38 - No More Cry

Akibat suara ketukan pintu yang sama sekali tidak berhenti, aku terpaksa harus melepaskan game Plants vs Zombie, demi mengetahui siapa pemilik ketukan pintu.

"I'm coming," ujarku dengan sedikit meninggikan suara, agar dia berhenti mengetuk pintu. Sungguh! Sekitar satu menit mendengarnya, berhasil membuatku kesal.

Aku menoleh ke arah jam berbentuk jangkar kapal yang berisi angka romawi, jarum pendeknya menunjukkan pukul tujuh malam, serta jarum panjangnya ke angka tujuh. Sehingga sebelum benar-benar membuka pintu, otakku berpikir bahwa aku telah menghabiskan waktu lima belas menit demi bermain game dan menghindari Aiden.

Well, aku sangat setuju jika kalian mengataiku sebagai pengecut. Namun, siapa yang tahan  saat melihat bagaimana sang mantan kekasih, berusaha mendekati pacarku.

Serius, itu sangat menyebalkan! Terutama saat harapanku kepada Aiden tidak sesuai kenyataan, serta ketika aku tahu siapa yang berdiri di depan kamarku.

"Hai."

Aku bersandar pada pinggir pintu yang terbuka lalu berkata, "Hai."

"Aku hanya ingin berbicara padamu," ujar Aiden dengan nada canggung yang benar-benar menular. "Apa kau punya waktu senggang?"

"Sebenarnya tidak, tapi jika kau bisa meyakinkanku maka aku bisa meninggalkannya." Entah kenapa tidak langsung memaki dan menutup pintu saja, aku malah meminta Aiden agar merayuku dengan alasan meyakinkan.

Aku menjilat bibir keringku, akibat lupa menggunakan liblam selepas mandi, lalu menelusuri lorong kamar penginapan yang tampak kosong melompong.

Aiden menarik napas panjang kemudian mengembuskan, sambil meletakkan kedua tangan yang saling mengatup di depan hidung dan bibirnya. Di lain sisi, aku hanya menaikkan kedua alisku karena tergelitik untuk mengejek bahwa mulutnya sangat-sangat bau. Namun, kutahan karena tidak ingin Aiden tahu tentang seberapa besar kecemburuanku.

"Aku sungguh suka padamu dan kehadiranmu telah memberikan terang dalam hidupku. Jadi jika kau tidak ada, maka aku akan selalu tersesat," ujar Aiden sambil memegang lengan kiriku. "Kumohon, dengarkan dulu dan kau bisa mempertimbangkannya."

Sembari melepaskan tangan Aiden yang berada di lenganku, aku tentu bersikap congkak dengan membersihkan bekas genggaman Aiden lalu berkata, "Kau payah, idiot, dan menyebalkan."

Kedua alis tebal Aiden menyatu kemudian ekspresi sedih menyusul, dengan begitu jelasnya. Di sisi lain, aku pun menegakkan punggungku sambil bertolak pinggang. Yang benar saja, aku akan luluh dengan gombalan payah barusan!

"Apa kau pernah mengatakan kalimat itu pada gadis lain, eh?"

Sedetik setelah mengatakan hal itu, logikaku lantas memaki sekaligus bertanya atas kebodohanku barusan.

Aiden tersenyum miring lalu melilitkan kedua tangannya di atas dada. Dia menundukkan sedikit, hingga tinggi kami sekarang benar-benar selaras dan Aiden bisa menatap kedua mataku dengan sangat jelas.

Perlu diingat, bahwa Aiden memiliki tatapan yang mampu meluluhlantakkan hati seorang gadis, dalam kasus ini dia adalah aku. Di mana dalam sekejap perasaan salah tingkah mulai menggerayangi setiap senti kulitku, sehingga refleks kedua mataku mengerjap kemudian kedua kaki melangkah mundur.

"Megan." Suara Aiden benar-benar menusuk jantungku, sampai aku harus meletakkan kedua tangan di dada demi meredakan denyut supernya. "Apa kau penasaran?" Dia masih saja bertahan dengan posisi awalnya, yaitu menunduk sambil memberikan tatapan menyelidik kepadaku. "Aku bisa mengatakan apa pun yang kau pikirkan."

Refleks kedua alisku mengerut. Ucapan Aiden barusan benar-benar memperlihatkan keangkuhannya. Sehingga tanpa perlu banyak bicara, apalagi berpikir aku pun segera membanting pintu dengan mengabaikan panggilan memohon dari Aiden.

Aku mendengkus kesal, merutuki lidahku yang berbicara tanpa berpikir. Daun pintu bercat merah gelap dengan aksen warna kayu cerry pun, menjadi sandaran terakhir saat ponselku berdering menandakan pesan masuk.

"Kau akan menyesal jika tidak segera datang ke kafetaria." Aku membaca pesan Alma dengan suara yang cukup terdengar untuk diri sendiri.

Cepat ke kafetaria! Aku yakin kau akan puas melihatnya.

C'mon, Megan! Don't waste your time.

For God's sake, you will kill your self.

Lalu banyak lagi pesan singkat Alma yang berisikan kalimat provokasi, agar aku segera menghampirinya. Entah kejadian apa di kafetaria, aku benar-benar malas untuk datang karena Aiden sungguh payah.

Oh, baiklah, aku tahu bahwa kantin dan Aiden sama sekali tidak sama, apalagi saling berhubungan. Aku hanya mengatakan demikian, karena lelaki itu telah pergi meninggalkan kamarku tanpa usaha keras sekalipun. Yeah, anggap saja bahwa aku mengharapkan tindakan Aiden, meski kenyataannya tidak benar.

Aku memutar mata akibat harapan bodoh yang baru saja menyelinap. Sembari meletakkan ponsel di nakas, sesegera mungkin aku meraih celana jeans 3/4 di atas kasur lalu mengenakannya sebagai ganti celana boxer bergambar kuda poni, hadiah Jeff saat ia berhasil menjadi mahasiswa di Los Angeles.

Ponselku berdering lagi dan kali ini bukan pesan singkat, melainkan panggilan dari Alma. Setelah selesai berganti pakaian, aku pun meraih ponsel hingga di detik pertama suara berisik Alma menyambutku.

"Kau di mana? Apa kau mencoba mengabaikanku?!" ujarnya dengan nada super tinggi, mengalahkan riuh suara kafetaria yang menjadi backsound-nya. "Ke sini sekarang dan aku yakin kau akan sangat berterima kasih." Dia berbicara cepat sekali, tanpa memberikan kesempatan otakku untuk memproses karena detik kemudian aku hanya mendengar nada terhubung yang membosankan.

Aku tidak bisa lagi untuk tidak mengembuskan napas, sambil merendahkan kedua bahu seolah memiliki kemalasan luar biasa dalam hal menjalani hidup, dan meletakkan kembali ponsel di atas nakas. Setelah selesai merapikan penampilan sebagai orang "bodoh" diantara dua manusia memadu kasih, aku pun segera melangkahkan kaki menuju kafetaria yang berada di lantai dasar.

Sekadar informasi, perjalanan dari kamar menuju kafetaria, sebenarnya cukup membakar sedikit kalori jika kalian benar-benar memperhitungkannya. Banyaknya anak tangga di setiap lantai, berhasil membuat kaki siapa saja yang jarang berolahraga terasa ingin lepas.

Aku menarik napas panjang, memaksa agar oksigen memenuhi paru-paru lalu mengembuskannya sembari berhitung dan pada hitungan ketiga, aku berlari seperti seseorang sedang mengejarku.

Yeah, benar-benar berlari saat menuruni tangga terakhir yang di sebelah kanannya, langsung mengarah kafetaria. Aku sengaja melakukan hal tersebut, bukan karena terlalu penasaran dengan ucapan Alma, tetapi karena ... sebut saja keisengan tiada arti. Lol.

Akan tetapi, kenyataan tidak sesuai dengan pikiranku. Ugh!

Memang benar, aku mengatakan bahwa berlari menuruni tangga seperti anak kecil, adalah kegiatan teramat iseng. Namun, sial! Keisengan tersebut justru membawaku ke lubang lumpur. Di mana aku tidak tahu harus menggunakan reaksi apa saat ini.

Yang jelas, emosiku benar-benar meluap, rasa malu tak terbendung, dan berharap lenyap saja juga terlintas di benakku.

"Fuck!" Aku benar-benar tidak harus menyaring ucapanku saat ini. "What the hell, Aiden?!" Rahangku benar-benar jatuh sekarang, akibat pemandangan sialan tersaji di depan mataku.

Secara gamblang, aku melihat Aiden bersama Aubrey. Mereka terlalu menempel, di mana Aiden memeluk punggung Aubrey dan di detik kedua aku melihat, Aubrey menarik kerah lelakiku lalu menciumnya.

Persetan! Tidak perlu bertanya lebih lanjut lagi karena aku segera melangkah mendekati mereka, lalu menghantupkan keningku ke kening Aubrey.

"Jika kau memang ingin pamer, maka kau telah melakukannya di hadapan orang yang tepat." Aku berusaha agar tidak memijat, tetapi sungguh, keningku saat ini benar-benar berdenyut sangat keras. "Aku akan menyerang dan meninggalkanmu."

"Brengsek kau! Penjilat!" Aubrey berteriak ke arahku, masih dalam posisi memijat keningnya. "Kau merebut milikku!"

"Oh, ya?" Aku menyingsing lengan bajuku yang panjang, hingga ke siku. "Lalu aku akan mengembalikannya," ujarki sambil tersenyum miring dan--

"Kau sudah cukup melukainya, Megan."

Refleks kedua alisku mengerut lalu hembusan napas terdengar jelas, dan aku berusaha tertawa seolah ucapan Aiden adalah lelucon paling keren di dunia. Namun, tawa tersebut benar-benar dipaksa karena kenyataannya apa yang kulakukan sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Maksudku, yeah, sejak kapan aku jadi sepercaya diri itu hingga berpikir bahwa Aiden hanya mencintaiku.

Sial!

Aku menggigit bibir bawahku dan tanpa sadar kedua tanganku mengepal kuat. "Thanks, Aiden," ujarku penuh tekanan sambil pergi meninggalkan Aiden, demi membuang rasa malu.

Belum lagi ketika aku melihat bagaimana Aubrey memberikan senyum kambing ke arahku, rasanya jika Aiden tidak mengatakan kalimat sialan itu, bisa diyakini bahwa wajah cantiknya pasti akan berakhir babak belur.

"Sialan kau, Aiden! Bisa-bisanya mempermainkan perasaanku dengan begitu kejam," ujarku yang tanpa dirasa tetes cairan asin meluncur di pipi, lalu menyentuh bibirku. "No more cry for the fucking couple."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top