After Love Part 11

Media : Taeyeon - Farewell

***

Ryan menatap lekat Aluna yang sekarang tengah berbaring di salah satu kamar rumah sakit tempat perempuan itu sendiri bekerja, dengan iba. Melihat wajah polos nan cantik Aluna tak sadarkan diri seperti itu, di ruang putih yang legam, membuat hati Ryan merasa menyedihkan.

Di saat Aluna terbaring tak berdaya seperti, malah hanya ada dia seorang di sini. Tak ada kerabat kandungnya sendiri. Walaupun pingsannya Aluna bukanlah hal serius, tapi bukan berarti semua orang tak perlu mengkhawatirkan perempuan rapuh ini.

Ryan tadi sempat mencoba menelpon Louis untuk memberitahukan perihal Aluna yang pingsan melalui ponsel Aluna, tapi ia harus terbakar amarah saat panggilan itu tak diangkat oleh Louis sama sekali. Bahkan pria itu menulis pesan 'jangan ganggu aku, aku sedang rapat.' sebagai respon dari panggilan yang sengaja tak Louis jawab itu.

Rasanya hampir saja Ryan ingin menelpon atau mengirim pesan ke pria itu untuk menyemprot dan memaki atas ketidakperdulian Louis, tetapi ia urungkan. Ia tak mau Aluna mendapat masalah lebih lagi dari suaminya karena ia telah ikut campur terlalu jauh.

"Kak Ryan?"

Ryan memfokuskan pandangannya ke Aluna yang mulai mengerjap sembari menatapnya dengan bingung. Aluna perlahan bangkit dari duduknya sembari memegang sebelah sisi kepalanya yang terasa pening. Penglihatan kaburnya perlahan menjernih secara berangsur-angsur, sambil menatap Ryan yang menatapnya dengan cemas.

"Oh? Kau sudah baikan? Jangan memaksakan dirimu," perintah Ryan yang memegang salah satu lengan Aluna untuk mewanti-wanti jika perempuan itu kembali jatuh pingsan seperti tadi.

"Apa aku tadi pingsan? Kenapa aku pingsan?" tanya Aluna sedikit serak sebelum matanya melirik ke jam dinding. "Hah, aku pingsan selama lima jam?"

"Hei, tenanglah. Jangan banyak bergerak dulu. Kata dokter kau jatuh pingsan karena kelelahan dan kekurangan tidur, beberapa hari ini katanya kau juga bekerja dengan sangat giat bahkan kata perawat-perawat yang lain kau sering melewatkan makan siang, benar begitu?" tanya Ryan dengan tatapan tajam seperti seorang ibu yang memarahi anaknya, membuat Aluna hanya menenguk ludahnya karena semua itu memang benar.

Kata orang, cara terbaik melupakan permasalah pribadi adalah menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Dengan begitu untuk sementara kau akan melupakan masalah itu. Aluna pun mengangguk kecil, yang seketika membuatnya mendepatkan helaan napas pasrah dari Ryan. Sedangkan Aluna hanya tersenyum kikuk.

"Sudah kuduga, untung aku sudah mewakilimu untuk mengambil cuti seminggu penuh ini untuk beristirahat, dan dokter atasanmu tadi benar-benar menyetujuinya demi kebaikanmu. Jadi selama di rumah seminggu ini, pastikan kau istirahat dengan cukup—"

"Apa? Cuti?! Tapi kenapa? Aku akan bicara dengan Dokter Garret, aku 'kan tak apa-apa—" protes Aluna memelas.

"Tapi apa-apa bagi kesehatanmu!" sela Ryan kembali menghela napas pasrah. "Dengar Aluna, ini juga saran Dokter Garret sendiri. Mereka juga tak mau kau kembali jatuh sakit karena drop bagaimana pun kau salah satu perawat yang dibutuhkan di sini. Kau tidak boleh kenapa-kenapa."

Aluna mendesah pasrah. Sepertinya pria yang sudah ia anggap sebagai kakak lelakinya ini benar-benar tak bisa dibantah, sepertinya pengakuan Ryan tentang sikap protektifnya ke Julie memang benar adanya, bukan melebih-lebihkan.

"Baiklah, kakakku yang cerewet," kata Aluna mengalah membuat Ryan tersenyum kemenangan dengan lega. Bagaimanapun pria itu tak mau Aluna kenapa-kenapa hanya karena kembali kelelahan seperti ini, mungkin jika ini terjadi, dampaknya mungkin lebih buruk baginya.

"Itu baru Aluna yang kukenal. Sekarang, tidurlah, ini sudah malam, besok kau baru bisa pulang dan aku akan mengantarmu."

"Baiklah, terima kasih kau selalu menemaniku," kata Aluna yang mulai kembali berbaring sedangkan Ryan dengan sigap langsung menaikkan selimut Aluna.

Nada perempuan itu tersirat begitu menyedihkan seolah ada kekecewaan besar di dalam sana, dan Ryan tahu, apa yang membuat kekecewaan itu. Tentu saja Louis, si suami brengsek Aluna. Sudah jelas Aluna mengharapkan kehadiran Louis sekarang. Aluna yang sebenarnya mempunyai kekebalan tubuh yang bagus, hari ini ternyata pingsan di saat hanya ada Ryan yang mengkhawatirkannya.

Ryan kembali menatap wajah polos Aluna yang sepertinya benar-benar kelelahan hingga kembali tertidur dengan mudah seperti sekarang. Tak butuh waktu tiga menit gadis itu sudah tertidur dengan nyenyaknya.

Ia kembali menatap sendu bercampur iba ke arah Aluna, persis seperti tatapan yang ia ingin tunjukkan saat menunggu Aluna sadar.

"Kasihan Aluna yang cantik, harus melalui semua ini sendiri," gumamnya di tengah-tengah keheningan malam ruangan itu.

***

Keesokkan harinya, Aluna bangun kesiangan karena ia memang benar-benar kelelahan kemarin. Ia bangun saat matahari telah berdiri begitu lama dengan tingginya. Bahkan ini sudah hampir sore kembali.

Ia bangkit untuk duduk di atas tempat tidurnya sembari menatap sekeliling ruangan itu dengan setengah sadar. Ruangan itu kosong. Ryan sudah pasti kembali ke kantornya mengingat pekerjaan pria itu juga begitu penting untuk dibutuhkan di kantor pria itu. Dan jika Aluna berharap ia bisa melihat wajah Louis di sini, itu benar-benarlah mustahil.

Aluna kemudian meraih ponsel yang ada di dekat bantalnya yang sepertinya disediakan oleh Ryan. Ia kembali mendesah kecewa, tak ada panggilan masuk dari Louis begitupun pesan dari pria itu. Namun, kemudian Aluna mengernyit bingung saat melihat ada begitu banyak deretan nomor tak dikenal yang sama, menelponnya berkali-kali seakan bahwa panggilnya itu begitu penting sejak sepuluh menit yang lalu. Hingga Aluna sedikit tersentak saat nomor tak dikenal itu dengan tiba-tiba kembali mencoba menelponnya.

Tanpa ragu, Aluna pun menjawab panggilan itu. Panggilan itu pasti penting hingga sang penelpon menelponnya setiap menit seperti itu.

"Aluna?!" terdengar suara panik sekaligus lega di nada suara perempuan paruh baya itu.

"Iya, siapa?"

"Ini Tante Mery!"

Bayangan Aluna terbang kepada seorang perempuan dengan tiga anak, yang mana perempuan itu hampir seumuran dengan ibunya. Lebih tepatnya perempuan itu adalah tetangga Aluna bersama ibunya di rumah lamanya dulu. Tapi ada apa Tante Mery menelponya?

"Oh, Tante, ada apa? Maaf Aluna baru jawab, Aluna tadi kurang enak badan."

Mulai terdengar isakan tangis di ujung telepon itu dari suara Tante Mery. Bahkan Aluna mendengar isakan tangis kecil lainnya yang mulai terdengar saling menyahut, sepertinya itu anak-anak tante Mery bersama seorang tetangga lainnya. Sebenarnya ada apa ini?

"Aluna, ibumu nak... Dana... dia, dia tak sadarkan diri..."

Tanpa mendengar lebih Aluna langsung mematikan telepon itu dan langsung mengambil tasnya yang ada di sofa, kemudian berlari keluar dari kamar inap sekaligus rumah sakit itu. Ia terus berlari dengan cepat mengabaikan semua tatapan dan seruan yang memanggil-manggil namanya. Sekarang, perasaan tak enaknya lebih jauh penting. Entah apa yang terjadi pada ibunya, Aluna merasa begitu gelisah hingga dadanya sesak.

Dengan gelisah, Aluna berusaha menghentikan taksi yang sepertinya sedang sepi tak terlihat. Saat pun ada, taksi itu sudah terisi. Ia rasanya mau meledak saat tak ada satu taksi pun berhenti karena telah mememiliki penumpang. Hingga akhirnya ada sebuah taksi yang kosong dan berhenti di depan Aluna.

Tanpa pikir panjang Aluna pun langsung melompat masuk dan menyebutkan alamat rumahnya dulu untuk memastikan apa yang dikatakan tentangganya.

***

Louis melempar ponselnya ke atas meja kerjanya dengan emosi. Untung saja ponsel itu adalah kualitas yang terbaik sehingga ponsel mahal itu tak juga hancur berkeping-keping setelah beberapa kali dibating oleh sang pemiliknya.

Bagaimana tidak emosi, sejak kemarin Aluna belum pulang-pulang juga, sejak ia mendapat panggilan dari nomor Aluna kemarin, perempuan itu seolah sudah hilang. Egonya pun begitu tinggi untuk menelpon perempuan itu lebih dulu. Entah kenapa ia mulai menyesal tak menjawab panggilan Aluna kemarin. Apakah perempuan itu kenapa-kenapa?

Louis mengacak rambutnya frustasi. Kenapa ia harus semarah ini? Ia bahkan begitu gelisah saat jam sembilan malam kemarin, Aluna belum pulang juga. Bahkan kehadiran Victoria, perempuan yang ia yakini ia cinta tak begitu membantu kehadirannya untuk menenangkan kegundahan Louis semalam.

"Louis, aku punya kejutan untukmu."

Louis dengan sedikit senyum menyambut Victoria, perempuannya begitu perempuan itu memasuki ruang kerja dirumahnya itu dengan riang.

"Ada apa?"

Victoria hanya tersenyum misterius dengan girang sembari memberi sebuah kertas pada Louis.

Louis perlahan membacanya dengan kerutan di dahinya. Lalu kemudian matanya membelalak sempurna. Untuk beberapa detik, ia tak tahu harus mengatakan apa untuk merespon isi kertas itu.

"B—bagaimana bisa? Kita tidak pernah—"

"Kau lupa?"

Louis menatap wajah Victoria yang tampak sebal. Membuat Louis semakin mengerutkan dahinya tak mengerti. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi hampir dua bulan belakangan ini. Namun, ia tetap tidak menemukan apa pun.

"Dua minggu lalu, saat sabtu malam kita ke bar itu lagi untuk mengenang masa SMA kita. Kau begitu semangat hingga kau kembali minum dan mabuk di gelas ketigamu. Sangat sulit aku membawamu pulang karena jam sudah pukul dua dan sedikit sulit mencari taksi. Masa kau lupa?" kata Victoria lagi dengan sebal menatap Louis.

Ingatan Louis kembali ke saat yang dibilang oleh Victoria. Setelah beberap kerutan di dahinya. Louis kemudian mengingat malam itu. Ia memang benar-benar mabuk. Ia ingat Victoria membopongnya masuk ke kamar. Louis pun mencoba mengingat lebih jauh, tetapi tak bisa.

Namun, paginya. Ia terbangun hanya memakai celana pendeknya. Dan Victoria tidak mengatakan apa-apa. Tetapi perempuan itu banyak tersenyum hari itu. Dan Louis tahu maksudnya sekarang.

Louis terdiam. Ia kembali menatap kertas itu. Ia sedikit bingung harus melompat bahagia atau melakukan hal lainnya. Yang ia tahu mencoba membayangkan dua tahun lalu yang bahagia bersama dengan Victoria. Apa yang akan ia lakukan jika sekarang adalah dua tahun yang lalu?

Louis pun menerbitkan senyuman kecilnya. Yang juga disambut senyuman lebar oleh Victoria. Perempuan itu senang.

***

Langit senja yang baru saja berganti dengan langit malam terlihat begitu menakutkan, tak menampakkan satu pun bintang malam ini, bahkan hujan rintik-rintik yang terasa begitu menyedihkan yang menemani malam ini.

Aluna berdiri di depan gundukkan tanah yang masih memerah karena masih baru itu. Ia menatap kayu nisan bertuliskan Dana Riana yang ditulis dengan ukiran yang masih baru. Matanya telah bengkak dan memerah karena menangis histeris semalam berjam-jam tanpa henti. Bahkan para tetangganya sampai kewalahan menenangkan Aluna yang seperti kesetanan.

Siapa yang tidak merasa histeris? Jika kau menemukan ibunya telah ditutupi kafan dan rumahmu telah dikelilingi ribuan raut duka dari para tentanggannya yang loyal. Mereka mengatakan bahwa mereka langsung memanggil dokter klinik terdekat dengan rumah mungilnya begitu mereka menemukan Dana dalam keadaan tak sadar.

Kata dokter itu, ibunya telah meninggal sejak pagi tadi. Dan betapa terkejutnya Aluna bahwa mengetahui ibunya mempunyai kanker yang sudah menggorogotinya sejak beberapa tahun, dan menyedihkannya lagi, ibunya menanggung semua itu sendiri, merahasiakan dari putriya satu-satunya.

Memang mereka sederhana. Walau hidup mereka cukup tercukupi, tapi pasti Dana memikirkan biaya perawatan yang tidak sedikit. Apalagi ibunya memang telah kehilangan setengah gairah hidupnya sejak meninggalnya ayah Aluna saat Aluna baru saja lulus SMA.

Akhirnya dengan bantuan beberapa tetangganya yang baik hati, Aluna bisa langsung menguburkan mayat ibunya dengan selayaknya, walaupun ia harus kembali meronta saat ibunya dimasukkan ke dalam liang lahat itu. Benar-benar mengerikan.

Sekarang rasanya air matanya mulai mengering. Tenggorokannya sudah benar-benar sakit untuk kembali menjerit histeris. Rasanya begitu menyakitkan. Ia bahkan mengutuk takdirnya tak seolah tak ada kebahagian tergariskan di kehidupannya. Semua masalah dan kesakitan datang secara bertubi-tubi.

Di saat Aluna memiliki satu-satunya keluarga yang menjadi panutan dan tempatnya bersandar, orang itu malah diambil dengan keji darinya. Ia tak tahu harus menyalahkan siapa akan takdir buruknya ini. Tuhan, kah? Tidak, ia tak mau kembali dilaknat dengan nasib buruk yang lebih jika ia sampai ikut menyalahkan Tuhan.

Hawa mencekam kuburan yang sudah sepi itu tak menggetarkan kesedihannya menjadi ketakutan. Bahkan Tante Mery juga tadi menyerah untuk menyeret perempuan malang itu untuk pulang dan mengikhlaskan semuanya. Ia tahu Aluna butuh waktu sendiri, itulah ia membiarkan Aluna sendirian di pemakaman itu, setelah Aluna menyakini Tante Mery bahwa ia tak apa-apa ditinggal sendiri.

Dengan lunglai, Aluna berjalan keluar dari pemakaman itu dengan tatapan kosong. Seolah ia adalah mayat berjalan yang tak punya arah. Tatapannya tak tersirat, seolah ia sudah tak punya emosi lagi untuk menggambarkan situasinya sekarang.

Dengan langkah gontai, Aluna jatuh terduduk di salah satu tempat duduk di sebuah taman yang tak jauh dari pemakan itu. Ia bahkan mengabaikan suara guntur yang saling menyahut dan langit yang sesekali bersinar menakutkan.

Hingga dengan tiba-tiba, gerimis kecil itu berubah seketika menjadi hujan bervolume besar, membasahi tubuhnya dengan tetesan yang menyakitkan. Saat itulah, tangis Aluna kembali pecah. Saling bersauhat dengan suara petir. Air hujan menyamarkan air matanya, suara petir meredam suaranya, dan baju semalam yang masih ia kenakan, bajunya yang telah kotor sana sini mulai memudar dan bersih karena timpaan air hujan.

Di saat hujan itulah jatuh, ia benar-benar bebas menangis. Menangis hingga wajahnya memerah, hidungnya tersumbat dan hingga ia tak bisa menangis lagi.

"Aluna adalah perempuan sekaligus putri ibu yang paling cantik dunia."

"Aluna, makan yang banyak, nak! Jangan sampai kau kurus!"

"Aluna, lihat ibu beli jepitan rambut yang kau sukai!"

"Anak ibu hebat! Juara umum lagi!"

"Aluna, jangan bekerja terlalu keras, keluarlah untuk berjalan-jalan dengan temukan pria tampan."

"Ibu harap Aluna menemukan pangeran tampan Aluna yang akan selalu mencintai Aluna, dengan begitu ia bisa terus menemani putri Ibu ini."

"Aluna, Ibu senang akhirnya kau menemukan pria yang dapat melindungimu."

"Aluna, akhirnya ada pria yang bisa menemanimu hingga akhir. Akhirnya ibu bisa tenang sekarang"

"Aluna... Ibu sangat-sangat-sangat menyayangimu."

Aluna semakin histeris di bawah hujan yang gelap itu. Suara-suata ibunya terus bersahutan dalam kepalanya hingga membuat dadanya semakin kesakitan, merindukan ibunya.

Harusnya ia peka, kenapa ibunya selalu tegas menyuruh Aluna menemukan pria yang mencintainya dan akan melindungi serta menemaninya hingga kapan pun. Itu pasti karena ibunya tahu, cepat atau lambat Dana pasti akan meninggalkan Aluna kembali bersama ayahnya.

Itulah yang menjelaskan kenapa ibunya yang menjadi orang paling bahagia hampir melebihi dirinya sendiri saat ia menikah. Karena ibunya bisa tenang melepas putrinya kepada seseorang yang akan menemaninya selalu, tapi Dana tak sadar Dana salah.

"Ibu! kenapa Ibu tega meninggalkan aluna, Ibu?! Sekarang Aluna bagaimana?! Bagaimana Aluna menghadapinya sendiri! Aluna sudah tak punya siapa-siapa ibu?! Suami Aluna sendiri bahkan membuang Aluna! Sama siapa Aluna bisa bertahan, Bu! Sudah tak ada yang menginginkan kehadiran Aluna! Aluna tak tahu harus melakukan apalagi, sendiri di dunia ini?!!" jerit Aluna sekeras mungkin. Hatinya begitu marah, sedih dan kecewa. Kecewa akan semua yang digariskan tuhan pada dirinya.

Tangis Aluna semakin menjadi. Benar! Siapa yang akan menjaganya sekarang? Ibunya tak ada, suaminya membuangnya, dan ia tak mau merepotkan orang-orang disekitarnya dengan memanfaatkan betapa menyedihkan dirinya. Ia benar sudah ingin gila rasanya.

Apa tak ada kebahagian untuknya? Walau sedikit? Dulu hidupnya bahagia dengan segala kesederhanaannya tapi sekarang kenapa ia menyedihkan seperti ini. Bukannya bersakit-sakit dahulu lalu bersenang-senang kemudian? Tapi kenapa hidupnya malah sebaliknya?

Tiba-tibanya ponselnya berdering menandakan pesan yang masuk. Ia kemudian membukanya dengan terus menangis keras dan juga sesegukan.

Aluna sayang. Kau tidak apa-apa, Nak? Bunda benar-benar minta maaf karena tidak bisa menghiburmu sekarang. Bunda sedang dia luar negeri bersama Ayah. Bunda benar-benar turut beduka cita, Aluna. Bunda bahkan sampai menangis! Tapi jangan khawatirkan Bunda, tenang saja jangan sedih, masih ada Louis yang akan menemani dan menghiburmu. isi pesan itu.

Entah bagaimana kabar itu sampai di telinga ibu mertua—mungkin karena tetangganya yang memang dekat dengan semua kerabat Aluna—tapi pesan itu sama sekali tak membantu menghiburnya. Ia bahkan menangis semakin menjadi-jadi.

Andai saja kata-kata ibu mertuanya benar, bahwa Louis akan selalu ada menemaninya. Mungkin dia takkan sesedih ini sekarang. Mungkin dia akan sedikit terobati dengan perhatian dan kasih sayang Louis seperti dulu. Namun, faktanya itu hanyalah khayalannya saja. Bahkan untuk mendapatkan senyum Louis sekarang hanya tinggal impian saja. Semuanya telah berubah.

Iya, aku tak apa-apa, Bunda. Tak usah khawatir. Louis sedang bersamaku sekarang. Dia sedang membeli es krim untuk menghiburku. Dia benar-benar berusaha keras untuk menghiburku. bohong Aluna dalam pesan balasnya.

Benarkah, syukurlah. Kalau begitu istirahatlah. Jangan terlalu bersedih, Anakku. Ibumu pasti sudah tenang dan bahagia di sana karena putrinya mempunyai kehidupan yang membahagiakan. Kalau begitu sampai bertemu minggu depan. Bunda dan Ayah menyayangimu. Pesan terakhir itupun memukul telak Aluna.

Ibumu pasti sudah tenang dan bahagia di sana karena putrinya mempunyai kehidupan yang membahagiakan. Tapi nyatanya hidupnya sensara? Apakah itu artinya ibunya sedang sensara juga di alam sana? Pasti ibunya yang di surga sudah mengetahui rahasia hidupnya.

Benar-benar ibu dan anak yang cocok. Sama-sama merahasiakan kehidupan dan kesakitan masing-masing. Aluna sekarang mulai mengerti kenapa ibunya menyembunyikan semua itu. Dan sekarang ia sadar, menyembunyikan dan memendam bukanlah hal yang tepat.

Aluna yang lelah menangis akhirnya meredam suaranya dan menenggelamkan wajahnya di atas lengannya yang ia tumpu dilutut yang ia tekuk. Ia berharap saat ia membuka mata semua ini hanyalah mimpi buruk.

***

"Di mana Aluna?" tanya Ryan langsung kepada perawat-perawat yang berlalu-lalang di depan kamar inap Aluna yang telah kosong melompong setelah ia kembali dari kantornya. Namun, semuanya hanya merespon dengan menggeleng-geleng tak tahu.

Sebenarnya tadi ia enggan meninggalkan Aluna sendiria hingga semalam ini, tapi pekerjaannya yang benar-benar mengikatnya hingga sesak membuatnya tak bisa lari dan terus menjaga Aluna di rumah sakit.

Ia juga tak pernah berpikir sejauh ini kalau Aluna akan menghilang dari kamar inapnya. Entah apa yang membuat perempuan itu pergi dan menghilang, tapi Ryan benar-benar merasa cemas sekarang. Apalagi ini sudah malam dan perempuan itu masih tak diketahui ke beradaannya.

Ryan pun semakin gusar saat beberapa perawat mengatakan bahwa Aluna tadi pergi sambil berlari keluar dari rumah sakit. Namun, setelah menanyakan apa mereka tahu kenapa tujuan, mereka kembali menggeleng-geleng membuat Ryan menggeram kesal.

Akhirnya Ryan memutuskan mencari perempuan itu di rumahnya yang ia tinggali bersama Louis. Mungkin saja perempuan itu pulang ke rumahnya. Ryan tak yakin, kenapa Aluna harus berlari dengan tergesa-seperti gambaran para perawat jika Aluna hanya ingin pulang ke rumahnya.

Mobil Ryan pun berhenti dengan paksa begitu ia telah sampai di depan rumah indah itu. Ia sekarang hanya berharap bahwa perempuan itu benar-benar sedang berada di dalam rumahnya, beristirahat. Bukannya berkeliaran seperti yang ia khawatirkan sekarang.

Semua prasangka buruknya memang benar. Tepat setelah Ryan keluar dari mobilnya dan menjejakkan kakinya di tanahnya yang masih terlalu basah karena hujan deras baru saja berhenti, ia melihat sosok seorang perempuan itu datang dengan cara berjalan—dari arah berlawanan datangnya ia tadi—dengan lesu sembari memeluk dirinya sendiri dengan kedua lengan mungilnya, mencari kehangatannya sendiri.

Perempuan itu masih memakai baju yang terakhir Ryan lihat saat perempuan terbaring, tetapi bedanya sekarang baju itu terlihat sangatlah basah kuyup, persis seperti rambut Aluna sekarang.

Dengan sedikit kesal Ryan melangkah lebar kakinya ke arah perempuan yang masih belum menyadari kehadirannya itu karena masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Ryan pun langsung memegang kedua lengan atas perempuan itu begitu ia berada tepat di depan Aluna. Ekspresi perempuan itu pun kosong. Bahkan kemunculan Ryan yang mendadak itu tak mengagetkannya sama sekali.

"Aku bilang istirahatlah penuh! Kenapa kau malah keluyuran sampai semalam ini?!" geram Ryan.

Aluna hanya mendongak memperlihatkan wajah mengenaskannya. Air matanya sudah berhenti. Rona merah di pipi, mata, dan hidungnya akibat menangis hebat sudah tak terlihat, meninggalkan hanya bibir yang kehilangan rona darahnya karena kedinginan, meninggalkan kesan pucat.

"Kau bahkan sampai basah seperti itu!" tambah Ryan lagi sembil melihat seluruh tubuh Aluna yang seratus persen basah, "Sebenarnya ada apa?! Kau membuatku khawatir! Aku sudah bilang kau tak boleh banyak bergerak apalagi sampai kelelahan. Itu tak baik! Kau tidak pingsan lagi, kan?"

"Ryan, ibuku... dia meninggal... dia kanker..." gumam Aluna dengan nadanya yang begitu datar dan pelan, hampir tak terdengar. Ia bahkan tak menjawab pertanyaan Ryan.

Ryan seketika mengatupkan bibirnya rapat. Setahunya, satu-satunya keluarga kandung yang dimiliki Aluna hanyalah ibunya. Dan sekarang ibu perempuan ini meninggal. Ryan bisa mengetahui persis rasanya. Ditinggalkan orang yang paling kita cintai dengan tragis, persis seperti Julie-nya.

Ryan hanya bisa memeluk Aluna dengan erat sembari menyapu-nyapukan tangannya ke punggung Aluna untuk memberi perempuan itu ketenangan dan kehangatan. Perempuan itu pasti sangat terpukul hingga rona kehidupan di mata indahnya seolah terengut. Dan perempuan itu harus menghadapi semua itu tadi, sendirian. Ryan tak bisa membayangkannya. Ia yang dihibur oleh puluhan kerabatnya masih merasa begitu tersiksa saat adik kesayangannya pergi, apalagi Aluna yang melaluinya benar-benar secara sendiri.

"Sudahlah, ayo kita masuk," saran Ryan setelah merasakan getaran ketakutan dan kesedihan di tubuh perempuan itu sudah mereda, "Kau harus menghangatkan tubuhmu. Kau tak boleh sampai terserang penyakit apapun mulai sekarang. Kau tak boleh lemah, kau harus kuat Aluna."

Tak ada respon dari Aluna. Ryan tahu Aluna belum siap memasuki rumahnya yang juga begitu menyakitkan. Namun, tak ada pilihan lain, perempuan itu hampir mati kedinginan.

Ryan akhirnya membawa Aluna yang hanya mengikut seperti robot di sampingnya. Ia bisa mendengar Aluna menarik dan menghembuskan napas letih, sebelum Ryan membuka pintu rumah itu menggunakan kunci ganda yang ditemukannya di tas tangan Aluna.

Namun, keduanya terheran begitu memasuki rumah dan menemukan keadaan rumah yang tampak ceria. Bahkan ada beberapa balon helium yang mengapung dilangit-langit ruang tengah itu. Seolah ada pesta ulang tahun di sini.Semuaitu dipasang oleh Victoria, seolah ia mempunyatujuan lain di baliknya.

Aluna hanya menatap datar kedua makhluk yang sedang tertawa lepas di depan televisi dengan sang perempuan yang memeluk erat lengan sang pria dari samping dengan kedua tangannya. Hingga suara kedatangan Aluna terdengar di telinga Louis dan Victoria membuat keduanya berbalik.

Ada raut cemas, lega dan bahagia yang ditunjukkan oleh kilauan mata Louis namun ia sembunyi di balik ketajaman mata itu ketikan melihat Aluna. Namun, tatapan Louis itu berubah membara amarah saat melihat kemunculan Ryan di belakang istrinya dengan tatapan yang tak kalah tajam.

Pikiran bahwa Aluna tak pulang selama hampir dua hari karena bersama pria itu seketika membuatnya semakin dilingkupi keamarahan memikirkan kemungkinan yang ia anggap pasti itu. Seketika itu pula ia merasa muak dan marah melihat wajah polos Aluna yang seolah tak punya rasa bersalah sama sekali.

Namun, tidak dengan Victoria. Perempuan cantik yang sebenarnya menakutkan itu langsung terlonjat girang dari tempat melihat kedatangan Aluna. Victoria langsung berlari ke arah Aluna sembari membawa kertas yang terus ia simpan di dekatnya.Sebelum kemudian membentangkan kertas itu di depan wajah Aluna.

"Aluna, aku hamil anak Louis. Hebat, bukan?!"

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top