After Love Part 10
Hi, maaf yah ngk update rabu soalnya mulai sibuk kuliah dan beberapa hari ini kena flu hampir seminggu. Jdi sekarang aku update yang seharusnya untuk rabu dan tenang saja besok aku update lagi kok. Thank for waiting and understand ^^
enjoy~
***
"Sial!"
Aluna mengumpat kecil saat melihat pukul satu siang di jam dinding yang langsung menyapanya di ujung sana begitu ia membuka mata. Ini semua gara-gara ia begadang semalam hanya untuk memikirkan bagaimana caranya agar merayakan ulang tahun Louis dengan sempurna hingga jam tiga subuh, sebelum akhirnya ia ketiduran dan terbangun saat sinar matahari benar-benar menyengatnya melalui jendela yang tak pernah ia tutup tirainya.
Aluna cukup bersyukur hari ini adalah hari cuti nasional sehingga membuatnya semakin leluasa untuk menyiapkan kejutan untuk suami yang begitu ia cintai itu.
Dengan perlahan Aluna membuka pintu kamarnya dan menyembul kepalanya keluar untuk melihat situasi yang ada di luar kamarnya. Sepi. Itulah yang disimpulkan oleh Aluna sehingga ia dengan berani keluar dari kamarnya.
Seperti biasa kedua makhluk itu tak ada di rumah begitu ada waktu luang. Entah mereka ke mana, yang Aluna pikirkan sekarang hanyalah membuat kue, makanan, hiasan dan yang lain-lain untuk ulang tahun Louis yang sudah pasti akan pulang jam tujuh malam bersama tamu tak diundang itu.
Dengan senyumana manis, Aluna segera memakai apron yang di dapur itu sebelum kemudian mengikat rambutnya dengan tinggi agar tak mengganggu kegiatannya nanti. Ia mulai mengeluarkan poselnya yang berisi resep-resep serta dua katung plastik besar yang berisi masing-masingnya alat dan bahan untuk ulang tahun ini. Semuanya sudah ia siapkan dengan matang.
Semua dilakukan oleh Aluna dengan begitu telaten dan cukup professional. Kue rasa cokelat yang selalu menjadi kegemaran Louis di setiap ulang tahun pria itu pun telah selesai dengan begitu menggiurkannya. Hiasan yang tidak terlalu berlebihan dengan menaruh beberapa balon bertuliskan 'happy birthday' di beberapa sudut penting. Serta ,akanan kesukaan Louis yang sekali lagi selalu tersedia di meja makan itu.
Aluna sendiri pun bergegas mandi mengingat ia belum mandi sama sekali karena menyiapkan semuanya. Aluna cukup tersenyum puas melihat semuanya telah tersedia dengan begitu rapih dan sempurna, tiga puluh menit sebelum jam kepulangan Louis seperti biasa.
Dengan jantung yang berdegup tak karuan, Aluna terus menunggu sembari menatap kue cokelat buatannya yang terlihat sangat lezat dengan krim dark chocolate kesukaan Louis yang melumuri permukaan kue. Aluna sendiri sampai menahan diri begitu kuat untuk tidak mencicipinya sebelum waktunya. Ia tak tahu bahwa godaan coklat itu bisa sedahsyat ini.
Aluna kembali melihat jam kecil yang berdiri di atas kulkas. Aluna mengernyit tak mengerti. Sudah lewat jam delapan tapi masih belum ada tanda-tanda kedatangan Louis.
Begitu terus hingga jam mulai menunjukkan pukul sebelas malam. Aluna bahkan sudah menopang dagunya sembari kepalanya yang bergerak ke sana ke mari karena sang empunya sedang dilanda kantuk yang amat sangat. Apalagi mengingat bahwa dirinya masih merasa begitu ngantuk sejak bangun tadi.
Aluna pun memutuskan menutup matanya sebentar, sebelum suara bunyi kendaraan mobil yang memasuki pekarangan rumah terdengar dan seketika menghilangkan seluruh rasa kantuk Aluna, digantikan dengan rasa yang antusias.
Dengan sigap Aluna mulai menyalakan sumbu lilin yang berada di kepala angka dua puluh tiga itu dengan semangat, hingga tangannya bergetar tak sabaran. Ia cukup mengumpat kecil saat lilin itu tak menurut padanya saat ia mencoba menyalakannya.
Suara pintu yang terbuka pun mengagetkan Aluna tepat setelah kedua lilin itu menyala, sehingga Aluna langsung membuang asal kotak kayu korek itu dan melompat dari duduknya untuk memberikan kejutan begitu Louis dan perempuan itu memasuki ruang tengah itu.
"Selamat ulang tahun, Lou!"
Louis dan Victoria tampak begitu terkejut namun mereka berdua juga seolah mencampakkan Aluna dan menganggap perempuan itu tak ada.
"Apa ini? Hari ini ulang tahunmu?! Kenapa tidak bilang?!" kata Victoria yang memukul gemas salah satu lengan Louis.
Pria itu sendiri hanya terkekeh melihat Victoria. Ia bahkan mengabaikan Aluna yang masih berdiri sambil merentangkan tangannya sebagai tanda kejutan dan lebih memilih memusatkan perhatiannya pada Victoria.
"Ya, kau lupa?"
"Maaf, sayang," ucap manja Victoria membuat Aluna yang mulai memahami situasinya, dengan kaku menurunkan tangannya dengan canggung dan terdiam seolah ia sedang menonton drama roman yang menggelikan.
"Tak apa, aku tak mengharapkan apu-apa darimu," balas Louis.
Aluna pun mulai ingat sesuatu, mungkin dengan itu perhatian Louis akan tertuju padanya. Ia mengambil kotak kecil yang ada di dekat sembari menyodorkannya pada Louis yang mulai menatapnya.
"Lou, ini hadiah untukmu! Kuharap kau menyukainya. Ini adalah dasi yang kubeli dari merek kesukaanmu," kata Aluna sembari membuka tutup kadonya sendiru dan memperlihatkan beberapa dasi dengan motif garis-garis yang berbeda.
Mendengar itu Victoria hanya bisa mendengus meremehkan, sebelum ia juga mulai mengingat sesuatu. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya, yaitu sebuah jam tangan.
"Sebenarnya tadi aku membeli ini hanya untuk hadiah kecil sebagai rasa cintaku, tapi kebetulan ini hari ulang tahunmu... jadi, ini hadiah untukmu! Kuharap kau menyukainya," ucap Victoria mengulang kalimat yang sama dengan Aluna di akhir kalimatnya seolah ia berusaha menyaingi kata-kata Aluna. "Maaf, tak terbungkus dengan cantik."
Seketika perhatian Louis pun kembali ke kekasih selingkuhannya itu. Ia tersenyum pada Victoria, mengabaikan tangan Aluna yang masih terulur menunggu Louis menerima pemberiannya.
Louis menerima jam tangan itu dengan penuh senyuman. sedangkan Aluna hanya mendapatkan kata 'terima kasih' yang terdengar menggunakan nada 'enyahlah' tadi saat Louis menatapnya. Pria itu bahkan tak menyentuh kado Aluna sehingga dengan rasa kecewa bercampur malu, Aluna meletakkan kadonya di dekat kue itu dengan kikuk.
Mata Victoria seketika berbinar begitu menyadari kehadiran sebuah kue cokelat dengan lilin yang masih menyala sempurna di atas meja itu. Dengan tanpa malunya pun Victoria segera meraih kue itu dengan kedua tangannya, tanpa meminta izin pada sang pembuat yang mempunyai hak lebih menyentuh kue itu.
"Sekarang tiup lilinnya lalu makan kue," kata Victoria penuh percaya diri membelakangi Aluna yang hanya bisa terdiam terus menerus melihat keduanya yang seolah mempunyai dunianya masing-masing.
Louis juga mencium pipi perempuan itu dengan lembut seolah berterima kasih pada perempuan itu atas 'tak ada apa-apa yang dikerjakannya'. benar-benar menggelikan.
Perayaan ulang tahun pun di akhiri dengan penuh senyuman. Senyuman-senyuman yang sebenarnya berbeda makna. Di mana dua senyuman tampak begitu bahagia seolah dunia milik mereka berdua dan satu senyuman lainnya terbit dengan begitu miris dan penuh keterpaksaan agar ia juga ikut merasa bahagia.
***
"Bagaimana kejutanmu?" tanya seseorang yang ada di ujung telepon itu.
Aluna hanya bisa tersenyum miris mendengar pertanyaan pria itu. Sudah lebih dari dua jam setelah pesta kecil buatan Aluna untuk Louis berakhir. Biasanya di jam dua subuh begitu ia sudah mengantuk dengan amat sangat. Namun, sepertinya efek ulang tahun itu meninggalkan penyakit insomnia untuk malam ini. Itulah kenapa Aluna memilih menelpon Ryan agar menemani mengantarkan tidur malam ini.
Sekarang ia duduk dengan lutut yang dibalut selimut tebal dan ditekuk ke atas, sedangkan punggung bersandar dengan nyaman di kepala ranjang sembari menelpon. Ia bahkan tak menyalakan lampu kamarnya agar tak membuat Louis curiga bahwa ia belum tidur, ia hanya membuka tirai jendela besar itu dengan lebih lebar agar cahaya terang rembulan masuk dan menyinari kamarnya dengan temaram.
"Aluna?" panggil Ryan begitu tak mendengar suara Aluna lagi. Untung saja Ryan yang memang terbiasa sering lembur hingga subuh punya waktu untuk Aluna malam ini tanpa harus Aluna tega membangunkannya.
"Oh? Apa?" respon Aluna yang sedikit tersentak kaget.
"Aku bertanya bagaimana hasil dari kejutanmu?"
Aluna tersenyum kecil. Seandainya Louis seperhatian ini. Mungkin hidup Aluna akan lebih baik saat ini. Bagaimana pun semenjak konflik batin rumah tanggannya ini, ia sering terserang penyakit insomnia, sakit kepala, dan lain-lain. Dan ia tak tahu harus menyalahkan siapa. Apa harus dirinya saja?
"Itu... em, sangat baik!" pekik kecilAluna agar terdengar segirang mungkin.
"Benarkah?" tanya Ryan yang merespon dengan nada yang juga terdengar antusias.
"Louis memberikanku ciuman di pipi setelah ia meniup lilin. Dia juga memberikanku suapan pertama pada potongan pertama kue ulang tahunnya. Dia juga menerima kadoku dengan antusias. Dia sangat menyukai dasi-dasi itu," kata Aluna sambil menerawan ke kejadian beberapa jam yang lalu. Ia berbohong. Kejadiaan itu memang benar terjadi tapi bukan dia yang perlakukan seperti itu, tapi Victoria.
Aluna kembali tersenyum miris. Bahkan ia harus mengambil kejadian orang lain hanya agar ia tak tampak sebagai perempuan menyedihkan yang tahunya hanya mengadu saja.
"Kau yakin?" tanya Ryan seolah meragukannya.
"Tentu saja! Aku sangat bahagia sekarang," tambah Aluna lagi dengan nada yang lebih riang dari sebelumnya agar Ryan tak mencurigainya lebih jauh. Bagaimana pun ia tak terlalu pintar dalam berbohong. Dia bahkan bersyukur bahwa ia dan Ryan tak sedang bertatap wajah sekarang, sehingga Ryan tidak dengan mudah membaca air mukanya yang berbohong.
Terdengar kekehan Ryan di sana. "Iya, iya. Aku bahagia kalau kau bahagia. Itu bagus!"
Aluna sendiri hanya bisa ikut terkekeh sembari pandangannya menerawang keluar jendela menatap bulan yang bersinar cerah tak secerah suasana hatinya.
"Sekarang tidurlah, anak nakal! Kau harus kerja besok! Aku tak mau gadisku yang cantik ini menjadi tak disiplin hanya karena seorang pria!" tegur pria itu dengan nada penuh perintah."
"Iya, iya, aku akan tidur. Aku juga sudah mulai mengantuk. Kakakku ini cerewet sekali seperti kakek-kakek tempramen," cibir Aluna yang bisa mendengar dengan jelas dengusan kesal Ryan di ujung telepon membuat Aluna terkekeh penuh kemenangan, "Terima kasih sudah menemaniku dalam insomnia menyebalkan ini. Selamat malam, kakak cerewet."
"Selamat malam, putri cantik. mimpi yang indah."
***
"Sayang."
Louis langsung menatap ke arah datangnya sapaan yang ia dengar di dalam ruang kantornya yang besar. Siapa lagi kalau bukan Victoria, kekasihnya.
"Sedang apa kemari?" tanya Louis tepat setelah mendapatkan kecupan dari perempuan itu.
"Hanya singgah untuk untuk menyapamu. Aku mau terus ke rumah teman untuk berbelanja bersama," jawabnya dengan manja sembari duduk di meja di samping Louis.
Biip...
"Tuan Hendrick. Seorang kolega penting datang dan ingin bertemu langsung dengan Anda. Katanya ini soal ingin memperpanjang kontrak yang sudah hampir habis masanya," sahut suara telepon yang otomatis terspeaker, terhubung antara ruang sekertarisnya.
"Baiklah, suruh dia masuk," kata Louis membalas telepon itu.
"Baik, Tuan."
"Kau tampak sibuk, kalau begitu aku pergi dulu," kata Victoria dan mendaratkan ciuman menggoda di pipi pria itu membuat Louis hanya tersenyum simpul.
Victoria pun mulai berjalan saat pintu itu terbuka dan menampak seorang pria yang tak kalah tampan dari Louis di ambang pintu itu sehingga keduanya bertemu. Terlihat jelas bahwa jas khusus yang digunakan pria itu juga tak kalah mahal dan bersaingnya dengan jas kantoran Louis. Membuat siapapun bisa menyimpulkan bahwa pria tampan itu jugalah kaya raya. Sehingga Victoria dengan nakalnya, mengerlingkan matanya diam-diam membuat pria itu menyeringai mempesona membalasnya.
Namun, perempuan itu tak tahu sebenarnya seringai itulah yang menyeramkan karena sebenarnya seringai itu menyimpan opini merendahkan padanya. Apalagi setelah melihat rok ketat pertengah paha dan baju berbelahan rendah itu membuat sang pria hanya bisa mencibir melalui seringai yang tampak mempesona dari luar.
Victoria akhirnya benar-benar berlalu meninggal dua pria berparas mempesona itu, berdua di dalam ruangan besar itu.
"Kau?" tanya Louis tak percaya melihat pria yang ada di hadapannya. Bagaimana bisa pria itu ternyata seorang kolega pentingnya dan sudah lama mereka bekerja sama tapi kenapa ia baru mengetahuinyanya?
"Maaf, kau mungkin tampak asing denganku. Itu karena aku lebih suka bekerja dalam ruanganku dan mengirim orang lain untuk mengerjakan di luar, jadi itulah kenapa kita jarang bertemu sebelumnya, jika kau penasaran," katanya dengan santai sembari duduk di sofa besar itu dengan percaya diri. "Jadi, mari kita bahas pekerjaan."
Dengan tatapan menyelidik, Louis pun duduk di sofa yang ada di hadapan pria itu. "Aku tak menyangka bahwa ternyata kau orang penting dari perusahan Nature Company. Kupikir kau hanyalah orang yang tak punya kerjaan selain keluyuran ke sana ke mari melakukan hal-hal yang tak berguna," cibir Louis dengan aura yang begitu mengintimidasi semua musuhnya.
Ryan hanya tertawa lepas mendengar itu. Tawa terdengar begitu merendahkan dengan nada yang terdengar ke seluruh penjuru ruangan "Percayalah, aku bukanlah tipe orang yang akan melakukan hal-hal yang tak berguna untuk membuang-buang waktuku yang berharga, tak seperti seseorang yang aku ketahui membuang-buang waktunya untuk menggali lubang kuburnya sendiri dan membuang emasnya sendiri karena 'kebutaannya' sesaatnya. Jadi jika kau melihatku melakukan sesuatu, itu berarti berharga bagiku."
Rahang Louis kembali mengeras. Ia tahu betul maksud dan arah pembicaraan mereka. Ia sangat tahu bahwa pria itu sedang mencibirnya. Mengibarkan bendera perang dengan gaya yang sopan.
"Apa kau pernah belajar untuk tidak mencampuri seseorang? Kurasa kau harus belajar akan itu," balas Louis tak kalah sarkastik.
"Aku sudah belajar. Aku pun sebenarnya tak sudi mengurusi urusan urusan orang tersebut, namun sayangnya orang yang berharga bagiku berurusan dengannya jadi mau tak mau aku juga ikut di dalamnya," balas Ryan tenang, tak seperti Louis yang mulai mengempalkan kuat kedua tangannya.
"Sepertinya kau tak datang untuk bisnis, bukan begitu Tuan Adryan?" kata Louis berusaha mengalihkan pembicaraan panas dingin mereka. Ia tak suka dengan perasaan tersudutkan yang pria itu berikan padanya. Ia heran, kenapa ia selalu tak punya kata-kata untuk membela dirinya?
"Ya, aku hanya datang menyapa kolegaku yang penting ini. Entah rasanya kenapa aku ingin sekali bertegur sapa," kata Ryan santai sembari membuka kancing-kacing jas ketatnya sehingga sesuatu yang bertengger di sekitar leher hingga dadanya terlihat jelas di depan Louis.
Louis mengernyit mengenal dasi yang tampak akrab itu. Dasi itu terlihat persis dengan salah satu dasi yang dihadiahkan oleh Aluna semalam pada ulang tahunnya. Melihat itu membuat kepalanya ikut berasap.
Ryan menyeringai penuh kemenangan melihat kemarahan yang terpampang jelas di raut wajah Louis, seolah pria itu bersiap untuk meledak namun ia menahannya. Dengan wajah tanpa dosa, Ryan ikut menatap dasinya.
"Kenapa? Kau suka dasiku? Bagus, bukan? orang yang berharga bagiku yang memilih dasi ini, tapi sayangnya ia memilih bukan untukku, jadi aku sengaja membeli yang persis dengan pilihannya."
Ryan kemudian menatap dasi Louis. Ia tersenyum masam melihat dasi yang dipakai Louis, itu sama sekali bukanlah salah satu dasi yang dibeli oleh Aluna dua hari yang lalu.
Semuanya sekarang jelas, semalam Aluna berbohong padanya tentang kejutan yang berjalan dengan sempurna itu. Ia sudah curiga sejak semalam bahwa Aluna berbohong tentang kebahagiaannya itu, itulah kenapa Ryan tiba-tiba muncul di kantor Louis untuk memastikannya sendiri. Dan sepertinya rasa penasarannya sudah terjawab.
Louis terdiam. kehilangan kata-katanya. Baginya sekarang ia hanya ingin memukul pria yang ada di hadapannya dan mencekiknya dengan dasi itu hingga sekarat.
"Ngomong-ngomong wanita yang tampak seperti wanita penari telanjang itu siapa? Tadi dia mengerlingkan nakal matanya untuk menggodaku. Aku penasaran si pria sial yang memilikinya," cibir Ryan dengan nada yang seolah-olah tertarik, menunggu respon Louis yang belum berubah ke raut cemburu sebelum suara deringan ponsel dari saku jas Ryan terdengar.
Ryan tersenyum kemenangan melihat nama si penelpon. Benar-benar saat yang tepat untuk menyempurnakan pembincaraan mereka sekarag.
"Lihat! Panjang umur sekali dia. Orang yang berharga bagiku sedang menelponku. Sepertinya dia sedang merindukanku." Dengan sombongnya Ryan memperlihatkan dan memamerkan layar ponselnya yang berkedip menampilkan nama yang sangat familiar bagi Louis.
Aluna.
Ryan kembali tersenyum kemenangan, akhirnya raut wajah pria itu berubah setelah dipancing dengan yang satu itu. Terlihat jelas raut yang begitu marah hingga ke ubun-ubun Louis berusaha ia tahan hingga wajahnya mulai memerah.
"Kalau begitu aku pamit. Aku ingin mengangkat ini. Aku tak mau membuatnya menunggu dan menyia-nyiakannya. Untuk perpanjangan kontrak, aku akan mengirim orang dari perusahaanku yang sering mengurus ini besok," kata Ryan dengan begitu angkuh sembari berdiri dan berjalan melewati Louis yang masih mematung menahan amarah di tempatnya. Bahkan wajah pria itu tak berpaling ke arah Ryan.
"Ah satu lagi!"
Akhirnya Louis berbalik, menatap tajam Ryan yang mengacungkan telunjuknya ke atas seolah-olah ia mengingat sesuatu sebelum membalas tatapan tajam Louis.
"Aku punya satu tips untukmu agar kau terselamatkan dari 'kebutaanmu'." kata Ryan misterius dengan wajah yang kemudian berubah sangat serius. "Kalau kau ingin mengenal mana sekop kuburanmu dan mana emas berhargamu, kau harus mengenali, kapan kau benar-benar marah, cemburu, dan takut kehilangan. Apakah saat seseorang memegang sekop kuburanmu, atau saat seseorang itu memegang emas berhargamu, kau harus belajar untuk mengenali hal itu. Sebelum seseorang mengambil emas dan yang bisa kau lakukan hanya menggali kuburanmu sendiri dengan sekop itu."
Ryan pun menyinggung senyum merendahkan sekali lagi sembari berjalan ke arah pintu keluar sambil mengangkat teleponnya dan menyalakannya ke mode speaker. Sehingga mau tak mau Louis bisa mendengar dengan jelas.
"Hai, emas cantik. Ada apa?"
"Hei, kenapa kau memanggilku emas? Itu terdengar aneh! Oh, iya, Aku hanya ingin mengajakmu makan siang. aku bosan makan di rumah sakit sendirian."
"Oke sip! aku akan menjemputmu."
"Baiklah, kak."
***
Ryan menghela napas panjang sembari menunggu Aluna. Di makan siang tadi, Ryan memaksa agar Aluna pulang dengannya mengingat Aluna selalu menunggu bus atau taksi sendirian di halte semenjak suaminya selalu mengabaikannya.
Dia hanya ingin yang terbaik untuk Aluna. Ryan sadar kalau pun Aluna bukanlah perempuan yang mirip dengan adiknya, dia tetap akan melindungi Aluna seperti ini. Baginya perempuan sebaik dan secantik Aluna tidak patut di perlakukan dengan tak berharga seperti ini, perempuan seperti Aluna perlu disayangi dengan hangat. Walau perempuan itu tampak tegar tapi sebenarnya semua perempuan tetaplah berhati lembut dan ingin bahagia dan disayangi.
Ryan kembali teringat akan kejadian di kantor Louis tadi. Ia berusaha menyindir pria itu sedalam-dalam mungkin agar setidaknya hati nurani pria itu bekerja. Ia cukup puas melihat kecemburuan dan amarah yang muncul di mata Louis tadinya, tapi ia tahu bahwa pria yang arogan seperti Louis, tidak akan sadar hanya sekali peringatan apalagi hanya karena sebuah sindiran seperti itu. Yang terpenting, Ryan ingin segera Louis membuka hatinya akan siapa yang Louis sebenarnya cintai.
"Kak Ryan!"
Ryan tersadar dari lamunannya begitu melihat Aluna yang telah mengganti pakaian perawatnya dengan baju kasual yang memang pakai perempuan itu sebelum berangkat bekerja.
"Kenapa wajahmu pucat begitu?" tanya Ryan cemas saat melihat wajah Aluna dari dekat. Walaupun wajah perempuan itu tampak ceria dan berseri namun Aluna tak bisa menutupi wajah yang putih pucat itu.
Aluna kemudian memegang kedua pipinya yang terasa dingin namun ia abaikan. "Mungkin hanya kelelahan, tadi ada begitu banyak pasien yang membutuhkanku."
Ryan sebenarnya tak terlalu percaya dengan jawaban Aluna, tapi ia berusaha menghargai Aluna yang tak mau membuatnya cemas sehingga mau tak mau Ryan mempercayainya.
"Kalau begitu naiklah," sahut Ryan sembari berjalan memutari mobil ke sisi pengemudi sambil terus bicara pada Aluna yang memang telah berdiri di depan pintu penumpang samping kemudi."Tapi kau harus langsung beristirahat setelah sampai di rumah, aku tak mau kau sampai sakit, atau lebih baik kau mengambil cuti sebentar saja. Akhir-akhir ini aku lihat jadwal kerjamu semakin padat, dan juga berhentilah begadang malam atau kau akan—"
Brukk!
Ryan yang telah memegang pintu kemudi pun terdiam begitu mendengar suara itu. Ia langsung melepas gagang pintu mobilnya dan berlari kembali ke Aluna. Dan yang ia lihat, Aluna telah tak sadarkan diri di tanah dekat pintu mobilnya dengan wajah yang benar-benar berubah sangat pucat.
"ALUNA!"
To be continue...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top