060 - After What I Received And I Got
Jeff mengirimiku pesan, ketika aku baru saja selesai mandi dan memeriksa ponselku.
Jangan gugup aku yakin kau bisa melewatinya dengan sangat baik.
From your handsome brother, Jeff.
Kedua sudut bibirku refleks terangkat setelah membaca pesan singkatnya dan ...
Yeah, ini bukanlah yang pertama kali semenjak sebulan lalu.
Pengalamannya sebagai siswa senior, membuat Jeff tahu benar bahwa sekarang sedang musim ujian. Parahnya--diluar kehendakku--dia juga mengatahui rencanaku yang aku akan melanjutkan kuliah di Harvard. Hal itu pun membuat Jeff--tanpa diminta--selalu menghantuiku dengan kalimat perintah, motivasi, serta ancaman bahwa meskipun Jeff tidak berada di sisiku, ia tetap bisa mengamatiku dari jarak jauh.
Aku setuju saja dengan ancaman Jeff yang satu ini karena kenyataannya sejak peristiwa perkelahian beberapa bulan lalu, Walter justru malah menjadi mata-mata Jeff. Entah bagaimana hal tersebut bisa terjadi, tetapi aku bisa mengetahui hal tersebut karena Walter mengakuinya.
Berlebihan memang, tetapi begitulah sikap Jeff semenjak kami berada di lokasi yang berjauhan.
Dan sampai hari ini, aku berusaha untuk memaklumi sikap over protektifnya.
Aku membalas pesan singkat Jeff, mengatakan bahwa dia tidak perlu khawatir sebab aku tentu bisa menyelesaikannya. Seperti kata pepatah orang terdahulu, usaha tidak akan membohongi hasil, aku percaya bahwa ujian tersebut akan membawaku ke Harvard.
Namun, sayang, Jeff masih saja memberikan rasa kurang percaya sehingga kurang dari semenit, lelaki itu meneleponku.
"Hei," sapaku, "Kau sedang mengganggu seorang gadis yang ingin berdandan. Apa kau tahu itu?"
"Aku tahu kau berbohong." Dia menanggapi kalimat keduaku sembari tertawa kecil. "Tapi karena hari ini adalah hari terakhir kau ujian, maka aku akan mencoba memercayainya. Kau harus menunjukkan yang terbaik, entah itu nilai, attitude, atau penampilan sekali pun, kau harus tampak hebat. Sehingga para guru tidak akan meragukanmu jika nanti nilaimu menjadi yang tertinggi."
"Well, thanks. Tapi aku tidak pernah berharap semuluk itu."
"Tapi kau harus memiliki harapan tinggi, demi melahirkan rasa tidak pernah puas."
"Harapan tinggi hanya akan membuatku sedih, jika mereka tidak tercapai."
Jeff mengembuskan napas dan suara embusannya di ponsel, terdengar sangat mengganggu di telingaku. "Aku tahu kau mengatakan hal ini karena pengalaman burukmu bersama Aiden. Namun, ingat setiap pengalaman buruk selalu ada pengalaman baik. Kau harus tampil maksimal dan buat cecunguk itu menyesal, sehingga kesedihan itu akan menghilang secara perlahan."
"Kau berbicara seperti pakar cinta saja." Aku menyentuh icon loudspeaker kemudian meletakkan ponsel yang masih berfungsi di atas nakas dan mulai merias diri. Jeff masih terus menasihatiku, tanpa peduli bahwa aku hanya menjawab seadanya.
"Karena kau sangat menyedihkan saat itu, maka aku mengubah strategi untuk menghiburmu yakni memberikan kata motivas atau menuntutmu. Jadi katakan padaku, apa kau merasa sangat kacau saat aku babak belur tempo lalu?"
"Sama sekali tidak!" Aku mengeraskan suara, sembari mengarahkan ponsel mendekati bibir. "Aku merasa lebih kacau karena ulahmu, orangtua kita jadi bertengkar. Bahkan mom--"
"Aku tahu. Aku tahu. Jangan ulangi lagi kisah lagi, ok?"
"Kau yang memulainya, Jeff." Aku mulai mengucir rambut menjadi ekor kuda lalu mengenakan lipblam, sebagai bentuk perawatan bibir, dan detik itu juga Jeff mengajakku melakukan video call.
"Terima, Megan. Kau tahu, aku harus melihatmu sebelum kelas yang membosankan hari ini." Jeff mengada-ada, di mana aku tahu sekali bahwa tidak ada kelas yang membosankan selama terdapat gadis cantik bersama Jeff.
Dan di dunia ini mustahil kecantikan menjadi hal langka. Jadi aku pun mengabaikannya dengan kembali berkata melalui telepon, "Aku hanya akan menjadi awal hari burukmu di sekolah. So ... berhentilah membual dan biarkan aku pergi. Jangan berlagak seperti sosok posesif, Jeff."
"Well, I don't think so. Kau yang tercantik di mataku," jawabnya, "bagaimana keadaan mom dan dad?"
"Kau bisa bertanya langsung, Jeff. Aku akan turun sekarang untuk mengambil sarapan, jadi berbicaralah pada mereka. Kau juga diperbolehkan melakukan video call." Pada akhirnya aku pun penasaran dengan bagaimana penampakkan Jeff di pagi hari selama di kampus. Apa dia sudah mandi dan bersiap-siap? Aku tidak yakin.
"Aku sudah punya kencan pagi, sayang sekali."
"Kencan dengan siapa? Apa kau menginap di asrama gadis untuk melakukan itu?"
"What? Jangan konyol, please. Kau bisa lihat sendiri di ruang makan," ucap Jeff yang kebetulan memang ingin kulakukan sebelum dia menyarankanku.
Aku pun memutuskan panggilan dengan Jeff kemudian segera bergegas ke lantai bawah dan menuju meja makan. Tidak lupa terlebih dahulu mengenakan sepatu, kaus kaki, serta menyampirkan tas di kedua bahuku lalu berjalan sambil membaca lagi catatan kecil.
Beberapa langkah menuju ruang makan, indera pendengaranku bisa menangkap suara dad dan mom sedang saling berbicara. Kedengarannya menyenangkan, sesekali mereka tertawa kemudian melemparkan joke payah hingga aku tidak tahu di bagian mana hal lucunya. Sampai akhirnya aku berada di ruangan serupa dengan mereka, aku pun tahu bahwa Jeff ternyata sedang melakukan video call.
Mereka menyapaku sehingga aku pun bergabung, mengobrol sebelum melakukan aktivitas, dan melihat semua ini aku tidak pernah menyangka bahwa kami pernah berada di dalam keadaannya yang benar-benar retak.
***
Untuk membunuh waktu karena datang jauh lebih awal, aku memutuskan untuk duduk di bangku panjang dekat lorong loker sembari bermain ponsel. Di sekitarku terbagi beberapa kelompok murid dengan aktivitasnya, yaitu;
Kelompok pertama mereka adalah yang tidak terlalu kukenal terlihat masih belajar, seolah-olah hanya akan berhenti sedetik ujian akan berlangsung.
Kelompok kedua, mereka yang kemampuan pas-pasan hingga menengah ke bawah tampak berusaha membuat catatan mini dan menyembunyikannya di suatu tempat. Catatan itu akan berfungsi setiap keadaan mendesak, meski melihatnya harus diperlukan kewaspadaan tingkat tinggi/
Kelompok ketiga, mereka yang tampak tertidur sambil mengenakan earphone. Padahal sedang mendengarkan rekaman materi dengan harapan alam bawah sadar bisa membuat mereka mengingat semuanya.
Dan sisanya kelompok keempat, mereka adalah yang belajar jauh-jauh hari sehingga berada di sekolah adalah waktunya untuk menghentkan segala aktvitas stressing bersifat belajar. Aku salah satu dari mereka, yaitu memutuskan hanya bermain ponsel sembari menunggu.
Alma berkata, "Aku harap setelah kita lulus nanti, komunikasi kita tidak terputus."
Aku menghentikan sejenak aktivitas bermain ponsel, dengan meletakkan atensi kepada Alma. Sejak satu bulan sebelum hari-hari ujian, kami sangat jarang sekali bertegur sapa. Sama-sama sibuk mempersiapkan ujian membuat kami tidak memiliki waktu, untuk sekadar nongkrong.
"By the way, apa kau tidak stress?"
"Stress kenapa?" Dia menusukkan sedotan pada lingkaran alumunium kecil di bagian atas kotak susu diet, dan bersiap untuk meminumnya. "Apa kau baik-baik saja?"
"Well, yeah. Aku bertanya padamu karena kita baru bisa mengobrol hari ini."
"Kurasa kau hanya terlalu sibuk dan mungkin gugup." Dia meminum susu dietnya sembari menyerahkan sekotak susu pisang untukku. "Gugup yang kumaksud adalah setelah melewati hari-hari berat, akhirnya kau harus berhadapan dengan ujian yang menentukan mau ke mana pendidikan lanjutanmu."
Aku mengangguk pelan, apa yang dikatakan Alma memang benar adanya. Terlalu keras belajar, membuatku gugup. "Ke mana kau akan pergi setelah ini?"
"Tidak ada rencana." Alma mengedikkan bahu. "Mungkin aku akan pergi menggunakan kapal laut untuk menangkap ikan dan pemuas nafsu para awak kapal."
"Jangan konyol, Alma." Aku terkekeh pelan atas sex joke yang cukup miris, jika mereka tidak mengenal Alma.
Apalagi ketika tahu bahwa gadis itu tidak ikut terkekeh dan hanya meminum habis susu dietnya. "Kau tahu, aku sudah berpisah dengan Jackson," kata Alma diluar dugaan, sembari mengarahkan pandangan pada lelaki yang sedang dia bicarakan.
Aku mengikuti arah pandangnya. Untuk sesaat tatapan mereka saling bertemu, tetapi segera terputus karena Jacksong kembali fokus pada buku di tangannya. Entah sejak kapan mereka berpisah, aku yakin waktunya tidak terlalu lama. Hanya saja yang menjadi masalah besar adalah, aku berada di antara mereka di saat perang dingin seperti ini.
Aku menepuk jidatku secara imaginer kemudian menoleh ke arah Alma dan mengusap punggungnya. Dari cara dia melihat Jackson, aku yakin bahwa Alma masih menginginkan Jackson kembali. Namun, ....
"Jackson akan melanjutkan kuliah di Korea," kata Alma, "dan dia tidak ingin memiliki hubungan jarang jauh. Aku sudah meyakinkannya bahwa jarak, serta perbedaan waktu bukanlah halangan. Aku mengatakan kita bisa mengatur waktu untuk saling mengobrol, tapi ... sepertinya Jackson memang sudah menginginkanku lagi."
Tangis Alma memecah, di mana dia langsung memelukku dan membuang air matanya di bahuku. Aku segera membalas pelukannya, sambil diam-diam mencari keberadaan Jackson.
Yang aku pikirkan sekarang hanyalah bagaimana reaksi Jackson saat melihat kesedihan Alma. Padahal sebelum mereka bersama, lelaki itulah yang bersemangat untuk mendapatkannya. Sehingga bagaimana bisa mereka berpisah dengan cara seperti ini?
Aku benar-benar habis pikir.
"Kau akan baik-baik saja tanpanya, Alma." Aku tidak tahu lagi harus menghibur Alma bagaimana. "Aku tahu ini semua akan terasa sulit, tapi sungguh! Itu hanya diawal saja."
Alma menenggelamkan wajahnya di pelukanku dan hanya menjawab ucapanku dengan anggukan kepala.
Setelahnya, kami pun tersangkut dalam suasana hening. Di mana Alma hanya bisa menahan tangisnya dan aku ....
... tidak tahu berbuat apa selain menepuk-nepuk pundak Alma.
Terus seperti itu sampai bel ujian akan segera dimulai, terdengar di telinga kami.
Aku baru saja akan membawa Alma pergi menuju ruang ujian, ketika Aubrey melenggak-lenggok bak model ke arah kami dan berdiri sambil bertolak pinggang tepat di hadapanku.
"Megan Ave," ujar Aubrey dengan meninggikan sedikit dagunya dan mengangkat tangan kirinya setinggi bahu, serta dia menunjuk ke arahku tetapi tidak secara terang-terangan. "Kuharap kau tidak besar kepala sebab aku menegurmu dan menghampirimu. Ini semua bukan dari lubuk hatiku, jadi akan kupercepat saja."
"Kau ada perlu apa?"
Aubrey memutar bola matanya, lalu kembali menatap ke arahku. Aku tahu dia malas sekali berbicara denganku, apalagi setelah Aiden melakukan hal besar di koridor kantin kemarin dan itu ditujukan pada apa yang, telah disembunyikan Aubrey.
"I'm so sorry," katanya yang aku tahu, sama sekali tidak tulus. "Atas semua yang sudah kulakukan, hingga merugikanmu. Apa kau mau melakukannya?"
"Siapa yang menyuruhmu? Bukankah itu adalah bagian favoritmu karena aku selalu menempel dengan mantan pacarmu. Kurasa kau sudah sangat senang, karena kami telah berpisah."
"Memang," katanya, "Shit! Aku tidak peduli. Maafkan saja aku dan anggap semua tidak pernah terjadi."
"Terserah kau saja," ucapku yang sedetik kemudian pergi, tanpa permisi.
Dan selagi aku melangkah pergi, seseorang yang kuyakini sosok di balik perlakuan Aubrey, tampak sedang mengamati kami. Dia berdiri--entah sejak kapan--bersandar pada tembok salah satu kelas, dan ketika menyadari keberadaanku lelaki itu segera berdiri tegak.
"Megan, apa kau masih membutuhkan waktu untuk benar-benar bisa mendengar?" Aiden bertanya padaku dengan mimik wajah yang tampak frustrasi. "Aku hanya ingin kita pergi bersama sebelum masa ini berakhir. Maksudku, aku hanya mau menghabiskan waktu terakhir ini denganmu."
Kedua alisku terangkat bersamaan dengan Alma yang berbisik, mengatakan bahwa keberadaannya sangat mengganggu di sini, sehingga dia memutuskan pergi.
"Kau beruntung, Alma menghargai keberadaanmu di sini dan memutuskan pergi, agar kau lebih leluasa. Padahal, dia sendiri pun membutuhkan teman bicara."
Aiden mengangguk tidak nyaman. "Aku akan menyelesaikan milikku, setelahnya jika kau bersedia aku--"
"Katakan sebelum aku berubah pikiran," ancamku karena merasa kasihan pada Aiden dan tahu diri, bahwa seharusnya aku tidak perlu bersikap demikian lebih lama lagi.
"I'm so sorry," ujar Aiden sembari menggenggam kedua tanganku. "Aku sudah melakukan apa pun untuk mendapatkan maafmu, dan menghargai keinginanmu agar aku tidak lagi mengganggumu. Namun, aku akan menjadi manusia bodoh jika membiarkanmu pergi begitu saja."
Aku melilitkan kedua lenganku. "Kau mengatakan itu untukku, bukan?" tanyaku setenang mungkin, meski kuyakin ini hanya berupa ungkapan negative thinking. "Kau mengatakan aku bodoh karena membiarkanmu masuk ke dalam hidupku. Padahal kau sekadar ingin memenangkan permainan.
"Jadi beritahu aku siapa pemenangnya?"
Refleks air muka Aiden berubah. Dia menampakkan ekspresi ketidaksukaannya, hingga membuatku merasa tidak nyaman. Namun, keadaan sudah terlanjur seperti demikian. Aku harus mempertahankannya, tanpa rasa penyesalan.
Tatapan kami saling beradu untuk beberapa menit. Aiden melilitkan kedua lengannya di atas dada, sedangkan aku bertolak pinggang di hadapannya. Dan karena kedua mataku sudah mulai merasakan perih, aku segera mengerjap lalu berkata, "Kumaafkan, tetapi jangan berharap kita akan kembali."
"Kau pikir kau tidak melakukan kesalahan apa pun," ujar Aiden di balik punggungku ketika baru dua langkah aku meninggalkannya. "Semua perkataanmu menggambarkan bahwa aku adalah kesalahan mutlak."
Aku berbalik agar kembali berhadapan dengannya. Kurasa Aiden sudah gila karena menganggap aku telah menyalahkannya. Padahal, bukankah sejak awal dia adalah pelaku kejahatan hati ini?!
Suasana koridor benar-benar telah menyentuh titik kesepian, sudut mataku menangkap hanya segelintir murid yang tersisa dengan pergerakan buru-buru mereka. Aku sendiri juga sudah mulai gelisah karena tidak ingin tertinggal, sehingga tanpa ragu logikaku pun mengarahkan agar aku berkata ....
"Then, I'm sorry." Aku membalikkan tubuh secara tiba-tiba dan segera berlari menuju kelas, meninggalkan Aiden.
Akan tetapi belum sempat berlari jauh, Aiden justru mencekal pergelangan tanganku kemudian menariknya dan dia memelukku dari belakang.
Aku terkejut bukan main atas tindakan mendadak ini, terlebih Aiden juga meletakkan keningnya di bahu kananku.
"Please, forgive me and come with me, Megan." Dari setiap kata yang diucapkan Aiden, semua memiliki makna memohon dan itu berhasil mengiris hatiku.
Memang, aku terlalu sedih dengan semua perlakuannya. Namun, dia adalah cinta pertamaku sehingga ....
"I'll tell you later," ucapku akhirnya, setelah beberapa bulan tidak bertegur sapa dan berusaha mengabaikan Aiden. "I just need one more time."
Aiden mengangkat kepala, bersamaan dengan lengannya yang berhenti mengelilingiku.
"Maaf karena telah membuatmu merasa tidak nyaman," kata Aiden yang kubalas hanya dengan anggukan kemudian kami pun berpisah menuju ruang masing-masing.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top