028 - Kiss After Party

Di setiap pesta, aku lebih memilih untuk menari lepas, daripada menari berpasangan yang orang dewasa sebut sebagai berdansa. Alasan aku tidak mau berdansa pun sederhana, yaitu hanya tidak ingin membuat kaki seseorang bengkak akibat kuinjak. Kau harus percaya, bahwa dad pernah merasakan hal tersebut, yakni harus merasakan bengkak semalaman karena bersikap sok jagoan, saat aku memaksakan diri menari menggunakan heels dan tanpa sadar menginjak kaki dad.

Namun, sebuah perubahan telah terjadi padaku hari ini, yakni berani mengambil keputusan besar dengan berdansa dengan Aiden. Serius, setelah kejadian pada dad, aku tidak pernah lagi berdansa dan sekarang aku telah menyelesaikannya tanpa kesalahan.

Beberapa sikap yang kusukai pada Aiden pun bertambah hari ini, yaitu;

Pertama, dia berterus terang, meski hal itu membuatnya menjadi tidak keren. Saat menit pertama kami berdansa, Aiden secara mudah mengatakan bahwa aku telah menginjak kakinya sejak detik pertama yang membuatku refleks meminta maaf.

Kedua, di saat aku ingin berhenti karena kesalahan di atas, Aiden tidak membiarkanku pergi. Ia justru memberikan solusi ingin mengajariku.

Kegita, Aiden super sabar. Beberapa kali aku menginjak kakinya, ia selalu menegurku. Hingga akhirnya kami berdansa tanpa memandang wajah satu sama lain, melainkan menatap kaki. Dan kami pun sering kali tertawa atas kekonyolan ini.

Dan keempat, kurasa aku tidak perlu meragukan Aiden lagi. Jadi secara tidak langsung, setelah kami menyelesaikan tarian untuk pertama kali, aku menggenggam tangan Aiden--membawanya ke tepi halaman.

"Megan!"

Aku menunduk saat suara Jackson terdengar memanggilku dari bawah.

"Sudah kukatakan bahwa kau tidak perlu membereskannya." Dia berkacak pinggang, sambil mengenakan celemek masak yang sedikit basah. Aku sedikit tertawa setiap kali melihat Jackson seperti itu, wajah kutu buku--penggila sejarah--tampak kurang cocok dengan tugas rumah tangga. Bukannya patriarki, tetapi Jackson tampak kurang cocok mengenakan pakaian resmi untuk membersihkan sisa pesta.

"Di mana yang lainnya?" tanyaku tanpa perlu menjawab ucapan Jackson barusan.

"Sedang berkumpul di ruang keluarga. Mereka melakukan permainan aneh."

"Err ... biar lebih spesifik. Maksudku, Jeff, Aiden, dan Kai."

"Oh, mereka sedang main PS di kamarku."

"Lalu hanya kita yang membereskan semua ini?" Aku benar-benar terkejut dengan apa yang dikatakan Jackson barusan. Maksudku, apa hanya kita--kelompok--pembenci kotoran setelah pesta berakhir.

Sayangnya, Jackson mengangguk dan itu membuatku mengembuskan napas panjang.

"It's ok." Aku mengedikkan bahu lalu kembali mengambil lampu tumbler yang menggantung di ranting-ranting pohon. "Kita bisa membersihkannya berdua. Tenang saja aku sudah membersihkan yang di tanah," ujarku, sambil melirik ke bawah--menunjukkan beberapa kantong plastik besar berisi sampah-sampah.

"Tidak kau dan aku harus berhenti atau mereka akan menganggap ini sebagai kebetulan."

"Tidak." Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Aku tidak bisa membiarkan sesuatu yang kotor terlalu lama."

"Megan." Jackson memanggil namaku dengan suara rendah.

"Ya, Jackson," dan aku menjawab sambil tersenyum. "Tidak ada Alma di sini, jadi dia tak akan memaksaku untuk turun."

Lalu Jackson mengembuskan napas panjang, sambil menghempaskan kedua tangannya di sisi badan.

"Kau memang keras kepala," ujarnya sambil berbalik dan meninggalkanku, sedangkan aku hanya tersenyum lebar karena meraih kemenangan.

Setelah kepergian Jackson, aku kembali melepas beberapa lampu tumbler yang beberapa masih menggantung. Duduk di salah satu dahan posor terbesar, memberiku sedikit keuntungan karena bisa melihat titik-titik cahaya bulan dari balik dedaunan.

Setiap kali melihat pemandangan seperti ini, aku jadi selalu ingat dengan keberadaan nana yang sudah setahun bebas dari komplikasi penyakit manulanya. Dulu sewaktu nana masih hidup, wanita berusia sembilan puluh tahun itu memanggilku untuk melihat cahaya bulan yang seperti ini, dari dalam kamarnya lalu ia akan bercerita tentang kisah cintanya bersama kakek.

Dan sekitar sepuluh menit bernostalgia dan--mungkin--setelah kepergian Jackson, seseorang kembali menegurku. Yaitu Aiden dengan nada menantang yang cenderung meremehkanku. Ugh!

"Apa kau butuh tangga untuk turun, eh?"

"Sama sekali tidak, Tuan Kowalsky," aku menunduk, melihatnya sedang menikmati beberapa keripik kentang yang ia letakkan di telapak tangan. "Malah kupikir kau yang butuh tangga untuk naik ke sini."

"Oh, ya?" Aiden menaikkan sebelah alisnya, sambil mempercepat tempo makannya. "Kau lihat saja, Nona Ave."

Aku menjulurkan lidah sambil menarik ke bawah mata kananku, lalu menyaksikan bagaimana Aiden menyusulku. Sebab selama menyukai Aiden, aku tidak pernah membayangkan dirinya yang memanjat pohon. Dia adalah seorang atlet populer dan tindakan seperti itu sangatlah bukan dia.

Sehingga aku beberapa kali harus tertawa saat melihat Aiden beberapa kali gagal menaikki pohon. Bahkan sembari menunggu Aiden sampai, aku bahkan telah menyelesaikan pekerjaanku dengan baik. Yakni mengambil semua lampu tumbler dan meletakkannya di dalam tas serut punggung.

"Apa kau menye ... Aiden!!"

"Baam!"

Serius! Aku terkejut saat Aiden tidak berada di bawah dan semakin terkejut saat lelaki itu menepuk pundakku denganku. Berentung aku tidak jatuh karena sempat memeluk badan pohon, di mana ia sedanh tertawa terbahak-bahak.

"Sialan! Kau mengejutkanku, Aiden!" Aku memukuli lengan dan bahunya dengan penuh kekesalan.

"Haha, kau dilarang untuk meremehkanku, Nona Muda."

"Sebab kau beberapa kali gagal."

"Gagal adalah awal untuk belajar, hingga akhirnya bisa."

"Tch, kau hanya mencari alasan."

"Ngomong-ngomong, apa kau suka pestanya?" Aiden bergerak, menggeser bokongnya agar duduk jauh lebih dekat denganku. "Be honest, ini adalah kunjungan pertamaku dan mereka benar-benar ramah."

"Oh, tentu karena kau tidak akrab dengan Jackson."

"Haha, kau tidak mengerti, Megan. Yang kumaksud adalah ke pesta keluarga Asia."

"Oh, I see." Aku mengangguk dan menoleh ke arah Aiden. "Jika kau bertanya tentang pestanya, maka aku akan menjawab daging." Tersenyum tipis, aku benar-benar merasa beruntung karena Aiden adalah pacarku. "Aku sangat menyukai daging buatan Mrs. Robinson sangat berbumbu hingga kelezatannya menempel lama di lidah."

Sejujurnya itulah kebenarannya. Semua orang di keluarga Jackson selalu tahu, bahwa aku adalah pengagum daging buatan Mrs. Robinson. Bahkan saking menggilainya, aku berharap di akhir usiaku nanti daging itulah yang menjadi makanan terakhirku. Berlebihan memang, tapi aku sungguh mengaharapakan hal tersebut.

"Sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu."

Oh, Aiden. Demi Tuhan! Kau tidak perlu berbicara seperti itu dan langsung saja mengatakan apa yang ada di otakmu. Aku menggulirkan mataku ke arah Aiden, di mana kulihat ia tampak gugup.

Jantungku kembali bertalu-talu saat kepercayaan diri meningkat tinggi. Dewi batinku pun sudah mempersiapkan beberapa kalimat keren untuk menjawab beberapa kemungkinan terbaik, hingga otakku juga secara refleks mulai menghitung detik.

... lima.

Enam.

Tujuh.

... sepuluh.

"Kau penari yang buruk," ujar Aiden mematahkan harapanku di detik itu juga. Sehingga bayangan imajiner tentang tubuhku yang membeku kemudian retak, menjadi satu-satunya yang terlintas di benakku. "Apa ini adalah pengalaman berdansamu yang pertama?"

"Sebenarnya kedua."

"Lalu?"

"Brengsek, kau! Apa kita tidak memiliki topik obrolan yang lebih menarik, daripada ini?"

"Tapi aku menyukainya."

"What?!" Seharusnya aku bisa membaca ke mana arah obrolan ini  dan tidak emosi duluan.

"Sunggu, aku menyukai di mana kau tidak tahu sesuatu dan aku yang memperkenalkannya."

Sungguh, kali ini aku tidak peduli dengan kalimat menghangatkan, sekaligus memabukkan ini. Yang aku pikirkan sekarang hanyalah bagaimana cara meminta maaf tanpa merusak seusana karena telah memarahi Aiden tadi.

Aku memberikan tatapan bersalah ke arah Aiden. Di mana kedua alis menukik turun dan bibir membentuk gambar gunung tunggal.

"Aku sangat suka padamu, Megan." Lagi-lagi ungkapan seperti yang kudengar dari bibir Aiden.

Angin malam berembus kencang dari arah barat, membuat daun-daun di sekitar kami menimbulkan bunyi gemerisik dan cahaya bulan sesekali menerangi wajah Aiden.

Hari ini, Aiden kembali menyatakan perasaannya di mana jika tidak salah hitung, ini adalah yang kedua kalinya. Jika aku menolak Aiden lagi, maka aku akan menjadi gadis paling bodoh di dunia.

Namun, belum sempat mengeluarkan sederet kalimat untuk Aiden, lelaki itu tiba-tiba mendekat, sambil menurunkan wajahnya agar setara denganku. Mengabaikan suara degup jantungku yang jelas terdengar sekarang dan aku merasa waktu berjalan lambat.

Dari film-film romansa yang sering kutonton bersama mom, aku tahu jelas kejadian apa yang akan terjadi setelah ini. Jarak kami semakin dekat, di mana Aiden berhasil mengunci pandanganku dan ia semakin dekat dengan gerakan lambat.

Hingga jarak kami hanya tersisa sekitar lima centi, ia pun memejamkan matanya sampai hidung kami saling bersentuhan. Hingga aku dengan jantung super deg-degan, serta tubuh gemetar luar biasa pun harus turut melakukan hal serupa.

Jujur saja, aku adalah pendamba romantisme dan keintiman sehingga salah satu tangan Aiden berada di punggung tanganku, seluruh tubuhku pun bereaksi dengan hormon jatuh cinga yang kuat.

Dan jika aku ingat, bahwa salah satu ciri kegugupan terparahku adalah meningkatnya kelenjar keringat di seluruh tubuhku, mungkin aku tidak akan tergelincir akibat menekan ujung ranting terbesar yang menampu kami berdua.

"Megan! Aku akan mengangkatmu dan bantu aku dengan menarik dirimu ke atas."

"Jangan buat aku jatuh. Kumohon."

Beberapa keributan terjadi di antara kami berdua. Guncangan di ranting pohon saat Aiden mencoba menolongku pun, membuat beberapa daun berguguran dan mengenai wajahku.

Sayangnya aku tidak tahu bahwa di antara daun-daun tersebut juga menyimpan debu dan sisa-sisa pasir yang dibawa oleh udara. Sehingga tanpa kusadar, salah satu dari partikel itu berhasip memasuki salah satu lubang hidungku dan ....

... aku bersin beberapa kali dan goncangan tubuhku berhasil menggoyahkan tubuh Aiden, hingga bunyi 'bruk' terdengar dihiasi dengan daun-daun kering yang berterbangan di sekitar kami.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top