After Love Part 1

"Who Are You, Stranger?"

Media : BoA - Who Are You

***

Hal pertama yang menyapa penglihatan pria itu adalah sebuah langit-langit ruangan berwarna putih yang sedikit kusam namun tak terlihat terlalu jelas. Penglihatannya pun sedikit buram sebelum ia benar-benar bisa melihat semuanya dengan sempurna secara berangsur-angsur.

Setiap bagian tubuhnya terasa sangat kaku dan nyeri saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya perlahan, keluar dari selimut tipis itu dan duduk di tempat yang sama. Hidungnya pun sedikit tersumbat sehingga ia sedikit kesulitan untuk menghirup udara dengan normal.

Pria itu menatap ke sekeliling rumah mungil tersebut sembari berusaha mengingat atau mengenali rumah itu. Namun, sayangnya tak ada yang ia ingat dari rumah itu dan bagaimana bisa ia sampai ke rumah itu. Ingatan kecil akan semalam benar-benar telah terhapus dari kepalanya.

Namun, ada satu hal yang sangat ia ingat pasti. Hal yang sangat menyakitkan yang baru terjadi semalam. Victoria, kekasih, cintanya, tunangannya, dengan kejamnya meninggalkannya semalam.

Semalam dirinya ingin memberi kejutan pada kekasih cantiknya itu sebagai kejutan ulang tahun tepat di tengah malam kemarin. Namun, bukannya perempuan itu yang mendapatkan kejutan, malah dia yang mendapatkan kejutan. Kekasihnya, perempuan yang telah ia cinta selama bertahun-tahun, ia temukan sedang bercumbu dengan seorang pria di depan televisi di dalam rumah perempan itu.

Ia marah, sangat marah, tapi bukan pada perempuannya. Entah bagaimana, tetapi ia terlalu dibutakan oleh sosok perempuan itu sehingga ia malah mengamuk pada si pria. Pria yang lebih dipilih oleh Victoria untuk dibela. Perempuan itu lebih membela selingkuhannya dibandingkan dirinya, tunangan sah perempuan itu. Padahal dirinya sudah mencintai perempuan itu sejak sekolah menengah atas.

Kepalanya seketika berdenyut sakit saat ia kembali mengingat bahwa Victoria bahkan mengusirnya dari rumah perempuan itu karena dia memukuli selingkuhan Victoria hingga lebam di setiap wajahnya. Hatinya kesakitan saat semalam dengan bodohnya ia malah berlutut di depan Victoria agar perempuan itu meninggalkan selingkuhannya dan kembali padanya. Ia begitu dibutakan hingga ia merendahkan harga dirinya di depan perempuan yang terang-terangan berselingkuh dan mengusirnya itu.

Dia bahkan dibiarkan berlutut di depan rumah perempuan itu semalaman, di tengah malam yang sunyi itu. Hingga perempuan itu keluar bersama kekasih selingkuhannya, melewati dirinya—yang berlutut memohon—tanpa memperdulikan dirinya dan pergi meninggalkan pria itu, meninggalkannya hingga benar-benar sendirian.

Hingga awan yang memang dari tadi mendung, menjatuhkan semua air hujannya dengan deras, sangat deras hingga setiap tetesan itu terasa menusuk jatuh di atas permukaan kulitnya.

Dia menyerah, ia berjalan tanpa arah di tengah hujan deras sambil menunduk dalam. Dan saat hujan deras itu berhenti dan digantikan dengan langit cerah, pria itu menjatuhkan dirinya yang telah sekarat ke tanah dengan menyedihkan. Ia hanya sedikit menyandarkan punggungnya di salah satu tiang lampu jalanan sebelum menutup matanya perlahan. Berusaha mencari ketenangan dan kedamaiannya sendiri di hari yang menyedihkan serta melelahkan itu.

Ia perlahan mengingat semua kebersamaannya bersama Victoria. Dari mulai mereka bertemu hingga akhirnya mereka bisa bertunangan secara resmi sehari yang lalu. Baru kemarin ia merasa begitu bahagia. Namun hari ini, dia sudah terpuruk karena kesetiaan bertahun-tahun hilang begitu saja di depan pria yang jauh lebih kaya darinya.

Dia tahu betul siapa pria itu. Jika perusahaan keluarganya nomor tiga, maka perusahan keluarga pria—selingkuhan Victoria—itu adalah yang nomor dua. Hanya berada satu tingkatan di atasnya, tetapi Victoria dengan mudahnya berpaling. Seolah kekayaan peringkat tiga dan peringkat dua seperti bumi dan langit ke tujuh. Padahal perbedaan kekayaannya yang sesungguhnya begitu tipis.

Perlahan air matanya jatuh, bercampur dengan air hujan yang masih menempel di tubuhnya. Ia begitu mencintai Victoria. Ia sudah mencintai perempuan itu sangat lama. Melupakan perempuan itu hampir seperti hal yang mungkin takkan pernah terjadi.

Kenapa dia harus jatuh cinta dengan perempuan seperti itu?! geramnya sendiri. Menyesali takdir serta perasaan yang diberikan Tuhan padanya.

Pria itu kembali ke dalam kenyataannya sekarang. Ia terus menatap setiap sudut rumah minimalis itu dan mengernyit kecil saat sesosok bayangan baru saja melintas tak jauh di depan pria itu sebelum sosok itu menghilang di balik tembok. Namun, beberapa detik kemudian, sosok itu kembali dan menatap takjub pria yang sudah duduk di atas sofa itu.

Dengan antusias sosok mungil itu mendekat dan berdiri di hadapannya. Louis, pria itu hanya bisa mengerjap beberapa kali saat melihat sosok perempuan yang ada di depannya itu, ia hanya ingin memastikan bahwa dirinya belum mati dan masuk ke dalam surga.

Perempuan yang memakai gaun sederhana yang tampak anggun berdiri sambil terus tersenyum di depannya. Mata Louis tak bisa beralih dari senyuman indah perempuan itu. Bahkan mata perempuan yang ada di hadapannya itu juga ikut tersenyum indah seperti bibir manisnya itu.

Louis akui, perempuan itu cantik, sangat cantik. Penampilannya yang sederhana namun terkesan lembut dan anggun benar-benar membuat hati Louis-entah kenapa-merasa nyaman menatap perempuan itu dalam waktu yang lama dan ia takkan pernah bosan.

Bahkan perempuan itu punya satu lesung pipi yang cukup dalam dan terlihat manis di pipi kananya. Ia baru tahu bahwa ternyata ada seorang malaikat tinggal di kawasan sederhana itu.

Louis menggeleng tegas, berusaha menyadarkan dirinya sendiri dari keterpesonaannya.

Tahan dirimu, Louis. Bahkan Victoria juga seperti itu dulunya, seperti dewi, dan lihat sekarang? Victoria adalah iblis. Jangan sampai kau terjerat pada sampul seorang perempuan lagi. Kau tak tahu apa dia lebih jahat dari Victoria atau tidak. Sugestinya pada dirinya sendiri.

"Kau sudah bangun?" tanya perempuan itu antusias seolah-olah dia baru saja berhasil menghidupkan orang mati kembali. "Semalam aku menemukanmu tertidur di pinggir jalan di dekat rumahku. Jadi, aku membawamu ke sini untuk merawatmu hingga demammu turun. Dan tampaknya kau sudah baikan sekarang."

Mata perempuan itu kembali memancarkan kenyaman yang membuat Louis terdiam.

"Kau mau ke mana?!" tanya Louis sedikit kalap saat melihat perempuan itu memakai sweter rajut mungil yang rapih ke sekeliling punggungnya sambil mengambil sebuah tas sampingnya yang tampak tebal. Entah kenapa ia merasa tak tenang saat melihat perempuan itu akan pergi. Meninggalkannya di tempat yang cukup asing.

"Kuliah, tentu saja. Kau tahu? Aku sudah hampir terlambat karena aku ketiduran tadi," jelas perempuan itu dengan sedikit terkekeh geli untuk dirinya sendiri. "Ibuku sudah pergi kerja di rumah sakit, jadi sepertinya kau juga harus pergi. Maaf, itu karena aku mau mengunci rumah ini. Tapi tenang saja, aku akan mengantarmu sebentar terlebih dahulu. Kau pasti belum pulih betul untuk pergi sendiri, kan?"

"Aku tak mau pulang," timpal Louis. Ia tak mau diwawancarai oleh kedua orang tuannya karena tak pulang semalam. Apalagi wajahnya terlihat pucat pastinya. "Aku juga mau pergi kuliah. Kita berangkat bersama."

Perempuan itu sedikit mengernyit mendengar nada suara pria itu. Nada Louis seolah memerintah, bukannya meminta tolong. Apa semua orang berpakaian bermerek terkenal menggunakan nada itu? pikir Aluna.

"Baiklah kalau begitu. Di mana universitasmu?" tanya perempuan itu akhirnya.

"Tak jauh dari sini."

"Benarkah? Kurasa kita satu universitas." sahut perempuan itu tak percaya. "Kalau begitu ayo! Kita akan terlambat!"

Perempuan itu segera berjalan mendahului Louis menuju pintu luar. Begitupun Louis yang hanya bisa mengekor tak jauh di belakang perempuan itu. Ia sudah sedikit mengurangi rasa curiga yang tidak-tidaknya pada perempuan itu. Sepertinya perempuan itu benar-benar tulus menolongnya.

"Di mana mobilmu?" tanya Louis begitu perempuan itu telah mengunci rumah sederhananya.

"Mobil?" tanya perempuan itu sedikit heran, sebelum kemudian perempuan itu tertawa renyah. Suaranya begitu indah bahkan untuk tawa yang tampak mengejek. "Tak ada mobil. Kita naik bus."

"Apa?!"

"Kenapa?" tanya perempuan itu bingung saat melihat pria itu tampak kaget.

"Tak ada apa-apa." balas Louis akhirnya dengan wajah sedatar mungkin, seolah ia berusaha menyembunyikan sebuah ekspresi yang tidak ingin ia perlihatkan pada perempuan itu.

***

Louis Hendrick, pria itu sekarang hanya bisa terus mendesah pasrah sekaligus risih saat ia sudah berada di dalam bus umum itu. Bus itu begitu ramai hingga ia sendiri tak mendapatkan bagian untuk duduk, karena itulah ia hanya bisa berdiri sambil memegang pegangan bus yang berada di atas kepalanya.

Sebenarnya tadi ada satu kursi yang tersisa, tapi sayangnya ia lebih memilih memberikannya pada perempuan itu. Sebagai seorang pria, ia sadar bahwa ia harus memberikan kursi itu pada para perempuan.

Awalnya mereka sempat berdebat untuk saling memberikan kursi tersisa itu satu sama lain untuk saling menghargai. Namun, berkat kediktatoran Louis, ia berhasil memaksa perempuan itu yang duduk di kursi tersisa. Walaupun terkadang perempuan itu terus berisik karena menyarankan untuk gantian, tetapi Louis tetap bersikeras untuk berdiri dan membiarkan perempuan itu duduk hingga mereka tiba.

Pria terhormat seperti dia cukup mengenal sopan santun untuk membiarkan perempuan yang merasa nyaman. Hingga seorang lelaki tua naik di bus itu, dan dengan mudahnya perempuan itu menyarankan pria itu duduk, sedangkan perempuan itu sekarang telah berdiri tepat di samping Louis. Melihat itu, Louis hanya bisa menatap sebentar melihat sikap perempuan itu.

Satu-satunya hal yang dirasakan Louis sekarang adalah gerah. Ia begitu tak nyaman dihimpit oleh beberapa orang. Bahkan panas dalam bus itu cukup menyiksanya sehingga bulir-bulir keringatnya bercucuran. Sekarang bayangan penghiburnya hanyalah membayangkan dirinya sekarang sedang mengendari Ferrari Fenzo kesayangannya yang nyaman dan sejuk.

Tiba-tiba saja bus itu sedikit mengerem sehingga ada beberapa orang sedikit menerjangnya dan membuat bayangan indah itu hilang begitu saja, membawa wajah kesal tak nyamannya kembali terbit.

Louis lalu melirik ke sampingnya untuk melihat keadaan perempuan itu. Ia cukup tertegun saat melihat perempuan itu masih bisa tersenyum sambil menatap jalanan dengan santai. Bahkan ia juga melihat perempuan itu beberapa kali tertawa geli karena ia menyempatkan dirinya mengobrol dengan beberapa orang tua yang duduk di dekatnya.

Louis tertegun. Apa dia sudah biasa? Atau perempuan itu tak punya indra perasa lelah dan panas? Apa memang begitu kehidupan masyakat normal kelas menengah ke bawah kebanyakan?

Tak terasa perjalanan Louis di dalam bus itu menjadi tidak seburuk sebelumnya. Ia lebih suka memandangi perempuan dengan gaun panjang bawah lututnya serta rambut coklat kehitamannya tergerai lembut di punggungnya. Pemandangan itu begitu indah menurutnya sehingga membuatnya sulit beralih. Louis benar-benar terpesona melihat keindahan dari kesederhanaan itu.

Bus ituberhenti. Semua penumpang yang terburu-buru, berusaha saling mendahului untuk turun dari bus itu. Begitupun Louis yang sudah turun terlebih dahulu dari pada perempuan itu.

"Akhh!"

Louis dengan sigap langsung menangkap tubuh perempuan itu begitu ia melihat perempuan itu hampir terjengkang jatuh dari ambang pintu bus saat sedikit terserempet oleh penumpang lainnya.

"Berhati-hatilah," bisik Louis saat perempuan itu sudah berada di dalam dekapannya kemudian membantunya berdiri.

Entah kenapa senyum menawan pria itu terbit begitu saja saat menyadari pipi merona menggemaskan itu muncul, setelah ia melepas kedua tangannya dari pinggang ramping perempuan itu. Namun, Louis segera menggeleng kecil sebentar. Berusaha mengenyahkan tanggapannya itu dari kepalanya.

"Terima kasih," balas perempuan itu sedikit kikuk sebelum berjalan duluan mendahului Louis masuk ke dalam gerbang besar universitas.

Louis yang mengekor di belakang perempuan itu seketika berhenti melangkah saat perempuan itu juga tiba-tiba membalikkan tubuhnya menghadap Louis. Membuat Louis sekali lagi fokus di mata indahnya.

"Aku rasa kita harus berpisah di sini. Jadi, ehm.. selamat tinggal?" ucap Aluna dengan nada yang sedikit canggung.

"Sampai jumpa," timpal Louis yang bisa melihat sedikit kegugupan itu pada perempuan yang sedang berada di hadapannya. Louis juga mengulurkan tangannya ke perempuan itu dengan seringai yang mempesona.

"Ah ya, sampai jumpa." Perempuan itu tersenyum lebar hingga menularkan senyuman itu pada Louis yang juga ikut tersenyum lebar membalasnya. Perempuan itu menerima uluran tangan Louis sebelum melambai kecil kemudian berjalan menjauh.

Seakan tak berpisah secara benar, keduanya terlihat tidak tenang. Perempuan itu sesekali menengok kecil dengan kikuk sambil terus berjalan, begitu pula Louis yang hanya bisa membuka mulut seolah berusaha mengeluarkan suaranya. Namun, sayangnya suaranya itu agak tertahan di dalam tenggorokannya.

"Hei!" Akhirnya suara Louis keluar sehingga perempuan itu pun langsung berbalik dengan cepat-seolah memang menunggu panggilan itu-tanpa mendekat. "Siapa namamu?!"

Louis hanya bisa melihat perempuan itu tersenyum dengan sangat manis sebelum suara itu menjawabnya.

"Aluna Ariana!"

***

"Aluna!!!"

Aluna yang baru saja tiba di dalam kelasnya cukup dikejutkan oleh suara salah satu dari dua sahabatnya, Yuri. Perempuan itu tiba-tiba saja datang berlari ke arahnya sambil meneriakkan nama Aluna dengan cukup keras. Sedangkan Seryn berada tepat di belakangnya, berusaha mengejar Yuri.

"Ada apa denganmu? Kenapa teriak-teriak?" tanya Aluna sedikit jengah melihat tingkah sahabatnya itu di pagi hari.

"Apa benar?" tanya Yuri tak sabaran yang membuat Aluna hanya bisa mengernyit tak mengerti dengan pertanyaan yang kurang jelas itu.

"Benar apanya?"

"Kau dan Louis Hendrick sedang menjalin hubungan?" tambah Seryn yang jauh terlihat lebih tenang dari Yuri.

"Louis? Apa yang kalian bicarakan?"

Aluna semakin menatap keduanya tak mengerti. Ia cukup kaget karena dua sahabatnya itu sudah membuat kacau pagi-pagi di kelasnya dan sekarang ia wawacarai dengan pertanyaan yang ia tak tahu maksudnya.

"Aku bahkan tak mengenal siapa Louis Hendrick itu, apalagi hingga memiliki hubungan spesial seperti itu. Kalaupun benar, pasti aku akan memberitahu kalian terlebih dahulu."

"Tidak mungkin," respon Yuri tak percaya sedangkan Aluna hanya bisa mengedikkan bahunya tak perduli.

"Memang orang bodoh mana yang menyebarkan gosip tak berdasar itu?" tanya Aluna dengan nada tak perduli dan hanya membaca buku yang ada di depannya.

"Hampir seisi universitas melihatmu datang bersama Louis tadi pagi. Katanya mereka melihatmu sedang berpegangan tangan dengan Louis di gerbang tadi sebelum berpisah," jelas Seryn.

"Di gerbang?" Ingatan Aluna pun terbang ke kejadian beberapa menit yang lalu. Kejadian di mana ia sedang memasuki gerbang dengan pria yang semalam ia temukan.

Jadi namanya Louis? gumamnya dalam pikirannya.

"Jadi, maksudmu pria itu namanya Louis?" tanya Aluna balik.

"Jadi benar?!" Seryn dan Yuri pun serentak berbicara membuat kegaduhan itu bergema di ruangan sepi itu kembali terdengar.

"Tidak! Bukan itu maksudku! Semalam aku menemukannya sedang demam di jalan kawasan rumahku. Aku hanya membawanya ke rumah, merawatnya lalu membawanya ke sini karena kebetulan dia juga kuliah di sini. Tak ada yang terjadi selain itu. Aku jujur," jelas Aluna sedikit kalut melihat tatapan mengintimidasi sahabatnya. "Lagipula kami tadi bersalaman, bukannya berpegangan tangan. Kenapa semua gosip itu berlebihan sekali?"

"Benarkah?" tanya Seryn lagi memastikan dan Aluna hanya mengangguk dengan wajah polos penuh kejujurannya.

"Padahal kami senang kalau kau dan dia bersama," sahut Yuri dengan wajah yang sedikit ditekuk kecewa.

"Dasar kalian," Aluna hanya bisa menggeleng-geleng geli melihat raut wajah lucu kedua sahabatnya. "Kenapa respon kalian berlebihan sekali?"

"Kami takkan seberlebihan ini jika pria itu bukan Louis," jelas Yuri.

"Memangnya kenapa kalau pria itu Louis?"

Yuri dan Seryn saling memandang mendengar pertanyaan Aluna. Sebelum Yuri mulai berkata, "Kau tak mengenal Louis Hendrick?"

Aluna hanya bisa mengangguk membenarkan pertanyaan itu sehingga membuat keduanya mendesah kecil.

"Kau sudah setahun lebih di sini tapi kau masih belum mengenal universitas ini dengan baik? Inilah kenapa kau harus sering-sering bersosialisasi, bukannya menjadi mahasiwa kupu-kupu. Kerjamu hanya kuliah pulang begitu saja. Kau yakin kau tak tahu Louis Hendrick?"

"Hmm, aku tak tahu," Aluna langsung menggeleng.

"Louis Hendrick adalah senior semester akhir di universitas kita. Dia jurusan Manajemen Bisnis. Dia orang yang cukup dikenal dan berpengaruh baik di dalam dan di luar universitas ini. Dia anak konglomerat kaya raya sekaligus donatur terbesar di universitas swasta ini. Dia anak satu-satunya, berarti dia penerus tunggal perusahaan keluarganya nanti. Selain itu juga dia sangat tampan dengan darah setengah Prancis yang mengalir di dirinya. Dan kau dengan polosnya memperlihatkan dirimu ke semua orang bahwa kau datang bersama Louis Hendrick ke sini dan menyentuh tangannya. Kau tahu? Kau seperti memberi umpan pada sekumpulan paparazzi untuk membuat bom gosip," jelas Yuri yang sedikit membuat Aluna mengenyit ngeri.

Entah Yuri melebih-lebihkannya atau itu memang benar adanya, tetap saja ia merasa bergidik ngeri entah kenapa. Menurutnya orang sesempurna itu berbahaya.

"Setidaknya kau sudah menyelamatkan putra mahkota itu," tambah Seryn. "Tapi bagaimana bisa kau menemukannya di jalanan?"

Aluna hanya mengedikkan bahunya tak tahu untul menjawab pertanyaan itu, karena ia memang tak tahu apa-apa tentang kejadian sebelum pria itu sekarat di jalanan, ia hanya menemukan pria itu begitu saja. Dan ia tidak menanyakan kenapa dan bagaimana pria itu berada di sana.

Aluna kemudian hanya bisa termenung untuk mencerna dengan baik kata demi kata yang baru saja ia dengar. Apa ini sebuah masalah? Atau keberuntungan?

Aluna akhirnya lebih memilih melupakannya. Lagipula menurutnya, Louis takkan mengingatnya juga nanti. Dia pasti akan melupakan hari, wajah, nama, serta kejadian itu. Menurutnya orang kaya memang kebanyakan seperti itu.

Pantas saja dia begitu tampak gelisah di bus tadi. Itu mungkin kali pertamanya, pikir Aluna.

To Be Continue...

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top