4 : Serabi :
Apdet terakhir sebelum berangkat ke Lampung. Makanan enak di sana paan dah.
-;-
4
: s e r a b i :
Pada hari Sabtu, kedai Leia buka hingga jam enam sore.
Lokasi kedai "Toska" yang menyediakan serabi dan es krim terletak di dekat SMP dan SMA. Cukup banyak anak-anak sekolahan yang datang karena biasanya, hari Sabtu itu diisi oleh kegiatan ekstrakurikuler. Para siswa banyak yang melepas penat di sini sambil bercengkrama dengan kawan sebayanya.
Di ujung ruangan, terdapat kasir yang bersebelahan dengan tempat freezer besar khusus menyimpan es krim. Sementara itu di belakang tembok kasir terdapat dapur tertutup untuk membuat serabi dan minuman. Dapurnya kecil, tetapi kompatibel dan bersih.
Di dapur, berdiri sambil menuangkan adonan serabi, Leia berkonsentrasi pada serabi-serabi di cetakan lain yang mulai matang. Dia meletakkan topping-topping ke atas serabi sesuai pesanan, kemudian meneguk air mineral selagi menunggu serabi-serabinya matang.
Enam bulan setelah kedainya dibuka, Leia sudah memiliki beberapa karyawan untuk melayani pengunjung kedainya. Tanpa dirinya pun, para karyawan ini bisa tetap bekerja. Hanya saja, Leia menyukai pekerjaannya ini. Berbisnis membuatnya lebih leluasa dan fleksibel untuk melakukan hal yang dia inginkan.
"Ramai banget, Lei," ujar Radhia, kakak sepupunya yang sudah menikah. Dia tengah main-main ke kedai Leia berhubung sekarang akhir pekan. "Banyak dedek-dedek pada nongkrong."
Leia tertawa, menengok sejenak ke arah sepupunya yang warna cat rambutnya masih setia di warna abu-abu. "Wajar aja. Kan, emang kedaiku dekat sekolahan."
"Ya syukur aja kalau ramai." Radhia menatapi serabi yang telah diberi topping. "Di lantai atas tapi nggak ramai-ramai amat, ya?"
"Iya. Kamu mau ke atas? Atau mau istirahat di ruanganku aja?"
"Nggak. Di sini aja. Orang gue mau ngobrol sama lo." Radhia menduduki sebuah bangku. "Lei, boleh minta serabi lagi, nggak? Topping-nya es krim cokelat, hehe."
Leia terkekeh. "Ya, boleh, boleh. Tunggu bentar, ya." Dia kembali lagi fokus pada serabi-serabinya yang mulai matang. Tangannya cekatan mengambil serabi itu dan meletakkannya di piring, kemudian diberi topping lagi sesuai pesanan.
Radhia sedang menikmati es krimnya ketika mendengar suara derum mobil dari luar ruangan. Perempuan berambut abu-abu itu pun bangkit untuk melihat siapa yang datang. Pasalnya, jarang ada yang datang membawa mobil, sebab pengunjung biasanya datang dari murid-murid yang sekolahnya berdekatan dengan kedai, sehingga hanya butuh jalan kaki beberapa meter untuk mencapai Toska.
Sebuah mobil Ford Everest baru saja diparkir di dekat kedai. Radhia dapat menangkap sosok lelaki yang sangat tinggi sedang mengunci mobil, kemudian memasuki pekarangan kedai dan di saat itulah, Radhia terpekik dan terbatuk-batuk karena tersedak es krimnya.
"Eh, Rad, hati-hati," ujar Leia khawatir. Dia meminta karyawannya untuk menggantikannya memasak, kemudian memberikan air mineral kepada sepupunya. "Ini, minum dulu."
Radhia meneguk air mineral perlahan. Setelah itu, dengan cepat dia berkata, "Leia, barusan gue ngelihat Bara di depan kedai lo. Itu beneran Bara bukan, sih?"
Terheran dan sangsi, Leia pun melirik sejenak dari pintu dapur. Saat melihat Bara Langit Hadiwinata berjalan santai memasuki kedainya, matanya spontan membelalak. Tubuh Bara yang tinggi dan wajahnya yang dewasa seketika mencuri perhatian para pengunjung lainnya. Pria itu melihat-lihat interior kedai sebelum mendatangi kasir.
Leia segera berbalik dan mendekati Radhia dengan muka panik. "Astaga, itu beneran Bara." Leia menangkup kedua pipinya. Tak pernah sekali pun dalam mimpinya dia berpikir Bara akan mendatangi kedainya, walau hanya dengan alasan ingin mencoba makanannya pun, Leia tak pernah membayangkan. Masih ada kedai serabi atau kedai es krim lainnya di Jakarta. Tak perlu datang ke kedainya jika hanya ingin mencoba serabi atau es krim. "Aku di dapur aja, Rad. Aku nggak akan keluar-keluar."
"Mbak Lei!" seketika itu, Leia dipanggil oleh Maria, karyawannya yang bertugas di kasir. "Mbak dicariin sama orang."
Jantung Leia berdegup kencang. Nggak. Nggak mungkin Bara, kan? batinnya berkata. "Sama siapa?"
"Sama cowok, namanya Bara Langit. Dia udah nunggu di depan, Mbak."
Debar jantung Leia makin menggila. Dia menatap Radhia cepat, seperti memohon meminta bantuan. "Aku nggak tahu harus ngomong apa."
Radhia hanya tertawa. "Udah, datengin aja. Palingan cuma say hi, minta rekomen menu favorit, atau ngobrol-ngobrol tentang kedai lo. Santai aja, Leia." Kemudian, Radhia menambahkan, "By the way, Bara jadi seger-seger ganteng gitu, ya. Badannya tinggi, kekar, terus kelihatan gagah gimanaaa, gitu."
Tawa ringan Leia terurai. Leia bersyukur kelakar Radhia bisa mencairkan perasaannya yang gugup. Leia menggigit bibirnya, menatap ke arah pintu dapur dengan tak yakin. Setelah menenangkan diri, akhirnya dia berjalan keluar. Namun, saat melihat Bara yang sedang membaca menu dari kasir, dia otomatis berbalik ke arah Radhia. "Radhia, aku malu banget. Aku takut malah gugup ngobrol sama dia."
"Ya ampun, Leia!" Radhia tertawa lebih keras, yang spontan diberi tatapan peringatan karena dapur mereka bukan dapur kedap suara. "Leia, santai. Tarik napas dalam-dalam dan keluarkan lewat mulut." Seusai melihat Leia menuruti ucapannya, Radhia melanjutkan, "Percaya sama gue, Lei. Bara paling ke sini buat nyicip makanan di kedai lo. Palingan, dia minta rekomen menu favorit sekalian ngobrol tentang pembuatan kedai. Ya... barangkali aja, dia berminat buat buka usaha di bidang kuliner juga. Who knows? Jangan gugup. Lo jawab aja apa yang dia tanyakan."
Leia terdiam, mengecam dan menekankan alasan-alasan itu ke dalam otaknya. Logikanya seketika berjalan lagi. "Iya." Dia manggut-manggut. "Dia mungkin datang karena penasaran mau nyoba makanan di sini. Oke, aku keluar dulu."
"Semangat, ya." Radhia tersenyum dan mengepalkan kedua tangannya, menyemangati. Leia terkekeh dan segera berjalan keluar dapur. Jantungnya berdegap sedikit lebih cepat saat melihat sosok Bara yang terlihat segar dengan kemeja berbahan jeans yang menekuri buku menu. Namun kali ini, dia lebih bisa mengontrol diri agar lebih tenang.
Leia berjalan ke kasir dan mendekat ke arah Bara. "Hai, Kak Bara," sapanya, ramah.
Bara teralih sejenak dari buku menu untuk menatap sumber suara. "Ah, Leia." Dia tersenyum, tetapi terlihat bingung. "Ini... jadi, sebenarnya, ibu saya minta saya buat beliin dia serabi dari kedai kamu." Bara meraih ponsel di saku celana, kemudian mengernyit saat membaca lagi isi chat ibunya. "Tapi, saya nggak tahu menu favorit dia apa. Pas saya tanya, ibu saya suruh saya nanya ke kamu aja."
Leia mengerjap. Hal ini tak pernah terpikirkan olehnya. "Menu favorit Tante Rima?" tanyanya, ikut bingung, sebab.... "Kak, Tante Rima sendiri belum pernah datang ke kedai aku. Selama ini, aku ngobrol sama dia di tempat lain."
Wajah Bara dilanda syok. Dia membeliak, kemudian menatap lagi ke arah ponselnya dengan wajah tak percaya yang menurut Leia terlihat konyol. Kemungkinan Bara sedang dikerjai oleh ibunya membuat Leia ingin tertawa.
"Oh, gitu, ya?" tanya Bara, benar-benar terlihat konyol dengan kesangsiannya sendiri, membuat Leia tersenyum geli. Pria itu pun berdeham, lalu berkata, "Ya udah, tunggu bentar." Kemudian, Bara berbalik dan keluar dari kedai ke pekarangan sambil menghubungi ibunya.
Leia tertawa kecil dan geleng-geleng kepala. Dia kembali ke dapur menemui Radhia yang baru saja menghabiskan es krimnya.
Radhia tersenyum menggoda. "Gimana sama Bara?"
"Kayaknya, dia dikerjain ibunya." Leia terkekeh, lalu menceritakan kejadian tadi kepada Radhia.
Di akhir cerita, Radhia ikut tertawa. Namun, dia justru membalas, "Gue tuh curiga, deh. Kayaknya, Tante Rima ngebet jadiin lo menantu dia."
Meninggikan alis, Leia lalu tertawa. "Buat apa?" dia berkata sangsi. "Tante Rima nggak perlu jadiin aku menantu kalau dia mau ngobrol-ngobrol terus sama aku. Aku senang kok, ngobrol sama Tante Rima. Terlepas dari dia ibu Bara dan Aksel atau bukan, aku bakal terima ajakan dia buat ngobrol-ngobrol karena Tante Rima emang orangnya enak diajak diskusi gitu."
"Emak-emak gaul dia." Radhia tersenyum. "Kalau ternyata emang benar Tante Rima mau lo jadi menantu dia, gimana?"
Leia tersenyum tipis. "Kalaupun ibunya mau, belum tentu anaknya juga mau."
"Nggak mau nyoba deketin dia? Maksudnya, lo bukannya udah merasa bahagia dengan diri lo sendiri? Nggak mau coba kenalan, gitu?"
Bergeming, Leia memikirkan ucapan Radhia baik-baik. Sepupunya itu benar. Kenapa tidak coba kenalan? Dua hal yang dulu membuatnya urung berkenalan dengan Bara adalah karena dia memang tak secinta yang selama ini dia pikir terhadap Bara, jadi hanya sebatas suka tapi bukan ingin memiliki sepenuhnya, dan alasan kedua adalah karena dia belum menemukan kebahagiaan sendiri, sehingga jika Leia berusaha mengenali Bara, dia takut malah terhisap untuk terus-terusan memikirkan cara demi membuat Bara tertarik kepadanya. Leia tak ingin otaknya hanya memikirkan Bara dan hanya Bara. Dulu, Leia sadar bahwa prioritasnya saat itu bukanlah Bara, melainkan dirinya sendiri. Dia ingin bahagia dengan dirinya sendiri tanpa perlu menggantungkannya kepada orang lain.
Namun kini, setelah dia mendapatkan hal yang dia inginkan, setelah dia bahagia dengan apa yang dia kerjakan, maka apa lagi yang dia khawatirkan untuk berkenalan dengan Bara? Hanya berkenalan. Jika ternyata tidak cocok pun, bukan masalah. Lagi pula, Leia yakin dia bisa lebih mengontrol dirinya sendiri agar tak hanya fokus hanya memikirkan Bara. Dia sadar bahwa dia punya banyak hal lain yang bisa membuatnya bahagia selain Bara.
"Oke," akhirnya, Leia berkata. "Aku bakal coba kenalan. Cuma kenalan aja, it won't hurt, right? Kalau cocok, ya udah, kalau nggak cocok juga nggak masalah."
"That's my girl," ujar Radhia, puas. "Sana gih, coba samperin Bara. Keburu orangnya pulang."
Leia mengangguk lantas berjalan keluar dapur, lalu melangkah keluar pintu masuk kedainya. Bara masih terlihat sibuk dengan telepon. Leia hanya menebak-nebak, barangkali Bara sedang berbicara ibunya.
Bara menoleh ketika dia mendengar suara bel pintu yang berbunyi. Pintu kedai Leia bersuara ketika ada yang keluar atau memasuki kedai. Melihat Leia berjalan mendekat, Bara berbicara kepada ibunya, "Ma, ini ada Leia. Mama mau ngomong ke dia, nggak? Biar tahu apa serabi yang Mama mau?"
Setelah beberapa detik bicara, Bara akhirnya menyerahkan ponselnya kepada Leia. "Ibu saya mau ngomong sama kamu," ujar Bara.
Leia menerima telepon dari Tante Rima. "Halo, Tante? Ini Leia."
"Leiaaa!" seru Rima dengan girang. "Ih, Lei, Tante sebel, deh. Bayangin coba, si Bara masa nggak tahu topping favorit ibunya sendiri apa. Ya udah, Tante bilang aja tanya ke kamu."
Menyadari dugaannya benar tentang Bara yang dikerjai ibunya sendiri, Leia pun tertawa panjang. "Kasihan Kak Bara, Tante. Dia tadi ke kedaiku tapi nggak tahu apa yang harus dipesan. Emangnya, Tante mau serabi rasa apa?"
"Adanya apa, Lei? Jangan rekomen menu yang aneh-aneh kekinian gitu, ya. Tante takutnya nggak doyan."
"Kalau nangka, mau? Adonannya bisa original atau pandan. Ada yang juga topping kayak pisang, keju, meses, selai stroberi atau srikaya. Tapi, kalau Tante mau pakai kuah santen atau kuah gula merah juga ada."
"Mau yang pisang dong, Lei. Adonannya pandan pakai kuah gula merah. Sama satu lagi, sebentar," Leia bisa mendengar sebuah obrolan samar-samar dari seberang sambungan, "satu lagi pesan yang original pakai meses. Pakai kuah santan. Masing-masing tadi dua, ya."
"Bentar, aku catat dulu pesanannya. Ini tadi lagi di luar kedai." Leia segera berjalan masuk ke dalam kedainya, lalu mencari pulpen dan bon untuk menulis pesanan Rima. Dia mengulangi pesanan Rima untuk memastikan kepada sang pemesan, kemudian menyerahkannya ke salah satu karyawannya. "Udah itu aja, Tante?"
"Iya. Itu aja. Kalau Bara mau makan di situ dulu, terserah. Pokoknya, balik ke rumah, dia harus bawain serabi pesenan Tante."
"Oke. Aku balikin teleponnya ke Kak Bara, ya." Setelah persetujuan Rima, Leia mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya.
Bara berbicara sebentar dengan sang ibu sebelum mengakhiri panggilannya. Menatap Leia, Bara lalu berkata, "Tolong maafkan ibu saya yang... ribet."
Leia tertawa. "Tante Rima baik, kok. Orangnya asyik diajak diskusi."
"Emangnya, kamu diskusiin apa aja sama ibu saya?" Sejenak, Leia dapat melihat mata Bara yang berbinar tertarik. "Pas di nikahan Nolan, saya ngelihat kamu sama ibu saya kayaknya ngobrol lama banget. Kalian ngobrolin apa aja?"
"Ngobrolin banyak hal, sih." Leia mendengak, menatap langit-langit sambil mengingat-ingat. "Prinsip, pandangan hidup, masalah asmara, trus... banya, sih. Aku sampai lupa ngobrolin apa aja."
Bara terdiam. Dia melirik kasir dan Leia bergantian. Sesaat kemudian, dia mendekati kasir dan memesan makanan, lalu kembali ke Leia dan berkata, "Lei, ada waktu bentar, nggak?"
Mengernyit, Leia pun mengangguk. "Ada. Emangnya kenapa?"
"Mau ngobrol. Boleh minta waktunya?"
"Boleh." Leia menunjuk ke arah tangga. Pikirnya, barangkali Radhia benar. Mungkin saja, Bara berniat buka usaha di bidang kuliner. Siapa tahu? "Di sini ramai. Ngobrol di atas aja, ya?"
"Oke." Bara mengangguk. Dan, Leia tak menyadari bahwa intensi Bara dan prediksi Radhia tidak berada dalam persamaan yang ekuivalen.
[ ].
a/n
ada yg gemaz dengan ketidakpeqaan maz bar dan leia? LOL.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top