050 - You Have Chosen The Wrong Prey
Aku nyaris kehabisan napas saat takdir sedang mempermainkanku dengan membuatku bertemu dua lelaki--yang memiliki masalah masing-masing--dalam satu waktu sekaligus dan tanpa disangka-sangka, salah satu diantaranya justru memberiku tawaran diluar nalar.
Benar-benar diluar nalar, hingga aku berhasil menjatuhkan rahang ke tanah berumput tempat para atlet football berlatih. Ini bukan tentang Aiden yang harapanku, menyatakan penyesalan sekaligus memohon kembali kehadiranku. Namun, ini berhubungan langsung dengan Walter Smith di mana dia adalah lelaki yang kepalanya sengaja kutumpahi cup ramyun.
"Jadi bagaimana menurutmu?" Dia menyilangkan kakinya saat bokong lelaki itu menyentuh bangku sejak kurang dari lima menit.
Aku yang berdiri di hadapannya pun terpaksa harus membuka mata lebar-lebar karena terlalu bingung memikirkan alasan, mengapa Walter harus sebaik itu terhadap gadis asing. Mengerjapkan mata beberapa kali, aku pun tidak tahan untuk tidak melilitkan lengan dan meletakkannya di bawah dada, sembari daguku yang sengaja diangkat sedikit untuk menimbulkan efek sombong.
"Apa kau terlalu frustrasi, hingga harus memintaku melakukan hal itu?" tanyaku dengan nada rasis yang kubuat-buat dan terdengar memuakan. "Bagaimana jika aku menolak? Oh, bukankah kau memberiku sebuah pilihan. Baiklah, aku sangat tidak tertarik jadi biarkan aku pergi sekarang."
Walter hanya menatapku, di mana tatapan itu seketika membuatku teringat tentang Steven. Entah apa yang membuatku harus mengingatnya, tetapi mereka memiliki warna mata serupa dan hanya berbeda dari bentuknya saja. Sama-sama bermanik cokelat, tetapi berbeda karena Walter memiliki bentuk yang memanjang seperti orang Jepang pada umumnya. "Aku yakin kau berubah pikiran setelah ini."
Tidak langsung menjawab, aku terdiam untuk beberapa saat untuk menyerap maksud ucapan Walter yang teramat abu-abu. Tidak ada alasan agar aku harus berubah pikiran, Walter tidak akan mengatakan fakta semalam kepada Aiden. Kurasa itu akan sangat konyol, jika hal tersebut terjadi sehingga--masih dengan gaya angkuh milikku--aku berkata, "Terserah apa katamu, sebab aku sangat tidak peduli."
Aku segera membalikkan tubuh lalu menoleh ke arahnya lagi, setelah mengambil tiga langkah ke depan. "Dan jadilah murid baru pada umumnya agar kau tidak dirisak," kataku menyarankan. Namun, langkahku terhenti saat indera pendengaranku menangkap suara yang sangat tidak asing dari balik punggungku.
Megan Ave sedang mengalami patah hati pertamanya. Bercerita dengan diringi isak tangis dan tidak sadar, bahwa dia telah memilih lawan bicara yang salah.
Begitulah yang otak pintarku simpulkan kemudian mengirimkan pesan, agar aku segera kembali membalikkan tubuh menghadap Walter. Sedetik kemudian aku pun berlari menghampiri Walter dan berusaha merebut benda elektronik touchscreen dari tangannya.
Dan lagi, tinggi badan yang terpaut jauh selalu berhasil menjadi halangan terberatku. Aku melompat-lompat di hadapan Walter, hingga rasanya sudah seperti badut yang layak ditertawakan. Kukatakan demikian, karena sembari mengangkat tangan kanannya dan melihat bagaimana konyolku, Walter hanya mampu tertawa lalu berjinjit sesekali hingga membuat situasi ini sangat menyebalkan.
"Berikan padaku!" titahku dengan nada super mengerikan karena nyawaku sedang berada di atas tanduk. "Kau tidak bisa melakukan hal itu! Itu sangat jahat, Walter."
"Walter?" Lelaki itu tampak tenang, saat aku tidak sengaja menyebut namanya dan tanpa sadar, dia pun mulai menurunkan tangan yang kotor oleh debu-debu tidak terlihat. "Sebut namaku sekali lagi, lalu akan kuberikan keinginanmu ini."
"Untuk apa menuruti perintahmu?" Lalu aku pergi begitu saja setelah mendorong dada bidang Walter, dengan bermega-mega emosi di kepala.
Persetan jika lelaki itu memutuskan untuk menyebarkan hal tersebut. Toh, kenyataannya memang begitu. Jadi untuk apa menghindar dan terlibat dalam perjanjian bodoh. Demi Tuhan, aku sudah pernah terjebak dalam lingkaran setan yang pada akhirnya, hanya akan menyakiti hati.
Aku melangkah cepat di sepanjang lorong sekolah. Sebisa mungkin mengabaikan tatapan para penghuni lorong, beserta bisikannya. Dengan bermodal ponsel yang didalam sengaja kusimpan beberapa lagu, aku pun memutuskan untuk mendengarkan suara lima lelakiku melalui earphone.
Lagu Steal My Girl pun menjadi musik pertama yang kudengar, dan tanpa sadar mengundangku untuk turut bernyanyi pelan. Aku baru saja hendak melanjutkan perjalanan menuju kafetaria, tetapi seseorang sudah menghalangi dengan berdiri menjulang di hadapanku.
Aku mengangkat sedikit daguku agar bisa melihatnya langsung. "Apa?"
"Bisa kau jelaskan apa yang sudah kau lakukan?" Nada suaranya jelas memperdengarkan tuntutan mengintimidasi. "Kita seharusnya seperti itu."
Kedua alisku mengerut, dia tidak seharusnya bersikap demikian. "Urus saja urusanmu sendiri."
"Megan, kau seharusnya hanya mendengarkanku."
"Yeah, I did," ujarku sembari menggeser posisi berdiriku, agar bisa melangkah melewati Aiden. "Aku sudah mendengarnya berulang kali, hingga seluruh tubuhku berhasil meledak dan menumpahkan seluruh organ dalamku."
Aiden berjalan di sisiku dan sedikit lebih maju, agar dia bisa menoleh ke arahku. Aku tidak mengubris prilakunya hari ini, hanya tetap menatap lurus ke depan. Sesekali aku melirik ke arah Aiden, sekadar ingin tahu bagaimana ekspresi setelah berulang kali menerima penolakan dariku.
"Enyahlah dariku, Aiden. Aku tidak ingin terlihat bersamaku, setelah apa yang kau lakukan padaku." Aku berhenti tepat di depan pintu kafetaria dan Aiden megikutiku. "Aku tidak bisa lagi meletakkan kotoran di wajahku lebih dari ini."
"Kurasa tidak ada yang memintamu melakukan hal tersebut," kata Aiden, sembari meletakkan tangan kanannya di tulang rahangku dan di waktu bersamaan kami juga saling bergenggaman.
Dan sebagai gadis berusia delapan belas yang pernah melakukan itu, maka aku pun tahu benar apa yang akan terjadi selanjutnya. Sehingga karena tidak ingin melakukannya lagi, aku berusaha mengelak. Namun, kesulitan karena Aiden terlebih dahulu mendorong, hingga punggungku menempel pada dinding.
"Sial! Kau mau apa?!" Aku menggeram sambil terus berusaha untuk lepas.
Aiden tetap bergeming mempertahankan posisinya. Tanpa memperlihatkan ekspresi apa pun, lelaki itu memiringkan wajahnya, mendekat sedikit demi sedikit. Yang kurasakan saat ini adalah semuanya bergerak slow motion, di mana kekesalanku sudah berada di ubun-ubun.
Hingga ketika keinginan untuk menyikut bagian genital Aiden menggunakan lutut, sebuah tangan lain tampak mencengkram kerah baju Aiden, dan menariknya agar menjauh.
Tangan itu milik Walter. Mencengkram kuat kerah baju Aiden, hingga membuat urat-urat di tangannya menyembul. Aku masih dalam keadaan bernapas cepat, sembari memerhatikan mereka.
Beberapa detik kuhabiskan untuk memerhatikan dan ketika aku ingin memisahkan mereka, Aiden terlebih dahulu melayangkan tinjuan ke wajah Walter hingga lelaki itu jatuh ke belakang. Demi Tuhan, aku bisa membayangkan betapa kuat pukulan tersebut.
Keributan itu pun ternyata berhasil mengundang banyak orang, di mana kini para murid mulai berdatangan dan berdiri melingkari kami sembari mengarahkan flash mobile. Aku tahu mereka sedang merekam kejadian ini, karena beberapa di antara berteriak untuk memperburuk suasana sehingga detik itu juga Walter bangun dari tempat dia terjatuh lalu memberikan tinjuan balasan kepada Aiden.
Seketika itu pula, adu otot pun terjadi tanpa mampu kuhentikan.
"Keparat! Apa harus melakukan hal itu, kemudian memaksanya, eh?!"
"Kau bahkan tidak tahu apa-apa. Brengsek! Mau sampai kapan kau--"
"Berhenti!" Suara peluit terdengar berkali-kali di belakang gerombolan yang mengelilingi kami.
Satu per satu murid mulai membuka jalan, memperlihatkan sang pemilik kuasa atas tingkah laku kami di sekolah. Yaitu Mr. Lee, tampak berjalan tergesa-gesa dengan peluit di antara dua bibir, dan sebuah batang rotan kecil yang mengintimidasi. Karena tidak ingin dianggap sebagai tersangka, aku pun bergegas menjauhkan dua lelaki di hadapanku ini, lalu berdiri di antara mereka.
Aku harus melakukan hal tersebut sebab--entah ada masalah apa di antara mereka yang aku tidak tahu--di masing-masing mata kedua lelaki itu, aku bisa melihat kobaran api yang menyala.
"Apa yang kalian lakukan? Sudah merasa jagoan, berkelahi di sekolah?!" Mr. Lee berbicara dengan nada super tinggi, sembari menjauhkan ponsel yang mengarah pada kami. Beberapa murid menampilkan reaksi kekecewaan karena keseruan telah berakhir, sebelum mereka puas dengan perkelahian barusan. "Dan kalian, Aiden, Megan, apa tidak jera karena telah mendapatkan skorsing akibat berkelahi?"
"Aku tidak--"
"Kalian memang pasangan berandal!" Aku mengerucutkan bibir, saat Mr. Lee memotong ucapanku dan mengatakan bahwa kami adalah pasangan.
Oh, Mr. Lee hanya tidak atau pura-pura tidak tahu bahwa si Brengsek itu telah mencampakkanku dengan cara yang sangat kejam. Aku sungguh menyesal karena telah berbaik hati menerima kehadirannya, padahal sejak awal Jeff sudah melarangku.
Sial! Cinta itu memang membutakan.
Kedua tanganku seketika mengepal kuat dan ketika ekor mataku menangkap sosok Aiden, secepat kilat aku pun memberikan tonjokan di hidungnya.
"Kau brengsek sialan, Aiden! Seharusnya aku--"
"Megan!" Lagi-lagi suara Mr. Lee memotong ucapanku. "Kalian bertiga pergi ke ruang konseling sekarang."
"Shit," bisikku saat melihat punggung Mr. Lee, sambil memutar mata.
Seharusnya aku tidak lagi berada di ruang konseling atas kesalahan serupa. Kuharap Mr. Lee tidak lagi melibatkan orangtua, karena aku bahkan baru selesai menjalani hukuman dan berbaikan dengan dad. Ugh! Ini semua gara-gara Aiden lalu diperparah dengan kehadiran Walter.
"Fuck! Aku akan membunuh kalian jika semua ini berakhir buruk," ujarku penuh tekanan lalu melangkah lebih dahulu. Namun, ketika baru saja ingin pergi, Walter mendahuliku dengan cara menggandeng tanganku agar aku mengikuti dia.
Aku sempat menolak perlakuan Walter. Namun, menjadi lebih jinak saat dia berkata dengan nada berbisik, tepat di telingaku, "Kau ingin membuatnya menyesal, bukan? Maka jangan lepaskan tanganmu."
Akhirnya seperti gadis yang buta arah, aku pun menurut saja saat Walter menuntunku pergi menuju ruang konseling. Dari depan pintu yang setengah terbuka, aku bisa melihat punggung seorang gadis yang duduk berhadapan dengan Mr. Lee.
Dari warna rambut dan bagaimana dia manatanya, tanpa perlu memastikan pun aku tahu jelas, bahwa pemiliknya adalah Aubrey. Tidak perlu dipungkiri, meski aku memang bukan penggemarnya tapi karena sebagian besar manusia di sekolah ini, membicarakannya maka Tentu saja aku mengetahuinya. Agak baru.
Walter mengetuk pintu, sedangkan aku dan Aiden berdiri diantaranya. Dalam hati aku berharap, mereka tidak akan bertengkar lagi di tempat ini. Kesadaran membuatku cemas jika hal buruk mungkin akan terjadi, terutama saat Mr. Lee mempersilakan kami masuk dan tatapanku bertemu dengan Aubrey.
Aku bukannya takut dengan gadis itu, hanya saja dari apa yang kudengar di dalam ruang konseling, aku mengetahui bahwa Mr. Lee sedang memarahi Aubrey atas tindak kriminal. Cyber crime. Ini adalah masalah terberat karena akan menimbulkan prilaku bullying, dan Aubrey melakukannya.
"Duduk." Mr. Lee menunjuk ke arah empat kursi kosong di hadapannya. "Nasib baik karena kalian bertemu di sini."
Mendengar ucapan Mr. Lee barusan, mungkin bukan hanya aku saja yang kebingungan. Maksudku, saat kita dipanggil ke ruang konseling, dibagian mananya yang merupakan nasib baik? Bukankah semua akan berakhir dengan hukuman, surat peringatan atau apa saja yang berhubungan dengan suatu keburukan.
Sehingga sesuai perintah Mr. Lee, aku pun duduk di salah satu kursi kosong. Di mana, seperti telah direncanakan aku duduk bersebelahan dengan Aubrey dan Walter.
"Apa kau merasa telah menjadi korban, Megan?" Mr. Lee bertanya padaku, sebagai pertanyaan pertama, setelah dia meletakkan lilitan jemarinya di atas meja. "Ada masalah yang harus kuselesaikan, tetapi untuk berlanjut ke level selanjutnya aku harus menerima jawaban darimu atas pertanyaan barusan."
Kedua alisku refleks mengerut karena, jika aku menjawabnya sebagai korban cinta, bukankah bai akan sangat memalukan. Maksudku, apa permasalahan tersebut harus dibawa ke meja konseling? Kurasa tidak.
"Kurasa ti--"
"Menyebarkan video yang menghancurkan harga diri seseorang tentu akan selalu menjadi tindakan kriminal, meskipun si Pelaku mengatakan hal tersebut sebagai bahan candaan."
"Apa?" Aku menoleh ke arah Aiden, setelah dia mengatakan hal tersebut secara tiba-tiba. "Dan kau sendiri yang melakukannya, bukan?!" kata sangat keras, sambil memukul meja dengan tangan kananku. "Berhentilah bersikap seolah kau bisa melakukan segalanya, Brengsek.
"Kau ... telah memilih mangsa yang salah, Dude!"
Brak!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top