009 - Welcome To His World

"Tidak ada ponsel di meja dan di antara buku-buku ini, Megan."

Refleks aku menyembunyikan ponsel ketika Jackson menegurku untuk kesekian kali karena tidak bisa fokus pada kegiatan belajar bersama kami hari ini.

Aku tersenyum canggung saat menerima teguran dari Jackson kemudian meliriknya sekilas serta mengitari seisi perpustakaan.

Percayalah, tidak pernah kulihat gedung khusus para kutu buku sesenyap demikian. Maksudku lebih hening, daripada biasanya di mana sekarang hanya beberapa murid--sekitar delapan orang--sedang berkutat dengan buku-buku, di ruangan beraroma khas bibliosma. Dan sisanya, kulihat lebih memilih untuk meminjam buku, lalu membawanya ke luar ruangan.

Namun, sungguh, bukan itu titik masalahnya. Kesunyian yang selalu berhasil membuatku teliti dalam hal memahami suatu materi, kini justru menjadi kehilangan fokus karena sejak satu jam lalu ponselku bersikap sangat hiperaktif.

"Kau bisa mengubahnya menjadi mode senyap jika kau merasa terganggu," ujar Alma, sambil menunjuk ponselku menggunakan pulpen warna merah jambu yang memiliki sehelai bulu merak sebagai hiasan.

"Well, aku bahkan sudah mengubahnya sejak lima belas menit yang lalu."

"Lalu, mengaapa kau masih saja kurang fokus?" Jackson menghentikan aktivitasnya dengean meletakkan pulpen di atas buku, menyatukan sepuluh jemarinya di atas meja, dan menatapku. "Kau tahu, Harvard bukanlah hal yang mudah. Kau harus mempersiapkan jauh-jauh hari."

Mengembuskan napas panjang, aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi kemudian memijat kedua mataku, dan dalam hitungan detik aku kembali menatap mereka. "Be honest, aku mendapatkan banyak komentar negatif di seluruh media sosialku."

"Sungguh?!"

"Lalu?"

Aku memutar mata kemudian menyatukan rambut cokelat mekarku ke belakang, dan mengucirnya menjadi messy bund. Sebenarnya mereka adalah teman terbaikku karena  terdengar antusias untuk masalahku, tetapi tentu saja caranya yang sangat berbeda. Alma terlihat sangat ekspresi dengan menampilkan mimik kepo, sedangkan Jackson ... ugh! Dia seperti keturunan dari Ratu Elsa saja.

"Yeah, kurasa mereka sudah seratus persen yakin bahwa aku dan Aiden tengah berkencan."

"Tapi kenyataannya tidak, 'kan?" tanya Jackson, "kau telah menolak Aiden, tapi dia masih saja mengejarmu."

"Err ... kurasa kata 'mengejarmu' terlalu berlebihan."

"Tidak." Alma lagi-lagi menunjukku menggunakan pulpen berbulunya, seolah benda tersebut adalah tongkat sihir. "Sungguh tidak berlebihan. Kupikir kau harus sedikit terbuka dan menerima cinta dari siapa saja. Apalagi sampai sekarang pun, aku tidak pernah mendengar kau tertarik pada seorang lelaki, terlebih jatuh cinta padanya."

"Atau jika kau seorang lesbian pun, kami tidak masalah." Jackson mengangguk, berkata tanpa berpikir. "Kita adalah manusia modern yang lebih memiliki pikiran terbuka dan mengedepankan HAM."

"Jackson, Alma," panggilku, setelah sengaja kubiarkan lelaki itu mengatakan kalimat seoalah aku adalah penyuka sesama jenis. "Aku hanya ... tidak punya waktu untuk cinta dan tidak tertarik untuk terjun ke dalamnya," tukasku, sambil membuka kembali lembaran buku latihan soal dan mencoba untuk melanjutkan aktivitas awal kami.

Sebenarnya, aku sengaja melakukan hal tersebut. Yaitu memberi isyarat bahwa kita harus kembali belajar karena sungguh, aku tidak ingin mengarang lebih banyak kebohongan yang terulang. Yakni mengatakan bahwa cinta adalah hal paling kuhindari, tetapi di waktu bersamaan aku malah menaruh perhatian pada Aiden.

Dan ketika Tuhan mengulurkan tangan penuh keajaiban, aku malah menolak dengan sikap munafik.

Yaa, sikap munafik yang terpaksa kulakukan sebab Aiden adalah salah satu dari golongan populer dan aku, kurang menyukai mereka. Menurutku, mereka sangat merepotkan.

"Daripada mengobrol hal yang tidak penting, lebih baik kita melanjutkannya lagi," kataku tanpa menoleh ke arah Alma dan Jackson. "Lagipula kalian tahu, 'kan, kalau otakku harus selalu diasah agar tetap berada di puncak."

"Just stop it, Megan." Alma menutup bukuku secara paksa. Melakukannya dengan kedua tangan dan begitu tiba-tiba, di mana saat aku memberikan ekspresi protes, ia hanya terseyum sambil menoleh ke arah Jackson.

Oh, baiklah, Jackson sang guru besar kami saja bahkan sampai menghentikan aktivitasnya demi membicarakan persoalanku.

Seriously, memangnya sepenting apa obrolan kita barusan? Kurasa mereka sama sekali tidak membantu saat tes masuk universitas.

"Kau yang memulai obrolan ini, Megan." Jackson menatapku dengan sepasang netra kecilnya. Di mana jika kita mengenalnya dengan baik, maka mata itu akan terkesan seperti mengintimidasi. "Karena kami menganggapnya serius, maka kau harus menceritakannya sampai selesai.

"Benar." Alma menjentik jemarinya. "Megan Ave, demi Tuhan, kau akan stress atau menjadi perawan tua jika tidak tertarik dengan cinta. Maksudku, akan sangat menyedihkan jika kau menua sendirian dan meninggal pun sendirian," kata Alma di mana di waktu bersamaan, ia melirik ke arah Mrs. McCartney--petugas perpustakaan--yang setahu kami memilih untuk hidup sendiri tanpa cinta karena patah hati.

"Memberi ruang untuk seseorang, menurutku enggak sepenuhnya merepotkan." Jackson mengatakan hal tersebut dan dalam waktu bersamaan, kami berdua refleks menatapnya dengan pandangan tak percaya.

Oh, haleluya! Apa Jackson mengatakan hal tersebut secara sadar? Aku sungguh ingin menyanyikan lagu-lagu penuh pujian kepada Tuhan, jika itu merupakan kebenaran sebab sejauh kami mengenal Jackson, ia tidak pernah mau mengurusi masalah kami kalau itu tentang cinta. Alma sering menjadi korban kecuekan Jackson dan akhirnya terpaksa harus curhat denganku, yang belum berpengalaman soal pacaran.

Alma bertanya, sambil mengenggam lengan Aiden dengan kedua tangannya. "Apa kau mengatakannya secara sadar, Jackson?"

"Yes. Why? Is there something wrong with what I said?"

Menggeleng pelan, Alma melemparkan senyum ke arah kami berdua secara bergantian. "Nothing. Just ... kurasa kau lebih terbuka sekarang."

"Aku memang selalu terbuka."

"Yeah, memang benar," balasku sarkas dan tersenyum lebar.

Namun, langsung menghilang saat Jackson berujar, "Sekarang lanjutkan tentang permasalahanmu. Sejauh mana mereka menuliskan kalimat kebencian di seluruh media sosialmu?"

Mengembuskan napas untuk kesekian kalinya, seolah aku sedang menopang beban seberat seribu ton, aku segera mengeluarkan ponsel kemudian memajukan tubuh, demi menopang setengah berat badanku di atas meja menggunakan dagu.

"Take a look.  It's only on Instagram, not yet on Twitter, Snapchat and Facebook, they really hit me."

Alma langsung mengambil ponselku kemudian melihat ribuan pemberitahuan berisi komentar jahat para penggemar Aiden, di mana mereka sangat tidak setuju dengan apa yang mereka lihat.

Sebenarnya, aku sudah mengatakan kejujuran yakni tak ada apa pun di antara kami dan apa yang mereka lihat, tidak seperti di pikiran mereka. Namun, tetap saja ... terlalu banyak massa membuat manifestoku sia-sia.

"Kau tahu." Alma menoleh ke arahku, setelah menyerahkan ponselku pada Jackson. "Setiap ada komentar buruk, selalu ada komentar kebaikan. Kau punya penggemar sekarang."

Mendengar apa yang dikatakan Alma refleks membuat wajahku berkerut berkali-kali lipat. Demi Tuhan, penggemar adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku dan sesuatu yang cukup kujauhi. Berbeda kalau kita membicarakan tentang penggemar rahasiaku a.k.a Steven, dia manis dan tidak merepotkan.

"Kesimpulannya, kau harus bijaksana dalam memilih." Jackson seketika membuyarkan pikiranku mengenai perbandingan antara Steven dan penggemar Aiden.

"What do you mean?"

"Because you are liked by two guy," sahut Jackson, "satu dengan gaya misteriusnya dan satu dengan gaya terbukanya."

"Aku lebih cenderung pada Aiden." Alma mengangguk pelan. "Maksudku dia lebih jelas terlihat, daripada Steven. Terlebih, siapa yang tahu kalau itu foto asli atau bukan. Bisa saja wajah tampan Steven adalah milik orang lain yang dia curi. So ....

"Welcome to his world," ujar Alma yang tanpa ia sadari sedikit membuka pikiranku mengenai Steven dan memberikan sedikit kekhawatiran tentang fake account.

Steven atau Aiden, kuharap pilihanku nanti tidak akan menimbulkan kesalahan.

Tapi ... hell, yeah, bukankah aku tidak tertarik untuk berurusan dengan hal yang disebut kencan? Jesus! Kuharap kau tetap menggenggam tanganku agar tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang sangat tidak penting.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top