025 - When Aiden Tell His Feeling

Kenyataannya, rambut panjang cokelatku kini sudah tidak ada dan tergantikan dengan rambut ukuran super pendek, yang sama sekali tidak rata.

Aku melihat hasilnya, dari pantulan kaca spion mobil milik seorang ibu seumuran mom yang barusan masuk ke dalam ke apotek. Tidak lama kemudian, Aiden pun tampak berjalan keluar sambil mengamati paper bag dan tersenyum ke arahku. Na'asnya, aku mengabaikan sapaan tersirat lelaki itu.

Karena yang menjadi priositasku saat ini adalah memerhatikan bagian mana, dari diriku yang terluka, maka aku pun mulai menghitung.

Satu.

Dua.

Tiga.

Dan seterusnya, aku menyadari bahwa tidak hanya rambut yang menjadi korban Aubrey serta pengawal-pengawalnya, tetapi juga diikuti beberapa lebam di sekujur tubuh yaitu; kedua lengan, wajah, dan kurasa punggungku juga.

Catatan, wajah adalah yang terbanyak meninggalkan bekas. Sehingga diam-diam, aku mengkhawatirkan bagaimana reaksi dad, mom, dan Jeff, ketika melihatku nanti. Ugh!

"Apa kau bersedia jika aku merawatmu kali ini, eh?" Aku menoleh ke arah kanan, saat suara Aiden menghampiriku.

Aiden berdiri dengan begitu menjulang di sampingku dan aku menyipit saat melihatnya, akibat terik matahari sore. Wajah lelaki itu juga mendapatkan lebam di mata kiri, serta darah di sudut bibir.

Sebenarnya aku ingin tertawa, tetapi rasa nyeri di wajah melarangnya. "Berikan padaku sekarang," titahku, sambil mengulurkan tangan ke arahnya.

"Tidak sampai kau mengatakan iya."

Aku menghentakkan tanganku, di hadapannya. "Berikan padaku, Aiden."

"Tidak bisakah kau membiarkan seseorang memberikanmu sebuah perhatian?" Aiden, dengan sangat menyebalkannya menyembunyikan paper bag berisi obat-obatan, di balik punggungnya. "Aku telah menolongmu, Megan. Bisa kau bayangkan, jika aku tidak berada di sana ... kau pasti belum tentu bisa berdiri tegak seperti itu."

Berkacak pinggang, aku mengendus aroma meremehkan pada bau mulut Aiden. "Kau meremehkanku, ya? Asal kau tahu, salah satu keahlianku adalah taekwondo."

"I really don't care because, you got injury," ujarnya, sambil menarik tanganku agar duduk di bangku besi depan apotek.

Mau tidak mau, aku pun menuruti keinginan Aiden karena tidak ingin perasaan nyeri bertambah dan ... yeah, luka-lukaku juga harus diobati.

Aiden duduk di sampingku, sambil membuka paper bag yang ia bawa dari apotek kemudian mengeluarkan beberapa obat, cairan pembersih luka, dan dua botol air mineral.

"Biar aku merawat lukamu dulu," ujarku saat Aiden membuka cairan pembersih luka dan segera merebutnya, tapi Aiden berhasil menghindarinya.

Aku mendecak dan menatapnya dengan penuh rasa kesal. "What?!"

"Kau yang lebih banyak mendapatkan luka jadi--"

"Aku tidak bisa merawatmu, jika kau duluan yang melakukannya!"

Refleks kedua alis tebal nan rapi itu menyatu, bersamaan dengan penyesalanku. Aku menutup bibirku rapat-rapat, saat Aiden menatapku seolah sedang menganalisis ucapanku barusan dan setelah, aku bisa melihat senyum jail terbit di bibirnya.

Oh, shit!

"Kenapa kau tidak bisa balik merawatku, setelah aku merawat lukamu? Apa ada sesuatu yang salah atau ...." Ia menggantungkan kalimatnya, masih tersenyum sangat menyebalkan dan dia mengedipkan sebelah matanya untukku. Demi, Tuhan, aku ingin muntah sekarang. "Atau kau terganggu dengan wajahku?"

Dan semakin menyebalkan saja. Sehingga tanpa memikirkan bagaimana sakitnya, aku mendorong bagian bibir Aiden yang terluka sampai ia berteriak histeris dan segera menjauh.

"Demi Tuhan, kau sangat jelek, Aiden!" seruku sambil mengambil obat-obatan yang diberi Aiden.

"Seriously?" Aiden kembali menghampiri dan duduk di sampingku. Ia menoleh ke arahku dengan menggeser separuh tubuhnya, agar benar-benar duduk berhadapan. "Jika aku memang benar-benar jelek, menurutku kau tentu akan bermasalah merawatku. Lalu mengapa harus berbicara seperti itu?"

"Aiden, kau bukan anak kecil. Jadi jangan banyak bertanya atau aku tidak akan bersikap lembut."

"Well, hanya ingin kau berterus terang sebe ... aww!!" Aiden berteriak, sambil menjauhkan wajahnya dan tanpa perlu bertanya, aku tahu jelas mengapa ia bertingkah seperti itu. "Are you serious, Megan?! Do you really want to kill me, eh?"

"Nope." Aku menggeleng, sambil menahan tawa. "Itu karena kau terlalu banyak bertanya, seperti anak kecil."

"Just ... I just want to know about you, Megan."

"Aku hanya tidak terbiasa memiliki jarak terlalu dekat dengan seorang lelaki." Aku menatapnya dan berkata dengan sangat cepat di hadapan Aiden. Mengatakan hal seperti itu, entah mengapa membuatku cukup malu. "Apa kau puas dengan jawaban ini?"

Aiden mengangguk dan seperti yang kuharapkan, ia tidak bertanya lagi.

Kami berdua pun saling mengobati luka dengan menggunakan bantuan satu sama lain. Kukatakan jujur, bahwa Aiden merawatku dengan sangat lembut. Di mana aku sampai merasa tidak nyaman karena telah menyiksanya sebagai hal iseng.

"Well, it's done," ujar Aiden setelah memasang plester di siku kananku.

"Trims." Aku menarik sikuku lalu mengambil tas ransel yang berada di antara kami berdua, menyobek salah satu kertas di buku, dan menyerahkannya kepada Aiden setelah aku membentuknya seperti corong.

"Untuk apa?"

"Ck, bantu aku untuk mengumpulkan rambutnya dan tolong, rapikan bagian belakangnya."

Aiden menggeleng, sambil menahan corong kertas buatanku dengan kedua tangannya. Namun, aku memaksa hingga akhirnya dia berkata iya.

"Jangan salahkan aku jika nanti tidak cocok."

"Kau hanya perlu meratakannya, Aiden." Aku kembali menyerahkan kertas corong kepada Aiden dan ia menerimanya.

Menggunakan bayangan kabur dari kaca besar apotek, aku mulai memotong rambutku. Merapikan dengan keahlian seadanya, aku benar-benar menyadari bahwa Aubrey telah memangkas habis mahkotaku.

Dari bayangan yang bisa kulihat meski kabur, aku melihat Aiden sedang memegangi corong kertas, sambil memerhatikanku dan tidak lama kemudian ia memanggil namaku.

"Sudah berapa kali Aubrey mengganggumu?" Pertanyaan yang di luar dugaanku, tiba-tiba saja terdengar mulus di telinga. "Maaf karena menanyakan itu, tapi kupikir ini adalah tanggung jawabku. Bukankah, sebagai pacar seharusnya seperti--"

"Sekali lagi kuberitahu, Aiden." Aku menghentikan aktivitas mengguntingku dan menoleh ke arah Aiden. "Kita bukan pasangan kekasih. Jika kau menganggapnya demikian, itu hanya kau bukan aku."

"Kalau begitu, kau siap-siap saja."

"Siap-siap apa?"

Sebelah alis Aiden terangkat dan dia merebut gunting dari tanganku. "Siap-siap karena aku akan merapikan rambutmu."

Aku mendengkus kesal atas ucapan Aiden barusan. Di mana mungkin ia tidak mengira bahwa kekesalan ini karena dia telah mempermainkan perasaanku.

Maksudnya di saat ia menggantungkan kata 'Siap-siap', aku sudah mengira bahwa Aiden akan mengatakan 'Bersiaplah untuk jatuh cinta padaku', tapi kenyataan ternyata lebih kejam. Di mana Aiden, sama sekali tidak memikirkan itu sehingga pertanyaan lama pun muncul di benakku.

Yeah, mungkin ini saatnya untuk bertanya, agar aku mampu lebih waspada. Aku mendongkakkan kepala, menatap pantulan Aiden yang sedang merapikan rambut bagian belakangku, kemudian berkata, "Kau tahu, Aiden. Sejauh ini, aku selalu penasaran."

"Tentang apa?"

Aku menelan saliva-ku kuat-kuat, sebab kegugupan mulai menyerangku. "Tentang alasan kau menciumku secara tiba-tiba saat pertandingan akhir musim."

Aiden tidak langsung menjawab pertanyaan tidak langsungku, sehingga hal itu membuat jantungku semakin berdebar kencang. Lagi-lagi aku menatap sedikit bayangan Aiden di pantulan jendela kaca apotek, dan memberanikan diri untuk kembali berujar, "Kau menciumku di saat kita tidak saling kenal--maksudku tidak pernah saling menyapa--dan kurasa kau masih bersama Aubrey, sehingga--"

"Megan." Aiden menyebut namaku, memotong ucapanku, dan menghentikan pekerjaannya. "Hubungan yang telah berakhir, kurasa itu bukan kabar yang baik sehingga tidak perlu disebarkan. Dan jika kau bertanyaa mengapa aku melakukan hal tersebut ...." Aiden menggantungkan kalimatnya, sambil ikut menatap ke arah jendela kaca.

Kami saling menatap. Dan hawa-hawa Aiden akan melakukan pengakuan, sungguh membuatku gugup bukan main.

"Itu karena aku telah memerhatikanmu sejak lama, mengenalmu melalui teman-temanmu, dan kurasa aku juga menyukaimu dari jauh juga. Sehingga ketika, perasaan tersebut sudah sulit ditahan, aku pun kehabisan ide untuk mencari celah agar bisa mendekatimu.

"Jadi ... aku memutuskan untuk melakukan cara kotor, saat kau turun ke lapangan. Maaf, memang terkesan seperti seorang pecundang, tapi aku ... sungguh, tidak tahu bagaimana--"

"Cukup, Aiden." Aku menoleh ke arah Aiden. Setengah mati, kutahan rasa bahagia luar biasa ini karena mendengar pengakuan lelaki yang kusuaki. "Terima kasih atas pengakuanmu, tapi aku masih memiliki pertanyaan mengenai kejadian aneh tersebut."

"Tell me,"

"Apa yang kau lakukan ini ada hubungannya dengan label 'The King'? Permainan itu adalah sesuatu yang terus berlanjut dari para senior di kalangan populer." Aku menatap kedua netra Aiden lekat-lekat, mencoba mendeteksi kebohongan jika lelaki itu melakukan hal yang mengecewakanku.

Namun, Aiden justru tersenyum hangat sambil mengelus rambut pendek baruku. Dia tidak tahu saja, bahwa tindakan tersebut selalu berhasil menggoncang duniaku.

"Be honest, mereka memang menawarkanku untuk bergabung dengan permainan itu. Namun, kutolak karena kupikir tidak ada untungnya permainan tersebut, yang ada hanya menimbulkan dendam serta nama jelek di masa mendatang."

Refleks kedua alisku mengerut. Apa yang berbicara barusan adalah Aiden sungguhan? Aku tidak pernah menyangka bahwa ia akan berkata seperti itu, sehingga setelah aku mendengar ucapannya barusan ....

... kurasa aku belum mengenal Aiden secara utuh.

"Sungguh, tidak masuk akal," ujarku, "orang populer selalu tergila-gila dengan pangkat sosial."

"Well ... but, not me." Aiden mengedikkan bahu dan kembali berkata, "Kau akan tahu bagaimana aku sesungguhnya, jika kau berkunjung ke rumahku."

Sial! Kedua mataku melebar, atas undangan yang pernah Aiden katakan sebelumnya.

"Minggu depan, apa kau punya waktu?" Ia bertanya seolah ini adalah kencan biasa. "Jangan khawatir, aku akan menjemputmu dan meminta izin pada orangtuamu."

Oh,it's double shit!

"A-aku ... akan ... me-melihat jadwalku dulu."

Aiden mengangguk atas jawaban gagapku barusan dan aku mampu bernapas lega, meski yang kulakukan barusan sungguh memalukan.

"Fine." Dia tersenyum lebar dan aku menggila. "Beritahu saja aku sebelum H-2. Aku akan memasak untukmu saat kau datang nanti," ujarnya dan dewi batinku tampak sibuk melempar kelopak bunga, sebagai perayaan.

Oh, kau Aiden Kowalsky, kurasa untuk membuatmu patah hati adalah hal terberat buatku.

Aku menggeleng samar, saat Aiden mengembalikan gunting dan kertas berisi rambutku, kemudian segera pergi untuk membuagnya.

Baiklah, sebenarnya yang kulakukan hanyalah pengalihan belaka, sebagi bentuk menyembunyikan mimik sialan ini karena terlalu bahagia, sebab Aiden balik menyukaiku.

Entahlah, aku hanya berharap bahwa yang kudengar barusan adalah suatu kebenaran.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top