14 : Cinderella :
2,7k words. chapter ini panjang bat makanya gue bagi jadi dua.
Gue gmz sama Leia LOL. She's really adorable dan rasanya ingin kepeluk2 saja terus.
Dan, kalian percaya aja sama gue. Ini cerita ending-nya bahagia, karena namanya cerita romance itu endingnya emang ketebak. Kalau nggak nikah/jadian/indikasi bakal bersatu, ya pasti dua tokoh utamanya pisah. Yang bikin beda kan, prosesnya. Percaya aja sama gue. Ceritanya bakal tamat 2-3 part lagi, karena itu memang waktunya buat tamat.
-;-
14
: c i n d e r e l l a :
Anggun, lembut, pemalu, tapi hangat. That's what I thought when I smelled this perfume, and I think this perfume suits you. Semoga suka.
- Bara
Leia tersenyum membaca ulang sepucuk pesan di genggamannya. Kertas berisi pesan itu awal kali Leia temukan menempel di paket kardus parfum yang dikirim Bara lewat jasa pengiriman barang. Parfumnya sudah sampai di tangannya dari dua minggu lalu, dan Leia sudah membaca pesan dari Bara itu puluhan kali. Tetapi, tetap saja hatinya terasa melambung tiap dia membaca isi surat yang hanya terdiri dari tiga kalimat itu.
Seisi dadanya terasa meletup-letup oleh rasa bahagia. Senyumnya belum kunjung pudar sambil membaca lagi isi pesan itu. Leia lalu melipat kertasnya, memasukannya kembali ke dalam kardus parfum dan meletakkan di samping parfumnya yang lain.
Leia menatap dirinya di kaca rias. Dia menarik napas, berusaha meredam rasa gugup yang melanda. Dress lengan panjang berbahan brokat memeluk tubuhnya dengan anggun. Warnanya senada dengan warna kerudung merah jambu yang dia kenakan. Leia tidak tahu apakah acaranya nanti bakal meriah atau tidak. Untuk jaga-jaga, Leia memilih mengenakan riasan yang lebih natural dan tak terlihat mencolok.
Malam ini adalah malam acara di rumah Satya dan Hizraka. Awalnya, Leia pun tak menyangka dia akan diundang. Bara mengajaknya datang bersama ke acara Hizraka dan Satya itu. Sekalian untuk tambah-tambah kenalan, kata Bara. Melihat tak ada salahnya datang, berhubung Kartini, Nolan, dan Aksel juga akan ada di sana, Leia pun menyetuji tawaran Bara, lengkap dengan dresscode prom night seperti yang sudah disepakati dari jauh-jauh hari.
Melihat ponselnya bergetar karena ada chat masuk, Leia meraih ponsel itu dan membuka chat dari Radhia. Terdapat foto anak Radhia sedang memajukan bibirnya dan menatap kamera.
Radhia NM: Nih, dapat cium kangen dari Banyu.
Eleiana R. Soebroto: ♡♡♡♡♡
Eleiana R. Soebroto: *smooch*
Radhia NM: Eh, lo msh on toh.
Radhia NM: Udh sama Bara?
Eleiana R. Soebroto: Bara blm dtng. Aku msh di rmh.
Radhia NM: Foto ya nanti! Gue mau lihat lo bareng sama Bara bakal kyk gmn.
Radhia NM: Ah pasti cocok nih buat jadi foto pre wed.
Eleiana R. Soebroto: Radhia, jangan bikin aku ngarep....
Radhia NM: Hahaha, iya2.
Radhia NM: Habisnya si Bara juga sih. Kirim parfum pake surat-suratan gitu. Jelas banget modus sih ituuu.
Eleiana R. Soebroto: Kalau itu cuma pujian biasa yg sering juga dia kasih ke cewek lain, gmn?
Radhia NM: Hm... rada ga mungkin sih, dgn kepribadian Bara.
Eleiana R. Soebroto: Emg Bara knp?
Radhia NM: Ya... Bara kayaknya bukan tipe cowok yg suka ngumbar2 pujian manis gitu sih, Lei.
Radhia NM: Beda sama Aksel.
Radhia NM: Kalau Aksel kirimin lo parfum pake surat ngegombal gitu, gue gak akan heran ketika tau dia melakukan hal yg sama ke cewek2 lainnya.
Eleiana R. Soebroto: I see.
Eleiana R. Soebroto: Tapi, aku nggak bisa bener2 yakin kalau nggak denger sendiri dari mulut dia, sih.
Eleiana R. Soebroto: Aku gugup banget.
Radhia NM: Hahaha Leia, Leia.
Radhia NM: Udah kenal Bara dr bertahun2 lalu kok msh gugup?
Eleiana R. Soebroto: Aku sempat lupa sama Bara sih.
Eleiana R. Soebroto: Pas keluar dr Bentala kan aku gak ketemu2 lagi sama dia.
Eleiana R. Soebroto: Ya... sampai akhirnya aku liat dia lg pas nikahan Nolan dan Kartini.
Eleiana R. Soebroto: Trus ya, aku jadi keingat lagi sama zaman aku naksir dia
Eleiana R. Soebroto: Dia... masih sama. Cuma berubah secara penampilan.
Leia sedang mengetikkan lanjutan kisahnya ketika tiba-tiba, ponselnya berdering dan menunjukkan nama Bara Langit sedang meneleponnya.
Mata Leia membola dan jantungnya seketika berpacu. Tangannya hampir gemetar. Dia menelan ludah, menarik napas beberapa kali demi menenangkan diri, baru menerima panggilan. "Halo? Assalamualaikum?"
"Wa'alaikumussalaam," suara bass Bara terdengar dari seberang, disusul dengan suara sayup-sayup dari radio yang telah dimatikan. "Saya udah di rumahmu. Kamu udah siap?"
Ya ampun, Bara. Tolong kasih aku secuil ketenangan kamu malam ini, batin Leia. "Udah, Kak. Tunggu bentar, ya."
"Bentar versi kamu bukan setengah jam buat pulas make-up, kan?" gurau Bara.
Leia terkekeh. "Enggak, kok. Sebentar beneran."
"Oke. Ditunggu."
Tak lama, panggilan berakhir. Leia pun berdiri. Dia memastikan lagi penampilannya sudah terlihat sempurna di kaca. Ketika dia memasukkan ponsel dan beberapa barang-barang lain yang dia perlukan ke dalam clutch-nya, pintu kamarnya diketuk. Dari luar, suara ibunya berseru, "Leia, itu ada Bara udah nunggu kamu di bawah!"
"Iya, Ma, sebentar!" sahut Leia. Dia membawa kado untuk anak Satya dan Hizraka, lalu keluar dari kamarnya.
Leia tak menyangka Kiyoko, ibunya, masih menunggu di depan kamar ketika dia keluar. Ibunya terlihat takjub. Kiyoko memandangi Leia dari atas sampai bawah, lalu tersenyum lebar dan berkata, "Mama tahu kamu cantik. Tapi, malam ini cantiknya makin bertambah."
Leia tertawa malu, dia menundukkan kepala. "Arigatou, okaa-san."
Kiyoko memandangi putrinya lekat. Senyuman lembut terpatri di bibirnya. Dia mendekati anak semata wayangnya, lalu mengelus pipinya lembut. "Bara itu pria yang baik. Semoga kamu tidak salah pilih."
Entah mengapa, rasanya hati Leia terasa sesak. Dia bahkan tak pernah cerita tentang Bara kepada sang ibu. "Mama tahu dari mana?"
"Mama sudah kenal kamu dari lahir, Leia. Tidak mungkin Mama tidak tahu," ujar Kiyoko, dengan huruf 'L' yang kadang terlafal seperti 'R'. Perempuan itu tersenyum. "Selamat bersenang-senang, ya. Jaga diri kamu."
Leia pun memeluk sang ibu. Dia merasa ada haru melanda dadanya. "Iya, Ma," balas Leia.
Setelah melepas pelukan, Leia turun ke lantai bawah bersama Kiyoko. Bara dan ayahnya ada di ruang tamu. Sayup, Leia mendengar suara ayahnya dan suara Bara tengah terlibat obrolan santai. Sebelum sampai di ruang tamu, dia menarik napas dahulu, berusaha menormalkan detak jantungnya.
Sesaat kemudian, dia menampakkan diri. Dan, matanya segera terpaku ketika sudah melihat sosok Bara.
Pria itu terlihat gagah sekali dengan setelan jas hitam dan kemeja putih klasik. Tubuhnya yang tegap dan atletis dipeluk oleh jas slim fit dan dasi hitam yang terlihat glossy di bawah lampu kristal ruang tamu. Ada sekuntum bunga yang Leia tahu apa jenisnya menyembul dari saku jas pria itu. Warna bunganya sama dengan warna dress berbahan brokat yang sedang Leia pakai. Suatu pikiran pun terlintas di benaknya, apa mungkin karena ini, Bara pas kemarin tanya aku pakai baju warna apa?
Pipi Leia merona. Dia merasa seolah-olah akan mendatangi prom night sekolah sungguhan dengan Bara sebagai pasangannya.
"Leia! Je bent mooi!" seru sang ayah ketika melihat putrinya.
Melihat Pieter sudah mengalihkan perhatiannya dari obrolan, Bara pun menoleh ke arah yang diberi atensi oleh Pieter. Bara pun menatap Leia, lalu membeku.
Leia tersenyum, lalu memeluk ayahnya. "Makasih, Papa."
Pieter melepas pelukan, lalu mendekatkan Leia kepada Bara. "Jaga dia, Bara. Oom hanya mau lihat Leia kembali ke rumah ini dengan wajah senang."
Bara tertawa. "Dipahami, Oom Pieter," balas Bara sambil tersenyum dan mengangguk singkat.
Pieter pun beralih lagi kepada putrinya. Dia tersenyum hingga garis-garis matanya berkerut. Mengelus pundak Leia, Pieter tersenyum lagi. "Rasa-rasanya, Papa seperti sedang melepas kamu untuk acara prom right sungguhan."
"Ini cuma dresscode buat lucu-lucuan, Papa," balas Leia ikut tersenyum. Kedua orangtuanya memang sudah tahu bahwa hari ini dia ingin pergi ke acara teman Bara. Satya, istri Hizraka, sudah bertanya kepada orang-orang yang diundang apakah mereka keberatan jika dresscode-nya prom night. Dan, dari tak ada respons yang berkata merasa keberatan. Sehingga dresscode itu pun disepakati.
"Seru sekali kelihatannya," sahut Kiyoko di belakang mereka. perempuan itu mendekat sambil membawa kamera. "Foto dulu, ya! Jarang-jarang Leia berpakaian seperti ini."
Mereka lalu berfoto bersama. Foto berempat, foto Leia bersama kedua orangtuanya, lalu foto Leia berdua bersama Bara. Setelah itu, mereka pun pamit. Pesan dari Kiyoko adalah, "Jangan lupa pulang sebelum jam dua belas malam, Cinderella!"
Leia dan yang lainnya tertawa. Dia dan Bara pun memasuki mobil, kemudian melaju menuju rumah Hizraka dan Satya.
Ketika sudah keluar dari komplek perumahan orangtuanya, Leia menarik napas. Di sampingnya, Bara menyetir dengan tenang. Suasana hanya diisi dengan suara dari radio.
Beberapa saat, masih tak ada suara. Leia merasa ganjil Bara memang bukan orang yang suka berbicara. Tetapi, kesunyian di antara mereka terlalu canggung. Akhirnya, Leia berinisiatif bertanya, "Ehm, rumah Zraka jauh nggak, sih?"
Bara melirik Leia sekilas dari sudut mata. "Nggak, sih. Palingan agak macet ntar," jawab Bara. Matanya mengerling lagi ke arah Leia. Kali ini, lebih lama dari yang tadi. "Ah, brosnya dipakai," ujarnya.
Leia segera melihat ke arah bros logam berbentuk matahari yang tersemat di kerudungnya. Pipinya memanas. "I-iya. Brosnya cantik, Kak." Leia lalu berkata lagi, "Makasih buat bros sama parfumnya, ya."
"Kamu udah bilang makasih buat bros dan parfum itu di chat," ujar Bara. "Glad you like it. It suits you."
Leia mengulum bibirnya ke dalam mulut, menahan diri agar tak tersenyum-senyum terus. Dia masih ingat deskripsi Bara terhadap dirinya lewat wangi parfum pemberian lelaki tersebut. Ternyata Bara bisa semanis ini, batin Leia. "Kak, boleh nanya tentang brosnya, nggak?" tanya Leia.
Alis Bara terangkat. "Mau nanya apa?"
Leia menelan ludah. "Itu... yang inisiatif cari bros dari arti namaku, siapa?"
Bara terdiam tiga detik. "Saya," jawab Bara. "Kenapa?"
"Uhm...." Sekarang, Leia yang terdiam. "Enggak apa-apa. Nanya aja. Soalnya jarang ada yang inisiatif cari arti namaku."
Bara tak merespons. Dia terus fokus pada jalanan hingga beberapa saat kemudian, Leia kembali berinisiatif mengajaknya mengobrol. Dia takkan bertanya yang berat-berat agar Bara tak perlu hilang fokus menyetir. "Kak, kalau nama Kak Bara artinya apa? Bara itu dari kata 'bara' dalam bahasa Indonesia, atau ada dalam bahasa lain?"
"Bahasa Indonesia, kok," jawab Bara. "Bara artinya ya... bara. Kayak bara api gitulah."
"Jadi, maksudnya, arti nama Kak Bara itu anak yang berapi-api?"
Bara tertawa. "Bukan. Nama saya jangan diterjemahkan satu-satu. Ini artinya harus digabung sama nama setelahnya." Dia lalu tersenyum. "Bara Langit adalah kiasan buat menunjukkan waktu ketika langit sedang membara; fajar dan senja. Ibu saya kontraksi dari sejak matahari terbit, tapi saya baru keluar ketika matahari mau terbenam."
Leia terkesiap, takjub. "Itu namanya puitis banget."
Bara terkekeh. "Ibu saya itu yang kasih. Kalau nama belakang baru dari bapak saya."
"Kalau 'Hadiwinata' artinya apa?"
"'Hadi' itu artinya penunjuk jalan, sementara 'Winata' artinya pengampunan. Nah, bapak saya itu mau kasih nama belakang yang selalu dipakai di keluarganya turun temurun. Dimulailah dari anak-anaknya. Saya, Hadiwinata. Adik saya, Aksel Hadiraja. Dari nama belakang bapak saya, Hardana Hadiwijaya."
"Kalau 'Winata'nya?"
"Panjang ceritanya." Bara terkekeh, tetapi pada akhirnya tetap bercerita, "Jadi, dulu waktu Mama lagi hamil saya, Papa itu kan, lagi merintis usaha. Papa waktu itu sempat ditipu sama sahabat baiknya. Terus, walaupun masalah akhirnya selesai dan dua pihak udah damai, Papa nggak bisa maafin sahabatnya itu. Suatu saat, waktu ibu saya lagi hamil tua, dia sempat mau dirampok. Untung aja waktu itu ada yang nolongin, dan yang nolongin itu adalah sahabat bapak saya yang pernah menipu itu. Setelah Papa dengar cerita itu dari Mama, akhirnya Papa maafin sahabatnya itu. Dan, itulah kenapa nama saya digabung sama 'Winata', yang artinya pengampunan. Papa berharap saya bisa jadi penunjuk jalan bagi orang-orang utuk untuk memaafkan orang lain, seberapa besar pun kesalahan orang itu."
Leia terdiam, merasa terkesima. Ada begitu banyak cerita di balik nama seseorang.
"Kalau kamu?" Bara bertanya balik. "Pasti banyak sejarahnya dari balik nama kamu yang superpanjang itu."
Leia tertawa. "Ya intinya keluarga dari nenek dan kakek kedua belah pihak pada rebutan mau kasih nama. Bukan karena aku anak pertama, tapi karena ibuku susah hamil. Makanya pas hamil aku, keluarga pada takut ibuku nggak bisa hamil lagi. Dan... benar. Sampai bertahun-tahun pun memang nggak dikasih."
Keduanya lalu terdiam. Sesaat kemudian, Bara dengan hati-hati bertanya, "Kalau kamu ada di posisi ibumu, kamu bakal apa?"
Leia memandang Bara yang fokus pada jalanan. "Terus berusaha. Tapi, kalau udah usaha maksimal dan masih belum dikasih, aku mau berusaha untuk ikhlas dan nggak menyalahkan siapa pun."
Kemudian secara otomatis, senyum Bara tersungging kecil, tetapi terlihat puas. Dia pun hanya terus menyetir sambil menikmati lagu yang terputar dari radio.
Melihat Bara tak merespons lagi, Leia pun mengamati lelaki itu diam-diam. Bahkan hanya dari lampu-lampu jalanan yang membias dan menerangi sebagian isi dalam mobil, Bara masih terlihat berkelas dengan setelan jas yang dia pakai.
Menyadari bahwa sedari tadi Leia memerhatikannya, Bara pun dilanda kegugupan. "Kenapa, Lei?" tanyanya, berusaha tenang. "Ada yang aneh? Atau, saya emang kelihatan aneh pakai beginian?"
Leia pun menyadari Bara merujuk pada setelan jas yang lelaki itu kenakan. "Eh, enggak. Kakak justru cocok kalau pakai jas."
Senyum Bara mengembang dengan tatapan tetap ke arah jalanan. "Cocok, ya?"
"Iya, cocok." Leia ikut tersenyum. "Emang mau dipuji gimana? Ganteng? Kak Bara ganteng kok, pakai jas begini."
Bara sontak tertawa. Tawa canggung. Tawa yang dikeluarkan karena jantungnya mendadak bertabuh seperti hendak perang. Pipinya terasa hangat. "Jangan ngomong gitu, Lei. Saya jadi gugup."
Kini, gantian Leia yang tertawa. Dia tidak tahu Bara sedang jujur atau hanya melucu, tetapi dia merasa terhibur. "Emangnya nggak pernah dipuji ganteng, apa?"
"Pernah, sama ibu saya."
Lagi, Leia tertawa. "Tante Rima doang?"
Bara mengangguk. Senyumnya tetap tersungging, tetapi wajahnya tak terlihat sedang bercanda.
Leia pun kembali bertanya, "Serius? Masa sih, nggak ada perempuan yang pernah memuji Kak Bara selain Tante Rima? You're not that bad, you know."
"I don't know." Bara mengangkat bahu. "Nggak ada yang ngomong terang-terangan. Ya udah."
Mata Leia berkedip-kedip selagi dia menimang sesuatu. Kemudian, dia memutuskan untuk jujur. "Menurutku, Kak Bara lumayan manis, kok," ujar Leia, membuat tubuh Bara membeku. "Aku serius."
Bara menelan ludah, masih fokus menatap jalanan, enggan menatap perempuan di sampingnya. "Saya kaget kamu serius," ujarnya setengah berbisik. Suara jantungnya kian berisik. "I'm honored, buat dipuji sama perempuan secantik kamu."
"Gombal."
Sang pria tertawa. "Bukan gombal. Itu fakta. Kan, saya udah bilang," Bara menunda ucapannya ketika dia mengerem mobil saat bertemu lampu merah. Kemudian, sorot matanya yang teduh dan hangat berlabuh pada mata perempuan di sampingnya, "Eleiana, dari seratus lelaki, sembilan puluh sembilan di antaranya pasti setuju dengan pernyataan kalau kamu itu cantik. Sementara dari seratus perempuan, tujuh puluh di antaranya bakal setuju dengan pernyataan bahwa kamu cantik, sementara tiga puluh di antaranya bakal nggak setuju karena mereka terlalu iri sama kecantikanmu."
Kemudian sunyi. Leia tak merespons, sementara Bara hanya tersenyum tipis dan hangat. Senyuman itu turut membuat seisi dada Leia terasa ingin meledak.
Wajah Leia terasa panas sekali. Degup jantungnya meliar dan dia sontak menunduk, malu, lalu menyembunyikan wajahnya dengan kado yang dia peluk. "Kak, jangan ngomong gitu. Aku malu."
Bara yang melihatnya pun tertawa. "Kenapa masih malu, sih, Lei?" tanya Bara, mulai menginjak rem setelah lampu hijau. "Nggak mungkin kamu nggak pernah dipuji cantik sama orang lain."
"Memang pernah, Kak. Tapi, kan...," tapi kan, ini kamu yang muji, Bar, ingin Leia menambahi seperti itu, tetapi jelas dia tak mengatakannya, "Tapi, kan, nggak ada yang sampai kasih analogi begitu. Kak Bara juga memujinya kelihatan serius gitu. Aku malu jadinya."
"Loh, Lei, saya emang serius," meski kalimat ini diucapkan dengan senyum lebar, Bara sungguhan serius dengan perkataannya. "Kamu itu cantiknya bikin orang sakit gigi."
Leia mendengus tertawa. "Gombal."
"Enggak, yang tadi serius. Kalau yang setelah ini, baru gombal. Perhatikan bedanya." Bara berdeham sejenak, lalu berkata, "Eleiana, kamu takut melayang ke langit kalau dipuji? Nggak usah takut. Kamu itu cantiknya emang kayak bidadari yang selayaknya tinggal di langit, bukan di bumi." Kemudian, Bara menambahi, "Eh, kalau dipikir-pikir, yang ini serius. Bukan gombal."
Lagi, Leia tertawa. Tetapi, pipinya terasa hangat. "Lagi belajar dari Aksel 'kah?"
"Enggak. Tapi, saya bisa pastikan kalau dia lebih jago gombalin kamu."
Bibir Leia menyunggingkan senyum. Tanpa sadar, dia memeluk kadonya lebih erat. Matanya memandangi jas Bara dan melihat bunga yang menyembul di balik saku jasnya. Teringat asumsinya, Leia pun berkata, "Uhm... itu bunga di saku jas Kak Bara, bunga apa?"
"Oh, ini bunga krisan. Sebenarnya asal comot bunga yang kebetulan sama aja sih, warnanya."
Leia mengerjap. Merasa asumsinya kian kuat. "Sama kayak warna apa?"
"Kayak warna baju—" Bara seketika terdiam, membeku, menyadari sesuatu. Dia lalu berdeham. "Sebenarnya acaranya disuruh couple-an gitu bajunya. Saya lupa kasih tahu."
Leia mengangkat alis. "Kalau nggak ada couple, gimana? Nggak boleh masuk kalau datang sendiri?"
"Ya... sendirian aja nggak apa-apa."
"Apa teman yang diajak ke pesta berarti couple si pengajak?"
Bara terdiam agak lama. Matanya dari tadi tak beralih dari jalanan. "Semacam itu."
Leia tak lagi merespons walau sebenarnya, ingin dia bertanya, trus, ini maksudnya apa, Bar? Tetapi rasa-rasanya, pertanyaan dalam benaknya itu agak frontal. Lagi pula, dia sudah bisa menebak jawaban Bara: "Ya nggak ada maksud apa-apa, Lei. Saya ngajak kamu biar kenalan kamu makin banyak aja. Lumayan, kan. Siapa tahu, bisa nambah relasi bisnismu." Dan, Leia akan menganggap bahwa Bara memang hanya sedang berbaik hati karena dia adalah teman Bara.
Mengambil oksigen ke paru-paru, Leia pun mengalihkan pandangan ke arah kaca mobil di sampingnya. Pikirannya beranjak pada berbagai kemungkinan.
Dia sadar. Mungkin, mengambil hati Bara memang tak bisa lewat 'kode-kodean' baik itu secara halus maupun secara gamblang. Leia harus mengambil keputusan. Tetap berada di zona ini, menunggu-nunggu hingga Bara mendekatinya untuk sesuatu yang lebih dari teman, atau melakukan sesuatu yang selama ini tak pernah dia lakukan.
[ ].
A/N
Je bent mooi : Kamu cantik.
p.s.
kalau kalian butuh rekomen dari gue, kalian tinggal buka reading list Crowdstroia aja. Kalau mau yang novel cetak, kalian buka akun Goodreads Crowdstroia aja dan cek buku-buku yang udah gue review atau udah kasih bintang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top