059 - I'm So Sorry My Brother

"Maaf karena telah membuatmu cemas," kata Mom sembari melangkah memasuki kamar Jeff kemudian duduk di sampingku, di atas tempat tidur saudaraku. "Seharusnya aku lebih bisa mengontrol semalam, tapi karena dia juga anakku maka ... tidak ada seorang ibu yang tidak akan khawatir, jika anaknya menghilang."

Aku menoleh ke arah mom, demi memastikan bagaimana keadaannya saat ini. Kuakui saja sekilas saat melihat mom di depan pintu tadi, dia memang sudah terlihat jauh lebih tenang. Entah apa yang telah wanita itu alami semalam, aku sudah sangat bersyukur karena mom tidak lagi sekacau sebelumnya.

"Aku bisa mengerti dan kuakui Jeff memang sejak awal sungguh menyebalkan." Aku tersenyum jenaka, mencoba mencairkan situasi seolah kejadian semalam hanyalah sekadar mimpi buruk. "Jadi, apa dad sudah membawa Jeff pulang?" Hati-hati aku bertanya pada mom, di mana di dalam hati aku berdoa agar mom tidak kembali kacau.

Sungguh. Aku butuh suasana normal, bahagia, dan tanpa beban hari ini meski pertanyaan yang kulontarkan barusan benar-benar bersifat sensitif untuk dibahas sekarang. Namun, jujur saja, aku hanya ingin tahu bagaimana kabar Jeff.

"Mereka bilang semua sudah selesai," kata mom kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya. Beberapa kali mom melakukan hal tersebut dan setelah itu, dia kembali berkata, "But freeing Jeff, I guess that's another thing your dad is still thinking about"

"Itu artinya dad tidak bersedia untuk ...."

"I no idea, Megan." Mom menggeleng lemah, membuatku menaruh prihatin karena wanita di hadapanku ini pasti menginginkan kebebasan putra sulungnya. "Hanya hormati saja keputusannya, karena semalam kami pun sempat memperdematkan masalah Jeff."

Aku mengangguk pelan dan memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh, atau sekadar melanjutkan obrolan. Mom telah memberikan petunjuk, bahwa percakapan ini sangatlah tidak menyenangkan sehingga kami pun terjebak dalam keheningan yang canggung.

Pikiranku pun mulai mencari alasan, mengenai perdebatan apa yang terjadi di antara kedua orangtuaku. Lalu mencari kemungkinan argumen mereka masing-masing, hingga tanpa sadar aku telah menemukan kesimpulan sederhana.

Yakni dad mungkin ingin memberikan efek jera pada Jeff, sehingga memutuskan untuk membiarkan Jeff di sel penjara. Meskipun di waktu bersamaan sebenarnya dad bisa membebaskan Jeff dengan mengajukan jaminan.

"Aku hanya berharap Jeff mendapatkan yang terbaik dari semua kegilaan ini," ujarku akhirnya sembari merebahkan separuh tubuhku di atas tempat tidur Jeff, sedangkan mom masih bertahan dengan posisinya.

Dari sudut pandanganku, aku bisa melihat mom sedang menggoyang-goyangkan kaki kanan yang berada di atas kaki kirinya. Kedua tangan mom berada di sisi pinggang, bertugas sebagai penopang separuh tubuhnya dan samar-samar aku mendengar mom sedang bersenandung.

Beruntungnya, aku mengetahui lagu tersebut yakni salah satu lagu populer milik Celine Dion dan tanpa diminta, aku mencoba mengikuti mom.

Wanita itu menoleh ke arahku, tersenyum sambil terus bernyanyi, dan di saat aku ingin bangkit untuk memeluknya, mom justru terlebih dahulu berbaring di sisiku sembari terus memamerkan keindahan suara yang berbanding terbalik denganku.

Sampai akhirnya kami sampai pada lirik terakhir, atensi mom seketika teralih pada kotak kardus berlapis kertas samson yang mana dia menunjuk langsung ke arah benda tersebut, kemudian bertanya, "Aku tidak ingat pernah meletakkan benda itu di sana. Apa kau mengetahuinya?"

Tidak langsung menjawab, aku justru segera mengambil posisi duduk dan memilih berhadapan dengan kerdus yang sebelumya diberikan Jackson, dari pengirim tanpa identitas. "Err ... kurasa kau melupakannya, Mom." Sungguh, kontak mata dengan mom adalah hal yang paling kuhindari.

"Oh, ya?" Mom turut mengubah posisinya menjadi duduk di tepi tempat tidur Jeff. "Kalau begitu aku pasti tidak sengaja telah melupakannya," ujar mom sambil berdiri dan melangkah mendekati kerdus tersebut.

Secepat nanodetik, aku pun segera bangkit dan melangkah lebih terburu-buru dari mom kemudian mengangkat kardus tersebut. Aku segera menoleh ke arah mom, sebisa mungkin mempertahan jarak dengan mom sehingga batas pandangannya tertutupi oleh punggungku.

Dan sebelum mom memperlihatkan rasa penasarannya, aku pun segera berkata, "Kerdus ini milikku, aku lupa menyimpannya di dalam lemari karena semua kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini telah berhasil membuatku kekurang fokus."

Mom tidak memberikan reaksi apa pun, selain menatapku dan kerdus di pelukanku secara bergantian. Terus terang, sebenarnya aku tidak memiliki masalah jika mom membuka paket misterius tersebut. Namun, karena khwatir jika pengirimnya adalah pembenciku maka aku memutuskan untuk menyimpannya sendiri saja.

Alasannya sederhana, yakni aku tidak ingin membuat mom merasa kalut seperti yang dia perlihat malam itu.

Jadi sembari memperlihatkan ekspresi se-normal mungkin, aku pun memutuskan untuk kembali berkata sebagai upaya meyakinkan mom. "Di dalamnya hanya sekadar buku-buku yang tidak kugunakan sekarang. Sehingga daripada memenuhi ruang, aku berinisiatif untuk menyimpan mereka di dalam kerdus ini dan meletakkannya di dalam lemari. Bukankah itu ide baik, Mom?"

Kedua sudut bibir mom seketika terangkat, di mana hal itu membuatku bernapas lega. "Sebenarnya yang kau katakan ini terdengar aneh, tetapi ... baiklah, semoga perubahannya tidak hanya untuk hari ini," kata mom sambil menepuk pundakku pelan kemudian memindahkan posisinya dengan berdiri di hadapanku. "Mau kubantu membawanya? Aku butuh banyak aktivitas sebagai upaya--"

Puji Tuhan. Aku benar-benar bersyukur dengan suara klakson mobil di halaman rumah kami yang mana telah membuat ucapan mom terputus, hingga harus memalingkan pandangan karena suaranya sama sekali tidak berhenti.

Dan karena terdengar sangat bising, mom akhirnya melangkah menuju jendela kamar Jeff yang kebetulan memperlihatkan halaman rumah kami. Kesempatan itu pun kugunakan untuk melarikan diri demi menyelamatkan kecurigaan mom terhadapku, melangkah cepat menuju kamar sembari membawa kotak misterius tersebut, dan sesampainya di kamar aku segera mengunci pintu lalu bernapas lega.

Yeah, benar-benar bernapas lega karena aku telah meringankan beban pikiran mom.

Aku kembali berjalan menuju meja belajar yang jauh dari kata rapi. Kertas-kertas hasil latihan soal, beberapa buku catatan yang terbuka, serta jajaran notes yang tertempel tidak jauh dari pandanganku menjadi bukti bahwa tidak ada tempat untuk meletakkan kerdus. Aku harus merapikannya terlebih dahulu, membuat mereka tertata rapi, sehingga bisa menyembunyikan barang misterius di pelukanku ini.

Namun, belum sempat aku melakukan langkah awal merapikan meja belajar, tiba-tiba saja pintu kamarku diketuk bersamaan dengan suara seorang gadis yang memanggil namaku berulang kali, seolah sedang memperlihatkan bahwa dia tidak sabar ingin bertemu denganku.

Aku pun segera melangkah menuju lemari pakaianku, memasukkan kerdus tersebut secara acak, kemudian berlari kecil ke arah pintu, dan membukanya sebelum gadis tidak sabaran ini menghancurkan pintu kamarku.

"Kau benar-benar akan merusak pintuku, jika terus melakukannya, Alma." Aku bersandar pada kusen pintu, sembari memberikan tatapan dingin agar dia merasa bersalah.

Akan tetapi, bukannya merasa bersalah kemudian meminta maaf sesuai harapanku, Alma justru memamerkan giginya dengan tersenyum lebar. Hal itu pun membuatku bertanya-tanya tentang, apa telah terjadi sesuatau yang sangat lucu hingga dia harus tersenyum selebar ini.

"Kuharap kau akan bahagia setelah mengetahui hal ini," ujar Alma, sambil mengeluarkan ponselnya.

"Tidak ada waktu untuk itu, Alma. Kau tahu aku sedang--"

"Kau lihat saja dulu, setelah itu silakan tentukan perasaanmu," kata Alma keras kepala, sembari mencekal pergelangan tanganku, dan tanpa sungkan dia menarikku agar masuk ke dalam kamar, hingga mendudukkanku di kursi belajar.

***

"Aku bukan bermaksud membelanya, tapi dia bukan pecundang jika itu untuk melindungi orang yang dia sukai." Alma berdiri dari tempat tidurku lalu melangkah mondar-mandir, sembari menunggu argumanku atas ucapannya barusan.

"Dan diam saja saat video itu diputar secara publik," ucapku masih duduk di kursi belajar dengan kaki yang bersila. "Kurasa jika Aiden bukan pelakunya atau tidak ingin hal itu terjadi, dia bisa saja bertindak mematikan TV proyektor sebagai bentuk penyelamatan pertama."

"Megan." Alma menyebut namaku lagi dan itu menandakan, bahwa dia ingin aku menyerapi semua ucapannya. "Berulang kali kukatan, Aubrey-lah pelakunya. Kabar ini sudah tersebar luas, saat Aiden mengambil tindakan."

"Aku tidak pernah tahu," kataku sembari mengedikkan bahu kemudian memainkan kursi belajar, hingga benda itu bisa membuatku berbelok ke kanan dan kiri. "Entah itu Aiden atau Aubrey, kurasa aku sudah tidak peduli lagi. Kau tahu, semua kekacuan ini berawal dari mereka."

Sebelah alis Alma terangkat kemudian memutuskan, untuk duduk kembali di tepi tempat tidurku. Wajah Alma berubah masam, menandakan bahwa dia sama sekali tidak setuju denganku. Namun, aku mengabaikan perubahan ekspresi Alma karena sejak awal kami berargumen, memang seperti itulah ekspresinya.

Singkatnya, dia ingin aku memaafkan Aiden kemudian mengajaknya kembali. Ugh!

"Tapi kau menderita tanpanya, bukan?" Alma bertanya, seolah dia adalah pakar cinta yang telah terakreditasi.

Aku memutar mata, berpikir mengapa Alma sulit sekali memercayai kebohonganku? Padahal setengah mati, aku menyembunyikan hal tersebut sejak semalam.

"Itu hanya diawal, setelahnya aku baik-baik saja."

"Kalau begitu temui Aiden dan dengarkan dia." Alma mengibas-ngibaskan tangannya ke arah pintu kamarku, seolah dia serius ingin membuatku pergi. "Aku yakin, di beberapa kesempatan dia selalu berusaha untuk berbicara. Namun, kau selalu menghindar."

"Bagaimana kau bisa tahu?!" Aku terkejut bukan main, sampai-sampai bangkit dan berdiri tepat di hadapan Alma dengan kedua mata yang melebar.

Oh, ayolah, seharusnya aku tidak perlu bereaksi seperti itu. Hanya akan memperburuk suasana. I swear.

Kedua sudut bibir Alma terangkat, kemudian dia bertepuk tangan dengan tempo yang mengintimidasi. Parahnya, gadis itu juga memilih untuk melangkah pelan, mengelilingiku. Di lain sisi, aku pun hanya menatapnya menunggu jawaban dari pertanyaanku barusan.

"Aku mengatakan hal tersebut karena ...." Dengan sengaja dia menggantungkan kalimatku, caranya pun benar-benar sudah seperti pembawa acara kuis. "Kau ingin tahu jawabannya?"

"Aku lebih ingin mengetahui bagaimana kabar Jeff bersama dad."

"Ouh, ouh, ouh, wait, Megan." Secepat nanodetik, Alma menahan langkahku di mana dia kembali berdiri di hadapanku sembari merentangkan kedua tangannya. "What's wrong with them?"

Aku mengembuskan napas. Akhirnya topik kami berubah. "Seperti yang kukatakan semalam, setelah membuat kekacauan ini Jeff kabur dari rumah di mana menurut keterangan Walter, dia lari dari kejaran polisi."

"W-why?" Kedua mata Alma menyipit, bersamaan dengan dia mengarahkan telinganya ke arahku. "I know you're lying, Megan."

"No."

"Lalu kau sedang bercanda."

"No, Alma. I'm serious. Aku mengangguk meyakinkan Alma atas ucapanku barusan. "Dia merusak fasilitas umum dan sejauh yang kutahu ... aku tidak tahu apa pun, selain, dad yang mengurus Jeff."

Seketika Alma memutuskan diam, di mana keningnya mengerut, seolah tengah berpikir keras. Alma mengambil ponselnya, memperlihatkan bagaimana ibu jarinya bergerak cepat di atas layar sentuh. Hingga beberapa detik kemudian, dia memperlihatkan bagain depan benda itu ke arahku.

"Apakah ini adalah dia?"

Aku membaca judul besar dari forum diskusi yang diperlihatkan Alma. Bertuliskan judul bombastis hingga menimbulkan rasa penasaran dan ketkika menggeser lamannya ke bawah, aku tahu bahwa yang sedang dibahas adalah Jeffery Ave.

Jeff merusak lampu jalanan dengan melemparinya menggunakan batu kerikil. Belum diketahui alasannya apa, tetapi komentarnya sangat tidak bersahabat. Beberapa orang menyebutnya gila, depresi, dan pengguna obat terlarang padahal andai mereka tahu, Jeff merupakan seorang atlet sehingga ketiga hal tersebut merupakan kemustahilan mutlak.

"Yeah, itu dia, tapi tidak seperti yang dituliskan." Aku mengembalikan ponsel Alma lalu menyelipkan sedikit rambutku ke balik telinga. "Jeff melakukannya sebagai bentuk pelampiasan emosi karena Aiden mempermalukanku."

"Seharusnya kau bangga memiliki saudara seperti Jeff. Meskipun tindakannya tidak benar, sih," kata Alma sembari memberikanku sebuah pelukan.

Well, sebenarnya aku sudah tidak membutuhkan hal itu lagi. Sedikit demi sedikit, kehidupanku mulai membaik karena kedua orangtuaku sudah bersama lagi dan aku tahu mengapa Jeff bisa segila itu.

Selain itu ... aku dan Aiden memang sudah benar-benar berakhir, sebab sejak semalam dia tidak lagi berusaha menghubungiku.

Yeah, kurasa nanti aku akan menjalani ujian akhir dengan baik.

Aku membalas pelukan Alma, sembari tersenyum dan tidak lama kami melakukannya, indera pendengaranku menangkap suara mobil dad. Membuat kami berdua bergegas meninggalkan kamar, demi melihat bagaimana akhirnya.

Maksudku, akhir cerita antara dad dan Jeff, di mana aku berharap dad bersedia menjamin Jeff.

***

Pukul dua belas siang. Tidak terasa waktu berjalan cepat dan sekarang sudah saatnya jam makan. Aku benar-benar merasa beruntung, sekaligus bersyukur berkat kehadiran Alma di antara kami, serta inisiatifnya untuk membawakan kami makanan super lezat.

Seperti biasa mom selalu bertanya tentang keseharian atau apa yang akan kami rencanakan hari ini. Karena sekarang masih siang, maka meja makan dipenuhi oleh keluhan serta rencana setelah makan. Jeff mengungkapkan bahwa kejadian 'Itu' adalah mimpi buruk di siang bolong, akibat terlalu sayang padaku. Alma bercerita tentang tetangganya yang akan pergi berlibur ke Swiss, lalu juga menceritakan betapa menyebalkannya sang adik. Sedangkan dad ....

... mengubah suasana menjadi buruk karena memberitahu kami tentang betapa malu dirinya, karena Jeff telah menjadi yang pertama namanya ditulis di catatan kriminal. Membuat mom tidak terima dengan ucapan dad, hingga adu mulut pun kembali terjadi di antara makan siang kami.

"Mom, dad, please, bisa kita lupakan hal itu dan hanya fokus pada perbaikan diri, eh?" tanyaku menanggapi prilaku kedua orangtuaku.

"Seharusnya, aku tidak berada di sini bersama kalian." Jeff meletakkan sendok dan pisaunya di atas piring. "Keberadaanku hanya akan membuat kalian bertengkar. So ... lebih baik, aku makan di luar saja."

"Tidak." Alma menoleh ke arah Jeff, secepat mungkin mencekal pergelangan tangannya agar Jeff tidak bisa pergi ke mana pun. "Kau tahu betapa lama memasak makanan ini? Bagaimana bisa kau tidak menghabiskannya? Aku--"

"Tidak ada yang boleh pergi, sebelum kita saling bicara." Mom akhirnya mengambil keputusan tepat, sembari menatap dad. "Aku tidak bisa terus bertengkar denganmu, Honey. Ingat, bagaimana kau memperjuangkanku saat itu." Lalu mom memeluk dad, hingga tanpa sadar berhasil membuat kedua sudut bibirku terangkat.

Dad memeluk mom untuk beberapa saat, sebelum mereka duduk kembali di kursi masing-masing. Di waktu bersamaan, aku melirik ke arah Jeff yang duduk di sebelah Alma.

"Maaf karena sudah tidak memercayaimu dulu, tapi kali ini aku hanya akan mendengarkanmu. Jadi ... kumohon, jangan salahkan diri sendiri," kataku pada Jeff ketika pandangan kami saling bertemu dan dia hanya diam saja. "I'm so sorry, my brother."

Jeff tersenyum miring, beberapa plester di wajahnya ternyata sama sekali tidak memengaruhi ketampanannya. Dia memiliki dominan gen punya dad, sehingga dari punggungnya pun kau bisa yakin bahwa Jeff adalah lelaki yang benar-benar good looking.

Tapi sangat menyebalkan dan over protective. Batinku langsung menambahkan ketika netraku melihat Jeff sedang mengejekku. Namun, belum sempat melemparkan sumpah serapah untuk Jeff, lelaki itu terlebih dahulu membuka bibirnya.

"It's ok," kata Jeff, "Tanpa permasalahan yang serius, maka kau tidak akan mungkin bisa sangat mengenalku. So ... untuk semuanya, maafkan aku karena tidak bisa mengendalikan emosi. Seperti kasus Megan yang membuatku meledak-ledak. Sial!"

"Demi Tuhan, aku bahkan tidak memintamu untuk ikut campur," ucapku segera membalas Jeff dengan nada penuh rasa tidak suka.

"Oh, ayolah, apa aku di sini hanya berperan sebagai obat nyamuk, eh?" Alma bertanya dengan nada jenaka dan sedetik kemudian kami; aku, Jeff, mom serta dad menjawabnya dengan serempak hingga membuat kami tertawa bersama-sama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top