014 - Hi, Megan!

Ponselku lagi-lagi bergetar dengan durasi pendek, tetapi terjadi setiap sepuluh detik. Tanpa membuka tas dan melihat apa yang terjadi, aku sudah mengetahui bahwa itu adalah deretan notification dari Aiden. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di mobil Steven, Aiden terus saja mengirimku direct message melalui Instagram.

Namun, kuabaikan karena isinya tetap saja sama. Yakni, mengajakku agar mau pergi ke pesta Clay bersamanya. Dan jawabannya jelas tidak, sebab aku pun sedang kencan dengan Steven.

Dari kursi penumpang sebelah kemudi, Steven tampak sedang memindai stasiun radio untuk mencari lagu yang bersahabat di telinga kami. Sebelumnya ia bertanya, tentang jenis musik apa yang kusuka lalu aku menjawab pop dengan musik bernuansa edm sesekali.

"Sorry,aku tidak menemukan selera musikmu, tapi kuharap kau tidak keberatan dengan Missy Elliot," ujar Steven setelah beberapa kali memutar pemindai stasiun radio dan akhirnya, menyerah dengan musik rapp.

Aku mengangguk sebagai balasannya karena tidak ada yang bisa dilakukan pada mobil jenis Toyota Corolla E90 sebab pada dasarnya, kendaraan ini tak memiliki sambungan bluetooth. Sehingga kata Steven, jika berpergian dengan mobil ini kita hanya memiliki dua pilihan, yakni berkendara dengan tenang atau menyalakan radio, sebagai pemeriah suasana.

"Well, kau pasti tidak menyangka bahwa kendaraanku akan sebusuk ini."

"Oh, aku bahkan tidak sempat untuk memikirkan itu."

"Memangnya apa yang kau pikirkan?" Steven menoleh ke arahku ketika ia menghentikan mobil di lampu merah. "Kalau aku pribadi, memikirkan bagaimana cara agar kau tidak merasa bosan."

Senyum tipis terbit di wajahku, sehingga untuk menyembunyikan hal tersebut aku segera menyelipkan rambut pirangku ke balik telinga. "Ngomong-ngomong ke mana kita akan pergi, Stev?"

Steven menolehku, sambil tersenyum. Namun, belum sempat menjawab, suara klakson dari belakang mobil mengejutkan kami. Sehingga secepat mungkin, Steven menginjak pedal gas hingga aku bisa menghirup aroma rumput basah dan kayu bakar.

Aku tidak tahu pasti ke mana Steven membawaku, tetapi ketika pertama kali melihatnya aku bisa menebak satu hal, yakni Steven membawaku ke tempat antah berantah yang memiliki keanehan.

Keanehan dalam artian, aku bisa mendengar sayup-sayup suara orang bersorak di tengah jalanan super sepi penuh pepohonan dan jangkrik.

"Sejujurnya, Steven, ke mana kau ingin membawaku?"

"Jangan khawatir, Megan. Kita akan bersenang-senang," jawab Steven yang semakin memperlambat kecepatan mobilnya, hingga kami berdua berhenti di depan rumah super besar dikelilingi oleh pepohonan, dan terdapat api unggun raksasa di depannya.

Bukan hanya itu, aku juga bisa melihat sekelompok manusia berpakaian musim panas (laki-laki mengenakan celana pantai, bertelanjang dada dan perempuan mengenakan bikini) sedang menari di lingkaran api unggun.

Aku mengernyit dalam saat melihatnya. Bukan tentang suhu udara malam ini yang membuatku berpikir keras, tetapi mengenai apakah mereka tidak digigit serangga dengan pakaian seperti itu?

"Kau mengajak gadis yang salah, Steven." Aku menoleh ke arah Steven, tetapi lelaki itu hanya tertawa kecil. "Aku pikir kau pemuda yang--"

"Kaku, culun, kutu buku." Menoleh ke arahku, Steven mematikan mesin mobilnya. "Apa kau mengira aku seperti itu?"

"Sebenarnya iya." Aku mengedikkan kedua bahu. "Tapi akan terkesan memiliki pikiran sempit jika aku menyetujui bahwa hanya orang-orang seperti itu yang suka menjadi penggemar rahasia, dengan meletakkan sebuket bunga di depan rumah setiap pagi."

Sebelah alis Steven terangkat. Membuatku berharap bahwa aku tidak salah bicara. Maksudku ... yeah, aku hanya berniat ingin menjelaskan bahwa mereka yang seperti itu, biasanya selalu menghindari keramaian dan--

"Terkadang seseorang memiliki alasannya sendiri untuk menjadi pengagum rahasia, Megan." Steven keluar dari mobilnya kemudian berlari kecil demi membukakan pintu untukku.

Aku hanya tersenyum manis atas sikap perhatian yang diberikan Steven, sambil berpikir bahwa perkataannya benar. Akunya saja yang mungkin berpikiran sempit, hingga berakhir mempermalukan diri sendiri.

"It's ok, Megan," ucap Steven sambil mengulurkan tangannya di hadapanku. "Take my hand and I'm sure that you will like all my friends."

Karena tidak ingin dianggap sok cantik atau aku akan beranggapan bahwa ... well, saling bergandengan tangan yang dimaksud Steven mungkin memiliki maksud baik, yaitu agar aku tidak terpisah sebab tempat ini benar-benar padat.

Yeah, bagiku ini sangat padat karena di halaman yang memiliki api unggun raksasa saja sudah dikelilingi oleh sekitar dua puluh orang, belum lagi yang di dalam sana. Jika diperbolehkan untuk memberikan prediksi, aku akan menyatakan bahwa mereka sekitar lima puluh atau tujuh puluh orang. Terbukti dari seberapa keras teriakan para manusia dan musik paling memekakan telinga.

Setelah menurut menggenggam tangan Steven, lelaki itu pun membawaku masuk ke halaman rumah super besar yang--jelas--tidak terpakai itu. Untuk mencapai beranda rumah tersebut, kami harus melewati jalan kecil beralaskan kerikil putih selebar tiga langkah orang dewasa, sepanjang tiga meter. Tanpa diketahui Steven, aku bahkan tidak bisa menahan diri untuk menoleh ke arah api unggun dan ....

... yeah, mereka benar-benar gila. Seperti kaum werewolf yang tidak merasa dingin saat suhu udara seperti ini. Jujur dengan skort warna dusty pink, serta atasan off shoulder warna putih susu yang kukenakan saja, aku sudah cukup kedinginan. Bagaimana dengan mereka?

"Aku yakin kau akan memerhatikan mereka."

Aku menoleh ke arah Steven, saat lelaki itu mengangkapku sedang memerhatikan kelompok api unggun.

"Yeah, kelompok pemberani. Kelompok paling kuat terhadap suhu dingin," tukasku.

"Sebenarnya tidak, Megan."

"What do you mean?"

"Minuman keras dan api unggun raksasa itu membuat tubuh mereka hangat, sekaligus bergairah di waktu bersamaan."

"Oh," ucapku pendek saat sesuatu yang aneh mulai mejalar di dalam tubuhku. "Aku yakin kau bukan bagian dari mereka."

Steven tertawa kecil lalu melepas genggamannya dan melingkarkan tangannya di pinggangku.

"Hai, Steven." Seseorang menegur kami dari arah kanan, sebelum Steven memutar kenop pintu. "Akhirnya kau membawanya. Apa dia yang sering kau bicarakan beberapa hari terakhir ini, eh?"

Aku menoleh ke arah Steven setelah yang bertanya--seorang lelaki dengan jiwa feminin lebih menonjol--mengarahkan subjek pertanyaan padaku.

"Kau bisa menebaknya sendiri," jawab Steven sambil mengerling ke arahku, seolah ingin aku menimpali ucapannya. Namun, lelaki itu terlebih dahulu menyela dengan kibasan tangan.

"Aku bisa membaca pikiranmu,Steven," ujarnya kemudian mengulurkan tangan dan aku membalasnya. "William, tapi aku lebih suka dipanggil Willy."

Tersenyum kecil, aku memaklumi cara berkenalanannya yang tidak biasa. "Hi, Willy. You can call me Megan."

"Whoa, beatiful name, by the way."

"Thanks."

"It's a super great party. Hope you like it and come join us." Willy mengibaskan tangannya lagi, sebagai isyarat agar kami mengikutinya.

Steven membukakan pintu untuk kami berdua dan tanpa kuberitahu pun, kalian pasti sudah tahu jelas bagaimana suasana pesta tanpa pengawasan orang tua.

Musik? Sudah tidak perlu diragukan lagi bagaimana keras volume suaranya, sehingga aku yakin akan menjadi tuli mendadak setelah pulang dari tempat ini.

Bau alkohol? Hell, yeah, aku bisa mencium aromanya dengan jelas. Hingga membuatku memutar ulang memori memalukan, di mana dad muntah di long jacket mom akibat mabuk berat selepas pesta reuni universitas.

Dan terakhir yang menurutku paling gila adalah, aku merasa menjadi manusia paling cupu karena terlalu gugup, melihat betapa liar mereka di dalam rumah ini.

"Trust me, I'm not one of them, Megan," ujar Steven, sambil menepuk pundakku dan membawaku masuk ke dalam lautan manusia teler yang sedang menari. "Tempat kita bukan di sini."

"Yeah, di bawah sini terlalu bising. Kau bisa lebih nyaman di lantai dua, karena tempat nongkrong kami memang di sana." Willy menarik tanganku, sambil mendorong siapa saja yang menghalangi kami.

Dan Steven, entah aku harus tersanjung atau tidak. Namun, cara Steven yang menggunakan tubuhnya untuk melindungiku, cukup berhasil membuatku menaruh perhatian.

Seperti Steven yang menurutku cukup untuk dipertimbangkan dan diberi kesempatan dengan melupakan fakta, bahwa aku pun juga sedang menyukai orang lain.

"Here we are now!" Willy berseru saat aku dan Steven akhirnya menaiki tangga terakhir, kemudian menarik tanganku dengan cepat. "Mari kuperkenalkan kau dengan teman-temanku."

Willy yang tanpa sadar sudah seperti menyeret seorang gadis, membuatku terpaksa harus mengikutinya. Sedangkan Steven, berjalan di belakang sambil mengangguk, pertanda bahwa ia baik-baik saja atas sikap antusias Willy.

Di lantai dua, cahayanya memang tidak terlalu terang. Namun, karena rumah ini tidak beratap akibat hancur termakan usia, cahaya bulan pun menjadi satu-satunya penerang sekaligus penolong kami agar tidak tersandung.

Sekitar dua meter, dalam cahaya remang dari beberapa lilin di atas meja, aku bisa melihat beberapa orang sedang duduk melingkari meja tersebut. Semua mata terasa sedang menatap kami, sehingga membuatku refleks menajamkan pandangan demi mengetahui siapa saja yang berada di sana.

Satu.

Dua.

... delapan.

Sepertinya delapan orang yang berana di sana, di mana lima di antaranya adalah laki-laki lalu sisianya perempuan. Mereka memiliki dandanan yang nyentrik, seolah penampilan adalah identitas diri masing-masing.

Dan ketika hanya tersisa empat langkah, menuju meja seketika itu pula kedua mataku melebar.

Aku melihat seseorang.

Mengenal seseorang itu.

Dan pandangan kami beradu tajam, meski dalam kegelapan.

Aku meneguk saliva secara hati-hati.

Dan sebelum Willy atau Steven memeperkenalkanku pada mereka, seseorang itu terlebih dahulu berdiri.

Masih menatapku.

Lalu dihitungan ketiga dalam batinku, ia berkata, "Hai, I found you."

Terdengar dingin, misterius, seolah sedang menyembunyikan sesuatu, dan detik itu juga ....

... aku merasa seperti buronan yang berhasil ditangkap.

"Shit," bisikku, nyaris seperti desisan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top