020 - Alma Said That She Will Help Me

Alma menelepon menggunakan telepon rumah, satu menit setelah dad selai melakukan sesi interogasi. Mom yang memanggil sekaligus memberitahuku, ketika aku baru saja nyaris menaiki tangga menuju kamar. Dan setelah mendengar tujuan serta ungkapan hati Alma di telepon, aku pun harus mengurungkan diri untuk pergi tidur lebih awal sebah Alma akan menginap di rumahku malam ini.

Yang artinya, aku harus menjadi sahabat, pendengar, dan penghibur terbaik untuk Alma sepanjang curahan hatinya.

Mom bertanya saat aku sedang menonton telivisi berisi drama remaja mingguan, "Apa kau butuh camilan untuk menyambut Alma?"

"Aku hanya butuh tissue, Mom." Aku menoleh ke arah mom, sambil tersenyum dan tentu saja ratuku ini tahu apa yang telah terjadi.

"Alma patah hati lagi, ya?"

"Yeah, dengan pacar Indonesianya dan dia bilang masalah kali ini sangat rumit."

Mom tertawa kecil. "Masalah yang rumit akan cepat selesai setelah Alma, menceritakannya padamu."

"Dia hanya butuh teman bicara."

"Benar." Mom melangkah mendekat lalu mencium pucuk kepalaku. "Akan kubuatkan sedikit camilan untuk kalian dan jangan bangun terlambat."

"Aku akan memasang alarm beruntun. Tenang saja."

Mom mengacungkan jempolnya lalu pergi menuju dapur dan aku kembali menonton, sambil menunggu bel pintu berbunyi menandakan kehadiran Alma.

Dan tidak lama kemudian,yang ditunggu-tunggu suaranya pun terdengar, Alma menekan bel sebanyak tiga kali kemudian ketika aku membuka pintu, tampang jelek Alma menyambutku dan ia langsung memelukku.

"We broke up," ujarnya, masih dengan posisi memelukku. "Seharusnya aku tidak perlu mempertahankan hubungan jarak jauh." Dan dia menangis tersedu-sedu, hingga aku menepuk punggungnya sebagai bentuk simpati.

"Kau bisa bicara semuanya di kamarku," ucapku dengan pelan, mengikuti nada suaranya.

Alma mengangguk kemudian menarik diri dan mengusap air mata, serta cairan kental di hidungnya.

"Pergilah duluan, aku akan mengambil sebotol air mineral. Barangkali itu bisa sedikit menenangkanmu."

"Just cola and pudding. It's better for my broken heart." Alma berkata di tengah-tengah isak tangisnya, kemudian masuk ke dalam dan langsung menuju kamarku.

Sedangkan aku yang ditinggalkan dengan request dadakan dari Alma, hanya bisa mengedikkan bahu sambil berdoa bahwa di kulkas, masih terdapat minuman soda.

Oh, kuharap kami masih memilikinya atau minimal, Jeff baru membelinya dan meletakkannya di lemari pendingin.

***

Jadi--membicarakan persoalan Alma--mengesampingkan masalahku--semua berawal dari kehebatan Alma sebagai detektif dunia maya. Ia menemukan akun pacar atau selingkuhan pacar Indonesianya--sebut saja Deviter--dan melihat foto mereka bersama, sambil mencium pipi satu sama lain di salah satu feeds Instagram gadis itu. Dugaan Deviter menduakan Alma pun semakin diperkuat dengan caption secara terbuka.

Puncaknya adalah ketika Alma menelepon Deviter untuk meminta penjelasan. Bukannya mengelak atau minimal berbohong, Deviter malah mengakui dan langsung meminta berpisah.

"Dia bilang padaku bahwa keputusan menjadi pacarku adalah karena ia menyukai uangku." Nada suara Alma terdengar sangat pilu, sehingga aku untuk kesekian kali memberikan tissue guna membersihkan cairan kental di hidungnya. "Dan tiba-tiba saja, setelah semuanya berakhir ... Jackson melakukan panggilan video melalui Skype."

Kedua alisku mengerut, cukup penasaran dengan kelanjutan ucapan Alma. Sedekat ini, aku masih memiliki pikiran positif tentang Jackson karena tempat curahan hati Alma adalah kalau bukan aku, ya, Jackson. Bahkan bisa keduadanya dalam waktu yang bersamaan.

"Jackson ...." Alma mengambil segelas cola yang telah kutuang sebelumnya, meneguk cairan tersebut hingga tandas, dan ia meletakkan gelas di atas cukup kuat. "Di kala aku patah hati karena Deviter, saat itu juga dia membawa masalah sampai membuatku ... ya, Tuhan, aku bisa gila jika seperti ini." Alma menangis lagi dan aku refleks memeluknya sebagai bentuk simpati.

"Tidak apa-apa jika kau belum bisa membicarakannya sekarang. Masih banyak waktu dan sekarang sudah waktunya kita tidur, ngomong-ngomong."

"Kau tidur saja, Megan." Alma menarik diri dari pelukanku. Wajahnya benar-benar basah oleh air mata. "Tidur adalah hal yang kuhindari untuk saat ini karena--"

"Mimpi buruk, biasa terjadi saat kau sedang stress," selaku, "itu tidak akan terjadi untuk hari ini. Kau akan baik-baik saja, jadi tidurlah denganku dengan mendengarkan musik yang tenang."

Dia mengangguk ragu, tetapi mengulurkan tangan dan aku segera menyambutnya. Di lain sisi, aku menahan diri agar terlihat biasa-biasa saja, mengabaikan perasaan stress yang telah menerpa gara-gara peringatan dad dan tantangan Jeff.

Sebenarnya, aku bisa saja bercerita tentang keadaanku pada Alma. Namun, keadaannya saat ini membuatku ragu untuk berbagi. Patah hati adalah hal yang sering dialami Alma, tetapi tidak menjadikannya mahir dalam mengobati rasa itu.

Alma duduk di tepi ranjangku. Ia melipat kakinya dalam bentu bersila, sambil memangku sekotak tissue. Aku secara inisiatif mengambil tempat sampah yang berada di sisi meja belajar, meremas sedikit tumpukan kartu ucapan dari penggemar rahasiaku--Steven--yang sangat kurang ajar lalu membuangnya kemudian meletakkan tempat sampah tersebut di lantai, depat Alma menangis. Tidak perlu khawatir dengan rasa kepo Alma tentang remasan kertas warna-warni itu, karena Alma lebih sibuk membuang air mata, daripada memerhatikan benda tersebut.

"Kau tahu, apa yang dikatakan orang-orang tentang 'Persahabatan antara laki-laki dan perempuan hanyalah omong kosong.' itu adalah kebenaran."

Kedua alisku mengerut saat mendengar ucapan Alma, terlalu ambigu dan jika dikaitkan dengan Jackson rasanya--

"Dia ... maksudku, Jackson, mengutarakan perasaannya padaku dua menit setelah Deviter mumutuskan hubungan kami," ucap Alma, "dan jujur saja, itu adalah hal yang membuatku benar-benar gila karena memikirkan bagaimana perasaan Jackson, setiap kali aku curhat padanya mengenai Deviter dan lagi ....

"Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap jika besok harus bertatap wajah dengan Jackson."

Ini adalah pembicaraan yang baru bagiku. Maksudku antara aku dan Alma sebab biasanya, Alma hanya membicarakan tentang betapa menyebalkannya Jackson jika ia sedang menumpahkan kesedihan. Sikap Jackson yang terlalu beku terhadap percintaan--selalu membuat Alma kesal--ternyata memiliki kejutan besar di baliknya, yaitu fakta bahwa Jackson menyukai Alma.

It's really insane!

Duduk di sebelah Alma, aku segera memberikan Cape Cod Potato Chips pemberian mom. Sama-sama bersila, aku mengambil bantal dan memeluknya lalu dengan penuh keraguan, aku pun berkata, "Kupikir Tuhan sedang tidak bersahabat dengan kita berdua."

Alma menoleh, rambut hitamnya sedikit mengenai bahuku. "What do you mean? Do you have problem too?"

Aku mengangguk.

"What is that?" tanyanya dengan nada yang terdengar sedikit panik. "Sungguh, maafkan aku karena datang di saat kau juga memiliki masalah."

"Well, kau harus janji tidak akan mengatakan ini pada siapa pun." Aku menoleh ke arah Alma dengan menyodorkan jari kelingking. "Aku tidak yakin kau akan terkejut, tapi kumohon jangan berteriak jika kau memang kaget dan jangan merasa bersalah karena datang di waktu yang tidak tepat."

"I swear." Dia melilitkan kelingkingnya di kelingkingku, lalu menggerakkannya naik turum. Di waktu bersamaan aku berdeham.

"Aku ... aku menyukai Aiden," ucapku sangat cepat, hingga aku sendiri tidak sempat meresapinya dan hanya bisa mendengat degup jantung terkencangku. "Sangat lama, sejak tahun junior."

Alma menampilkan ekspresi terkejutnya. Rahangnya sedikit terbuka dan kedua netranya melotot. "Are you serious?"

Aku mengangguk lagi dan menunggu reaksi Alma selanjutnya.

"Lalu? Apa kau menganggap ciuman di lapangan itu sebagai anugerah?" Oh, Alma tetaplah Alma. Meskinpun sakit ia tetap menyimpan sisi kepo-nya.

Menggeleng pelan, aku menegaskan sekali lagi pada Alma dengan berkata, "Sama sekali tidak. Kau boleh menganggapku aneh karena tidak pernah berharap, untuk berkencan Aiden."

"Yeah, kau memang aneh."

"Ngomong-ngomong, apa rasa kepo-mu telah membuat kau melupakan masalah sebelumnya?"

Alma mengerutkan kening dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. "Please, Megan. Jangan ingatkan tentang hal itu lagi. Mulai detik ini, kita bicarakan tentangmu saja!"

"How about Jackson? You'll meet him tomorrow."

"Shit! Its a bad idea." Alma menepuk keningnya kemudian berganti posisi dengan duduk bersandar di bagian kepala kasur. "Apa lebih baik besok aku bolos saja, demi menghindarinya?"

"No way!" Aku menggeleng cepat, sembari memberikan tanda silang dengan kedua tangan di depan dada. "Kau dilarang keras untuk membolos! Sebab mulai besok, kau harus membantuku."

"Oh, My Godness!" Alma memutar kedua matanya--melupakan fakta bahwa ia habis menangis sebelumnya--kemudian melempar kotak tissue ke arahku. "Membantu diriku sendiri saja, aku kesulitan. Bagaimana dengan membantumu? Kau benar-benar gila, Megan."

"Kau ahlinya. Demi Tuhan." Aku meletakkan kedua tanganku di bahu Alma. Kali ini, aku harus meyakinkannya bahwa dia benar-benar berguna di dunia. "Jeff, memberiku sebuah tantangan."

"Bukankah itu sudah biasa?"

"Tidak." Aku menggeleng. "Tantangan ini melibatkan Aiden."

"Apa dia tahu bahwa kau menyukai Aiden."

"Kupikir dia hanya curiga."

"Lalu?" Alma menaikkan kedua alisnya. Ngomong-ngomong ini adalah salah satu kesamaan kami, yaitu sama-sama kesulitan untuk melakukan hal keren berupa menaikkan sebelah alis. "Mengapa dia menyerukan tantangan yang berhubungan dengan Aiden?"

Aku mengembuskan napas kemudian menceritakan awal kejadian hari ini; dimulai dari siapa Steven dan pertemuan kami, lalu disusul dengan aksi superhero Aiden, hingga aku serta Aiden berakhir di pinggir sungai di dalam hutan dengan jembatan spektakulernya, serta membuatku pulang terlambat.

Alma mengangguk-anggukan kepala saat aku bercerita, tanpa sedikit pun yang disembunyikan. Kurasa aku telah melupakan rasa keraguanku untuk bercerita tentang hal ini, sebab sekarang secara langsung aku meminta Alma untuk membantu.

"Jadi kesimpulannya adalah, kau harus membuat Aiden jatuh cinta padamu dan setelah itu, kau harus mengkhianatinya." Alma meminum segelas cola-nya hingga tandas separuh gelas, di mana aku juga mengikutinya karena tenggorokan terasa kering selepas bercerita. "Aku bisa saja mengajarimu untuk membuat seorang lelaki jatuh cinta padamu, tapi aku tidak yakin tentang pengkhianatan."

Refleks kedua bahu menurun, setelah mendengar ucapan Alma.

Baiklah, apa yang dikatakan Alma memang benar. Pengkhianatan bukanlah hal baik, sehingga melakukan itu dengan sengaja tentu akan menjadi karma di masa depan. Aku mengangguk-angguk sesaat kemudian menggeleng di waktu bersamaan. Kebingungan mulai melanda pikiranku, tetapi ego-ku secara jelas memintaku untuk menjalankan tantangan Jeff.

Aku menatap Alma sesaat kemudian berkata, setelah berpikir sejenak. "Kau hanya perlu membantu agar Aiden bisa jatuh cinta padaku, setelahnya ... biar aku saja yang--"

Ponsel Alma yang berdering nyaring, refleks menghentikan ucapanku. Alma bergegas untuk mengambil ponselnya, melihat layarnya kemudian menatapku dengan kedua mata melebar.

"Jackson meneleponku. Bagaimana?" Alma bertanya dengan nada super panik.

"Terima saja."

"Tidak bisa. Kau saja yang terima dan katakan aku menginap di rumahmu karena suatu hal!"

Alma melempar ponsel yang sudah berstatus menerima panggilan Jackson, sehingga karena tidak memiliki pilihan lagi aku pun menyentuh tanda loudspeaker, dan menjawab sapaan Jackson.

"It's Megan, Jackson. Alma in my home and she's cried because of broken heart."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top