

"Apa kedua korban semuanya hamil?" tanya Louis seolah benar-benar takut dengan apa yang ia pikirkan.

Dokter menggeleng. "Hanya satu. Korban yang satunya tidak sedang mengandung sama sekali."

"Si—siapa wanita itu?" tanya Louis dengan air mata yang perlahan jatuh. Sebuah nama sudah terpikirkan di kepalanya. Namun, ia tetap menanyakannya seolah ingin memastikannya lebih.

Dokter hanya menghela napas lelah. Ia kemudian merongoh sebuah plastik dan menyerahkannya kepada Louis yang masih terdiam, menatap kosong di depannya. Dokter menyerahkan plastik segiempat yang berisi dompet, ponsel, kunci rumah, dan beberapa benda yang para medis temukan dari dalam tas si korban kecelakaan mobil itu.

"Namanya Aluna Arianya. Ini barang-barangnya yang ada di tempat kecelakaan."

Louis tak terdiam. Ia membatu karena syok. Aluna, istrinya yang seharusnya ia cintai sampai akhir, perempuan yang selama ini mengandung anaknya yang sebenarnya, tengah berada di ambang batas maut. Dan perempuan itu kehilangan janin.

Anak mereka berdua. Dan ini semua salahnya. Kematian buah hati mereka, karena kebodohan Louis.

***

Ryan terus tertawa di samping ibunya yang juga sedang tertawa menonton tayangan komedi bersama. Namun, tawa itu tak bertahan lama setelah ia melihat waktu yang menunjukkan pukul tujuh malam.

Dengan lirikan kecil, Ryan melirik ponselnya yang masih damai tanpa satu dering sedetik pun. Ini aneh. Kata Aluna, ia akan langsung datang ke rumah mereka begitu sidang perceraiannya selesai. Tidak mungkin sidang itu belum selesai hingga malam begini? Padahal sidang perceraian mereka dimulai siang tadi.

Ia mulai cemas. Ia takut Aluna kenapa-kenapa. Kondisi 'yang tidak diketahui Aluna' itu harus tetap stabil. Ia tak boleh jatuh pingsan lagi seperti dua minggu yang lalu.

Tepat setelah Aluna pingsan di depan pintu mobil Ryan, Ryan pun langsung menggendong Aluna dan membawanya segera masuk ke dalam rumah sakit itu kembali. Ia berlari memasuki salah satu kamar inap pasien yang—ia lihat—kosong dan langsung merebahkan tubuh pucat Aluna ke atas kasur itu secara perlahan, sebelum ia kembali berlari, memanggil dokter agar memeriksa kondisi Aluna.

"Dia kenapa? Dia tiba-tiba pingsan saat hendak pulang tadi. Apa dia tak apa-apa? Apa ini serius?" tanya Ryan beruntun begitu ia melihat sang dokter yang juga dulu pernah merawatnya saat kecelakaan, selesai memeriksa tubuh Aluna yang masih tak sadarkan diri.

Dokter itu hanya tersenyum kecil. "Ia tak apa-apa. Hanya kelelahan dan butuh istirahat lebih. Wanita hamil memang sering kali pingsan jika ia terlalu memaksakan tubuhnya bekerja terlalu keras. Bagaimanapun sekarang energi tubuhnya harus di bagi dua dengan janin itu. Jadi ia harus lebih banyak istirahat."

Ryan melongo di tempatnya. Tidak percaya bahwa ternyata selama ini Aluna mengandung anaknya bersama Louis. Dan perempuan itu sepertinya tidak menyadarinya.

Dokter hanya mengangguk menanggapi. "Iya, dari yang kulihat, mungkin ini sudah tiga bulan lebih." Dokter itu kemudian tertawa kecil. "Pantas saja anak ini tampak lebih berisi, ternyata dia sedang hamil. Seperti keluarga Hendrick akan segera mempunyai cucu penerus. Dan seperti yang kuperiksa, janin ini adalah janin yang sabar dan tenang. Ia sepertinya tak membawa dampak yang memberatkan ibunya seperti morning sickness dan pusing. Mungkin itu juga karna daya tahan tubuh Aluna yang kuat."

Ryan hanya bergeming di tempatnya. Ia tak terlalu mendengar kalimat-kalimat bahagia dokter itu. Ia hanya menatap wajah manis Aluna yang polos. Tiga bulan katanya? Berarti buah hati Louis dan Aluna itu memang sudah mulai berkembang bahkan sebelum datangnya mantan kekasih Louis itu?! Dan menyedihkannya, tak ada yang menyadari kehadiran janin mungil itu baik ayah mau pun ibunya?

Betapa kasihannya Aluna. Perempuan yang baik nan polos itu bahkan harus mengandung dalam keadaan selalu tersakiti. Bahkan secara tidak langsung ia dan buah hatinya harus melihat pengkhiatan Louis, ayah sang janin. Pasti Aluna begitu sibuk memikirkan jalan untuk rumah tangganya, sehingga perempuan itu juga tak menyadari kapan menstruasinya.

"Aku sarankan dia lebih baik cuti kerja dulu, demi mengembalikan kesehatannya secara sempurna sebelum kembali beraktifitas. Ia tak boleh sampai pingsan lagi. Walaupun kali ini janinnya tak apa-apa. Aku tak bisa menjamin jika ia pingsan lagi, itu takkan berdampak bagi janinnya. Jadi pastikan ia harus terus beristirahat seminggu penuh ini," katanya membuat Ryan dengan gesit mencatat semua itu di kepalanya. Aluna tak boleh kelelahan.

Sejak itu pun, Ryan menjadi lebih protektif kepada Aluna. Aluna tak boleh banyak bergerak, Aluna tak boleh mengangkat berat, Aluna tidak boleh kelelahan, dan masih banyak pantangan lainnya yang dibuat oleh Ryan untuk Aluna yang tak tahu apa-apa.

Hingga ia benar-benar cemas saat ia menemukan Aluna hilang dari rumah sakit kemudian muncul dengan begitu terpuruk di rumahnya. Sebelum satu masalah lagi membuat Ryan melihat bahwa Aluna sudah benar-benar menembus batas kesabarannya. Bahkan sorot mata Aluna saat itu begitu berbeda dan tak ia kenali. Perempuan itu sangat kecewa.

Suaminya merayakan hamilnya selingkuhannya, padahal Aluna, istrinya sahnya yang mengandung anak sahnya pun ia abaikan bahkan ia bentak. Ryan yakin, kemarahan Aluna malam itu selebihnya muncul dari rasa kecewa janin yang ada di dalam rahim Aluna melalui sang ibu. Walau janin itu masih sangat kecil, tapi ia juga makhluk hidup yang berperasaan. Janin itu pasti menyadari, ayahnya berkhianat padanya dan ibunya.

Kemudian Ryan akhirnya bersyukur, beberapa hari setelah kejadian itu, Aluna tak menampakkan gejala yang akan berdampak pada janinnya. Keesokkan harinya, Aluna kembali menjadi Aluna yang ia kenal. Walau pun terkadang ada tatapan kosong yang muncul saat perempuan itu sendirian, membuat Ryan semakin cemas jika itu sampai berdampak pada kesehatan janin Aluna.

Akhirnya Ryan yang tak bisa menunggu lebih lama lagi, segera meraih ponselnya. Ia menelpon Aluna dengan sedikit gusar saat deringan pertama panggilannya itu tak mendapatkan jawaban dari Aluna. Bahkan di deringan kedua pun juga begitu sebelum deringan ketiga akhirnya panggilannya terjawab.

"Halo?"

Ryan mengernyit tak mengerti. Ini memanglah suara perempuan, tapi itu bukanlah suara Aluna. "Siapa ini?"

"Apa anda juga kerabat korban?"

Pertanyaan itu membuat Ryan semakin gusar bahkan bangkit dari duduknya. "K—korban?!" tanyanya mengulang kata yang membuatnya seketika menjadi cemas.

Ibu Ryan yang melihat itu hanya menatap tak mengerti. Ia memilih menunggu anaknya selesai menelpon.

"Iya, perempuan bernama Aluna Ariana ini adalah korban kecelakaan siang tadi. Apa Anda kerabatnya?"

***

Louis dengan lunglai layaknya mayat hidup yang sudah tak punya harapan untuk kembali hidup, berjalan dengan tergontai memasuki salah satu kamar di ICU itu. Di sana ia melihat istrinya terbaring lemah seolah tak ada roh yang menopang tubuhnya, dengan beberapa alat bantu hidup yang melekat pada tubuh indah yang Louis benar-benar rindukan untuk ia dekap.

"Operasi ini masih belum bisa membantu pasien. Benturan yang dialami kepala pasien begitu serius dan keras. Kami bahkan cukup bersyukur dia masih bisa bertahan sampai sekarang, walaupun dalam keadaan koma. Dan soal bangunnya sang pasien, kami tak bisa menjamin. Hanya keajaiban yang bisa membangunkannya. Maaf, ini sudah takdir. Kami tak bisa berbuat apa-apa lagi." Ia kembali teringat kata-kata dokter yang menangani operasi penyelamatan sekaligus pengangkatan janin yang sudah tak bernyawa dari rahim istrinya.

Janin yang seharusnya menjadi anak kebanggaan dan kesayangannya dalam enam bulan lagi. Tapi ia mengabaikan dan tak menyadari darah dagingnya itu. Pasti buah hatinya yang sekarang berada surga membencinya.

Betapa malangnya nasib sekaligus hukuman untuk pria brengsek sepertinya. Hukuman ini benar-benar sepadan dengan semua kekhilafan yang telah ia lakukan. Benar-benar hukuman yang sempurna hingga mencabik-cabik hati terdalamnya dengan brutal. Istrinya koma di mana persen kematian jauh lebih besar dari persen keajaiban. Dan juga buah hatinya yang pergi bahkan sebelum Louis bisa menyentuh ataupun mengetahui janin di dalam kandung itu melalui perut lembut Aluna.

Semua sudah terlambat. Bahkan mesin waktu juga pasti akan enggan membawanya kembali seperti dulu. Karena semua ini salahnya. Kesalahannya terlalu besar.

Louis terduduk dengan mata yang berkaca-kaca di ekpresi datar tak terbacanya. Air matanya pun sudah enggan kembali jatuh, setelah ia menangis dan berteriak ke semua dokter yang hanya terus memberikannya harapan semu. Ia hanya ingin istrinya kembali ke pelukannya seperti dulu. Apa itu harapan yang berlebihan?

Sepertinya iya.

"Aku mencintaimu, Louis."

"Victoria, apa kau masih mengharapkannya?"

"Doaku di ulang tahun kali ini yaitu dikehidupan selanjutnya, aku akan tetap menjadi kekasihmu, istrimu, dan cintamu lagi."

"Jangan pernah tinggalkan atau menyakitiku. Aku mungkin akan diam dan bertahan di sampingmu tapi percayalah, itu akan sangat menyakitiku."

Kata-kata yang pernah Aluna ucapkan itu membuatnya semakin dipukul dengan keras pada dadanya. Ia sadar ia telah begitu menyakiti perempuan yang tulus terus berdiri di sisinya dalam keadaan apapun, hanya demi sebuah godaan yang membuat iblis membutakannya pada ketulusan Aluna selama ini.

Ia sadar bahwa ia memanglah sangat mencintai Aluna setelah perempuan itu melayangkan gugatan cerai padanya. Saat itulah Louis sebenarnya sudah sadar. Ia tak mau kehilangannya perempuannya itu. Ia tak mau Aluna tak tinggal bersamanya lagi, Ia tak mau jika tak melihat Aluna lagi, dan ia juga tak mau Aluna berhenti berstatuskan sebagai istrinya sahnya. Ia tak mau Aluna pergi dari sisinya. Ia kira Victorialah cinta sejatinya tapi setelah katakan cerai keluar dari bibir Aluna, Louis rasanya mau gila saat itu juga. Hanya saja ia masih cukup bodoh.

Dan ia tahu, ia hanya tak ingin kehilangan Aluna seorang. Karena yang dicintainya sebenarnya secara tulus adalah Aluna. Victoria hanyalah godaan. Alunalah cinta sejatinya. Cinta yang ia cari-cari selama ini. Dan ia merasa marah begitu ia menyadari kebodohannya begitu perempuan itu meninggalkannya sendirian. Bahkan kehadiran Victoria setelah itu benar-benar memuakkannya. Dan Victoria semakin menjijikkan seolah apa yang ia dengar dari Tony.

Bagaimanapun saat mendengar kabar kecelakaan itu, satu-satunya yang ada di kepala Louis hingga hampir membuatnya gila yaitu hanya Aluna seorang. Ia tak perduli jika ada yang satu korban meninggal atau tidak, yang ia pedulikan adalah Aluna harus menjadi korban yang selamat!

Jika keajaiban membantunya, ia bersumpah takkan pernah meninggalkan atau sampai mengabaikan Aluna lagi. Ia akan menjaga perempuan itu agar tetap di sisinya. Dan jika perempuan itu tak selamat dari kritisnya ini, ia bersumpah akan langsung menyusul Aluna saat itu juga. Hidup tanpa Aluna di dunia ini nanti, sama saja kiamat untuknya.

Louis menatap wajah malaikat manis istrinya. Wajahnya tenang seolah ia sedang tertidur nyenyak, tak ada raut wajah seolah rohnya sedang melawan maut sekarang. Seolah Aluna memang tak berniat sama sekali untuk melawan untuk menang dari mautnya itu.

Ia meraih tangan Aluna yang di dekatnya. Mencium punggung tangan itu sembari kembali menjatuhkan tetes air matanya. Ia kemudian mengelus pucuk kepala Aluna dengan sayang sebelum mulai berbicara pada tubuh istrinya.

"Itu tak benar 'kan, sayang? kau pasti akan bangun, kan? Kau tak mungkin meninggalkanku sendiri, kan? Kumohon berjuanglah demi aku! Agar kita bisa kembali seperti dulu lagi, sayang. Kumohon, setelah kau bangun kau boleh menghukumku, memukulku, menamparku seperti sebelumnya, atau memakiku tapi jangan tinggalkan aku yah, hmm?" bisik Louis dengan lirih. Terdengar jelas nada kesakitan di setiap katanya.

Louis yang hendak mencium kening istrinya itu tiba-tiba saja terpental ke belakang hingga jatuh dengan tak berdayanya.

"Kau!" Louis menatap pria yang baru saja mendorongnya dan bahkan sekarang telah memegang kedua sisi kerah kemejanya dan mengangkat kerah itu agar Louis berdiri.

"INI SEMUA GARA-GARA KAU!" Pukulan dari kepalan tangan Ryan pun mengenai rahang kokoh Louis dengan tepat sasaran membuat pria itu kembali terpental, bahkan sudut bibirnya sudah terluka mengeluarkan darah segar.

Louis bukannya tak bisa melawan, ia pasrah. Ia tahu ini pantas untuknya atau bahkan bisa dibilang kurang. Mungkin akan sepadan jika dia juga bisa berbaring lemah seperti Aluna. Louis pun akhrinya membiarkan dirinya dipukul sana sini oleh pria itu.

Walau ia menyimpan kemarahan dan kecemburuan untuk pria itu. Namun, ia merasa bersyukur akan kehadiran Ryan di sisi istrinya. Ia harus berterima kasih pada Ryan yang telah menjaga, melindungi, dan menghibur istrinya selama ia melakukan yang sekarang ia sesali. Berterima kasih kepada Ryan yang telah menggantikan posisinya selama dua bulan lebih ini.

"Kau puas sekarang melihat Aluna seperti itu?!! Kau sudah puas?!! Atau kau belum puas karena ia masih bisa bertahan?!!" bentak Ryan sembari mengguncang tubuh Louis masih dengan mencengkram kuat kerah leher bajunya.

Wajah Louis sudah babak belur tanpa ada niat ia akan membalas. Bahkan Louis sesekali terbatuk mengeluarkan darah karena Ryan beberapa kali meninju dadanya. Sekali lagi kesakitannya ini untuk mewakili kesakitan Aluna yang selama ini ia berikan pada istrinya itu.

"Kau sudah menyakiti Aluna, membunuh anakmu sendiri secara tak langsung dan juga berpesta di hari kematian ibu mertuamu sendiri! Kau senang sekarang, huh?!"

Louis tertegun. Ibu mertuanya telah meninggalkan? Kapan?

"Ibu... meninggal? Ke—kenapa?" katanya dengan bersusah payah agar batuk darahnya tak keluar lagi.

"Huh? sekarang kau peduli?!" cemooh Ryan. "Biar aku beritahu. Ibu Aluna, meninggal di hari yang sama kau merayakan kehamilan pelacurmu! Dia meninggal karena kanker! Dan aku tanya apa kau sekarang malu?! Ibu Aluna menitipkan putrinya satu-satunya kepadamu dan kau malah memperlakukan Aluna seperti sampah! Kau harus sadar, anakmu, darah dagingmu beserta almarhum ibu mertuamu yang sekarang berada di surga, sudah membencimu! Ingat itu! Kuharap Aluna segera sadar! Dan jika ia sadar nanti dan meminta berpisah! Aku harap kau dengan jantan melepasnya! Dia sudah seperti keluargaku, adik manisku! Aku tak suka keluargaku di sakiti!"

Ryan kemudian mendorong Louis sehingga Louis jatuh tersungkur dalam keadaan berlutut dan menunduk sehingga darah kembali menetes dari mulut Louis.

"Seandainya jika aku tahu kau pada akhirnya akan membuatnya seperti ini. Seharusnya aku merebutnya saja darimu, bukannya hanya menganggapnya sebagai sosok adik yang hilang," desis Ryan mengancam sebelum pria itu pergi dan membanting pintu itu dengan keras.

Louis yang merasa sudah ditinggalkan sendiri pun langsung semakin menunduk. Suara tangisan yang perlahan membesar memenuhi ruangan dingin itu. Dan sekali lagi, Louis yang terkenal sebagai pria yang kuat luar dalam menjadi rapuh. Menangis dengan histeris, menangisi penyesalannya.

Ia menangis sejadi-jadinya tak memperdulikan tangisannya yang membuat ia semakin terbatuk-batuk mengeluarkan darah merah yang kental. Semuanya sudah terlambat. Bahkan kemungkinan istrinya itu kembali hidup sangat kecil.

Kenangan dan momen bahagianya bersama Aluna selama dua tahun ini terputar dengan indah di dalam kepalanya. Itu harusnya menjadi kenangan yang bahagia, bukannya menyakitkan dadanya hingga ia hanya bisa meraung memukul dadanya yang terasa begitu sakit saat kenangan akan wajah-wajah bahagia Aluna terbit di kepalanya.

Kenangan yang indah sudah hilang, pergi dan mungkin takkan kembali. Louis semakin meradang dan meraung dalam tangisnya sebelum ia berteriak kesakitan.

"AKU INGIN KEMBALI KE SAAT ITU!!!"

Ia bersumpah, jika Aluna sampai tak selamat ia akan membunuh dirinya saat itu juga.

Ia bersumpah.

***

Delapan bulan kemudian...

"Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun pernikahan kita, selamat ulang tahun!" Suara nyanyian yang menggemaskan dari pria maskulin itu membuat suasana hening ruangan itu sedikit lenyap.

Pria itu, Louis, dengan jas kantorannya berserta topi kerucut ala pesta ulang tahun yang bertengger di kepalanya, membuat penampilannya tampak lucu. Ia juga semakin menggemaskan saat ia menepuk-nepukkan tangannya bahagia begitu ia selesai meniup kue ulang tahun yang ia letakkan di meja dekat dengan tempat tidur pasien, istrinya, Aluna.

Hari ini tepat satu tahunnya pernikahannya bersama perempuan yang paling ia cintai hingga saat ini, Aluna Ariana. Perempuan yang masih berstatus sebagai miliknya dan ia bersumpah akan menjadi status itu agar tetap menjadi miliknya.

"Aku berharap semoga Aluna-ku segera bangun, lalu kemudian kami akan seperti dulu lagi, saling mencintai dalam penuh kebahagian," doa Louis tulus.

"Kau tahu, doamu itu sangat berlebihan dan sudah pasti takkan terkabul," sela suara penuh cemoohan itu membuat Louis hanya bisa memutar bola matanya dengan jengah melihat kedatangan pria itu lagi.

"Kau datang lagi, setiap hari begitu. Apa kau pengangguran yang kerjanya hanya keluyuran?" tanya Louis berbalik mencemooh pria itu.

"Kau tak bercermin? Kau yang terlihat seperti pengangguran! Bahkan lemari pakaian dan kasur tambahanmu sudah ada ruangan ini. Ruang inap pasien ini sudah seperti kontrakan mewah karena barang-barangmu. Apa kau tak berniat membawa dapurmu sekalian? Lagipula aku dan perempuan manis itu sudah berjanji saling melindungi layaknya kakak adik. Jadi kau tak berhak melarangku melihat Aluna," kata Ryan sembari memeletkan lidahnya untuk mengejek Louis.

Persoalan antara Ryan dan Louis tidak setegang dulu. Ryan sudah lelah untuk memberi pelajaran pada Louis yang ia anggap sudah sadar sepenuhnya dari kekhilafannya di masa lalu. Sehingga Ryan mulai memaafkan Louis karena ia tahu Louis masih begitu mencintai Aluna. Ryan bisa yakin itu dengan hanya melihat melihatnya melalui ketulusan Louis yang terpancar setiap kali ia menatap Aluna yang masih dalam keadaan seperti dulu. Koma.

Lagi pula Ryan sudah puas menghajar Louis. Setelah menghajar Louis hingga berdarah seperti itu saat di hari kecelakaan, keesokkannya Ryan datang lagi untuk menjenguk sekaligus membuat Louis yang pasrah kembali memuntahkan darah. Begitu terus selama seminggu penuh hingga Louis sempat dirawat bersama Aluna selama beberapa minggu karena babak belur yang tak pernah usai diberikan oleh Ryan.

Itulah kenapa Ryan dan Louis memilih genjatan senjata bersama. Walaupun terkadang mereka tampak seperti kucing dan anjing yang saling beradu mulut dan mengejek satu sama lain. Seperti sekarang.

"Apa kau datang untuk mengejekku? Jika iya lebih baik kau pulang saja," kata Louis yang tetap tak memindahkan pandangan penuh cintanya pada Aluna.

"Iya, aku juga sudah mau pergi ke kantor. Aku hanya datang menyapa Aluna sekaligus memeriksa apa kau masih hidup," kata Ryan sembari mengusap lembut kepala Aluna sebagai tanda sapaannya pada Aluna.

"Jangan sentuh-sentuh, dia milikku!" kesal Louis.

Ryan hanya tertawa mengejek. "Dasar Tuan Posesif. Semoga kau tak dicampakkan jika Aluna bangun. Kalau begitu aku ke kantor dulu. Jangan bunuh diri, yah."

Louis sekali lagi hanya mendengus melihat tingkah Ryan yang selalu membuatnya jengah. Kemudian suara deringan ponsel Louis pun membuatnya semakin jengah. Apalagi kalau bukan panggilan kantor yang selalu saja penting itu. Namun, tetap saja bagi Louis tak ada yang kalah penting dari menjaga Aluna, tetapi sayang ia tak mau memberatkan orang-orang di kantor hanya karena ketidakbertanggung jawabannya.

Setelah menerima telepon itu, Louis segera pergi setelah menyemprotkan parfum beraroma citrus itu ke tubuhnya untuk menghilangkan aroma rumah sakit serta obat-obatan yang beberapa bulan ini menempel pada tubuhnya.

***

Louis sampai di kantornya dengan wajahnya yang begitu datar dan menakutkan sehingga aura mengerikan menguar dengan cepat ke seluruh pencuru kantor megah itu. Berbeda dengan aura penuh kerinduan dan keputus-asaan khas seorang kekasih yang merindukan cintanya yang ia keluarkan saat di rumah sakit. Itu semua hanya tameng agar ia tak tampak menyedihkan di depan karyawan-karyawannya.

Victoria yang juga saat itu masih koma sudah dikirim Louis keluar negeri. Bukannya perduli, tetapi karena Louis membuat Victoria sejauh mungkin. Ia sudah tak ingin Victoria mendekati keluarganya lagi. Ia hanya mengirim Victoria keluar negeri yang jauh. Tak perduli dengan keadaannya yang kritis Louis tetap mengirimnya.

Ia sudah tak perduli siapa yang mengurus Victoria di sana. Ia bahkan tak sudi membiaya pengobatan Victoria. Ia bahkan tak perduli jika perempuan itu sekarang sudah mati atau tidak. Karena bagi Louis, jika perempuan itu kembali mendekat padanya, Louis sendiri yang akan membunuhnya dengan tangannya sendiri. Sekarang yang hanya ada di kepala Louis hanyalah Aluna, Aluna, dan Aluna. Istrinya.

Louis menaiki lift khusus yang memang langsung menuju ke ruangannya yang berada di lantai paling teratas perusahaannya itu. Namun, saat angka lantai lift baru menunjukkan setengah dari tinggi gedungnya. Ponselnya kembali berdering dari dalam saku bagian dalam jasnya.

Dengan enggan dan malas, Louis menatap nama si penelpon yang berasal dari rumah sakit tempat Aluna dirawat sekarang. Dengan segera Louis pun mengangkat telepon yang selalu penting itu begitu melihat siapa penelponnya. Namun, sebelum Louis membuka suaranya, suara di ujung sana lebih duluan menyelanya.

"Tuan Hendrick, pasien telah sadar! Nyonya Hendrick sadar!"

***

To be continue...

Jangan lupa vomment ya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top