034 - Couple Bracelet As A First Gift

Belum saja lima lelakiku selesai bernyanyi, tiba-tiba saja hujan deras beserta kilatan cahaya di langit berhasil membuat siapa pun, termasuk Directioners yang menonton pun menjadi basah kuyup.

Begitu pula denganku, jika bukan karena tarikan paksa dari Aiden mungkin aku akan bernasib sama dengan mereka. Jadi dengan menggunakan jaket kulit hitamnya, dia berusaha melindungiku. Namun, mengabaikan keadaan diri sendiri yang telah basah akibat tetesan hujan.

Kami berjalan secara perlahan ketika melewati jalan kecil beralas rumput. Derasnya hujan membuat sepatu dan bawahan kami basah. Namun, sesuai permintaan Aiden aku pun menahan diri untuk tidak berlari sebab melangkah, sambil merendahkan tubuh demi menyamakan tinggi badan denganku adalah hal tersulit untuk melangkah cepat.

"Aku akan menelepon Luke untuk menjemput." Aiden mengeluarkan ponselnya setelah kami sampai di salah satu tempat penjual aksesoris.

Memiliki atap terpal yang kokoh, membuat kami meminta izin untuk berteduh. Beruntungnya sang pemilik keterunan Asia itu memperbolehkan, tanpa memberi syarat agar kami membeli produk mereka. Jadi sambil menunggu Aiden berbicara dengan Luke melalui ponsel, aku pun memutuskan untuk melihat-lihat aksesoris dagangannya.

Bisa dikatakan aksesoris yang dijual menunjukkan bahwa pedagangnnya seorang Chinesse, hal itu tampak jelas dari patung emas berbentuk kucing sedang melambai dan beberapa atribut khas China yang berwarna merah. Aku tidak tahu itu apa serta siapa sebab Jackson pun keturunan Korea.

"Boleh aku mencoba gelang ini?" Aku mengambil salah satu gelang, di mana di bagian tengahnya terdapat liontin Ying dan Yang.

Well, bentuknya memang sederhana, hanya berasal dari lilitan benang khusus gelang, tetapi karena terdapat liontin Ying dan Yang di sana, maka aku berharap meskipun kami berbeda semoga hubungan kami bisa saling melengkapi.

Oleh sebab itu aku pun ingin mencoba dan tentu akan membelinya, sebagai hadiah pertama untuk Aiden.

"Itu gelang pasangan kau bisa mencobanya dengan pacarmu."

Aku tersenyum tipis, sambil menoleh ke arah Aiden. "I know, then I want to have for this one."

"Tujuh Dollar untuk sepasang gelang ini," ucap lelaki bertubuh cukup dan usianya mungkin seumuran dengan dad.

"Oke," ujarku sambil mengeluarkan uangku serta memberikannya padanya dan pada saat itu pula, Aiden selesai dengan teleponnya.

"What are you buying?" Ia menggeser tempatku berdiri dan mulai melihat-lihat berbagai macam aksesoris yang dijual oleh Tuan Chinesse.

Tidak langsung menjawab pertanyaan Aiden, aku pun menarik tangan kanannya demi memasangkan gelang pasangan kami. "Aku tidak tahu apa gelang ini adalah seleramu atau tidak. Namun, untuk sementara aku hanya bisa memberikan ini."

Bukannya mengatakan sebuah lelucon agar aku tidak gugup, Aiden justru menepuk pelan pucuk kepalaku lalu mengusapnya.

Aku mengangkat wajah saat selesai dengan pekerjaanku. Hal yang ingin kulakukan adalah, mengetahui ekspresi apa di wajah Aiden.

Aiden tersenyum tulus, terlihat dari pancaran sinar matanya kemudian mencium keningku. Dan kau tahu, aku sungguh merasa lututku melemah saat itu juga.

"Thanks," katanya. "Luke akan datang sebentar lagi, tapi ...." Aiden menggantung kalimatnya dan ....

... sungguh, tidak ada tanda-tanda melanjutkan kalimat tersebut setelah aku menunggu selama sepuluh detik. Refleks, aku pun menyatukan kedua aliskh, tetapi belum sempat bertanya Aiden justru tertawa lalu merangkul bahuku dan ia menyeretku agar berlari di bawah hujan yang tampak sudah mulai mereda.

***

Alma mengirimiku pesan, dua puluh menit sejak aku berada di jok belakang mobil Luke seperti anak kucing yang penurut.

Beritahu aku, berita besar apa yang telah terjadi di antara kalian? Aku yakin, bahwa ada sesuatu di luar dugaan di antara kalian. Telpon aku kalau kau sedang sendiri.

Aku belum sempat membalasnya karena di detik pertama aku ingin mengetik balasan, Alma meneleponku.

"Hei," sapaku, sambil menutup pintu mobil Luke.

"Aku tahu kau pasti tidak akan membalas, jika aku tidak meneleponmu." Alma benar-benar menuduhku, berdasarkan pengalaman selama menjadi sahabatku.

"Asal kau tahu, aku baru saja ingin menyentuh icon reply untuk membalasmu." Jujur, aku tidak tahan untuk tidak menggulirkan mata.

"Oh, benarkah?" tanyanya, "kalau begitu maafkan aku. Aku hanya berbicara sesuai pengalaman kita."

"Yeah, I know." Aku membalasnya dengan nada seadanya karena mengikuti langkah kaki kedua lelaki yang berjalan di sisiku.

Bukan masalah besar jika aku sedang berbicara dengan Alma, sebab kenyataannya Aiden dan Luke justru membicarakan tentang pertandingan football yang tidak banyak kuketahui.

"Jadi kau harus memberitahuku sesuatu yang besar itu." Alma menagih keinginannya, tetapi aku lebih memilih untuk menjadi pura-pura bodoh.

"Tentang apa?"

"Oh, God! Baiklah, kita langsung ke intinya." Aku tidak peduli dengan kelanjutan ucapan Alma. Sebab kupikir, memang dia tahu apa, selain rencanaku menonton One Direction bersama Aiden. "Aku melihat kau dan Aiden berciuman di dalam sangkar bianglala. Oh, bukan hanya aku, tapi--"

"What?!" Seketika rahangku jatuh bebas saat mengetahui ke mana kedua lelaki itu membawaku.

Telepon Alma seketika kuabaikan, bahkan parahnya aku memutus panggilan tersebut secara sepihak. Aku melangkahkan kaki, sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu berbalik menatap Luke dan Aiden.

"Seriously? Kita dalam keadaan basah dan harus mampir ke tempat ini?" Kedua tanganku kurentangkan, sambil memberikan tatapan tak percaya. "Sungguh, aku tidak punya rencana untuk pergi bersenang-senang dalam keadaan basah."

Yang kuajak bicara justru diam saja. Sangat berbeda dengan Luke, di mana ia tersenyum lebar sambil menepuk pundakku dan membuatku terpaksa harus berbalik mengikutinya.

"No need to worry, Megan." Luke merangkul bahuku, sambil terus membawaku berjalan melalui jalan kecil di antara semak-semak belukar. "Yang kita datangi adalah wet party, jadi tidak ada pakaian kering di sana."

Serius. Aku mengendus aroma tidak enak. "What do you mean? Is it bikini party?"

"Yeah, something like that but we don't need a bikini to join the party."

Kedua alisku terangkat lalu menoleh ke arah Aiden yang berada di belakang kami. Aku melepaskan rangkulan lengan Luke dan segera menghampiri Aiden.

"Really! Ini adalah hari pertama aku menerimanya kemudian kau membawaku ke sini?" Aku bertanya dengan nada berbisik dan cepat, lalu menoleh ke arah Luke berharap dia tidak mendengar. "Untuk apa? Apa kau ingin pamer dengan Steven? Kau tahu aku sama sekali tidak ingin ber--"

"Steven atau siapa pun itu, aku tidak peduli dengan anggapan seseorang. Aku hanya peduli tentang fakta, aku menyukaimu. Jadi fokus saja dengan menjadi milikku."

"Jujur saja, aku tidak ingin ke pesta ini. Yang kuinginkan adalah kencan romantis di saat seperti sekarang."

Dia menggenggam tanganku, menggandengnya, dan membawaku menuju rumah besar--tempat aku ingin menonjok Steven--melalui jalan-jalan kecil, di halaman rumah besar. Kali ini tidak ada kelompok berbikini di halamannya, karena mereka telah pindah di dalam dengan musik super hawt.

Sungguh! Dalam diriku pun turut menari akibat kehebatan disk jokey meremix. Dan ketika sampai di serambi penuh aroma alkohol serta asap rokok, seseorang menegur kami.

Seseorang yang sangat tidak ingin kutemu karena ia sengaja memeluk dan mencium pipi kekasihku. Yeah, memang seharusnya aku tak perlu cemburu, tetapi jika itu adalah Aubrey maka aku merasa pantas untuk memiliki perasaan tersebut. Terlebih dia adalah mantan Aiden yang sangat menyebalkan, serta dalang dari rambut super pendekku ini.

Ia menoleh ke arahku, bersikap seperti dia adalah gadis paling hot karena aku melihat jelas bagaimana Aiden menolak sapaan barusan.

Secara terang-terangan Aiden mendorong tubuh Aubrey. Tidak secara kasar, hanya saja aku melihatnya. Jadi diam-diam aku tersenyum ke arah Aiden.

It's like, he knows how to treat his girl.

"Apa yang kau lihat?" Fokusku teralihkan saat suara Aubrey menghampiri indra pendengaranku. Sembari melilitkan kedua lengannya di bawah dada, ia menatapku bersama pandangan tidak suka. "Hanya dengan Aiden menciummu, bukan berarti kau memiliki sepenuhnya. Just remember, you will regret accepting Aiden."

Lalu Aubrey pergi begitu saja setelah ia mendorongku. Sialnya, ucapan tersebut berhasil menimbulkan pertanyaan di kepalaku.

"Kau percaya apa yang dia katakan?" Belum sempat mengeluarkan kata-kata, Aiden terlebih dahulu bertanya padaku.

"Heem, sebenarnya, iya. Tapi aku berusaha memercayaimu."

"Kau memang seharusnya lebih memercayaiku karena siapa yang paling tidak suka dengan kita?"

"Aubrey."

"Yeah, dan itu artinya dia ...."

"Melakukan segala cara untuk memisahkan kita."

"Oh, shit! Apa aku sedang menyaksikan permainan membaca pikiran antar kekasih?" Luke berdiri di hadapan kami dengan bertolak pinggang. "Sial! Kalian hanya membuatku seperti idiot karena tetap bertahan di sini. Aku akan pergi untuk berkumpul dengan yang lainnya, jika kalian ingin ikut berhentilah bersikap romantis di hadapanku."

"Sorry, Luke. Tapi apakah kau seorang jomblo yang menyedihkan?" Aiden melangkah di sisi Luke dan begitu pula denganku. "Kurasa kau selalu tidak peduli."

"Itu karena aku memiliki teman ranjang, D!ck!" Tanpa pikir panjang Luke memukul punggung Aiden kuat-kuat.

Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah mereka yang sekarang mulai saling pukul, hanya karena hal tidak penting.

Ngomong-ngomong, ini adalah ketiga kalinya aku berkunjung ke rumah besar. Pertama, bersama Steven dan kedua serta ketika dengan Aiden sebagai upaya memperkenalkanku dengan teman-teman, di mana salah satunya yaitu Luke.

Kami bertiga menaiki tangga tanpa pegangan, setelah melewati lautan manusia teler sedang menari. Luke bercerita bahwa hilangnya pegangan tangga karena semalam, seseorang telah mencabutnya sebagai bentuk permainan truth or dare.

"Tapi kurasa dia mabuk." Aku menimpali ucapan Luke setelah ia selesai bercerita.

"Yep, benar." Luke menjentikkan jarinya. "Kau jenius, Megan."

"Itulah mengapa, aku sangat beruntung bisa memilikinya," kata Aiden yang tiba-tiba membuat kami menoleh ke arahnya.

Hell, yeah, di saat seperti ini mengapa ia harus melemparkan gombalan? Aku bahkan tidak tersantung sama sekali.

"Pussy." Luke mengatakan hal tersebut sambil mengernyit jijik lalu merangkul bahuku. "C'mon girl, just leave him alone." Luke mulai menyeretku, tetapi segera kutahan.

"I'm sorry, Luke but he's with me," ujarku sambil menggeser lengan Luke di bahuku dan pergi ke arah Aiden, yang menampilkan senyum raja.

"See? She's with me so you need to go right now."

"Fuck your ass, Aiden!" Lagi-lagi Luke memberikan pukulan di bahu Aiden, sambil tertawa. "Let's go join them."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top