044 - Chaos And Fights In The Inn Room
Aiden masuk, sebelum mendapatkan izin dari salah satu diantara kami. Selain itu, aku atau pun Alma juga tidak berusaha untuk mendebat karena penampilan Aiden, sudah cukup melahirkan rasa simpati.
Atau mungkin bertanya-tanya, tentang mengapa Aiden harus seperti demikian, dengan ekspresi seratus persen teramat kacau.
Air muka Aiden tampak lebih kacau dari yang seharusnya. Jika aku merasa cukup frustrasi atas kejadian semalam, Aiden terlihat seribu kali lipat lebih frustrasi. Kedua sudut bibirnya tidak menukik ke atas, malah sebaliknya dia justru menekan sekuat tenaga. Rahang lelaki itu pun tampak mengeras hingga membuat urat-uratnya sedikit menyembul.
Akibat tatapan Aiden yang terlihat seolah ingin mengulitiku, aku pun tidak mampu mengeluarkan suara untuk bertanya. Bahkan memikirkan kalimatnya otakku terasa lumpuh. Jika boleh dikatakan, ekspresi Aiden sudah seperti seorang pembunuh berantai di mana kasusnya telah diketahui oleh pihak keamanan dan dia mengetahui siapa pelapornya.
"Pastikan kau tidak menyesal karena telah memberikan si Brengsek itu keringanan," ujarnya dengan nada super dingin, akibat usahanya dalam meredam amarah. Demi Tuhan, aku bisa melihat betapa merah wajahnya akibat memendam emosi yang berapi-api.
Aku hanya mengerutkan kedua alisku, merasa bahwa Aiden tidak harus semarah itu. Apalagi kejadian itu hanya menimpa diriku, tanpa sedikit pun berdampak padanya. Sehingga setelah mengumpulkan banyak keberanian, aku pun melilitkan kedua lenganku sambil berkata dengan nada yang sebisa mungkin terdengar cuek.
"Akan menjadi lebih menyesal, jika aku membawanya ke meja hijau," ujarku semulus jalan poros yang bebas hambatan. "Kau tidak tahu apa-apa, Aiden. Jadi siapa pun yang mengetahui keputusanku, please, berhentilah menghakimi keputusanku dan menganggapku sebagai gadis bodoh dan naif."
Seketika sisa-sisa rasa nyeri di tubuhku menghilang secara perlahan, bersamaan dengan tatapanku yang terarah pada Alma yang berdiri di balik punggung Aiden. Gadis itu tampak sangat terkejut dengan ucapanku barusan, ditandai dengan kedua mata membulat, rahang yang nyaris jatuh, dan dia berubah menjadi boneka kayu untuk beberapa saat.
Jika boleh jujur, aku sudah merasa sangat kesal karena tidak ada satu pun yang setuju dengan keputusanku. Mereka hanya datang untuk menghakimiku, tanpa bertanya mengapa aku harus melakukan hal demikian.
Mereka tidak tahu bahwa orangtuaku sudah melabeliku sebagai gadis yang suka melawan. Tidak takut mengalami lecet atau bekas luka permanen dan jika mereka tahu, aku yakin satu hal yang terpatri dalam pikiran orangtuaku adalah ....
... itu semua salahku karena tidak mampu menahan emosi.
"Kau seharusnya segera memeriksa media sosialmu, Megan. Maka kau akan tahu mengapa aku harus semarah ini." Aiden berkata lagi dan kali ini, dia benar-benar memperlihatkan kemarahannya dengan memberikan tinjuan pada daun pintu kamar kami.
Kemarahan itu semakin meyakinkanku, bahwa ada sesuatu yang tidak beres atau seperti kata Alma, masalah ini belum sepenuhnya selesai. Mengingat bagaimana Steven memperlakukanku setelah penolakan tersebut, aku jadi berusaha untuk tidak egois dengan memikirkan alasan mengapa Aiden harus semarah demikian.
Jadi selepas Aiden meninggalkan kami, aku segera menyalakan ponselku dan disambut dengan puluhan notification seolah aku adalah seleberiti sekolah. Memang kuakui sejak awal Aiden mencuri ciumanku di stadion tahun lalu, aku sudah mulai menjadi bahan pembicaraan beberapa gossipers hingga sampai kami berkencan, obrolan mengenai diriku semakin menjad-jadi dan sekarang mungkin telah menjadi klimaks atau mungkin keruntuhan kehidupan SMA-ku.
Tanganku gemetar saat itu juga, bersamaan dengan kedua mata yang terus membaca postingan Steven yang dipenuhi bumbu kebohongan serta khayalan tingkat tinggi. Dia merendahkan harga diriku, mengubah dirinya menjadi penulis fiksi di mana aku rela memberikan apa saja demi Steven dan membeli kepopuleran melalui Aiden.
Parahnya Steven memberikan judul dengan huruf caps lock yang terlalu memprovokasi, yaitu 'BABI BETINA--MEGAN AVE--YANG MELUPAKAN KUBANGAN LUMPURNYA' plus foto Steven sedang memegang pinggulku saat kami pergi kencan untuk pertama kali. Antara takut terluka, frustrasi, marah, dan penasaran aku memutuskan untuk menggulirkan jariku ke atas dari layar touchscreen demi mencari tahu apa saja yang ditulis Steven.
Secara harfiah, Steven memang mengatakan semua yang kuceritakan padanya, tapi itu hanya sebagian kecil, Bahkan terlalu kecil, hingga aku menganggap bahwa Steven akan menjadi penulis naskah drama terbaik karena pandai mengarang cerita sedramatis mungkin. Apalagi saat melihat berapa jumlah like, komentar, dan share, aku yakin bahwa mereka sangat memercayai Steven kemudian beramai-ramai memaki serta mengucilkanku.
"Minggu-minggu terakhir SMA-ku akan menjadi mimpi buruk sepanjang kehidupanku." Aku berbisik saat membaca keseluruhan postingan Steven lalu beralih pada komentar Aubrey yang menunjukkan kebenciannya terhadapku.
Aubrey menuliskan bahwa aku adalah jalang tidak tahu diri yang menjual tubuhku untuk mendapatkan Aiden. Sedangkan Steven mengaku bahwa dia pun mendapatkan banyak keuntungan setiap kali menghubungiku. Tidak perlu kujelaskan secara rinci bagaimana mereka berdua, mengutarakan kebencian yang dibalut dengan kebohongan sebab jika harus dibicarakan, maka itu akan semakin melukai perasaanku.
Aku mengganti mode ponselku menjadi menjadi mode pesawat, sengaja melakukan hal tersebut demi menghindari komentar jahat tersebut. Lalu meletakkan benda pipih persegi tersebut di atas nakas dan segera memijat kening akibat serangan emosional yang sangat mendadak.
"Jika kau berubah pikiran, maka aku akan membantumu." Alma memeluk bahuku sambil memberikan tissue yang membuatku sadar, bahwa aku sedang menangis di hadapan Alma.
Aku menggeram nyaring saat emosiku sudah sangat berhasil membuat darahku mendidih, hingga tidak sadar telah menggenggam ponsel terlalu kuat, jika Alma tidak berusaha membuka jemariku agar terlepas dari benda gepeng tersebut. "Aku harus menemui si Brengsek itu sekarang juga," ujarku lalu segera bangkit dari tempat tidur, melupakan bagaimana reaksi kesakitan yang menyerang indra perasaku.
Secepat mungkin, aku melangkah menuju pintu, membukanya secara kasar. Namun, pergerakanku terhenti saat Alma menarik lenganku.
Aku menoleh ke arahnya ingin mengatakan agar dia segera melepaskanku, tetapi Alma terlebih dahulu berujar, "Kenapa kau harus mendatanginya setelah apa yang dia lakukan dan kau lakukan terhadap orang-orang yang ingin membelamu? Seharunya kau bisa berpikir lebih pintar, dari sekadar adu kekuatan. Jika kau melawan dengan cara seperti ini, maka dia mampu memutarbalikkan fakta dengan mengatakan bahwa kau telah melakukan penyerangan."
Alma memelukku dari belakang. Isak tangisnya terdengar di balik punggungku dan setelah dia mengakatakan hal paling rasional, di saat semua orang termakan emosi hingga tidak mampu berpikir jernih, tanpa kusadar aku pun turut menangis.
Menangis tanpa suara, akibat hati yang menyimpan dendam. "Seharusnya kau tidak memperlakukanku seperti ini. Asal kau tahu, kau bahkan bukan pacarku dan aku juga bukan seorang lesbi." Aku terkekeh ironi lalu membalikkan tubuh agar bisa berhadapan langsung dengan Alma.
Wajah gadis itu terlalu basah, menangisi seseorang yang sama sekali tidak merugikan apalagi menyakiti hatinya. Tanpa banyak bicara aku tahu, bahwa Alma merupakan tipe gadis yang mampu merasakan betapa frustrasi dan terlukanya aku. Sehingga untuk menghargai rasa simpati berlebihnya terhadapku, aku pun membalas pelukan Alma.
"Kau tidak seharusnya menangis seperti ini," kataku mencoba memelankan suara, agar tidak membuat Alma khawatir. "Aku tidak akan berkelahi, hanya berbicara dan meminta Steven agar--"
"Buktikan saja, tanpa perlu mengumbar janji." Alma melepaskan pelukannya lalu menghapus air matanya dan tanpa diduga-duga, dia membukakan pintu untukku. "Yang lainnya sedang ada kegiatan, kau bisa keluar dari sini tanpa harus menemui mereka. Jangan melakukan tindak kekerasan, jika hal itu tidak mendesak, Megan."
Aku mengangguk, meski merasa tidak yakin akan menuruti ucapan Alma karena sejak mengetahui bagaimana Steven merendahkan diriku di media sosial, darah di dalam otakku telah mendidih hebat hingga akan meledak jika tidak segera dikeluarkan.
Aku berjalan cepat melintasi koridor lantai tiga dan menuruni tangga secepat yang kubisa. Kedua tanganku mengepal begitu kuat, hingga andai kata aku seorang benteng di festival San Fermin, maka aku siap untuk melukai Steven dengan tanduk tajamku sampai lelaki brengsek itu kehabisan napas.
Sepanjang perjalanan, bibirku terus mengucap sumpah serapah. Tidak terdengar memang, karena aku hanya menggerakkan bibir sambil menyusun strategi tentang bagaimana cara membunuh Steven. Hanya perlu meninju atau menendang kuat ulu hatinya, maka Steven akan mati. Namun, bagaimana cara mendaatkannya jika dia melawan?
Otakku terus berpikir sambil mencari beberapa benda yang mungkin--nanti--akan membantuku. Namun, alih-alih mendapatkan senjata darurat, tubuh menabrak punggung kokoh milik seorang lelaki dan saat itu pula aku pun sadar siapa pemiliknya.
Sayangnya, tidak ada adegan romantisme untuk saat ini karena secara kasar, aku segera menggeser tubuh tegap itu sambil berujar, "Kau pasti merasa malu akibat keberadaan postingan tersebut. Campakkan saja aku, maka popularitasmu akan baik-baik saja."
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Apalagi dalam keadaan semarah itu." Aiden mengikuti langkahku, berjalanan beriringan hingga kami berdiri di tengah-tengah antara dua gedung penginapan.
"Semarah ini kau bilang? Memangnya kau tahu apa? Kau bahkan mematahkan hatiku saat kau bermesraan dengan Aubrey." Otakku sungguh sudah tidak berfungsi lagi untuk menyusun kata-kata, sehingga yang kulakukan hanyalah menyalahkan Aiden atas segala perbuatannya yang membuatku harus berakhir seperti ini. "Jika kau tidak bersama Aubrey dan mengumbar kemesraan, maka semua ini tidak akan terjadi. Kau brengsek, Aiden!"
Aiden memanggil namaku, berulang kali, lalu memaki saat aku meninggalkannya dengan berlari dengan penuh rasa jengkel. Tanpa menoleh ke arahnya, apalagi memohon bantuannya, aku yakin bahwa seorang diri pun pasti mampu mengalahkan lelaki sialan itu. Terlebih emosi tanpa batas maksimal ini telah berhasil memompa kekuatanku, hingga mampu membuat pintu di hadapanku terbuka dengan sekali tendangan.
"Fuck! I know you're still here, Dick!" Aku masuk tanpa permisi, mengabaikan teriakan serta makian dari dua manusia berbeda dan berdiri di hadapan suara tersebut berasal.
And you know what?! I really want to kill them in one shot.
Dua manusia berbeda kelamin dan tanpa sehelai kain di hadapanku kini tampak panik. Mereka mencari-cari serta mengenakan pakaian secara acak, sambil mengumpat berulang kali. Sebenarnya aku tidak peduli dengan apa yang terjadi sekarang, tetapi akan menjadi pengecualian saat aku mengetahui siapa mereka.
Yaitu Aubrey dan Steven. Aku benar-benar tidak peduli dengan Steven, tetapi marah sekali karena perbuatan Aubrey. Bagaimana bisa dia melakukan hal seperti itu di saat dia, setengah mati berusaha mendapatkan Aiden kembali?
Sungguh, lelucon ini sangatlah tidak lucu. Hingga saking payahnya, aku segera melayangkan tamparan ke wajah Aubrey lalu berputar untuk memberikan tendangan di pipi Steven.
Awalnya aku mengira bahwa mereka akan selesai dalam satu serangan. Namun, kekuatan lelaki memang dua kali lipat lebih besar daripada perempuan karena Steven, masih bisa berdiri tegap setelah menerima tendangan tanpa rasa kasihan dariku yang meninggalkan jejak darah di salah satu lubang hidungnya,
Aku yang melihat bagaimana kekuatannya, segera mengepalkan kedua tangan lalu mengarahkannya di atas dada seperti seorang petinju. Pengalaman tentang kekalahan semalam pun, membuatku semakin berhati-hati dalam mengeluarkan energi dan semakin teliti dalam melakukan serangan.
Kali ini aku tidak akan membuang-buang tenaga dan hanya fokus untuk melumpuhkan Steven. Hingga ketika Aubrey tanpa disangka mencoba melayangkan tinjuannya ke arahku, aku segera merunduk, menangkap lengan Aubrey, lalu melompat sembari menendang perut Steven.
Kami bertiga jatuh ke lantai marmer, di mana Aubrey jatuh dalam posisi setengah tengkurap, Steven yang terjungkal sambil memegangi perut, dan aku jatuh dalam keadaan miring lalu segera berdiri untuk membentengi diri. Kedua netraku menyebar, sambil menajamkan indera pendegaran demi mencari apa saja yang mungkin bisa melukaiku jika mereka balas menyerang menggunakan senjata.
Sayangnya harapanku tidak sesuai dengan kenyataan, di mana sikap kewaspadaan yang sudah kutingkatkan hingga melebihi batas maksimal ternyata masih bisa membuatku lengah karena tanpa kudar, Aubrey menghubungi teman lelakinya dan Steven menggunakan kelengahan tersebut untuk melumpuhkanku.
... dan saat itu pula, seluruh isi perutku keluar setelah Steven memukul perutku memukul perutku menggunakan vas bunga berukuran sedang yang berbahan kayu.
Sial! Seharusnya tidak ada kekalahan untuk kedua kali.
Aku menarik napas panjang. Berusaha untuk tenang di saat, Steven melangkah pelan mendekatiku yang mana tentu saja aku juga berusaha menjauhinya dengan menyeret tubuhku menggunakan kaki.
Hingga akhirnya punggungku menyentuh tembok, aku hanya mampu melihat bagaimana lelaki brengsek itu menyunggingkan senyum kemenangan.
"Kekalahan memang akan selalu menjadi takdirmu, Jalang," ujarnya sambil mengangkat vas bunga tersebut, mengarahkan bagian runcingnya ke arahku.
***
Hai, terima kasih untuk kalian yang baca sampai sejauh ini.
Lalu karena chapter ini merupakan awal untukku menulis adegan perkelahian sesungguhnya menggunakan pov 1, aku minta tolong kalian untuk kasih komentar, dong.
1. Apa kalian enggak terganggu dengan detailnya?
2. Apa kalian bisa membayangkannya?
3. Dan jika di next chapter didominasi oleh perkelahian, apa kalian akan excited?
Tolong dijawab, yaa ^^ terima kasih banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top