047 - Are You ... Really?

Mr. Wahlberg mengakhiri sesi kelas dengan meninggalkan tugas kelompok yang terdiri dari lima orang. Alma terlebih dahulu membentuknya tanpa konfirmasi terlebih dahulu, di mana secara sepihak dia menuliskan namaku, Jackson, Aiden, dan si Kutu Buku Gisella. 

Kami berlima menggunakan waktu sekitar lima menit di jam makan siang, untuk berdiskusi sejenak mengenai kapan serta di mana kita akan memulainya. Hingga setelah melewati sedikit perdebatan kecil antara Jackson dan Gisella, keputusan akhir pun terbentuk, yakni kami akan memulainya hari ini, sepulang sekolah, di kafe Sweet Chocolate.

"Fine, sudah diputuskan dan saatnya memanjakan perut," ujar Alma sambil mengambil cermin kecil yang dia simpan di dalam saku sweater-nya. Alma tampak sedang merapikan poninya dan di waktu bersamaan, dia berkata, "Apa kau ingin bergabung dengan kami, Gisella? Aku akan menjamin kau akan menyukainya."

"Tentu saja, tapi ... sekarang aku sedang diet."

"Tidak perlu makan, kau bisa bergabung meski hanya sekadar nongkrong." Kali ini Jackson berkata, setelah melihat pergelangan tangannya yang dikelilingi oleh arloji berwarna cokelat kayu. 

Gisella tidak langsung memberikan jawaban, selain  menatap kami berempat secara bergantian. Aku pun hanya tersenyum tipis, sebagai bentuk penghargaan karena tatapan kami saling bertemu. Namun, belum sempat mengeluarkan kalimat ajakan penuh kesopanan, Aiden terlebih dahulu berbisik di telingaku.

"Apa kau akan bergabung dengan mereka?" Dia bertanya dengan nada berbisik tepat di telingaku. 

"Karena aku butuh makan, maka jawabannya tentu saja iya." Aku balas berbisik, sehingga sadar atau tidak kami sudah seperti pasangan yang sedang membicarakan kode rahasia peluncuran nuklir. "Tapi ... aku juga merasa tidak yakin."

Aiden menggeser posisi berdirinya agar semakin dekat denganku--lebih tepatnya menempel--hingga aku bisa merasa, bagaimana lengannya melingkar di pinggangku.

"Sebenarnya aku ingin mengajakmu nongkrong bersama teman-temanku."

Kedua alisku refleks mengerut. "What? Are you serious?" Aku tahu mungkin Aiden bermaksud baik, yaitu ingin memproklamasikan hubungan kami di hadapan teman-temannya. "Aku pikir kau akan meluangkan waktu untuk berdua."

"Masih ada banyak waktu untuk berdua. Lagi pula aku tidak akan setiap hari bersama mereka," ujar Aiden, "jadi apa kau mau bergabung denganku?"

"No." Aku menjawab dengan sangat tegas lalu menutup bibir rapat-rapat, agar tidak memaki Aiden. Entah ini yang disebut dengan cemburu buta atau bukan, kenyataannya aku kesal saat Aiden menyamaratakanku dengan teman-temannya. "Aku juga harus menemui seseorang dan--"

"Dunia bukan hanya tentang kalian berdua, Guys." Kami sama-sama menoleh ke arah, di mana suara itu berasal. Yaitu, Alma dengan segala kecongkakan yang tampak menggemaskan untuk hari ini. "Kita di sini juga ingin tahu seberapa serunya, obrolan kalian."

"Maaf, tapi aku yakin kau tidak sepenuhnya ingin mengetahui obrolan ini." Aku mengedikkan bahu, sembari memasukkan kedua tangan di saku depan celana jins. Hal yang sengaja kulakukan, agar Aiden tidak lagi terlalu penempel padaku.

Dan upaya tersebut seratus persen berhasil. Aiden sedikit menggeser sedikit posisi berdirinya dan sedetik setelah dia berada di posisi yang seharusnya ponselku memperdengarkan nada pemberitahuan.

Tidak hanya milikku, tetapi sedetik demi sedetik ponsel lainnya turut memperdengarkan nada singkat. Tentunya ini terasa aneh. Maksudku, jika kebetulan tersebut memang ada, sepertinya itu hanyalah sekitar satu banding seribu. Aku pun menebarkan pandangan, menatap ke seluruh teman-teman sekelas, ke arah Alma, Jakson, dan Gisella, serta terakhir Aiden.

Air mukanya memudar. Menimbulkan seribu pertanyaan di dalam otakku, hingga suara di belakang kami berhasil menyadarkanku bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

"Whoa, shit! Kau benar-benar seorang raja, Aiden." Yang sebelumnya berteriak, tampak bergegas mendatangi Aiden. Bahkan saking terburu-burunya, dia harus menabrak beberapa meja dan mengubah tatanannya. "Dari awal aku memang curiga, bahwa yang kau lakukan hanyalah tipuan," ujarnya sambil menoleh ke arahku serta menguncang-guncang bahu Aiden. "Kau memang yang terbaik, Aiden."

Aiden tidak mengubris ucapan ... saja, sebut saja Davis yang sangat memancing kepintaran otakku untuk menebak-nebak tentang apa yang sekarang sedang terjadi. 

Selama beberapa waktu kami pun saling bertatapan, di antara bisikan-bisikan yang jelas mengarah padaku. Dalam diam, aku berusaha keras meredam emosi dan mencoba memberikan kesempatan pada Aiden untuk menjelaskan semua ini. Namun, perbuatan mereka ternyata jauh lebih kuat dari benteng pertahana Aiden, di mana dia tetap memilih tak bersuara, hanya menatapku, bersamaan dengan air muka yang memudar.

"I won't see it, so can you explain what happened?"

"That is not true, Megan."

"What?" Tanpa sadar, kedua mataku kini terasa panas dan diikuti dengan tenggorokan yang mengering. 

"Please, berikan saja ponselmu dan anggap tidak ada yang terjadi hari ini." Aiden memohon, mengulurkan tangan kanannya agar aku menuruti keinginannya. 

Namun, ketika aku masih berkutat pada pilihan iya atau tidak atas permintaan Aiden, aku tidak pernah tahu bahwa keadaan akan seburuk ini.

Sayup-sayup lagu No Limit sebagai backsound terdengar sebagai pendamping suara lelaki yang sudah lama sangat kukenal. Tanpa keraguan, aku pun memutuskan untuk tidak perlu menoleh ke arah televisi yang menyiarkan kebenaran tersebut. Aku hanya perlu menatap ke arah Aiden, menunggu reaksi atau pembelaannya. Namun, beberapa detik aku menunggu dengan mengabaikan ejekan paling menyakitkan, Aiden justru tidak bereaksi apa pun. 

Sehingga tanpa pikir panjang dan sebagai bentuk pelampiasan atas amarahku karena satu pengkhianatan, aku pun segera memberikan tamparan keras di wajah Aiden lalu pergi begitu saja, mengabaikan bagaimana Alma dan Jackson memanggilku.

Demi Tuhan, hatiku benar-benar hancur dan ....

... kurasa tidak ada alasan lain agar aku tetap bertahan di sekolah hari ini. 

***

Mom menyambutku dengan keterkejutan karena aku pulang lebih awal dan dalam keadaan menangis. Tanpa bertanya dia langsung memelukku, memberikan sentuhan penuh rasa empati, hingga menimbulkan rasa nyaman. Namun, pelukan saja ternyata tidak cukup karena detik itu juga, aku langsung menumpahkan semua kekesalan sekaligus kesedihan yang terus bertumpuk-tumpuk di dalam kepalaku.

Aku menangis tersedu-sedu, hingga membuat sweater cokelat mom dipenuhi ingus, tetapi wanita itu tidak mempermasalahkannya. Terpujilah dirimu, mom sebab sangat mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan tanpa banyak bicara.

Mom menuntunku agar duduk di meja  makan lalu memberikan segelas cokelat hangat yang aku yakini sengaja dibuat untuk diri sendiri. Namun, dengan kemurahan hati dan rasa empati terhadap anak gadisnya, mom memberikan minuman favoritnya padaku.

"Seharunya aku menolaknya saja, meski diam-diam telah lama menyukainya." Aku meletakkan keningku pada telapak tangan yang sikunya bertopang pada meja makan. Air mataku masih saja mengalir deras, padahal selama di perjalanan pulang aku bisa saja menahannya. "Dia sungguh menyebalkan! Mencuri ciumanku, bersikap manis padaku, dan membelaku saat sedang dalam masalah.

"Dia yang membawaku pergi dari gedung itu, saat mereka ingin mencelakaiku bersama Alma," ujarku lalu menoleh ke arah mom dengan kesetiaannya untuk mendengarkan. "Bukankah dia benar-benar brengsek, Mom? Dia benar-benar telah melukaiku."

Lagi-lagi mom mengusap bahuku. "Apa kau sudah memberitahunya?"

"Tentu saja! Aku ... aku ... menampar wajahnya lalu pergi begitu saja."

Mom mengangguk lalu mengambil tangan kananku dan mengarahkan jemarinya, agar mengelilingi pegangan gelas mug berisi cokelat hangat. "Beristirahatlah dan periksa ponselmu sesekali."

Aku mengusap air mata yang telah membasahi sebagain besar wajahku, kemudian menggeleng kuat karena sangat tidak setuju dengan saran mom. Demi Tuhan! Itu hanya akan semakin meruntuhkan harga diriku yang sudah benar-benar hancur akibat ulah Aiden.

Bahkan jika di dalam kamus berbahasa yang benar, dan terdapat kata dengan definisi lebih menyedihkan untuk keadaanku saat ini, maka aku akan menggunakan kata tersebut sebagai bentuk penggambaran perasaan.

Jadi dengan ingus yang tentunya telah mengotori wajahku, aku berkata pada mom, "Kupikir kau mengerti, perasaanku. Kenyataanya, tidak ada seorang pun yang mengerti sebaik diri sendiri."

"I swear, I don't mean--"

"No, mom." Aku bangkit dari tempat dudukku, sambil memegang gelas mug berisi cokelat hangat. "Please, for today, don't talk to much. Specially, about this," kataku lalu terisak dan segera pergi meninggalkan mom.

Serius. Membagi masalah ini dengan mom, ternyata tidak memberikan reaksi sesuai harapanku. Sebenarnya, aku ingin mom mendukungku lalu membuat lelucon konyol agar aku bisa melupakan Aiden. Namun, kenyataannya mom malah menyuruhku untuk menanti lelaki kurang ajar itu.

Setelah menaiki tangga selayaknya manusia zombi, aku segera masuk ke dalam kamar lalu naik ke atas tempat tidur, dan memutuskan menarik selimut untuk menyembunyikan diri. Dengan tangan yang meraba-raba di atas nakas, aku mencari remote control untuk mengatur suhu ruangan agar menjadi lebih dingin dari biasanya.

Aku tidak perlu suhu normal ini. Tidak perlu juga suhu yang menghangatkan yang membuat seperti berada di pantai musim panas. Yang kubutuhkan sekarang hanyalah suhu super dingin, seolah tidur di kutub utara sampai-sampai hatiku membeku dan tidak lagi merasakan sakit akibat alasan konyol yang disebut patah hati.

"Kau benar-benar brengsek. Membuat hatiku berbunga-bunga hanya demi menjalankan tantangan, membuatku menciummu hanya demi memenangkan permainan sialan itu. Kau seharusnya dikutuk menjadi batu saja, agar ... sial!" Aku mengubah posisi berbaring, dari yang sebelumnya tertelungkup kini menjadi telentang dan menendang selimut tidak bersalah ini dengan sekuat tenaga. "Kau benar-benar menyebalkan, Aiden. Sungguh! Aku ingin membuatmu merasakan apa yang--"

Ucapanku terputus, seiring dengan dering ponsel tiada henti yang kutahu itu adalah panggilan telepon. Aku terduduk di atas tempat tidur lalu melirik ke arah tas ransel hitam yang sengaja kulempar ke lantai dekat cermin. Butuh enam puluh detik untuk memutuskan apa aku harus memeriksanya atau tidak.

Dan aku mengabaikannya, kembali menjatuhkan tubuh secara kasar di atas kasur empuk lalu menyelimuti seluruh tubuh dengan bantal yang menutupi telinga.

Aku butuh ketenangan. Tidak mengharapkan seseorang yang bersikap simpati padaku dan saat itu pula, aku teringat dengan keinginan Aubrey untuk bertemu denganku.

"Persetan! Kau jalang sialan yang ... hua!!!" Untuk pertama kali, aku menangis sesenggukan yang diselimuti dengan emosi. Sehingga demi menyembunyikan hal ini dari mom atau siapa saja yang ada di rumah ini, aku harus berteriak sambil membenamkan wajahku dalam-dalam di atas kasur.

Terus meluapkan emosi sambil menangis, hingga akhirnya aku pun tidak tahu sejak kapan aku tertidur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top