2 : Tanya :
2
: t a n y a :
Ultimatum dari Aksel datang ketika mereka sudah sampai rumah, tepat setelah Bara memasuki kamarnya dan Aksel mengikuti dari belakang.
Isi ultimatum itu adalah, "Bang, pokoknya lo aja yang deketin Leia."
Bara spontan memejamkan mata dan mengambil oksigen ke paru-paru. Dia melangkah ke lemari, lalu menoleh ke arah Aksel. "Berapa lama Mama ngobrol sama Leia pas di nikahan Nolan?" tanya Bara selagi mengambil baju ganti.
Aksel menduduki sofa tunggal di depan tempat tidur dan mendesah. "Tiga jam."
"What the hell?" Bara yang mengambil baju kontan melebarkan mata. "Tiga jam? Lo yakin?"
"Lebih. Nyaris empat, malah. Tahu kapan kali terakhir Mama kuat ngobrol lebih dari tiga jam sama satu cewek?" tanya Aksel sambil menatapi lantai. "Terakhir itu pas Mama pertama ketemu Virga."
"Oh my God."
"Bang, Leia sama sekali nggak tertarik sama gue," ujar Aksel, tegas. "Sa-ma se-ka-li. Zero interest. No feedback. Jadi, jangan pernah ngarepin gue bisa ngegaet Leia."
"Trus, lo ngarepin gue yang deketin Leia?" tanya Bara, sangsi. "Aksel, let's use a little logic, okay? Sama elo aja si Leia nggak tertarik. Apalagi sama gue?"
Aksel terdiam sesaat. "Iya juga, sih."
"Makanya tadi gue bilang. Mungkin, selera Leia itu sekelas pangeran Keraton."
"Duh, kenapa sih, Mama selalu aja minta kita deketin cewek yang jelas-jelas susah banget dideketin? Dulu Virga, sekarang Leia. Gue nggak tahu mereka maunya sama cowok kayak gimana, njir."
Bara menarik napas panjang. Dia sendiri juga heran. Tiga puluh tahun dia hidup, dari ratusan perempuan yang pernah Aksel pacari, serta dari belasan gadis yang pernah Bara taksir, tak ada satu pun dari perempuan itu yang berhasil memasuki standar ibunya. Dia ingat saat dulu, ibunya pernah berkata, "Gadis kecil ini bisa jadi calon menantu yang baik," kepada Virga yang saat itu masih SMP. Kala itu, Bara dan Aksel menanggapi dengan tertawa, menganggap ibunya bercanda, hingga akhirnya Aksel berkenalan dengan Virga dan alhasil, Aksel terobsesi dengan gadis itu sampai sekarang.
"Mama cuma nggak mau loh, kalian malah menikahi perempuan bodoh," Bara ingat ibunya dulu berkata, "Mama sih, cuma kasihan aja sama kalian. Kalau kalian sampai salah pilih calon istri, misal malah memilih istri yang cuma manut-manut aja sama suami, yang nggak bisa diajak diskusi sesuatu yang selama ini bikin kalian tertarik, Mama ngeri kalian nggak bisa mempertahankan pernikahan. Mama ngomong gini karena Mama tahu isi otak kalian itu kayak gimana. Kalian itu nggak akan betah untuk hidup dengan orang-orang seperti itu."
"What's so special about Leia?" akhirnya Bara bertanya, heran. Dia melepas kemejanya dan melemparnya ke keranjang baju kotor. "I could see why Virga is special. Tapi, gue nggak bisa ngelihat apa yang spesial dari Leia selain dari fakta bahwa dia cantiknya nggak ketakar."
"Cantiknya emang bikin sakit gigi, sih. Ngeri." Aksel geleng-geleng kepala. "Tapi, jujur, gue juga awalnya mikir si Leia ini kayak cewek pada umumnya, yang hidup sesuai standar masyarakat, jadi perempuan baik, kuliah baik, IPK baik, lulus dan dapat kerja di perusahaan yang bagus, berharap nikah sama cowok yang mapan dan kaya-raya, and yada yada you know the rest. Cewek kayak gitu isi otaknya terlalu membosankan buat ukuran cowok-cowok kayak kita, kan?" Aksel mengernyitkan alis. "Tapi, coba lo pikir deh, Bang. Mama tahu otak kita kayak gimana. Kalau Mama udah sampai kayak gini ke Leia, berarti memang ada something yang bikin Leia beda dari pandangan kita ke dia selama ini."
Bara meletakkan baju ganti yang ingin dia kenakan di kasur. "Sel, masalahnya itu bukan cuma gue mau deketin Leia apa enggak—"
"Lo nggak mau deketin Leia?" tanya Aksel, heran. "Seriusan?"
Sejenak, Bara tak bergeming. "Nggak tertarik, sih."
"Anjir. Secantik itu nggak bikin lo tertarik?"
"I've told you. Gue tadinya mikir dia itu cewek pada umumnya, yang mungkin berpikiran agak sempit." Bara duduk di kasur, menunda keinginannya untuk mandi demi tuntas bicara dulu dengan sang adik. "Iya, dia emang cantik. Tapi, ya, terus apa? Emangnya kalau dia cantik, gue harus gila-gilaan cinta mati sama dia, gitu? Kan enggak."
"Ya... kagak, sih." Aksel melepas dasi yang sudah dia longgarkan. "Tapi, emangnya lo benar-benar nggak tertarik deketin dia, gitu? Zero interest juga kayak Leia ke gue?"
"Entah. Dulu asumsi gue, dia tipe berpikiran sempit gitu, sih. Hidup mengikuti standar masyarakat, takut kalau dirinya nggak sesuai standar masyarakat ini, and yada yada. Makanya, gue nggak terlalu tertarik. Gue kenal dia ya sekadar tahu aja."
"Itu dulu. Kalau sekarang?" Alis Aksel meninggi. "Leia udah lolos 'saringan' dari Mama loh."
Bara menyisir rambutnya, menatap ke arah jendela yang hanya tertutup vitrase, sehingga membuatnya dapat melihat jalanan dan rumah-rumah lain dari lantai dua kamarnya meski samar. Dia pun menghela napas. "Tertarik deketin, sih. Tapi, yah, logika aja, Sel. Kalau Leia gue deketin, yang ada dia malah kabur duluan."
"Yailah, Bang. Coba dulu. Siapa tahu ada keajaiban."
"Keajaiban ndasmu."
"Ya habis gimana. Lo nggak ngelihat muka Mama gimana pas ngomongin Leia?" Aksel pun memasang raut wajah mendamba seperti raut wajah ibunya tadi sambil menatap titik imajiner di dinding. "Aksel, Bara," ujar Aksel dengan nada melengking ala perempuan, yang justru terdengar seperti suara tikus terjepit di telinga Bara. "Mama tadi ngobrol lama sama Leia. Dia kayaknya bisa jadi calon menantu yang baik, deh. Leia itu cantik, cerdas, dewasa, dan berkelas."
Bara menarik napas sambil memutar bola mata. "Kenapa nggak lo aja sih, yang deketin Leia? Siapa tahu kalau pakai strategi yang berbeda, dia bisa tertarik ke elo."
"Bang, kan, udah gue bilang," ujar Aksel dengan nada bosan. "Leia has no interest with me. Demi Tuhan, dia bahkan pernah bilang sendiri ke gue kurang lebih kayak gini." Aksel berdeham, sekali lagi mengganti suaranya seperti suara perempuan yang justru terdengar seperi suara tikus terjepit, "Aksel, maaf, aku bukannya bermaksud kegeeran. Tapi, ngelihat belakangan ini kamu deketin dan flirting ke aku secara intens, mungkin, kamu mau bikin aku jadi pacarmu yang ke sekian. Sebelum kita berhubungan lebih lanjut, aku cuma mau menegaskan kalau aku selama ini cuma tertarik sama kamu buat temenan aja. Kamu orang yang asyik dan enak buat diajak kerja sama. Aku harap kamu nggak sakit hati dan hubungan kita tetap baik."
Bara menatap Aksel datar, lalu bertanya, "Lo barusan ngibul?"
"Anjeng, gue serius!" seru Aksel, jengkel. "Ini serius, Bang. Dia pernah bilang sendiri ke gue, trus, ya udah gue nggak deketin dia lagi."
"Masa, sih?" tanya Bara, sangsi. "Lagian, dialog sepanjang itu bisa lo hafal. Aneh-aneh aja."
"Ya kan itu kata-katanya improvisasi, tapi intinya ya kayak gitu, Bang!" Aksel mendengus.
Bara menggaruk pelipisnya. "You know what the real problem is?" tanya Bara dengan tatapan serius. "Gue belum siap nikah, Sel. Ya, oke, anggaplah ada keajaiban si Leia kasih respons positif setelah gue deketin. Tapi, habis itu, apa? Orang gue aja belum siap nikah."
"Lo kenapa anjir, Bang. Dulu, lo bilang siap. Trus, tiba-tiba lo jadi nggak siap. Kenapa, sih?"
"Karena gue nggak tahu nikah itu sebenarnya buat apa." Bara mendengus dan mengempaskan punggung di kasur. "Gue belum siap, Sel. Gue nggak akan siap kalau gue belum nemu jawaban ini."
"Lah?" Aksel membulatkan mata. "Bukannya lo dari dulu udah tahu alasan nikah? Buat tanggung jawab, buat ibadah, buat jadi lebih bahagia. Gue sampai hafal jawaban lo kalau lagi ditanya tujuan nikah."
"Itu belum fundamental banget, setelah gue pikir-pikir lagi." Bara mendesah. Pandangannya terpaku pada langit-langit. "Untuk beribadah, untuk lebih bertanggung jawab, dan untuk lebih bahagia, lo nggak selalu harus nikah."
"Tapi, kata lo, nikah bisa bikin lo dapat ketiganya sekaligus?"
"Gue melakukan pekerjaan gue selama ini juga bisa dapat ketiganya sekaligus, Sel. Tanggung jawab? Udah pasti. Bahagia? Gimana gue nggak senang karena bisa kerja sesuai profesi yang gue targetkan selama ini? Sementara ibadah? Emangnya, selama ini gue nolong orang itu bukan salah satu bentuk ibadah? Gue udah dapat ketiganya bahkan sebelum gue jadi dokter, Sel. Iya, mungkin emang belum tentu ibadah gue sempurna. But at least, gue udah berusaha, kan?"
"Uh, bukannya nikah itu ibadah yang menyempurnakan setengah agama or something?"
"That's the point." Bara menarik dan mengembuskan napas dengan malas. "Itu ibadah, tapi, orang-orang kebanyakan tuh cuma mikir, 'Oh ini ibadah, oke berarti harus dilaksanakan,' tapi mereka nggak paham esensi ibadah sendiri itu apa. Kasarnya begini, Sel. Tuhan itu nggak bego. Dia nggak mungkin meminta kita melakukan sesuatu—let's say, beribadah—kalau emang nggak ada manfaatnya buat kita. You see, God asks us to think, so, I think. Trus, kenapa banyak orang buta-buta aja menerima perintah ibadah itu? Kenapa nggak dipikirin lagi esensinya apa? Maksud gue, gue bukannya mikir itu hal yang buruk, sih. Mungkin aja orang-orang yang kayak gitu simply percaya sama apa yang ditulis dalam kitab Tuhan, and that's that, nggak dipikir lagi esensi atau efeknya ke diri mereka karena mereka udah percaya bahwa hal itu bakal memberi manfaat. Cuma, gue nggak bisa kayak gitu, Sel. Gue butuh alasan logis kenapa nikah itu dianggap bisa ibadah. Gue butuh alasan logis kenapa nikah itu bisa menyempurnakan setengah agama kita. Gue butuh untuk cari tahu hal itu dulu sebelum gue siap nikah lahir batin."
Lama sekali, Aksel tak merespons. Namun, yang kemudian adiknya itu katakan adalah, "Bang, gue nggak ngerti lo ngomong apa."
Bara menahan diri agar tidak mengerang. Dia harusnya sudah bisa menebak. Aksel jelas bukanlah orang yang tepat untuk diajak kritis masalah ini. Barangkali, dia harus bertemu Nolan, atau Mahesa, atau Hizraka. Pada akhirnya, Bara bangkit dari kasur lalu mengacak rambutnya. "Intinya, gue masih punya pertanyaan tentang pernikahan yang bikin gue belum siap buat nikah."
Aksel terdiam, lama. "Gue juga nggak tahu jawabannya sih, Bang. Lo nggak mau nanya ke Mama?"
Kini, giliran Bara yang terdiam. "That's the other point, Sel," ujar Bara. "Mama aja nggak bisa kasih gue jawaban memuaskan. Trus, di mana lagi gue bisa dapetin jawaban yang yang gue butuhkan?"
[ ].
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top