048 - Break Up Because You Started It
Sejak menginjakkan kaki di Senior High Sechol dan sebelum bertemu dengan Aiden, hidupku cukup datar hingga hanya ditemani oleh masalah-masalah kecil yang bisa kuselesaikan sendirian. Namun, setelah Aiden menciumku di tengah lapangan selepas pertandingan musim terakhir, permasalahan mulai berdatangan tanpa sempat aku bernapas lega sampai-sampai tanpa sadar telah membuat dadaku sesak.
Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk menangis, kenyataannya aku mendapati diriku benar-benar kacau di depan cermin. Kedua mataku luar biasa bengkak, hidung memerah dengan jejak ingus di celah antara hidung dan bibir, dan rambutku mekar seperti singa jantan di hutan liar.
Masih mengenakan pakaian serupa saat di sekolah, serta aroma parfume Aiden yang menempel di baju, dengan pemikiran yang begitu naif aku memutuskan untuk tidak menggantinya. Di mana lidah pintarku beralasan tidak ingin merepotkan diri sendiri, jika nanti harus menunggu lama di laundry shop karena terlalu banyak pakaian kotor.
Aku mengambil topi baseball yang menggantung di ujung cermin lalu mengenakan kacamata cokelat untuk menyembunyikan mata bengakakku. Setelah mengucir rambut menjadi ekor kuda, aku pun memutuskan keluar sekadar ingin membeli beberapa makanan cepat saji di minimarket. Andai saja, perutku bisa bertahan lebih lama lagi dan kandung kemihku mampu menampung setidaknya lebih dari 600 ml urine, tentunya aku tidak akan keluar dari kandangku. Aku akan bertahan, hingga penampilanku membaik seakan-akan tak terjadi apa pun.
"Sial! Siapa pun itu, please, jangan bertanya tentang keadaanku," kataku setelah mendesah frutsrasi di hadapan cermin. Aku menurunkan pet topi baseball, hingga mengahalangi siapa saja yang ingin melihatku, lalu mengembuskan napas kasar untuk kedua kalinya, aku berkata lagi, "Kumohon, anggap saja kehadiranku seperti makhluk tembus pandang."
Kedua alisku mengerut lalu mendesah lagi, seolah tiga aktivitas melatih paru-paru tersebut sangat dibutuhkan dalam kelangsungan hidup seorang Megan Ave. Demi Tuhan, aku tidak pernah serepot ini--kecuali saat terserang penyakit cacar--dalam hal mempersiapkan diri ketika ingin keluar kamar atau rumah kemudian bertemu dengan orang banyak orang. Hingga setelah menit-menit berlalu dan mustahil melakukan penyiksaan diri lebih jauh lagi, aku merasa telah menerima cambukan saat tahu bahwa seseorang tengah menempelkan telinga mereka ketika aku membuka pintu.
Adalah mom dan dad. Mereka segera menegakkan diri masing-masing dengan ekspresi salah tingkah, sebab aku menangkapi hal terlarang tersebut. Seharusnya. Ya, seharusnya aku tersentuh atas perhatian yang mereka berikan saat ini dan memberikan pelukan hangat sebagai ucapan terima kasih. Namun, karena aku sedang dalam keadaan mood yang benar-benar kacau, maka tanpa mengatakan apa pun aku segera bergegas pergi menuruni tangga, seolah aku tidak melihat pasangan suami istri.
"Megan, please." Dad memanggil bersamaan dengan suara langkah kakinya yang mengekoriku. "Jika kau butuh sesuatu, aku akan mengantar dan menemanimu."
"Benar." Mom menyahut dan wanita itu juga terdengar mengikuti pergerakan dad, sebab suara langkah kakinya kini terkesan cukup ramai. "Akan menjadi orangtua yang buruk, jika kami membiarkanmu keluar sendirian malam-malam begini."
Oh, tidak. Aku memutar mata atas segala tindakan yang sangat tidak mengenakkan ini. Aku pun menghentikan langkah lalu memutar tubuh agar berhadapan langsung dengan mereka berdua. "Bisa kalian berhenti melakukan hal ini?" tanyaku, "Aku baik-baik saja dan hanya perlu waktu sendiri untuk mengatasinya. Jadi berhentilah untuk bersikap berlebihan." Aku memasang kembali topi softball yang sempat kulepaskan beberapa saat. "Aku hanya ingin pergi ke minimarket dan ... Dad tidak perlu mengantarku karena aku bisa pergi menggunakan sepeda."
"We are really sorry, Megan," ujar dad sambil merangkul bahu mom yang hanya menatapku khwatir. "Just don't do anything stupid when you want to lighten the load."
Well, aku mengerti maksudnya dan aku menjawabnya dengan anggukan. "Aku akan segera kembali," ujarku sambil membuka pintu kemudian menutupnya kembali. "Don't worry, I'll be fine."
***
Butuh sekitar waktu lima belas menit untuk mendapatkan apa yang aku mau di Asian Market, serta tambahan sepuluh menit sekadar berkeliling, sebagai upaya membuang beban masalah di pundakku. Selesai membayar seluruh barang belanjaanku, aku pun segera keluar dan meletakkan mereka di salah satu meja depan minimarket.
Pertama-tama, aku memutuskan untuk menikmati susu pisang yang sejak beberapa bulan lalu, berhasil menjadi salah satu minuman favoritku. Asal mulanya ketika aku melihat Jackson membawanya saat dia menjemputku, bersama Alma dan hidupku masih dalam radar baik-baik saja.
Kedua, susu adalah pendamping terbaik makanan pedas. Aku mengeluarkan yopokki cup super pedas yang sudah diseduh bersama telur serta mozarella, lalu mengambil beberapa menggunakan sumpit, meniupnya, dan ....
... rasa pedas menyambutku digigitan pertama.
"Shit," ucapku lalu segera menelannya dan melawan rasa pedas dengan meminum susu.
Begitu terus, sampai aku menyadari bahwa telah mandi keringat di cup ketiga. Bahkan bibirku tidak bisa berhenti untuk menarik dan mengeluarkan udara, saking kepedasannya lalu ketika hampir menangis akibat lidah yang terbakar, seseorang duduk di kursi kosong di hadapanku.
Dia adalah Aiden. Sosok yang tidak kuharapkan hadir saat ini karena telah menjadi alasan aku segila ini. Aku hanya menatapnya dengan kedua alis terangkat, sambil mengigit-gigit sedotan susu pisang.
"Hai," sapanya sembari mengenggam kedua tangan yang ia letakkan di atas meja.
Aku tidak membalas sapaan Aiden, melainkan memalingkan pandangan ke arah yopokki cup terakhir. Namun, pengabaian yang secara terang-terangan kulakukan, ternyata tidak meruntuhkan keinginanya untuk berbicara padaku. Sehingga setelah Aiden memanggil namaku, serta memberitahu alasannya menghampiriku, dia berkata lagi. "Aku memang brengsek, tapi semua berubah seiring berjalannya waktu. Atau katakan saja, bahwa aku seorang pecundang."
Dia mengembuskan napas panjang dan berusaha menggapai tangan kananku, tetapi segera kujauhkan dengan berpura-pura sedang mengaduk yopokki, lalu mengarahkan cupnya ke bibir seolah akan meminum kuah kentalnya.
Omong kosong! Aku tidak tahan memasukkan kuah kental super pedas itu. Jadi aku hanya berpura-pura sebab tanpa sepengetahuan Aiden, kedua mataku bergerak liar mencari bala bantuan.
"Di sini, Ben!" Aku bangkit dari tempat dudukku lalu seperti orang sinting melambaikan tangan ke arah, seorang lelaki berkacamata. "Aku sudah menunggu sejak tadi!" seruku sambil segera mengambil langkah menyusulnya.
Sengaja aku mengabaikan Aiden, memanggil seorang lelaki seolah telah menunggu ribuan tahun, dan berlari mendatangi lalu memeluk lengannya. Aku tahu. Aku tahu, dia pasti menganggapku sebagi gadis aneh nan sinting. Namun, mau bagaimana lagi?! Hanya ini yang bisa kulakukan agar Aiden, tidak keras kepala berbicara denganku.
"Hanya sebentar saja. Kumohon, bantu saja aku," bisikku, sambil memeluk manja lengan lelaki itu. Demi dewa apa pun, aku berharap dia mengerti dan mengikuti perannya.
Jadi tanpa perlu banyak bicara, aku pun ingin membawanya masuk ke dalam toko dan, aku juga meyakini bahwa memang gedung putih itulah tujuannya. Dari jarak sekitar satu meter, Aiden menatapku dengan mimik terkejut sekaligus keheranan. Aku hanya berusaha menantang tatapannya, sampai kami benar-benar berdiri saling berhadapan.
Kedua alis Aiden menukik ke bawah, lalu secara jelas melakukan pemindaian ke arah lelaki asing di sisiku dari atas ke bawah. Karena tidak ingin drama dadakan ini kacau, aku pun segera mengibaskan tangan di hadapan Aiden.
"Apa? Kau kaget karena aku pun bisa melakukannya, bukan?"
"Tidak," ujar Aiden, "tidak sama sekali. I just ... I wanna ...."
"Break up with you." Aku sengaja menyela ucapan Aiden kemudian tangan lelaki asing itu dan ....
Aku meletakkan kedua tanganku di antara pipi lelaki itu, menariknya, hingga di detik kemudian, aku memutuskan untuk menciumnya.
Beberapa detik lamanya, sampai Aiden meninggalkan posisinya.
"Thanks God," ujarku setelah melepas ciuman tersebut, sambil memiringkan badan agar bisa melihat punggung lelaki itu. "Maaf, kau pasti terkejut dan merasa dilecehkan. Aku sungguh minta maaf atas kekacuan i--"
"No, kau harus bertanggung jawab," kata lelaki itu memotong ucapanku dan nada dinginnya berhasil membekukan seluruh tubuhku.
Entah mengapa, kepekaanku saat ini menunjukkan bahwa aku sedang dalam keadaan yang kuharapkan baik-baik saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top