057 - Go Away To Find Mom

Aku terus berlari.

Berusaha mengikuti mom.

Dari jalan yang lurus, belok kanan, berhimpitan dengan banyak manusia, bertemu dengan perempatan, dan berakhir dengan belok kiri.

Mom masih terus berlari, meski berulang kali aku memanggil dan memintanya berhenti.

Sampai akhirnya kami berada di pusat perbelanjaan yang cukup padat.

Dan ketika terdapat kerumunan super padat di sana ....

Aku kehilangan jejak mom. 

Hanya sedetik saat aku harus menahan diri untuk terus berlari, karena keberadaan petugas keamanan yang memaksa untuk mendapatkan ruang, demi melakukan suatu tindakan.

Aku mengembuskan napas panjang. Bersandar pada salah satu tembok gedung percetakan yang catnya telah usang, sambil tetap mengedarkan pandangan. Namun, berapa kali pun memerhatikan keadaan sekitar aku masih tidak menemukan tanda-tanda keberadaan mom. 

Sekarang pukul tujuh malam dan pikiranku mulai melayang-layang, tentang bagaimana keadaan Jeff, mom, dan dad. Kami sepenuhnya telah terpisah, tanpa ponsel, tanpa bisa mengetahui satu sama lain, hal itu pun membuatku terpikir bahwa kondisi kami tidak jauh berbeda dengan film-film survival.

Dua petugas keamanan tampak masih berjibaku dengan kerumunan tersebut, di mana mereka tampak berusaha memisahkan dua lelaki bertubuh tinggi besar yang--mungkin--sedang bertengkar. Aku sama sekali tidak tertarik untuk menghampiri, kecuali jika mom terjebak di sana. Namun, berapa kali pun memerhatikan mereka, aku sama sekali tidak menemukan mom.

Sehingga setelah tertunduk sesaat, aku kembali melangkah pelan. Sangat-sangat pelan karena kedua kakiku kini terasa ingin patah, akibat terlalu lelah berlari.

Mengabaikan keriuhan yang terjadi di balik punggungku, aku terus berjalan melewati celah seluas tiga langkah di antara dua gedung percetakan dan toko roti. Aroma manis seketika menghampiri indera penciuman, hingga mengundang gemuruh di dalam perut.

Sejenak aku teringat, bahwa sejak beberapa hari lalu pola makanku benar-benar tidak keruan. Sehingga hanya karena aroma manis tersebut, panggilan alam pun kembali menormalkan kebutuhan dasarku.

"Sial! Kau tidak seharusnya menderita, Kawan," ucapku pada diri sendiri, saat melongok ke pintu dapur toko yang kebetulan sedikit terbuka, dan memperlihatkan beberapa pastry chef.

Salah satu chef seperti menyadari keberadaanku, sehingga dia tersenyum dan melangkah ke arahku. Diam-diam aku berharap, semoga lelaki beberapa tahun di atas Jeff ini tidak menuduhku macam-macam.

"Hai, apa aromanya sampai padamu?" Dia bertanya dengan nada menyenangkan, sambil tersenyum lalu berjongkok di hadapanku. "Aku melihat cairan yang menetes di sudut bibirmu."

Aku segera mengelap sebagai reaksi ucapannya tadi, sambil membalikkan tubuh. Dan di lain sisi, lelaki asing berpakaian chef itu tertawa hingga membuatku penasaran, sekaligus sadar bahwa tidak ada apa pun di sudut bibirku. 

Aku pun kembali pada posisi awal, yakni menghadap ke arah orang asing itu yang sekarang tampak ragu untuk menertawakanku. Apalagi setelah kulilitkan kedua lenganku di bawah dada, dia hanya berusaha menahan tawa dengan menutup bibirnya menggunakan lengan bagian bawah.

Kedua alisku terangkat, merasa aneh karena mengapa dia harus melemparkan lelucon kepada orang asing. Bukankah itu akan terkesan menyeramkan? Maksudku, seperti seorang yang memiliki perbedaan seksual sehingga--

"Apa kau tidak ingat padaku?" 

Well, segala pikiran yang berputar di benakku seketika terhenti saat dia mengutarakan pertanyaan di luar dugaan ini. 

"Apa kau ingin menggodaku?" Seratus persen akan sangat memalukan jika dia mengatakan tidak. "Aku hanya ingin melihat-lihat daganganmu dan jika aku tertarik, maka aku pun membelinya. Jadi jangan bersikap terlalu akrab dengan melemparkan lelucon payah barusan."

Sebelah alis orang asing itu pun terangkat dan entah apa urusannya, dia memutuskan untuk melompat dan berdiri di hadapanku. Well, aku tidak mengerti mengapa lelaki itu tidak menggunakan tangga, padahal benda tersebut telah tersedia di depan mata.

"Daniel Hudson." Dia, maksudku, Daniel Hudson mengulurkan tangannya di hadapanku. Senyumannya yang memesona pun ternyata berhasil membuatku terpana untuk sesaat, untungnya tidak sampai ke tahap jatuh cinta. "Jika kau ingat, kita pernah berkencan saat SMP."

Kedua alisku refleks mengerut. Dia mengaku pernah kencan denganku. Apa dia bercanda? 

Otak pintarku pun secara otomatis mulai membongkar memori lama, hingga ke sela-selanya. Namun, terlalu sulit untuk mengingatnya, sehingga dengan rasa cukup bersalah aku mengatakan, "Sorry, I don't remember."

Aku membalas uluran tangannya hingga kami saling berjabat untuk beberapa saat, karena aku segera melepas sebab tidak ingin melahirkan perasaan yang tidak dibutuhkan.

"Well, aku memaklumi jika kau melupakannya karena memang, kencan yang kita lakukan hanyalah bersifat holidate." Penjelasan singkat, tetapi tanpa dia sadari berhasil memutar kembali kenangan saat kami sekeluarga berlibur ke Amersfoort.

"Kereta api dari Den Haag ke Amersfoort." Kami mengatakan hal itu secara bersamaan, sehingga sama-sama saling terkejut lalu sebagai gerakan refleks aku memukul pundak Daniel.

"Sorry, terlalu banyak masalah akhir-akhir ini hingga ingatankun terganggu," ujarku kemudian berpikir tentang apa yang kulakukan barusan.

Bagaimana bisa mengatakan hal tersebut di hadapannya? Daniel tetaplah orang asing karena kehadirannya di hidupku hanya sebagai bentuk bersenang-senang, penuntas rasa bosan selama liburan keluarga yang cenderung monoton.

"Yeah, sorry." Aku tertawa kering, merasa canggung karena perkataanku barusan. Sehingga sebelum semuanya menjadi semakin tidak nyaman, aku pun kembali berkata, "Lupakan saja, aku hanya sedang mencari dua orang berbeda dengan keperluan yang berbeda juga. See u later."

"No, see you later, but I'll see you again," kata Daniel dan dengan menggunakan bahasa isyarat melalui gerakan tangan, dia segera masuk ke dalam dapur sembari memintaku menunggu sesaat.

Aku pun menuruti keinginannya dan dia menepati janji. Tidak sampai lima menit, Daniel kembali menghampiriku dengan sebuah paper bag berukuran sedang di tangannya.

"Aku tahu kau lapar, jadi kuberikan saja." Daniel mengambil tangan kananku lalu meletakkan paper bag beraroma wangi di atas telapak tanganku. Rasanya hangat, membuatku yakin bahwa mereka baru saja di letakkan pada suhu udara. "Terima saja, anggap sebagai ucapan terima kasih atas liburan yang menyenangkan. Aku tidak akan tahu bagaimana rasanya dikepung banyak preman, jika tidak bertemu denganmu."

"Justru aku telah mencelakakanmu dan ... thanks, kau menyembunyikan semuanya dari orangtuaku."

"Termasuk orangtuaku. Aku beralasan jatuh karena ceroboh tidak mengenakan kacamata."

"Ngomong-ngomong sekarang pun kau tidak mengenakannya." Aku menunjuk ke arah dua mataku kemudian ke arah Daniel. "Apa itu juga termasuk tindakan ceroboh."

"No." Daniel menggeleng. "Hanya ingin mencoba penampilan baru dengan softlens."

Aku mengangguk sebagai jawaban singkat yang sama sekali tidak memerlukan jawaban lebih lanjut, karena faktanya kami berdua tidak perlu mengobrol lama. Kami punya tugas masing-masing, sehingga setelah berpamitan dengan sedikit basa-basi, aku melanjutkan perjalananku untuk mencari mom--memastikan dia aman--sembari mengisi perut.

***

Entah sudah berapa jauh aku berjalan, tetapi fisikku telah memberi tahu bahwa perjalanannya benar-benar jauh. Bahkan kesadaranku nyaris menghilang, karena tidak sadar bahwa langkah ini telah menuntunku hingga berakhir di depan bangunan yang sama sekali tidak asing.

Jesus! Aku benar-benar tidak tahu tentang rencana Tuhan yang sebenarnya. Dia menjadikan keluargaku bersitegang, hingga membuatku harus mencari dan menyatukan mereka sebagai penebusan dosa. Namun, bukannya menemukan mereka, aku malah berhenti di sini.

Berdiri di depan rumah Aiden, setelah orang-orang yang kutanya tentang "Apakah mereka melihat mom?" memberikan petunjuk arah yang tanpa kusadar justru mengarah ke bangunan tersebut. 

Belum sempat aku menyelesaikan perdebatan batin antara menekan bel atau pergi, seseorang tiba-tiba saja sudah membukan pagar rumahnya untukku.

Dia berdiri di hadapanku. Tanpa kusangka tatapan kami saling mengunci dan ekspresi kami sama-sama buruk. Perbedaannya hanya terdapat pada penampilan, di mana sosok itu telah dibalut oleh banyak perban serta lebam di sana-sini. Sedangkan aku ....

... well aku tidak punya cermin untuk melihat bagaimana keadaanku saat ini.

"Apa Jeff yang melakukan semua ini?" Aku bertanya dengan nada dingin.

Yang ditanya hanya mengangguk dan aku mengambil napas dalam, sebagai bentuk relaksasi agar tidak energi negatif tidak menguasiku.

"Apa Walter juga menerimanya?"

Dia mengangguk lagi.

"Apa lagi yang tidak kuketahui?"

"Kau bisa masuk dulu, jika kau juga sedang mencari seseorang."

"Jelaskan saja di sini, Aiden!" Aku membentak dan hal itu ternyata membuat Aiden terkejut. "Aku mencoba untuk lebih tenang, setelah kekacauan yang terus-menerus menghampiriku. Jadi, selesaikan dengan cepat sebelum aku berubah menjadi manusia gila."

Sudah cukup aku melihat seluruh kerusakan ini. Dari Aiden, Jeff, dan Walter--entah apa hubungan mereka--semuanya sama-sama memiliki nasib serupa, yakni babak belur akibat membela satu gadis yang sebenarnya tidak memiliki keistimewaan sama sekali.

Parahnya lagi, orangtuaku pun turut terpecah belah tanpa bisa kutahan.

Sehingga jika aku diperbolehkan jujur, maka aku akan mengatakan bahwa ....

"I'm hopeless, Aiden," ujarku dengan seribu ton beban di pundakku, hingga tubuhku menunduk di hadapan Aiden, di mana keningku bersandar di dadanya. "And it's all because of you."

"I'm sorry, Megan." Aku bisa mendengar ketulusan dari nada bicara Aiden, hingga hal itu berhasil membuatku menangis.

Aiden menyentuh pundakku lalu menepuknya pelan, dan dengan tangan yang tidak di gips dia menuntunku agar berjalan di belakangnya.

Kami melangkah dalam diam, masing-masing sibuk bergelut dengan pikiran sendiri, hingga aku tidak menyadari bahwa Aiden menghentikanku di halaman belakang bersama dua pohon apel. Di antara dua tumbuhan tersebut, mereka memiliki sebuah bangku kayu berukuran sedang, sehingga hanya bisa menampung dua orang.

Aiden duduk di sana lalu dengan menggunakan isyarat menepuk-nepuk tangan kirinya di atas bangku, dia memintaku agar duduk di sebelahnya.

"Aku tidak memiliki banyak waktu," kataku terus terang, "yang kuinginkan adalah mencari ibuku. Ini memang terdengar menyebalkan, tetapi mom kabur dari mobil karena kami habis bertengkar hebat dan tanpa kusangka, merembet hingga di mobil."

"Aku tahu di mana ibumu." Yang dikatakan Aiden berhasil membuatku terkejut dan melontarkan pertanyaan tentang keberadaan mom. Namun, akal sehatku menyadarkan bahwa kebenaran dari ucapan Aiden hanyalah sekitar 0,5%.

"Kau berbohong," kataku kemudian memutar badan untuk meninggalkan Aiden. Akan tetapi, belum sempat aku mengambil langkah, Aiden terlebih dahulu mencekal pergelangan tanganku.

"Jangan pergi. Tidak ada kebohongan yang kukatan," ujar Aiden selancar napasnya, hingga membuatku memalingkan wajah agar menatapnya. "Your mom is here, with my mom."

"Really?!" Aiden sukses menciptakan kembang api di dadaku, hanya karena ucapannya barusan. Aku benar-benar frustrasi mencari mom dan dia mengatakan bahwa ratuku ini ada di rumahnya. Kuharap Aiden tidak sedang bercanda, karena jika itu benar maka aku akan menendang bokongnya. "Aku akan membunuhmu, kalau kau berbohong."

Aiden tersenyum lalu meringis karena lebab yang dia derita. "Aku lebih suka jika kau memang melakukannya," ujarnya, "seperti membunuhku karena aku terlalu menyukaimu."

"Ewh. Itu sangat menjijikan."

"Megan." Aiden menyebut namaku, membuatku berhenti mengernyit jijik dan kembali fokus padanya. "Jika aku berkata jujur, maukah kau memercayainya?"

Rahangku seketika menegas, sembari melepaskan tanganku dari cekalannya, lalu berkata, "Memang sejak kapan kau berbohong, bukankah kau selalu jujur hingga aku menyesal melepaskanmu." Sungguh! Itu adalah kalimat sarkas yang sangat jelas. Ugh!

"Oh, ayolah, Megan. Kau selalu pandai merusak suasana," kata Aiden sembari menyisir rambutnya ke belakang. "Kau tahu, semua yang terjadi kemarin itu tidak benar.

"Oh, ya?" Kedua alisku terangkat. "Apa pun yang ingin kau katakan, aku hanya ingin menemui mom. Asal kau tahu, semua berawal darimu."

"No, Megan!" Aiden mencekal kembali pergelangan tanganku lalu meringis di detik kemudian, akibat pergerakan mendadak barusan. "Sekali ini saja, kumohon dengarkan penjelasanku dan setelah itu, terserah kau ingin percaya atau tidak."

"It's really wasting time."

"Yes, you right." Aiden melangkah sedikit mendekatiku kemudian melepas genggamannya. "Yang aku katakan pada video tersebut memang benar, tapi ... shit! Itu dibuat sudah lama sekali. Hari ketujuh, tahun pertama. Benar. Saat itu, aku memang belum menemukan pesonamu."

"Lalu kau memperlakukanku seperti itu?!" tanyaku dengan nada tinggi, sambil bertolak pinggang di hadapannya. "Pertanda bahwa jika kau tidak menemukan pesonaku, maka kau akan mempermalukanku seperti ini. Dan mungkin akan lebih parah, daripada ini.

"Sial! Kenapa aku harus sangat menyukaimu?!" Aku langsung mencengkram kerah baju Aiden, berniat ingin mengguncang tubuhnya. Namun, urung kulakukan karena kondisi Aiden saat ini pun sudah sangat menyedihkan. "Aku bahkan masih mengkhawatirkan, setelah perlakuan burukmu padaku."

Aiden tidak mengatakan apa pun, dia juga tidak menjauhkan tanganku dari dadanya, meski beberapa kali bagian tersebut kujadikan sebagai samsak.

Di lain sisi, emosiku berhasil meledak-ledak oleh kesedihan yang bercokol kuat di dada.

Hingga setelah beberapa menit meluapkan seluruh perasaan di hadapan Aiden, tiba-tiba saja aku merasa seseorang telah memelukku.

Aku mengangkat wajahku dan langsung mengetahui, bahwa Aiden-lah yang melakukannya. Sehingga ketika aku ingin menjauhkan diri, Aiden langsung berkata, "Semua video itu, bukan aku pelakunya. Tapi aku sudah memberinya pelajaran."

"Apa yang kau lakukan? Kau hanya bisa membual, Aiden. I can't trust you again," ucapku lalu pergi meninggalkan Aiden, meski lelaki berusaha mengejar sembari memanggiku.

Aku terus saja mengabaikan panggilan Aiden, terus melangkah lebih cepat, hingga netraku melihat punggung yang sudah tidak asing lagi.

Punggug mom dengan balutan kemeja baby blue, sedang dirangkul oleh seorang wanita lain. Aku menyimpulkan bahwa dia adalah Mrs. Kowalsky, sehingga tanpa perlu basa-basi aku langsung berlari kecil dan menghampiri mom.

"Mom." Aku mencekal tangan mom, menatapnya dengan penuh haru, tetapi tidak ada waktu untuk bertanya. "We have to go right now," kataku, sambil menariknya tanpa memberi kesempatan beramah-tamah terlebih dahulu.

Beruntungnya, mom menurut saja. Dia mengikuti ke mana saja aku membawanya, hingga akhirnya kami berhenti di sebuah halte bus.

Kami sama-sama terduduk.

Sama-sama bernapas cepat.

Sama-sama menatap ke arah jalanan.

Namun, di detik berikutnya aku langsung memeluk mom.

Memeluknya dengan sangat erat, sambil berkata, "Don't leave me, Mom. Please."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top