046 - Back To Home And After That Moment
Berurusan dengan polisi sebenarnya adalah hal yang kuhindari. Apalagi jika perkaranya adalah terlibat dalam perkelahian. Peristiwa di bangku Junior High Scholl, telah menjadi pelajaran untukku agar tidak melibatkan orangtua dalam permasalahan pribadi. Namun, jika sudah separah ini dan teman-temanku menjadi terlibat, maka aku pun terpaksa harus membiarkan orangtuaku tahu karena Mr. Lee memutuskan untuk menelepon mereka dengan alasan keperluan sangat mendesak.
Jika ada yang rela bertanya, sebenarnya aku pun tidak pernah berharap masa Senior High School-ku menjadi seburuk ini. Menjalani sidang bersama guru konseling selama beberapa waktu, akibat perkelahian bukanlah harapanku. Sehingga demi menenangkan diri sekaligus menghindari orangtuaku, aku memutuskan untuk menyendiri di danau buatan belakang penginapan.
Selama nyaris tiga puluh menit, aku duduk bersila--sendirian--di tepi danau sambil menutup mata, sebagai upaya menenangkan pikiran serta mencari tahu sesuatu yang mungkin bisa diubah.
Sayangnya, pikiranku hanya mengulang masa-masa di mana Steven mengaku sebagai pengagum rahasiaku, tentang betapa manis dirinya setiap kali mengirim bunga dan kartu ucapan, serta bagaimana pertama kali dia menunjukkan diri melalui chat. Saat itu Steven adalah sosok penenangku, ketika Aiden masuk sebagai pengacau hidupku.
Tapi kau mungkin tidak akan berada di sini, jika Aiden tidak menyusulmu. Pikiranku seketika membela Aiden hingga membuatku membuka mata akibat terlalu terkejut.
Terkejut karena mengapa harus dia yang muncul di pikiranku dan ketika indera pendengaranku menangkap sesuatu yang jatuh ke dalam danau.
"Bagaimana kabarmu, maksudku keadaanmu?"
Aku menoleh ke arah kanan saat mendengar suara Aiden. "Tidak terlalu baik."
"Keberatan karena orangtuamu harus terlibat dalam masalah ini, eh?" Kini dia duduk di sampingku dan dari sudut tatapanku, aku bisa melihat Aiden sedang duduk bersila sembari melempari batu kerikil ke arah danau.
"Hanya tidak ingin membebani mereka saja."
"Dan?"
Aku menoleh ke arahnya lagi dan seperti tidak memiliki pekerjaan lain, aku malah mengikutinya setelah Aiden meletakkan beberapa batu kerikil di tanganku. "Entahlah, harapanku hanya semoga mereka memercayaiku dan jika tidak ... hukuman bukan masalah besar, atau punya solusi?"
"Well, kau hanya perlu jujur dan diam saat mereka menghakimimu. Tapi, kurasa mereka tidak akan seperti pikiranmu setelah melihat bukti-buktinya."
Aku mengerang lalu melempar batu terakhir dengan sekuat tenaga, sebagai bentuk pelampiasan rasa frustrasi. "Tipikal orang yang masih memikirkan sopan santun, ketika orang lain sedang menceritakan masalahnya. Maksudku, kau terlalu positif tanpa mengira-ngira mengapa aku harus se-frustrasi ini."
Kedua alis Aiden mengerut dan sedetik kemudian dia mengubah posisi duduknya, hingga kami kini benar-benar saling berhadapan. "Sebenarnya, aku yakin kau tidak sedang kebingungan karena memikirkan bagaimana kehidupan sosialmu, setelah Cecunguk itu melakukan pengakuan palsu di media sosial. Tapi jika kau benar, aku tidak keberatan membantumu. Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Seketika bentuk imaginer jeritan frustrasi menjadi satu-satunya yang kubayangkan, setelah Aiden mengatakan kalimat sangat motivasinya. Demi Tuhan, aku tidak lagi memikirkan hal itu apalagi merasa khawatir dengan kehidupan sosialku kedepannya. Satu-satunya bentuk kecemasanku hanyalah reaksi orangtuaku dan bagaimana mereka memandangku.
"Meyakinkan mereka bahwa yang kulakukan adalah bentuk membela diri, agar tidak direndahkan serta dilecehkan."
"Tentang kejadian di media sosial itu?"
Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya. Entah kenapa, aku malah berpikir bahwa obrolan ini terasa sia-sia karena Aiden berlagak bodoh. "Tentang perkelahian di kamar Steven dan tentang gedung itu."
"Oh, aku mengerti." Aiden tersenyum, sembari menepuk-nepuk bahuku. "Alma dan Jackson akan memperkuat alasanmu. Kau tenang saja."
Yeah, setidaknya beban seribu ton di pundakku sedikit berkurang setelah menceritakan kecemasanku pada Aiden. Pikiran-pikiran negatif mengenai reaksi orangtuaku pun mulai menguap, seiring dengan matahari yang kini merajai hari.
Sampai beberapa detik kami melakukan jeda dalam hal saling mengobrol dan tenggelam dalam pikiran masing-masing, Aiden secara mendadak merangkul tengkukku lalu menariknya demi memangkas jarak dan dia memiringkan kepalanya seperti bentuk slow motion.
Dan lagi seperti tidak paham situasi, aku menanggapi hal tersebut dengan ribuan kembang api tahun baru yang memeriahkan perutku. Lalu ketika kupikir Aiden akan memulainya dan aku sudah menutup kedua mataku, dia justru berbisik hingga aku bisa merasakan embusan napasnya.
"Aku akan melakukannya, jika kau mengijinkan," ujarnya yang berhasil menyapu seluruh indera perabaku, hingga membuatnya meremang akibat perasaan mendamba.
Aku membuka kedua mataku, melihat bagaimana Aiden manatapku setelah mengeluarkan kalimat beraroma maskulin. Aku mendadak begitu menginginkan Aiden, melupakan masalah yang kemungkinan besar akan datang padaku dan juga tidak peduli dengan alasan mengapa aku sangat menginginkan Aiden. Entah kata itu berhuruf kapital atau kecil, jelasnya aku juga mendambakan Aiden.
Dengan segenap keberanian yang kumiliki, tanganku pun menyentuh pipi Aiden yang terasa hangat akibat sengatan matahari kemudian menikmati sensasi listrik statis di tubuhku, dan dalam hitungan ketiga aku memutuskan untuk menciumnya terlebih dahulu.
Ini adalah kedua kali kami melakukannya dengan penuh keromantisan. Aiden tidak lagi harus mencuri ciumanku sebab--entah sejak kapan--aku sudah menerima lelaki itu sebagai pacar sesungguhnya.
Kami berhenti sejenak untuk mengambil oksigen dan saat itu pula, aku bisa merasa salah satu tangannya merangkul pinggangku dan tangan lainnya berada di tengkukku.
"Aku ... whoa. Aku tidak pernah menyangka kau akan memulainya duluan," ujarnya kemudian memelukku dengan sangat erat.
Tawa kecil pun tidak bisa lagi kuhindari atas reaksi Aiden tadi. Aku membalas pelukannya dan bisa kurasakan bagaimana kedua pipiku memanas, akibat perasaan cinta yang meledak-ledak di dalam dadaku. "Memangnya apa yang ada di pikiranmu?"
"Well, aku mengira kau akan menendang bokongku karena menginginkanmu di waktu yang kurang tepat."
Aku melepaskan pelukanku lalu mendorong pelan tubuh Aiden. Dari mimik wajahnya, aku tahu bahwa dia sedang bercanda sehingga tanpa harus menendang bokong Aiden, aku berkata, "Kurasa akhir-akhir ini hormon oktisotinku meningkat. Apa kau keberatan jika alasannya adalah karena kau datang ke kehidupanku?"
"Sama sekali tidak. Akan sangat menyenangkan jika kau--" Ucapan Aiden seketika terputus, saat ponsel Aiden berdering hingga memaksanya untuk melihat siapa yang sedang mengganggunya. Aku pun memberikan isyarat agar dia segera menerima panggilan tersebut, sehingga tanpa harus banyak pertimbangan Aiden menempelkan benda gepeng itu di telinganya.
"Ya. Di danau bersamaku. Yeah, tidak masalah kami akan ke sana." Dia memutuskan sambungan telepon tersebut, memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, dan berdiri di hadapanku sambil berkata, "Orangtua kita sudah datang. Kau harus menemui mereka dan memberikan kesaksian, usahakan agar tidak mengambil keputusan bodoh lagi."
Aiden tidak memberiku pilihan lain. Dia sudah mengulurkan tangannya di hadapanku dan itu menjelaskan bahwa dia ingin agar aku menemui orangtuaku. Andai saja Aiden paham bagaimana situasinya aku yakin, lelaki itu pasti akan berkolaborasi denganku untuk merencanakan aksi kabur dari situasi ini.
Namun, kenyataan memperlihatkan hal yang berupa kebalikan dari harapanku sehingga dengan terpaksa aku pun menyambut uluran tangan Aiden, dan pergi bersama menemui persidangan di lobby penginapan.
***
Akhir kata setelah perdebatan panjang penuh aroma dramatis, Mr. Lee pun memulangkan kami dua hari lebih awal daripada yang lainnya. Semua itu dilakukan agar kami yang terlibat perkelahian serta penyekapan, bisa lebih menenangkan diri serta siap sedia jika harus kembali memberikan kesaksian.
Bonusnya, dad mengurungku di dalam kamar seperti tahanan rumah, yang memiliki syarat dan ketentuan tertentu untuk bisa keluar dari jeruji. Hal itu dilakukan dad dengan harapan agar aku bisa lebih bijak menggunakan kemampuan bela diri serta lebih mampu mengontrol emosi. Alasan yang menurtku sangat dibuat-buat karena aku yakin, mereka sadar bahwa aku adalah korbannya.
Semua itu sudah jelas terlihat saat hakim mengetuk palu dengan akhir keputusan, bahwa Steven bersama teman-temannya mendapat hukuman sebagai tahanan rumah dan harus melakukan bakti sosial setiap akhir pekan. Sedangkan aku dan Aiden mendapat hukuman skorsing selama tujuh hari dari sekolah yang kurasa, tidak jauh berbeda dengan para cecunguk itu.
"Kalau sudah selesai dengan urusanmu, segera turun dan sarapan." Dad berdiri di depan pintu kamarku, sambil menyilangkan kedua lengannya serta berkata dengan nada super dingin. Sejujurnya yang kualami ini sudah berlangsung saat pertama kali dad melihatku di penginapan, lalu menyaksikan bagaimana aku meninju wajah Steven akibat pengakuannya yang mengada-ngada. "Aku tidak ingin terlambat hanya karena kau terlalu lamban bergerak."
"Kalau begitu izinkan saja aku pergi menggunakan bus." Aku mengambil tas punggung yang tergeletak di atas tempat tidurku. "Bus bukanlah tempat terlarang yang akan membuat meditasi selama menjadi tahanan rumah, hancur secara tiba-tiba.
"Aku hanya tidak ingin menjadi seorang idiot karena harus berdiam diri sepanjang perjalanan," ujarku sambil melangkah melewati dad untuk menuruti perintahnya.
Kuakui ucapan barusan memang terkesan kurang ajar. Namun, aku juga sudah terlalu kesal dengan dad yang sama sekali tidak memercayaiku. Dad memperlakukanku seperti ini karena tidak bisa mengontrol emosi lalu melampiaskan kekesalan dengan pihak terkait, tapi tanpa lelaki itu ketahui apa dia tahu bahwa aku pun juga berusaha untuk menahan semua kekuranganku.
Maksudku, hallo dad, apa kau tahu bahwa selama ini aku selalu berusaha menahan diri?
Jadi tanpa banyak bicara, aku pun memutuskan hanya mampir sebentar ke meja makan untuk mengambil sandwich dan pergi ke sekolah menggunakan bus. Meskipun ditengah aksi pemberontakan kecil yang kulakukan, dad juga berusaha menahanku berulang kali hingga sayup-sayup aku bisa mendengar mom berdebat dengan dad.
Seminggu tidak mengikuti aktivitas sekolah dan menjadi manusia pedalaman karena tidak memiliki akses internet dan telepon, kecuali di bawah kontrol dad, aku benar-benar merasa asing saat menaiki bus bersama beberapa murid lainnya. Apalagi ketika mereka memberiku tatapan yang menyelidik, di mana secara terang-terangan mereka mengamati dari ujung kepala hingga kaki.
Namun, karena ini adalah awal hariku hidup sebagai manusia normal, maka aku tidak akan merusaknya dengan pikiran negatif yang dipicu oleh sikap mereka. Dengan sikap acuh tak acuh, aku pun memilih duduk di salah satu kursi penumpang bus sambil membaca catatan sejarah yang diberikan Jackson dan Alma, selama aku menjalani hukuman.
Dan ngomong-ngomong soal catatan sekolah, mereka memanglah yang terbaik. Setiap akhir pekan, Alma menginap di rumahku sedangkan Jackson datang serta bertahan seharian, untuk mengajari dan menjelaskan setiap mata pelajaran di sekolah. Selain itu, mereka adalah satu-satunya yang tahu mengapa setelah kejadian tersebut, aku seperti menghilang ditelan bumi.
Mereka berkata, selama aku menghilang akibat ide cemerlang dad, banyak sekali gosip yang membicarakan tentangku. Seperti aku tidak menampakkan diri di kehidupan sosial karena malu atas pengakuan Steven. Ugh! Mereka hanya tidak tahu, bahwa Steven adalah penipu ulung.
Atau gosip yang menurutku sangat ekstrim adalah, seseorang mengatakan bahwa aku mengalami depresi akut sampai orangtuaku menitipkanku di rumah sakit jiwa.
Oh, shit! Mereka terlalu memiliki fantasi berlebih jika berurusan dengan orang lain.
Aku menutup buku catatan sejarah, saat supir bus mengerem kendaraannya dan menimbulkan bunyi decitan yang khas. Bersama lainnya turun dari bus lalu melangkah menuju gerbang sekolah. Tidak ada perubahan signifikan dalam bangunan tersebut, begitu pula dengan penghuninya. Netraku pun mulai berkeliaran ke sana-kemari karena ingin sekali melihat Aiden kemudian pergi menemui Mr. Lee bersama.
Demi Tuhan setelah semua ini, aku benar-benar merindukannya. Seperti sedang melakukan perjalanan jauh tanpa sinyal, apalagi internet aku ingin sekali melihat sebagai pelampiasan rindu. Pasalnya selama menjalani hukuman sampai proses sidang, pertemuan kami hanya sebatas kebetulan dan itu hanya sekali. Aiden sempat bertanya ada apa denganku? Lalu secara singkat aku mengatakan bahwa dad menarik semua fasilitasku.
Setelah itu kami tidak sempat mengobrol banyak karena seperti orangtua yang kolot, dad menarik lenganku menjauhkan jarak kami berdua. Hingga komunikasi yang terjadi pun hanya berupa saling menatap satu sama lain.
"Hai." Suara itu langsung membuatku berbunga-bunga dan disambut gerakan refleks, yaitu menoleh ke arah pemiliknya. Ingin sekali memberikan pelukan erat untuk Aiden, tetapi setengah mati kutahan sebagai bentuk jual mahal. Ugh! "Hari yang sangat membosankan karena terkurung di dalam rumah, akibat masa skorsing."
Aku mengangguk dan tepat melangkah beriringan menuju lorong loker. "Aku pikir hanya aku yang tidak menikmati kekhususan ini. Hari-hariku sebagian besar berada di kamar, hingga jika ruangan itu bisa berbicara mungkin dia akan mengusir karena muak melihatku."
"LOL, lelucon yang sangat lucu," katanya. "Jadi bagaimana kabarmu, Megan? Apa kau merindukanku? Seberapa besar? Apa itu membuatmu menjadi sangat gila?"
Aku tersenyum lalu menggelengkan kepala, sambil membuka laci loker seperti yang Aiden lakukan. "Pertama, aku tidak sedang bercanda. Tapi bukan masalah besar, jika kau menganggapnya demikian. Kedua, aku tidak yakin kalau aku baik-baik saja. Terakhir kali merasa bahagia hanya saat, mengetahui bahwa postingan menjengkelkan itu dihapus secara permanen. Dan ketiga, yeah, aku merindukanmu hingga membawaku ke area kegilaan."
"Aku memandangi fotomu setiap hari dan maafkan, karena telah kujadikan media pap-pap."
Aiden tersenyum jahil, di saat aku menoleh ke arahnya dengan tatapan syok. Well, sebenarnya tidak benar-benar terkejut karena yang dilakukan Aiden merupakan hal wajar. "Tidak masalah, asal kau memberiku uang sebagai ganti rugi."
"Apa? Seharusnya akan menjadi gratis karena kau pacarku." Aiden merangkulku lalu kami pergi ke kelas bersama-sama. Hari ini kelas Sejarah lalu Matematika dan kami akan berpisah di kelas ketiga.
Dan ketika kami memasuki kelas, tanpa disengaja tatapanku bertemu dengan manik biru milik Aubrey. Dia menatapku dengan pandangan sangat tidak bersahabat, hingga ketika dia melewati mejaku, Aubrey meletakkan secari kertas yang telah dia remas sebelumnya.
Toilet setelah kelas pertama. Hanya itu yang ditulis Aubrey dan membuatku menoleh ke arahnya. Namun, tidak memberikan penjelas apa pun karena Aubrey terlanjur sibuk dengan ponselnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top