033 - I Love You Aiden
Masih berada di sangkar bianglala, aku berharap bahwa kami akan memiliki sedikit jeda untuk berada di puncak. Sebab dewi batinku, sejak beberapa hari yang lalu selalu memaksa agar aku bicara padanya.
Oleh sebab itu aku memilih duduk di hadapan Aiden, daripada di sampinnya. Meskipun sebenarnya dia telah menawarkan.
Di antara kekalutan, aku memilih untuk menatap pemandangan di luar. Dad selalu mengatakan, bahwa apa pun itu jika dilihat dari jauh pastilah akan terkesan indah. Berbeda saat kita jatuh cinta, apa pun sudut pandangnya, orang yang kita cintai pasti akan terlihat sangat elok. Bahkan secara tidak sadar, pujaan pun terlintas dalam benak.
Dan semua yang dikatakan dad merupakan suatu benar. Dulu saat aku masih mencintai Aiden dalam diam, serta dengan jarak yang sangat jauh aku selalu memujinya. Merasa dengan seperti ini saja sudah cukup, hingga berkhayal menjadi bagian dari cerita cintanya pun aku tidak pernah. Namun, Tuhan ternyata memberiku kesempatan, yaitu mampu memandang Aiden dari jarak yang sangat dekat dan bersentuhan dengannya.
Untuk beberapa hari belakang hingga sekarang, aku sungguh menysukuri hal tersebut.
Sehingga ketika sangkar kami berhenti sejenak di puncak tertunggu, aku memberanikan diri untuk memanggil Aiden.
Dia menoleh, menatapku seperti biasa dan berkata, "Ya."
Jika kau bertanya, perasaanku yang sekarang benar-benar tidak keruan. Aku menarik napas panjang sebagai bentuk relaksasi.
"Ada yang ingin kukatakan," ujarku. "Kau harus mendengarnya baik-baik."
"I will." Dia mengangguk dan memangkas jarak dengan meletakkan kedua siku di atas paha.
"Aku ...." Kuremas kedua tanganku erat-erat, demi menghilangkan perasaan ingin mundur. "I love you, Aiden."
Lalu kedua mata Aiden melebar, bersamaan dengan deru jantungku yang bekerja seribu kali lipat dari biasanya. Secara sadar, aku bahkan menahan napas demi menunggu reaksi Aiden selanjutnya.
Namun, di luar dugaanku Aiden tidak melakukan apa pun, selain menatapku dengan kedua mata yang membola. Ia bahkan tidak mengubah posisinya sedikit pun. Hingga ketika sesuatu telah membuat sangkar kami bergoyang, Aiden pun kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh jika tak berpegangan dengan sandaran bangkuku.
Seketika aku bisa merasakan embusan napasnya.
Melihat warna mata cokelatnya yang menenggelamkanku.
Dan aroma parfume Axe gold yang ia kenakan hari ini--seperti iklan fenomenalnya--aku merasa tengah terhipnotis, hingga ingin memeluknya.
Sialnya, pandangan kami saling menyatu dengan seluruh tubuhku yang gemetar.
Lalu ketika aku berharap akan ada ciuman, Aiden justru berlutut di hadapanku dan memperbaiki tali sepatuku. Well, aku bahkan sungguh tidak tahu kapan tali sepatunya terlepas dan hal itu pun membuatku berpikir, sekaligus kecewa.
Kecewa dalam artian karena Aiden tidak menciumku, di saat aku telah memberanikan diri untuk menyatakan perasaan.
"Aiden." Nada serakku terdengar seolah telah kehabisan suara. Namun, aku yakin bahwa Aiden mendengarnya.
Namun, lelaki itu masih saja pura-pura sibuk dengan tali sepatuku. Dalam beberapa detik, aku mencoba berpikir keras untuk memperbaiki suasana dan seperti telah kehilangan akal, kedua tanganku bergerak otomatis ke rahang Aiden lalu mengangkatnya.
Dan setelahnya ... aku benar-benar terhipnotis dengan pesona Aiden.
Bibir kami saling bersentuhan untuk beberapa detik, sebelum Aiden merangkul tengkukku lalu mendorong paksa agar aku membukanya. Sehingga saat Aiden menguasai mulutku, kedua tanganku pun refleks bergetar kencang.
Aku tidak akan menjelaskan bagaimana Aiden melakukannya, tetapi aku benar-benar tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya.
Ciuman kami pun berakhir ketika sangkar berhenti dan suara pintu besi yang dibuka terdengar. Di mana dengan buru-buru, aku menarik Aiden agar duduk di sampingku lalu di saat pintu kami terbuka lebar, serta menampilkan seorang lelaki berseragam aku pun hanya memberikan senyum canggung.
***
Aku mengangguk, ketika Alma memintaku untuk menemaninya ke toilet. Ia menarik tanganku dengan cepat, seolah merasa tidak menyesal karena telah memutuskan momen, di mana aku sedang menuntaskan dahaga.
Suasana di toilet pun tampak tidak asing lagi, yaitu terdapat banyak orang-orang antri membentuk garis lurus, bau amoniak yang menjijikan, serta tissue toilet yang berserakan di mana. Sesampainya kami di salah satu baris antrian, Alma tampak mengernyitkan hidungnya kemudian mengibaskan tangan di depan hidung.
"Kau tahu tempat apa yang paling malas kukunjungi?" Dia bertanya, sambil menggulirkan mata.
"Apa?"
"Kelas biologi," katanya. "Aku tahu bahwa itu terdengar aneh, di mana orang lebih banyak membenci matematika, tetapi aku malah berbeda. Well, berbeda itu indah. Hanya bayangkan saja, dalam kehidupan--jika kau bukan tenaga medis--kau tidak terlalu membutuhkan biologi, jadi kurasa itu hanya membuang waktu saja."
"Aku cukup menyukainya. Setidaknya dengan biologi kau bisa tahu di mana, di dalam tubuhmu sirkulasi udara dilakukan."
"Yeah, dan aku juga membenci toilet umum." Alma mengembuskan napasnya kuat-kuat, lalu melilitkan kedua lengannya di bawah dada. "Siapa pun juga pasti tidak mengerti tentang mengapa, sih harus selalu sekotor ini."
Alma menendang kertas bekas tisu yang tergeletak di sisinya, sedangkan aku hanya mengangguk karena sudah mengerti ke mana alur perbincangan ini.
Sudah kukatakan sejak awal bahwa toilet umum di festival, memang selalu yang terburuk. Seperti kesimpulan Jeff saat kami pergi bersama tiga tahun lalu, ia mengatakan kotornya toilet umum di sini karena sangat banyak manusia yang menggunakannya dan kita pun tidak tahu, siapa dalang dari semua ini.
"Well, kau bisa menunda panggilan alam itu, jika benar-benar ingin muntah."
"Kau bercanda, Megan." Alma menggenggam tangan kananku. "Tapi, baiklah sepertinya aku memang benar-benar ingin muntah," katanya, sambil menarikku untuk pergi dari toilet.
Baru saja kami meninggalkan toilet sejauh kurang lebih lima meter, Jackson dan Aiden justru muncul di hadapan kami dengan oleh-oleglh yang berbeda di tangan mereka. Yaitu, Jackson membawa kembang gula dan Aiden membawa minuman di gelas super besar.
Aiden memberikannya padaku, di mana ia sendiri pun memilikinya. Sedangkan Jackson, daripada memberi dia malah mengajak Alma untuk pergi. Alhasil tinggallah kami berdua dengan tatapan yang saling menyatu, yang mana hanya berbeda pada rona merah di kedua pipiku.
"Sudah semakin sore. Kau ingin pergi denganku?" Aiden bertanya setelah kami saling menatap sekitar hampir satu menit.
"Ke mana? Bukannya kau memberikan kunci mobil pada Jackson?"
Dia tersenyum dan senyuman itu selalu memikat.
"Luke akan menjemput kita untuk pergi dari sini."
Refleks kedua alisku menyatu. Bukan tentang nama Luke yang disebut Aiden barusan, tetapi karena sebentar lagi One Direction akan tampil. Jadi jika kami pergi bersama Luke, maka itu artinya aku telah meninggalkan konser gratisku.
Aku pun menggeleng cepat, mengingat bahwa menonton lima lelaki super rupawan secara gratis merupakan hal langka. "Denmi apa pun, aku tidak bisa melewatkan One Direction begitu saja."
"Padahal kau sudah menyatakan cinta padaku."
"Oh, itu ... kumohon jangan ungkit itu lagi."
"Jadi kau lebih memilih mereka, daripada aku?"
Aku menggulirkan mata. "Please, denganmu bisa setiap hari. Kau juga telah memilikiku, jadi--jika kau cemburu--untuk mengatakan hal tersebut?"
Tawa Aiden meluncur mulus dari bibirnya, sambil sebelah tangan yang tidak memegang apa pun menyentuh pundakku, lalu menepuknya berulang kali.
"Baiklah, jika kau memang tidak bisa melewati ini. Lagi pula, aku juga sejak awal sudah setuju untuk nonton konser denganmu, 'kan?"
"Tapi kau pura-pura lupa dan mengajakku ke tempat lain."
Aiden menggeleng. "Bukan melupakan, Megan," katanya. "Aku hanya terlalu bahagia karena telah melalui moment spesial di bianglala itu."
"Baiklah, terima kasih atas tanggapan positifnya, tapi kita harus segera pergi ke depan panggung sebelum aku hanya bisa melihat kepala."
"Terkutuklah mereka yang membuat pacarku tidak terlalu tertarik bersamaku," ujar Aiden, sambil tertawa renyah kemudian merangkul bahuku dan kami pun berjalan bersama-sama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top