9 : Doa :
3k words. unedited.
-;-
9
: d o a :
Mata Leia segera mencari sosok Nirna dan Radhia, dan menemukan dua perempuan itu duduk di kursi meja makan yang sudah diletakkan di sudut-sudut ruangan.
Nirna yang melihat Leia mendekat pun tersenyum dan melambai singkat. "Kayaknya, lagi ada yang senang, nih."
"Asyik ngobrolin apa aja tadi? Sampai semua tamu di dalam rumah dilupain gini," ujar Radhia dengan senyum menggoda.
Pipi Leia memerah. "Nggak banyak, kok. Cuma ngobrol sama ponakannya Bara aja."
Nirna dan Radhia hendak merespons, tetapi suara dari Pieter Van Wijck menyela mereka. Ayah Leia itu bersuara untuk mengumpulkan para tamu untuk mengelilingi meja makan dan memulai acara dengan doa. Setelah itu, kue ulang tahun—yang atas permintaan Leia, diganti dengan martabak—pun dibawa dari dapur oleh Kiyoko, ibu Leia. Usai tiup lilin, Leia memotong martabaknya. Potongan martabak pertama Leia berikan kepada ibunya, dan potongan kedua kepada ayahnya. Mereka berdoa untuk Leia, kemudian berfoto bersama sebelum mulai makan-makan.
Melihat Bara sedang bercengkerama bersama ayahnya, Leia pun merasa jantungnya meliar. Dia tidak tahu kenapa. Mungkin, karena harapan, atau mungkin karena khayalan. Dia pernah sesekali berkhayal Bara mendatangi rumahnya dan berkenalan dengan sang ayah. Tetapi, jelas dia kubur khayalan itu dalam-dalam. Bukannya tak berani bermimpi. Hanya saja, ini adalah jenis mimpi yang tak ingin dia kembangkan, sebab Leia dulu tahu bahwa mendapatkan Bara bukanlah prioritasnya. Karena itulah khayalan ini dia buang jauh-jauh. Kemudian terlupakan seiring waktu dia menyibukkan diri untuk bahagia dengan hidupnya sendiri. Bahkan, ketika dia mulai mendekati Bara, khayalan ini tak lagi mampir ke dalam benaknya. Sungguh, sampai sekarang pun Leia tak ingin berkhayal terlalu tinggi. Membayangkan sesekali tak masalah. Asal tak membuatnya berhalusinasi hingga lupa pijakan. Prinsipnya tetap kukuh; kenali Bara lebih dalam, dan jika sama-sama merasa cocok akan diseriusi, sementara kalau tidak cocok, dia akan tetap mau berteman baik. Kekukuhan inilah yang membuatnya tetap teringat pada realita. Bahwa Bara belum tentu jadi miliknya. Bahwa semesta selalu menyimpan kejutan pada tiap keputusasaan.
Mendapati es krim di cool box tinggal sedikit, Leia pun pergi ke dapur untuk mengambil stok es krim yang masih ada di kulkas. Di tengah jalan, dia melihat Oberon dan Juliet berebut gelas dan membuat guci keramik yang berada di sambil Oberon agak goyang, hampir mau jatuh. Terpekik, Leia segera berlari ke arah dua anak itu, menarik Oberon menjauhi guci dan menahan guci itu agar tidak jatuh.
Jantung Leia berpacu. Tubuhnya agak terisi adrenalin. Dia menatap sekitar. Untungnya, orangtuanya dan tamu-tamu lain tak melihat, karena gucinya terletak agak berjauhan dari ruang makan.
Sebenarnya, bukan masalah gucinya yang pecah. Hanya saja jika pecah dan mengenai tubuh Oberon serta Juliet, dia juga yang merasa tidak enak kepada keluarga sepasang kembar itu.
Leia menoleh kepada Oberon dan Juliet yang terlihat kaget. Sedetik kemudian, langkah kaki mendekat ke arah mereka. Mata Leia beralih ke sosok Bara yang baru datang dan memegangi pundak kedua keponakannya. "Ini ada apaan, Jul, Ron?" tanya Bara, menatap dua ponakannya bergantian.
Juliet menautkan alis dengan muka sebal ke arah kembarannya. "Aku ngambil es krim mangga duluan, Om! Tapi, malah direbut sama Oberon!"
"Ih, enggak, yah!" seru Oberon, tak terima. "Aku duluan yang ngambil! Lagian, kamu nggak segitu sukanya sama mangga, Jul. Ngalah, dong!"
"Loh, kenapa emangnya? Aku kan, lagi mau es krim mangga. Masa aku harus maksain kasih ke kamu, sih? Orang aku duluan yang ngambil!"
"Aku duluan! Tanganku duluan yang nyentuh gelasnya!"
"Enak aja! Aku duluan, tauk!"
"Udah, udah, udah," tegas Bara, terdengar menahan emosi. "Kalian itu rebutan es krim, sadar nggak, kalian rebutan sampai mau bikin guci itu pecah?" tanya Bara sambil mengedik ke arah guci yang tadi diselamatkan Leia.
Oberon dan Juliet terdiam. Mereka tak bicara apa pun dan hanya menundukkan kepala, merasa takut.
"Kalau guci itu pecah, kaki kalian bisa luka-luka," ujar Bara, kini terdengar lebih tenang dan sabar. "Guci keramik itu juga mahal harganya, Jul, Ron. Kasihan orangtua kalian kalau nanti harus ganti biayanya."
Kepala sepasang kembar itu makin menunduk. Juliet-lah yang pertama melirihkan kata maaf, dan diikuti oleh Oberon sesaat kemudian.
Bara mengambik napas panjang ke dalam paru-paru. "Ya udah, sekarang, kalau kalian udah bikin gucinya hampir jatuh, kalian harus apa?"
Juliet dan Oberon menatap satu sama lain, sama-sama berpikir, kemudian Juliet berkata, "Minta maaf, Om."
"Minta maaf ke siapa?"
"Ke yang punya gucinya." Mata Juliet pun melirik Leia. "Maaf, kak Leia...."
"Iya, maaf, Kak Leia...," ujar Oberon, menyadari kesalahan.
Oberon dan Juliet menatap Leia dengan pandangan agak bersalah. Leia merasa terenyuh melihatnya. "Dimaafkan, kok," ujar Leia lembut.
"Sekarang, kalau gucinya sampai jatuh terus pecah, kalian kan, yang kena lukanya?" tanya Bara. "Nah, tadi, Kak Leia udah bantuin mencegah gucinya nggak jatuh dari meja. Kalau udah digituin, kalian sebaiknya ngapain?"
"Bilang makasih," jawab Oberon dengan kernyitan. "Iya, kan? Soalnya, Kak Leia udah bantuin nahan gucinya biar nggak jatuh kena aku sama Ijul."
Bara tersenyum. "Ya lakuin aja apa yang menurut kalian pantas buat dilakukan."
Oberon menatap Juliet, kemudian sama-sama, mereka berkata, "Makasih, Kak Leia."
Leia tersenyum, merasa hatinya menghangat. "Iya. Lain kali jangan diulangi, ya. Nanti takutnya, kalian yang malah luka-luka."
"Iya, Kak," koor Oberon dan Juliet kompak.
"Ya udah, sini, mana es krimnya?" tanya Bara. "Dibagi dua aja, ya. Masih banyak rasa lainnya, kok."
Juliet yang memegang gelas es krimnya pun menyerahkan gelasnya kepada Bara dengan wajah agak tak rela. Bara mengambilnya dan meletakkan setengah es krim mangga di gelas yang lain untuk Oberon. Dia lalu agak berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan para ponakan. "Es krimnya udah meleleh. Kalian mau es krimnya ditaruh di kulkas dulu, nggak?" tanya Bara.
Sepasang kembar itu menatap satu sama lain, kemudian sepakat untuk memasukkan es krim ke dalam freezer dulu.
"Kalian ambil makanan apa pun yang kalian mau, habis itu, makan di halaman belakang kayak tadi aja," ujar Bara kepada ponakannya.
Leia berdeham. Memberanikan diri, Leia tersenyum dan berusaha berbaur, "Juliet, Oberon. Kalau mau es krim mangga, sisa es krimnya masih ada kok, di freezer. Atau lain kali, kalian main-main ke kedai Kakak aja. Di sana juga banyak stok es krim mangga."
"Yang bener, Kak?" tanya Juliet dengan mata berbinar. "Aku mau dong, kapan-kapan ke kedai Kak Leia."
"Aku juga!" seru Oberon. "Ada es krim rasa duren nggak, Kak?"
"Ada." Leia tertawa. "Oberon suka duren, toh?"
"Iya! Rasanya manis-manis maknyus gitu deh, Kak."
Tertawa, Leia lalu membawa mereka ke freezer dapur dan memberikan es krim yang masih tersimpan di sana. Es krim yang tadi Juliet dan Oberon ambil terletak di dalam cool box, dan masih ada sisa yang tersimpan di freezer. Leia mengambil dua es krim mangga untuk sepasang kembar itu, satu es krim rasa leci untuk dirinya sendiri, dan satu es krim alpukat untuk Bara.
Sambil menunggu Oberon dan Juliet mengambil makanan lain, Leia melihat ke arah para tamu yang terlihat cukup menikmati suasana sambil makan-makan. Orangtuanya dan Rima terlihat terlibat pembicaraan serius. Sementara Radhia dan Nirna sedang mengobrol dengan Aksel.
Menyadari ada yang menarik-narik roknya, Leia menoleh dan menemukan Juliet di belakangnya. "Kak Leia, ikut kami aja ke halaman. Ngobrol-ngobrol kayak tadi."
"Juliet," panggil Bara dengan nada memperingati, "Kak Leia banyak tamu. Nggak cuma kita aja tamunya Kak Leia."
"Nggak apa-apa, Kak Bara," ujar Leia. "Tamu yang lain juga pada asyik sama teman ngobrol mereka sambil pada makan."
"Beneran?"
"Iya." Leia tersenyum. "Ayo, ke halaman belakang."
Tak lama setelah mengambil makanan, mereka pun pergi ke gazebo halaman belakang. Di sana, mereka segera duduk di bangku kayu, melihat ikan koi yang berenang dalam kolam. Oberon dan Juliet membawa cukup banyak makanan; es krim, brownies, baked potato, jus jambu, serta ketan tabur abon dalam wadah daun pisang.
"Ini makanan buat Oberon sama Juliet semua?" tanya Leia, sangsi.
"Iya." Oberan menaik-turunkan kepala. "Om Bara lagi diet, makanannya nggak boleh banyak-banyak."
"Heh," tegur Bara. "Om itu tadi memang udah makan nasi. Kalian aja yang dari tadi yang belum makan makanan berat."
"Ngemil-ngemil tetap bikin kenyang kok, Om," ujar Juliet, lalu menyantap lagi es krim mangganya.
"Nanti habis makan es krim, baked potato-nya dimakan dulu. Biar kalian ada tenaga," ujar Bara, lalu memakan lagi es krimnya.
Leia melirik Bara sambil mengemut es krim dalam mulutnya hingga meleleh. "Kak Bara emang diet, Kak?" tanya Leia, membuat Bara sedikit menoleh. Jantung Leia seketika berisik hanya karena Bara menatapnya. Dia menarik napas agak tak terlalu gugup. "Maksudnya, Kak Bara kan, sekarang kurusan. Kalau emang diet ya nggak apa-apa. Aku cuma penasaran."
Bara tersenyum kecil. "Pengertian kamu terhadap diet itu apa, Lei? Tindakan untuk menguruskan tubuh lewat pola makan?"
Leia menimang sejenak. "Hm... enggak juga. Kalau ada orang kurus banget dan mau menggemukkan badan, itu juga bisa disebut diet. Diet kan, artinya aturan makan khusus. Jadi, diet bisa berarti aturan makan untuk menguruskan, atau menggemukkan tubuh hingga mencapai bentuk ideal." Leia melirik Bara lagi. "Atau, mungkin aku salah pengertian?"
Bara terdiam dengan senyum tipis di wajahnya. "Nggak, kamu benar." Dia mengalihkan pandangan ke arah kolam ikan. "Sebenarnya, diet itu aturan pola makan. Jadi, iya, saya diet. Mungkin, lebih enak disebut 'jaga pola makan biar nggak berlebihan makannya', biar nggak terlena buat makan hanya karena lapar mata. Makan itu ketika lapar betulan, bukan pas lapar mata. Yang saya jaga itu, sih."
"I see." Leia ikut menatap kolam ikan. Dua ponakan Bara sedang asyik menghabiskan es krim dan mulai beralih untuk makan baked potato yang tadi mereka bawa. "Kak Bara ikut olahraga, nggak?"
"Iya," jawab Bara. "Bela diri sama nge-gym aja, sih. Diajak sama Nolan waktu itu."
"Oh, iya? Bela diri apa, Kak?"
"Thai boxing."
"Whoa." Leia benar-benar takjub kali ini. "Udah berapa lama latihannya?"
Bara mengernyit sesaat. "Baru tiga bulanan, sih. Kalau nge-gym udah enam bulanan."
"Itu semuanya bareng Nolan?"
"Iya. Nolan yang ngajak sama Mahesa. Mereka emang rajin banget latihan fisik dari kuliah, sih."
"Hmm, gitu, ya." Leia menatap ikan koi yang berenang di kolam. "Ngomongin Nolan, jadi ingat. Sayang aja dia sama Mbak Kartini nggak bisa datang ke sini."
Bara menoleh sedikit, kemudian tersenyum miring dan menyuap es krimnya. "Mereka lagi honeymoon."
"Kenapa baru honeymoon sekarang, ya?"
"Nggak tahu." Bara terkekeh kecil. "Mungkin, buat adaptasi satu sama lain dulu. Kan, Nolan itu ngajakkin ke tempat-tempat yang buat petualangan gitu, bukan sekadar jalan-jalan aja."
"Ah, I see." Leia menyenderkan punggung di kursi, merasa tenang dari suara aliran air kolam dan sepoi-sepoi angin yang membelai kulitnya. Oberon dan Juliet masih sibuk menghabiskan makanan mereka.
Bara menjulurkan lidahnya di langit-langit mulut, membiarkan es krim dalam mulutnya meleleh di sana. Dia mengerling Leia dari sudut mata. "Eleiana," panggil Bara.
Degup jantung Leia nyaris berhenti. Dia melirik Bara perlahan-lahan. "I-iya, Kak?"
Bara menyuap es krimnya lagi. "Just saying, though. It feels like a miracle talking to you like this."
Leia mengerjap. Apa dia tidak salah dengar? "Miracle?" tanyanya, tak yakin. Siapa tahu dia salah tangkap ucapan Bara tadi. "Miracle dalam arti 'keajaiban'?"
Terkekeh, Bara menjawab, "Ya, itu. Tapi, kalau ditranslasi ke bahasa Indonesia berasa dangdut abis. Maksud saya bukan begitu padahal."
"Oh, jadi, maksudnya gimana?"
"It's just... you know, ini sebenarnya agak aib, sih." Bara menggaruk tengkuknya. Kemudian, dia menatap Leia. Sementara perempuan yang ditatap berusaha tidak gugup karena terus-terusan ditatap secara tiba-tiba. "Ya... Lei, kamu sadar kan, kalau kamu cantik?"
Leia mengerjap, merasa pipinya merona. "I-iya."
"Maksud saya, kamu sadar kan, kalau kamu cantik bukan main? Perempuan-perempuan secantik kamu biasanya nggak mau ngobrol, atau bahkan dekat-dekat sama cowok kayak saya. Kecuali, kalau udah tahu saya dokter. I mean... kamu tahulah kalau dulu itu saya gendut. Nggak ada cewek cantik yang tertarik sama cowok gendut kayak saya."
Leia terdiam, menatap Bara dengan hati terenyuh. Tapi, aku dari dulu udah suka sama kamu, Bar....
"Makanya, saya ngerasa ini somewhat kayak miracle aja gitu," lanjut Bara. "Bukannya nggak pernah ngobrol sama cewek, sih. Cuma, sama cewek secantik kamu itu hampir nggak pernah. Palingan mereka cuma nanya-nanya jalan, minta fotoin, atau apalah hal-hal remeh lainnya. Nggak pernah ngobrol beneran kayak gini. Keburu jijik ngelihat saya kali, ya."
Leia mengerjap, merasa hatinya sakit. Sedih rasanya melihat Bara seperti ini. "Kak Bara nggak seburuk itu...," ujarnya lirih. Ketika Bara menoleh, dia melanjutkan, "Kak Bara baik, cerdas, kritis. Kak Bara mau ngurus Oberon dan Juliet kayak tadi." Leia menawarkan senyum. "You are more than what you think."
Satu sudut bibir Bara terangkat. "Saya nggak sebaik dan sepintar yang kamu pikir, Lei."
Leia terdiam. "Mungkin, begitu. Aku juga nggak kenal-kenal banget sama Kak Bara. Tapi, sejauh ini, menurutku Kak Bara emang baik dan cerdas. Kenapa Kak Bara malah meremehkan diri Kakak sendiri?"
Bara membeliak, merasa terperanjat. Rasanya, dia habis ditampar dengan cara paling manis. Dia tak mengerti bagaimana mengungkapkannya. Akhirnya, Bara hanya terdiam selama beberapa waktu. Membiarkan suasana di antaranya sunyi dan hanya diisi dengan suara dari Oberon dan Juliet yang asyik mengobrol sendiri sambil makan, tak peduli dengan obrolan Bara dan Leia tadi.
Bara tersenyum sambil menatap kolam ikan yang jernih. "Thanks for the kind words, though," ujar Bara kemudian.
"Sama-sama," balas Leia. Kemudian, mereka kembali menikmati kesunyian dengan suara aliran air dari kolam.
Tak lama, mereka mendengar suara langkah menuju ke arah gazebo. Leia menoleh, mendapati Aksel mendekati mereka lantas berseru, "Bang! Mama udah minta pulang sekarang!"
Mengangkat alis, Bara pun beranjak dari kursi dan mendekati Aksel. "Sekarang banget?"
"Iyalah." Aksel memperlihatkan jam tangannya yang menunjukkan jarum pendek di angka satu. "Udah jam segini. Waktunya Mama arisan. Kata Mama, mending sekarang aja pulangnya daripada telat."
Bara menghela napas. Namun, dia tetap menuruti permintaan ibunya. "Ya udah. Kita salat dulu aja. Salatnya gantian. Lo jagain Oberon sama Juliet dulu selagi gue salat." Dia lalu menoleh kepada Leia. "Lei, saya mau numpang salat dulu. Ada tempat buat salat, nggak?"
"Oh, ada." Leia pun ikut beranjak. Dia mengambil sajadah untuk Bara, lalu menunjukkan kamar tamu yang kosong untuk tempat salat. Kemudian, dia pergi ke ruang makan untuk bertemu tamunya yang lain.
Rima segera menjumpainya di tengah jalan menuju ruang makan. Wanita paruh baya itu bertanya, "Kamu lihat Bara nggak, Lei?"
"Kak Bara lagi salat di sana, Tante," jawab Leia sambil menunjukkan kamar tamu.
"Oh, iya. Tante juga mau salat dulu. Sekalian pamit, ya, Lei. Tante ada acara juga soalnya."
"Iya, Tante," balas Leia. Mereka lalu pergi ke tujuan masing-masing.
Baru saja Leia ingin menemui Nirna dan Radhia, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Menoleh, Leia pun mendapati Sasa, ibu Radhia di belakangnya. "Eh, Leia," panggil Sasa. "Dari tadi ke mana aja? Bude cariin."
"Oh, aku tadi di belakang sih, Bude. Kenapa?"
"Tadi, Bude dengar-dengar dari obrolan mamanya Aksel, Lei," ujar Sasa. "Katanya, Aksel calon CEO Bentala, ya?"
Leia melirik ke arah lain. Dia mulai merasa tidak enak dengan obrolan ini. "Uhm... iya kayaknya, Bude. Aksel kan, juga udah lama kerja di Bentala. Dia juga kerjanya bagus banget."
"Ya ampun, Leia!" seru Sasa. "Kamu temenan sama cowok semapan Aksel loh, Lei! Jangan dikasih kendor. Ntar kalau keburu diambil cewek lain, kamu loh, yang nyesel nanti."
Ya ampun, Bude, batin Leia seraya mendesah. Seandainya aja Bude tahu kalau semua cewek yang dipacarin Aksel itu cuma dikerjain aja sama dia. "Uhm... nikah kan, nggak harus sama yang kaya raya banget, Bude.... Yang penting bisa menafkahi secukupnya. Lagian, aku juga bisa membiayai hidupku sendiri sama uang bisnis aku," ujar Leia.
"Iya, tahu," balas Sasa. "Tapi kan, tetap aja. Kamu layak kok, dapetin suami kaya raya yang bisa biayain kamu liburan ke Eropa sebulan sekali atau beliin kamu baju manapun yang kamu mau. Atau yang bisa kasih modal pesta nikah kayak artis-artis gitu, Lei. Bude mah, cuma bilangin aja daripada kamu nyesel."
Leia tersenyum, berusaha sopan. "Iya, Bude."
Sasa terlihat tidak puas dengan jawaban Leia. Dia melirik ke arah jalan menuju halaman belakang, lalu berkata, "Dari tadi, kamu ngobrol sama abangnya Aksel, ya?"
Tubuh Leia merasa membeku. "I...ya. Kenapa?"
"Nggak apa-apa, sih." Sasa menarik napas. "Cuma ya, Bude mau kasih nasihat aja. Bara emang baik. Dia dokter pula. Tapi kan, dia masih dokter umum, Lei. Gajinya emang oke, cuma, kalau dibandingkan gaji CEO perusahaan besar kayak Bentala ya... jauh, Lei."
Mata Leia membeliak. Ada bagian dalam dirinya yang merasa sakit. "Bude, nggak sopan ngomongin pendapatan orang lain kayak gitu."
"Bude cuma ngomongin fakta, Lei. Kamu kok ya, dibilangin malah marah. Mulai ketularan bebalnya Radhia, ya?"
Kepala Leia mundur dengan wajah kaget. "Bude, aku cuma mengingatkan. Misal ada orang yang membanding-bandingkan gaji ayahku sama gaji suami Bude, bukannya itu nggak sopan juga? Apa Bude nyaman mendengarnya?"
Seketika, wajah Sasa terlihat tertegun dan masam. Sebelum melengos pergi, dia mendecak dan berkata, "Emang benar ya, kamu udah mulai ketularan bebalnya Radhia."
Leia menahan diri untuk tidak emosi. Dia tak pernah merasa seemosi ini sebelumnya kepada budenya sendiri.
Mengepalkan tangan untuk mencegah emosi meledak, Leia menarik napas juga untuk menenangkan diri. Tepat ketika Sasa sudah pergi, dia melihat Bara keluar dari arah kamar tamu, dan kini tengah berjalan menuju Leia. Teringat ucapan Sasa, mendadak, Leia merasa sedih. Memang bukan dirinya yang membandingkan. Tetapi, rasanya dia tetap sedih, entah kenapa.
Bara mendekati Leia, lantas tersenyum. "Saya lupa mau ngasih sesuatu."
Leia berusaha tersenyum. "Ngasih apa?"
"Ini, dari saya dan Aksel," ujar Bara seraya merogoh saku celananya. Kemudian, dia mengeluarkan sebuah kotak kado kecil—hanya seukuran setengah telapak tangan—dan memberikannya kepada Leia. Bara tersenyum ketika memberikan kado itu. "Selamat ulang tahun, Eleiana. Semoga selalu dalam lindungan-Nya dan senantiasa dituntun dalam jalan yang benar."
Leia tertegun. Tak menyangka Bara akan memberinya kado. Ya, memang benar ini ulang tahunnya dan wajar saja orang memberi kado. Tetapi, Bara? Dia bahkan tak pernah membayangkan Bara memberikannya hadiah. Dalam tiap angannya, dia hanya berharap Bara mengobrol dengannya, semakin kenal, semakin dekat. Maka, hal ini tak ayal membuatnya senang bukan main. Meskipun hadiahnya disebut Bara sebagai hadiah 'dari Bara dan Aksel', seandainya pun kadonya bukan sesuatu yang mewah, Leia tak mempermasalahkannya. Dia tetap bahagia.
Tersenyum lebar dengan mata agak menyipit karena senang, lembut, Leia berkata, "Makasih banyak, Kak Bara."
Lagi-lagi, Leia menemukan tatapan ramah dan jenaka di mata Bara. Ada kehangatan juga dalam sana. Tatapan mata ini tak berubah, tetap sama seperti tatapan yang membuatnya jatuh hati kepada lelaki itu sejak dulu. Bara yang baik kepada semua orang lewat hal-hal kecil. Leia pun kontan teringat dengan hot chocolate tadi.
"Kak Bara," panggil Leia, membuat Bara memberi perhatian kepadanya. "Kak, maaf, ya. Aku baru tahu kalau Kak Bara nggak suka cokelat."
Bara mengernyit. "Siapa yang bilang?"
"Aksel, Kak."
"Oalah." Bara tersenyum, mengibas tangannya. "Nggak apa-apa. Lagian, saya cuma nggak suka, bukan alergi. Masih bisa ditoleransi."
Leia tersenyum. yakin bahwa jikalau pun yang menawarkan hot chocolate tadi bukan dirinya, Bara akan tetap meminum hot chocolate yang tak disukainya itu karena merasa tak enak kepada orang yang menawarkan.
"Ah, udah kelar si Aksel," ujar Bara setelah melihat Aksel keluar dari kamar tamu sehabis salat, sementara Rima dan ponakan Bara sedang berpamitan dengan orangtua Leia. Bara pun menatap Leia, tersenyum. "Saya pulang dulu, Eleiana. Wassalamu'alaikum."
Leia mengangguk. "Wa'alaikumussalaam. Hati-hati di jalan, Kak."
Beberapa menit kemudian usai Bara dan Aksel berpamitan dengan yang lain, rombongan itu mulai pulang, kemudian diikuti tamu-tamu lain tak lama kemudian. Seusai membereskan sisa-sisa acara ulang tahunnya, Leia ke kamar dan mulai membuka kado dari beberapa tamu yang memberikan. Matanya melirik ke arah kado dari Bara dan Aksel. Dia mengambil kado itu, membukanya, dan menemukan sebuah bros logam berbentuk matahari yang berwarna emas. Terdapat kertas kecil terlipat yang ditempel dengan selotip ke peniti bros. Leia membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya.
Eleiana (dari Eliana/Eleana) nama yang berarti "matahari".
Mendadak, seolah ada buncahan-buncahan dalam dada Leia. Bibirnya tertarik ke atas tanpa diperintah. Hatinya menghangat dan rasa bahagia memenuhi dirinya. Hal-hal kecil seperti ini sungguh membuatnya merasa diperhatikan. Walaupun Leia sadar bahwa Bara memang baik kepada semua orang, dan kemungkinan besar memang perhatian Bara kepadanya sama seperti perhatian Bara kepada semua teman-temannya, tetap saja itu tak mengurangi rasa bahagianya, hanya mengembalikan Leia pada realisasi bahwa Bara kemungkinan besar hanya menganggapnya sekadar teman.
Leia tak masalah dianggap teman. Namun, dia juga tak mau berada dalam zona pertemanan yang takkan beranjak kemana-mana. Leia tak munafik. Dia memang menginginkan Bara. Segala usahanya selama ini bertujuan ke situ, tetapi dia sadar bahwa Bara Langit belum tentu menginginkan dirinya juga.
Menghela napas dan mengingat-ingat dirinya yang dulu, Leia pun bersyukur sudah membuat keputusan untuk tidak mendekati Bara saat dua tahun lalu dia menyadari perasaannya kepada lelaki itu. Mengenali Bara memang butuh perjuangan, butuh keberanian dari hal-hal yang selama ini membuatnya urung melakukan. Sekarang, Leia merasa lebih paham bagaimana cara untuk tetap berpijak ke realita, untuk tak terlalu berharap dan bersiap ikhlas jika memang hasilnya tak sesuai keinginan awal. Jika dia yang dulu mendekati Bara, isi otaknya pasti hanya fokus untuk mencari cara bagaimana agar Bara jadi miliknya, tak memberi ruang untuk menyayangi diri sendiri, untuk menghargai waktunya sendiri, dan untuk membahagiakan diri sendiri.
Mengelus bros matahari itu, dia pun teringat dengan budenya yang tadi sempat membanding-bandingkan Bara dengan Aksel. Dan mendadak, rongga dadanya terasa mengerat. Memang bukan dirinya yang sedang dibanding-bandingkan. Tetapi, rasanya pedih membayangkan ada di posisi Bara.
Berat banget pasti jadi kamu, Bar, yang punya adik laki-laki secemerlang Aksel, batin Leia, merasa hatinya sesak dan dia ingin menangis. Menangis untuk Bara. Nggak kebayang gimana perasaanmu, apalagi pas dulu, di saat kamu belum ada prestasi sementara Aksel udah mencuri perhatian orang-orang dengan kecemerlangannya. Nggak kebayang pas dulu kamu masih gendut, sementara Aksel dipuji-puji atas paras rupawannya. Leia pun memejamkan mata, merasa hatinya pedih sekali di posisi Bara. Padahal, dia baru membayangkan, tidak mengalami sendiri, tidak menjalani hidup Bara secara langsung. Namun baru seperti itu, Leia sudah merasa sakit hati bukan main. Akhirnya, beberapa tetes tangis keluar dari matanya. Dalam diam, dia hanya bisa berdoa, Semoga Tuhan senantiasa menguatkan dan melembutkan hatimu, Bara Langit. Sebagaimana kamu selama ini berlaku baik kepada semua orang. Dan, aku bersyukur bisa mengenal kamu serta menjadi orang yang kamu perlakukan dengan baik dan sopan hingga sekarang.
[ ].
-;-
A/N
Bray, jangan terlalu ngarep update terus-terusan. Ngarep itu bahaya loh. Apalagi ngarep ke penulis kayak gue.Gue bukan budak hiburan lo yang kerjanya cuma nulis doang, euy. Makanya, gue tulis di Prakata kalau update-nya seabad sekali. Sekadar ngingetin aja biar kalian nggak ngarep gitu maksudnya. Karena emang akan ada waktunya gue bener2 gabisa nulis akibat kesibukan di dunia nyata.
Ini buat ngingetin aja sih biar kalian nggak terlalu ngarep, termasuk untuk hal-hal yang barangkali sepele kayak cerita Wattpad gini. Dari hal-hal kecil bisa berdampak ke hal-hal besar, sih, biasanya. Gue sendiri juga sampai skrg ngerasain kok, gimana rasanya nungguin update-an dari cerita Wattpad yang gue suka. Gue cuma berharap penulisnya bisa menyelesaikan karya mereka (mau di Wattpad, mau diterbitin secara cetak, mau dibikin ebook berbayar di google.play, terserah, itu hak mereka) dan mereka menyiapkan ending yang memuaskan (gak harus happy end, tetapi ada sesuatu yg bisa gue pelajarilah dari ending itu).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top