043 - I'm Fine

Sebelum si penyihir datang mengganggu kedamaian hidupku, izinkan saja aku terlebih dahulu untuk menceritakan betapa menyenangkannya kehidupanku. Terutama hari ini. Seorang lelaki super tampan di negara seberang--Zayn Malik--memutuskan bertamu, dia membawa banyak sekali makanan serta cendera mata. Mom dan dad bertanya-tanya mengapa lelaki itu datang ke tempat kami, sedangkan Jeff langsung akrab dengan satu pertanyaan konyol. Yaitu mengapa dalam empat musim, harus ada musim panas? Lalu lelaki tampan itu hanya menjawab karena kami butuh pantai dan perempuan seksi dengan bikini.

Aku tidak mengerti mengapa mereka harus tertawa terbahak-bahak, akibat jawaban yang sama sekali tidak lucu dan semakin banyak pertanyaan di otak pintarku saat Zayn Malik melamarku. Oke, katakan saja bahwa aku terlalu banyak berkhayal, serta bermimpi terlalu tinggi karena bagaimana bisa seorang gadis yang levelnya sangat jauh dengan Gigi Hadid. 

Akan tetapi, ini, 'kan bukan yang aku harapkan sehingga ketika Zayn menyatakan cinta di hadapan keluargaku, aku pun dengan sangat tidak tahu dirinya mengatakan--

"Megan." Aku menoleh ke arah Jeff yang menggunakan kostum badut di hadapanku. Zayn telah menghilang entah ke mana, begitu pula dengan orangtuaku.

"Megan." Kali ini dia mengulurkan tangannya sambil mengambil ponsel untuk melakukan selca. "Megan, let's do--"

"What, no!" Aku mendorong Jeff dengan kedua tanganku. Terlalu konyol serta aneh saat melihat Jeff seperti ini serta melewati moment bersama kehadiran Zayn. Sehingga aku mendorong Jeff, aku merasaka kedua pergelangan tanganku dicekal dan ketika kesadaran berhasil menguasai, aku melihat Aiden dalam keadaan setengah basah berada di hadapanku.

Oh, sial! Apa aku barusan tengah tertidur? Apa aku mengigau? Dan sejak kapan Aiden membangunkanku? Sial! Aku sudah seperti babi saja.

Aku menjauhkan pergelangan tanganku dari sentuhan Aiden lalu memalingkan pandangan. Namun, usaha untuk menghindari kontak mata dengan Aiden sepenuhnya gagal, sebab beberapa detik kemudian suara Alma menghampiri pendengaranku.

Dia terdengar antusias. Semakin meyakinkan di saat gadis itu memelukku erat-erat. Terlalu kuat, hingga aku nyaris kehabisan napas.

"Get off, Alma." Aku mendorong pelan tubuhnya, tetapi mengapa wajahku terasa cukup nyeri di saat otot-otot wajahku menegang. "Kau sungguh menyakitiku."

"Sungguh?" Kedua alis Alma mengerut, di mana tangan menangkup rahangku kemudian menolehkannya ke kanan dan kiri. "Si Brengsek itu pasti yang telah melakukannya, tapi ...." Dia tidak melanjutkan kalimat tersebut, melainkan menoleh ke arah Aiden. "Bagaimana bisa kau berakhir dengannya?"

"I don't understand." Aku pura-pura bingung karena tidak ingin membuat teman dekatku khawatir. Di hadapan kami sekitar jarak dua meter, aku bisa melihat Aiden, Jackson, Mr. Lee, dan Miss Pamela sedang berbicara serius dengan posisi melingkar.

Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Kalau boleh jujur, rasanya ingin sekali mencuri dengar, tetapi karena Alma menahanku maka aku pun harus menekan rasa penasaranku.

"Kau pasti sudah mengalami banyak hal sulit, hingga lupa dengan apa yang terjadi padamu." Alma mengeluarkan kotak P3K dari dalam tasnya, kemudian membasahi kassa dengan cairan antiseptik dan ....

... rasa perih luar biasa menjalar ke seluruh kulit di wajahku.

Aku mengaduh, sebisa mungkin menahan teriakan agar tidak terdengar Aiden. Namun, tanpa peduli berapa kali aku meringis akibat kesakitan, Alma tampaknya tak peduli dengan hal itu.

"Wajahmu memar dan sedikit luka," ujar Alma, "Dia benar-benar pecundang, berani mengeroyok seorang gadis hingga sampai babak belur seperti ini. Bagaimana kau bisa tidak merasakan hal itu semalaman?"

"Pergelangan kakiku terkilir karena terjatuh, setelahnya tidak merasakan apa pun karena terlalu panik saat tahu bahwa kami tersesat."

"Berhentilah pura-pura tidak tahu dan menjadi orang bodoh," ujar Alma sambil meletakkan kotak P3K di dalam tas lalu meletakkan kedua tangannya di pundakku. "Asal kau tahu, kelancanganku telah mengantarkan kami ke tempat ini."

"Kau menemukan sesuatu di ponselku? Bagaimana bisa tahu password-ku?"

"Easy." Dia menjentikkan ibu jari dan telunjuknya, hingga menimbulkan bunyi lalu membantuku untuk berdiri. "Kau selalu menggunakan password yang mudah dan mudah ditebak. Aku memang tahu siapa dia karena memakai nomor asing, tetapi dia menjual namaku agar kau mencari di tengah hutan."

Aku mengangguk-angguk, mencoba meluruskan benang kusut mengenai pengakuan Alma, kedatangan Steven yang mengeroyokiku, serta kehadiran Aiden sebagai sosok penolong. Butuh sekitar lima menit untuk mendapat kesimpulan mutlak, di mana semua bisa dikatakan tidak sesuai dengan rencana Steven karena mutlak ini adalah kesialanku.

Kukatakan kesialan mutlakku karena; 

1. Aku patah hati karena Aiden lebih memilih Aubrey, daripada aku. Rasa patah hati itu pun membawaku larut ke dalam lautan kesedihan, sehingga menyendiri menjadi satu-satunya pilihan agar tidak ada yang tahu bagaimana nasibku sebagai gadis yang ditinggal kekasihnya. 

2. Setelah menangis diam-diam di patung Dewa Yunani, aku teringat dengan ucapan motivasi milik mom dan kebiasaan dad. Mom yang mengatakan bahwa ketakutan hanya akan menghancurkan, serta kesukaan dad melihat pemandangan langit malam. Hal itu pun membuatku tertarik untuk pergi melihat-lihat di dekat hutan.

3. Kesialan mutlak ini pun berawal dari kehadiran Steven di belakangk dan semakin diperarah, saat aku tidak membawa ponsel.

4. Terakhir, aku tidak tahu bagaimana Aiden menemukanku. Apa dia mengekori, tetapi tak berbuat apa pun saat aku dikeroyok? Jika itu benar, maka akan kutendang saja penisnya.

"Si Brengsek itu sedang dalam masa hukuman." Suara Jackson menghampiriku, menghilangkan segala kesimpulan detektif amatir, dan netraku langsung tertuju pada Miss Pamela serta Mr. Lee. "Aiden sedang memberikan kesaksian melalui rekaman. Sesuai pemikiranku, kurasa kalian harus disembunyikan dulu. Bukan karena apa, tetapi dia sudah seperti psycho."

"Dari mana kau bisa mengatakan hal tersebut, padahal bertemu dengannya saja kau tidak. Apalagi--"

"Kami melihatnya, Megan." Jackson memotong ucapanku, sambil mengarahkan dua jemarinya ke matanya lalu ke mataku. "Seorang murid dari sekolahannya tidak sengaja menerbangkan drone ke tempat kalian berkelahi. Sehingga ketika kami mendengarnya, segera mungkin kami melakukan penyelamatan. Tapi ... ternyata masih kalah cepat dengan Aiden."

"W-what?"

Alma mengibaskan tangannya di antara aku dan Jackson, kemudian melirik ke arah di mana Miss Pamela, Mr. Lee, serta Aiden sedang melakukan perbincangan. Aku turut memerhatikan mereka bertiga, tetapi tidak mendapatkan informasi apa pun karena jarak kami yang terpaut cukup jauh.

"Jika kau ingin mendengar versi lengkapnya, lebih baik kau mengetahui hal itu di penginapan saja." Alma mengisyaratkan agar Jackson berdiri di sisi kiriku. "Kau tahu, semakin lama berada di sini adalah mimpi buruk buatmu karena pergelangan kakimu sekarang sedang bengkak. Demi Tuhan, apa kau telah kehilangan rasa, eh?"

Well, kuakui saja semalaman menghabiskan waktu bersama Aiden berhasil memberikan efek pereda rasa sakit pada diriku. Berlebihan, memang, tapi debaran jantung yang begitu kuat, candu rasa bibir serta pelukannya, telah berhasil membuatku abai terhadap rasa sakit akibat ulah si Brengsek itu. Sehingga jika Alma bertanya demikian, maka jawabanyya adalah ....

... tidak, sebab Aiden berhasil membuatku abai dengan rasa sakit.

***

Seperti pasien yang mengalami luka parah, Alma merawatku dengan cara yang menurutku terlalu berlebihan. Yaitu memaksaku agar bersedia dimandiin, bersedia disuapin saat sarapan untuk minum obat, dan lebih parahnya dia melarangku melakukan hal-hal sepele, tetapi dianggapnya sebagi hal berat. 

Sungguh, setiap kali Alma mulai melakukannya, aku pun juga tidak tahan untuk tidak memutar mata dan lagi-lagi memulai perdebatan yang sangat tidak penting. 

Alma membawakanku segelas air bersama kantung plastik berisi dua potong sandwich, padahal aku ingat sekali telah mengonsumsi sosis besar untuk sarapan. Sehingga, sebelum gadis itu berhasil membuat berat badanku naik, aku pun segera menyergah perbuatan tersebut dengan menutup mulut menggunakan bantal.

"Demi Tuhan, aku sudah kenyang, Alma."

"Aubrey terpaksa dikunci di dalam kamar karena terus-menerus mencoba bunuh diri," ujar Alma, sambil duduk di tepi tempat tidurku dan menyerahkan salah satu sandwich untukku. "Dia hanyalah sosok mantan yang posesif. Tidak ingin kehilangan popularitas dengan memaksakan kehendak, hingga berbuat nekat."

"Well, aku lebih memedulikan keadaan perutku, daripada bergosip." Apa Aubrey sungguh-sungguh melakukannya? Jika yang dikatakan Alma itu benar, maka aku harus bersimpati padanya. "Aku benar-benar kenyang, Alma."

"Dia sudah melukai pergelangan tangannya, beruntung Aiden melihat kejadian itu dan langsung memanggil Mr. Lee." Alma masih melanjutkan gosip yang membuatku kepo, tapi tidak ingin memperlihatkannya. "Dan yang membuatku bingung adalah, bagaimana Aiden bisa bersamamu."

Aku mengedikkan bahu, masih dalam posisi serupa sejak lima belas menit lalu. Yaitu berbaring dan punggung setengah bersandar, sembari menunggu Miss Pamela mengunjungi kamar kami untuk berbicara padaku.

Ngomong-ngomong tentang Steven, dia memang sedang dalam hukuman sekolah dan jika aku siap, mereka memberiku kuasa untuk menentukan bagaimana nasib lelaki itu. Namun, karena aku tidak ingin membuat orangtuaku salah paham--beranggapan bahwa akulah yang membuat masalah--apalagi khawatir, keputusan untuk menyerahkan Steven pada sekolahnya adalah keputusan terbaik.

Yeah, meskipun Alma dan Jackson menolak keputusan tersebut dengan mengatakan bahwa aku adalah manusia paling tolol sealam semesta. Ugh!

"Apa kau sudah melihat bagaimana dia mengirimimu pesan singkat dan menuliskan, seolah aku adalah gadis terlemah sebenua Amerika ini." Alma mengigit sandwich yang sudah nyaris separuh, lalu mengambil poselku di atas nakas tanpa menunggu jawabanku. "Lihat dan pastikan kau tidak akan tersulut emosi. Sudah cukup dengan apa yang terjadi padamu, jika kau harus mendapatkannya lagi ....

"Kau akan kesulitan mendapatkan pacar."

Aku memutuskan untuk mengabaikan ucapan Alma, sebab mulai saat ini apa pun yang bersifat analisisnya sama sekali tidak konkret. Alma juga tampak tidak masalah, jika aku terlalu pendiam sejak pertama kali menginjakkan kaki di penginapan. Bukan karena trauma, tetapi aku hanya merasa lelah hingga seluruh tubuh terasa sakit. Efek bekelahi, semua atlit beladiri pasti mengetahuinya.

"Well, here you go," kata Alma sambil memberikan benda elektronik super pipih tersebut ke tanganku dan tidak perlu diperintah lebih lanjut, aku segera membaca isi pesan dari nomor tak diketahui.

Dari isi pesannya, aku tahu jelas bahwa si pengirim adalah Steven. Beberapa minggu sempat bertukar pesan dengannya, membuatku cukup hapal dengan cara penulisan lelaki berengsek itu.

"Menyebalkan, bukan?" tanya Alma yang duduk di tepi tempat tidur. Dia tampak memerhatikan kuku-kuku bercat pink miliknya, sambil sesekali menoleh ke arah ponsel yang kugenggam. "Dia belum tahu saja, seberapa berbahayanya aku jika ketenanganku diusik."

"Apa kau melihatnya?"

"Yes, I did." Alma menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Aku melihatnya saat mereka menggiring lelaki bejat itu, masuk ke dalam mobil untuk mendapatkan hukuman. Ngomong-ngomong tentang hukuman, aku masih sangat kesal karena telah menyerahkan perkara tersebut pada sekolahnya."

"Yeah, karena ke meja hijau bukanlah hal mudah. Apalagi sejauh ini aku baik-baik saja."

"No!" Alma menggeleng cepat dan menatap langsung ke arahku. "Kau tidak sedang baik-baik saja. Bagaimana kau bisa mengatakan hal itu, di saat batin dan ragamu terluka? You're so naive, Megan."

"Sorry," kataku tulus atas perhatian Alma padaku. "I'll eat your sandwich, but gimmie time for take--" Perhatian kami teralih, saat suara ketukan terdengar di pintu kami. Sudah jelas yang mengetuk adalah Miss Pamela, sebab katanya dia ingin berbicara empat mata denganku.

Alma turun dari tempat tidurku, sambil merapikan rambut hitamnya, melangkah menuju pintu. Dia mengintip dari lubang kecil, untuk mengetahui siapa tamu kami. Hingga setelah tiga detik Alma mengintip, gadis itu menoleh padaku sembari menggerakkan bibirnya.

Gerakkan bibir yang kurasa tengah menyebutkan nama, tetapi cukup sulit untuk mengerti.

"Kurasa masalahnya tidak akan berakhir sampai di sini."

Begitulah yang dikatakan Alma, sebelum membuka pintu dan menampilkan sosok kacau, seperti dialah korbannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top