13 : Lampau :


2.6k words. Kalau ada yg salah bilang aja ya. Gue rada nggak pede dengan chapter ini tbh.

mohon diingat bahwa ini fiksi, bukan justifikasi, dan nggak bisa jadi referensi. satu-satunya referensi yang bisa kalian ambil adalah perspektif lain yang saya tuang dalam cerita ini.

  Tinggal 3-4 chapter lagi tamat. Gausah kaget.  

-;-

-;-


13

: l a m p a u :


2014



"Pokoknya setelah kamu dapat gaji pertamamu, mulai ditabung aja, Bar," Bara ingat, ini adalah ujaran Hardana sang ayah di tahun terakhir Bara kuliah. "Nanti, kamu belajar untuk tanam saham dari Regen. Pandai dia cari 'lahan' yang bagus," lanjut ayahnya itu.

Bara saat itu mengangguk, mengiakan. Dia tahu bahwa kakak sepupunya, Regen, adalah orang yang tepat untuk diajak bicara masalah saham. Bahkan sebelum ayahnya berkata hal itu pun, Bara sebelumnya sudah berencana untuk menanam saham akibat obrolan tentang hal itu bersama Regen.

Kini, setelah dia memiliki gaji dan sudah menanam saham di dua perusahaan. Perusahaan pertama jelas adalah perusahaan keluarganya sendiri, yakni PT. Bentala Hadi Nusantara. Sementara saham lain ditanam di perusahaan start-up yang bergerak di bidang kuliner. Sehingga dia bisa menambah penghasilannya sendiri lewat hasil dari saham yang dia tanam.

Merapikan jas putihnya, Bara berjalan menuju ruangan para dokter residen—dokter-dokter yang sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis atau PPDS. Bara sudah membuat janji via chat untuk makan siang bersama Reza, salah satu seniornya yang kini menjalani PPDS di rumah sakit yang sama. Dia baru saja sampai di depan ruang residen ketika melihat sosok tegap Reza keluar dari sana dengan beberapa residen lainnya.

Setelah berbincang sejenak dengan para dokter residen lain, Reza melihat Bara dan tersenyum ke arahnya. "Hoi, Bar. Makan, yok!" seru Reza.

"Ayo! Makan mi ayam di luar yang baru buka aja, ya," sahut Bara. "Porsinya banyak banget. Harganya murah!"

"Ayo, ayo," balas Reza dengan tawa. Dia pun berjalan keluar rumah sakit bersama Bara, mengikuti lelaki bertubuh besar itu ke lokasi yang dituju.

Sesampainya di tenda mi ayam yang dimaksud, Bara dan Reza segera memesan makanan mereka dan duduk di bangku bermeja panjang. Sudah ada beberapa orang yang memenuhi tenda mi ayam itu.

"Za, tadi gue dengar ada ribut ya, pas konsulen visite?" tanya Bara.

"Yah... biasalah. Kan, yang berhak ngasih nilai ke kami dan ke koas itu mereka. Kalau mereka ditentang, langsung kena perkara," balas Reza seraya mendesah.

Minuman pesanan mereka datang duluan. Sambil menyedot es tehnya lewat sedotan, Bara memerhatikan respons temannya. "Emang tadi kenapa, sih? Ada yang buat ulah?"

"Tadi ada koas ditanya sama dr. Muammir, terus dia nggak bisa jawab. Ya kena semprotlah. Malu koasnya. Habis itu, gue diceritain kalau koas ini pernah nolak dr. Muammir yang minta dia ngerjain tugas dr. Muammir. Kan, lo tahu sendiri dr. Muammir nih lagi pendidikan sub-spesialis. Si koas disuruh translate jurnal-jurnal bahasa Inggris, edit Power Point-nya dr. Muammir, ya gitu-gitulah."

"Lah, koas kan, juga ada tugas. Ngapain dr. Muammir nyuruh koas ngerjain tugasnya dia?"

"Ya lo kayak nggak tahu sistem kasta di sini aja."

"Lo juga dulu pernah dibabuin gitu, ya?"

"Ya... biasalah. Tapi, nggak sampai separah koas tadi, sih. Palingan bawain kopi, beliin makanan." Reza tertawa.

Bara ikut tertawa. "Ini pas masa jadi koas?"

"Iya. Kadang, beberapa teman gue yang residen pun juga sering 'dimanfaatkan' gitu. Ya... mumpung lo dapat sumberdaya gratisan kan, ya...."

Bara menghela napas. Bersamaan dengan itu, mi ayam pesanan mereka datang. Bara memakan mi ayamnya beberapa saat sebelum melanjutkan obrolan. "Gue bingung, Za. Kenapa pula ada pihak-pihak yang malah memanfaatkan keadaan begitu. Koas mau jadi dokter, kok, jalannya malah dihalang-halangi. Orang nanti kalau udah jadi dokter juga bisa buat bantuin pihak rumah sakit juga."

"Nggak tahu." Reza mengangkat bahu. "Untungnya, kan, masih ada beberapa dokter yang nggak semena-mena dan merasa hidup di rumah sakit itu berkasta. Kayak dr. Wijatmiko, tuh. Yah, walaupun dia galaknya bikin kepala pusing."

Bara terbahak. "Tapi, dr. Wijatmiko emang pintar banget, sumpah. Gue kalau ngobrol sama dia itu, otak gue yang sempit tuh kayak kebuka, gitu." Bara pun memakan mi ayamnya lagi.

"Lah, isi otak lo nggak sempit kali, Bar," ujar Reza, lalu menyedot es tehnya. "Buktinya, dr. Wijatmiko emang suka sama lo."

"Za, please, tadi itu ambigu."

Menyadari ucapannya, Reza pun terbahak-bahak sampai tersedak makanan di mulutnya. Dia terbatuk-batuk, lalu minum dahulu sebelum berkata, "Sori, sori. Maksud gue, dia suka ngobrol dan diskusi sama lo gitu. Untung nggak ada dia di sini."

"Ngomongin apa, sih? Asyik banget kayaknya," sahut seorang perempuan berkucir satu. Suara perempuan itu kontan membuat dua lelaki yang mengobrol tadi menoleh, dan jantung Bara menemukan perhentian sesaat.

"Putri," ujar Reza kepada gadis berkucir satu itu. Yang dipanggil pun duduk di sebelah Bara, membuat irama jantung Bara makin liar. "Ke sini sendirian, Put?"

"Iya. Mau nyobain mi ayamnya. Katanya Bara enak, ya, Bar?" tanya Putri dengan senyuman, membuat Bara menelan ludah karena gugup.

"I-iya." Bara berdeham, mengalihkan pandangan. Putri sebenarnya tidak bisa dibilang cantik, tetapi jika dilihat-lihat, wajahnya cukup manis di mata Bara. Bara paling suka ketika gadis itu tersenyum dan tertawa karenanya. "Udah pesan mi ayamnya?" tanya Bara.

"Udah. Lagi nungguin." Putri menyeruput jus jeruknya. "Eh, ngobrol apa kalian tadi? Lanjutin aja!"

Bara tersenyum. Putri ini adalah salah satu dokter residen di rumah sakit tempat Bara dan Reza bekerja. Gadis itu seangkatan dengan Bara dan satu angkatan di bawah Reza.

"Eh, tadi gue tadi sempat ngelihat ada koasnya dimarah-marahin. sama dr. Muammir," ujar Putri, geleng-geleng kepala. "Di depan pasien sama teman-teman dia lagi dimarah-marahinnya. Kurang malu apa, coba?"

"Panjang umur. Barusan aja kami ngobrolin itu," balas Reza.

"Gue udah dengar gimana permasalahannya sih, Kak. Jadi yah, gue kasihan ngelihat si koas. Cewek pula. Nangis dia tadi." Putri mendesah.

"Tadi gue juga diceritain," ujar Reza. "Harusnya sih, kita punya hak buat menolak, ya. Cuma, di sini sistemnya konsulen 99% selalu benar."

Bara mengembuskan napas. hal-hal 'drama' seperti inilah yang Bara hindari. Ya, dia paham bahwa tak semua dokter dan tak semua rumah sakit seperti rumah sakit yang dia tempati sekarang. Ada yang lingkungan kerjanya lebih baik, lebih suportif. Tapi, di rumah sakit ini, Bara merasa kurang nyaman dengan lingkungan kerjanya. Beberapa alasan yang membuat dia bertahan adalah dr. Wijatmiko dan teman dekatnya yang sudah seperti keluarga di sini.

Termasuk Putri.

"Mendingan dr. Wijatmiko ke mana-mana, deh, daripada dr. Muammir," ujar Putri, membangkitkan Bara dari lamunannya. "Dia galak bukan main, tapi profesional dan lebih paham situasi."

"Wah, ini di sebelah lo ada anak kesayangan dr. Wijatmiko, Put!" seru Reza seraya mengedik ke arah Bara, membuat Bara menyengir canggung.

"Oh, jelas!" sahut Putri. "Siapa coba, manusia di rumah sakit ini yang bisa tahan ngobrol pakai bahasa Inggris dengan istilah-istilah kesehatan yang njlimet kecuali Bara? Memang hanya Bara satu-satunya."

Dua lelaki di dekat Putri pun tergelak. Mereka berdua lalu kembali menyantap mi ayamnya. Tak lama, mi ayam pesanan Putri pun datang.

"Eh, Bar, gue mau nanya, deh," ujar Putri setelah mengambil sumpit dan sendok. "Lo tahu nggak, sih, kalau lo sering diomongin buruk sama beberapa perawat atau koas?"

Bara melirik Putri. "Ngomongin gue gendut banget dan item? Sering dijadiin bahan buat nakut-nakutin cewek, yang bilang kalau cewek ngelakuin hal-hal buruk, ntar dapat laki kayak gue?" Bara memutar-mutar sumpitnya agar bisa melilit mi ayamnya. "Gue tahu."

Putri mengernyit. "Trus, kok, lo kelihatan biasa aja?"

"Emangnya harus gimana?"

"Ya... nggak marah? "

"Buang energi."

"Gue aja yang cuma dengar, rasanya bikin kuping panas, Bar." Putri mendesah. "Gue takjub lo bisa sesabar ini. Ada gitu ya, orang-orang dewasa yang masih menilai orang lain dari fisik. Padahal slogan 'jangan nilai dari fisiknya aja' digembar-gembor di medsos."

Bara mendengus. "Let them be. Their attitude shows their class."

"Beuh, bahasa Inggrisnya. Bisa jadi QOTD." Putri geleng-geleng kepala. "Translasinya apa, Kak Reza?"

Reza tertawa. "Biarkan mereka melakukan itu. Attitude mereka menunjukkan kelas mereka."

"Mantap. Langsung post di Path!" seru Putri, dan dia sungguhan mengetik ucapan asal Bara tadi untuk diunggah di Path-nya.

Bara tersenyum, menatap Putri hangat. Dia selalu suka Putri yang terlihat passionate. Segala macam tugas dan tantangan dijalani Putri hampir tanpa mengeluh. Putri adalah kebalikan dari dirinya yang cenderung lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi. Hanya beberapa teman dekat Bara yang membuat Bara merasa nyaman mencetuskan isi pikirannya tanpa takut dihujat; Nolan, Hizraka, dan Mahesa. Di lingkungan kerja pun, Bara hanya bergaul dengan orang yang itu-itu saja, seperti Reza, Putri, dan ada lagi dua temannya dari poli umum yang kini sedang mengambil cuti. Sementara yang lainnya, Bara bisa berteman, tetapi sulit dekat.

Bara menyukai Putri karena gadis itu mandiri. Dia supel, berteman dengan siapa pun, tetapi juga tak masalah jika harus ke sana kemari sendirian—tidak seperti kebanyakan perempuan lain yang sering Bara jumpai, di mana kebanyakan cenderung manja. Bara merasa Putri adalah perempuan yang tepat untuknya karena kepribadian mereka yang terasa mengisi satu sama lain. Putri mau berteman dengan Bara meskipun di mata orang-orang, isi otak Bara terlalu 'rumit'. Bara bisa membayangkan. Ibunya mungkin akan senang jika dia membawa Putri ke rumah.

"Gue iri, deh," ujar Putri, lalu memakan mi ayamnya. "Seandainya aja gue bisa sesabar elo, Bar."

"Bisa pasti," sahut Bara. Dia sudah selesai memakan mi ayamnya. Kemudian, dia menoleh kepada penjual mi ayam. "Bang, tambah satu porsi, ya!" ujarnya kepada penjual mi ayam itu.

Baik Putri dan Reza kompak melotot melihat Bara. Permintaan porsi tambahan mi ayam ini dirasa agak berlebihan untuk mereka. Sebab, satu porsi pun sudah banyak makanannya. Namun, inilah Bara yang mereka kenal. Bara memang selalu mengambil porsi makan yang besar. Kata Bara, dia melakukannya karena memang lebih baik dia banyak energi daripada nanti ketika bekerja, dia lupa untuk makan.

"By the way," ujar Putri, "Lo kan, pintar banget nih, Bar. Lo nggak tertarik buat ikut PPDS, gitu?"

"Nggak terlalu tertarik, sih," sahut Bara. "Ya, emang akhirnya dapat ilmu dan prestise. Cuma, makan waktu, makan duit, dan emang belum tertarik, sih."

"Bara tertariknya ke pengabdian, Put," ujar Reza, tersenyum.

Mata Putri membola, terlihat takjub. "Serius, Bar?"

"Mm...," Bara bergumam, merasa bingung menjelaskan. Sebab, ya, dia memang berniat kerja mengabdi di pedalaman. Tetapi, dia juga masih belum bisa memutuskan karena dia masih belum mau meninggalkan Ibu Kota.

Tepatnya, dia belum mau meninggalkan Putri.

Putri-lah yang membuatnya masih mau betah bekerja di rumah sakit yang kini dia tempati. Seandainya saja dia tidak jatuh cinta kepada gadis itu, Bara sudah segera angkat kaki dari rumah sakit ini untuk menjalani pengabdian di salah satu tempat terpencil Indonesia.

Pada akhirnya, Bara nanti akan mengetahui sesuatu yang selama ini disembunyikan Putri. Pada akhirnya, segala angan-angannya tentang gadis itu harus dia musnahkan dari otak. Pada akhirnya, Bara akan tahu bahwa dia harus memberi jarak dengan gadis itu.

Semua hanya butuh waktu.


***


Bara membunuh perasaannya kepada Putri di hari dia mengetahui kepada siapa Putri melabuhkan hatinya.

Hal itu dimulai dari saat Bara tak sengaja mendengar beberapa perawat dan dokter wanita di salah satu ruang kosong mengobrol. Barangkali, obrolan itu adalah obrolan yang harusnya tak didengar oleh dirinya. Sebab, isi obrolan itu membicarakan dirinya, Putri, dan Reza. Bara tahu sebab dia pernah dengar sendiri dari Putri, bahwa sebagian besar perempuan di rumah sakit ini memanggil Reza dengan sebutan Prince Charming—karena Reza memang tampan dan baik—sementara Bara disebut dengan Chocoball—karena bertubuh bulat dan berkulit cokelat gelap.

Dan, obrolan hasil tak sengaja dengar itu membuat Bara tertarik karena ucapan, "Duh, kalian tuh nggak tahu, apa? Si Putri tuh naksir berat sama Prince Charming!"

Kemudian, perempuan lain membalas, "Ah? Masa, sih? Bukannya si Putri naksirnya sama si Chocoball?"

"Enggaklah! Masa, si Putri naksir sama Chocoball? Dia mah, temenan sama Chocoball palingan buat deketin Prince Charming aja. Kan, Prince Charming lengket banget tuh, sama Chocoball."

"Duh, tapi emang deh, ya, dokter Reza itu Prince Charming banget. Yang kayak Chocoball aja, dia mau nemenin. Baik banget, kan?"

"Eh, Chocoball tuh gitu-gitu, pintar dia anaknya. Dia juga anak kesayangan dr. Wijatmiko yang guuualaknya minta ampun, loh. Si Chocoball kan, kalau nanya kritis banget. Itu yang bikin dokter Reza betah temenan sama Chocoball. Soalnya, Chocoball bisa diajak diskusi science gitu-gitu."

"Lucu, ya. Putri dan Prince Charming." Salah satu gadis itu tertawa. "Cocok secara panggilan doang. Kalau dibandingin mah, tampang kayak Putri cocoknya sama Chocoball. Nggak pantes disandingkan dengan Prince Charming."

Dan di detik itulah, akhirnya Bara memilih masuk ke dalam ruangan. Membuat beberapa gadis yang sedari tadi asyik bergosip membeku.

Bara hanya masuk untuk mengambil jaketnya yang saat itu sempat tertinggal. Setelah itu, dia melirik santai ke arah para gadis di dalam ruangan. "Silakan dilanjutkan. Maaf kehadiran saya tadi menganggu obrolan kalian," ujar Bara, datar. "Sekadar opini saya aja. Reza jelas lebih layak didampingi Putri daripada didampingi perempuan yang lebih suka jelek-jelekkin orang lain di waktu senggangnya." Kemudian, Bara segera melenggang dari sana, melanjutkan pekerjaannya.

Setelah mendengar dirinya digosipkan seperti itu pun, Bara tak segera menarik kesimpulan secara cepat. Dia percaya bahwa Putri mau berteman tulus dengannya, bukan untuk mendekati Reza. Dia percaya bahwa Reza memang lelaki baik-baik. Namun, dia tak bisa segera percaya bahwa Putri menyukai Reza. Satu-satunya jalan bagi Bara memastikan hal ini adalah dengan bertanya langsung.

Akhirnya ketika jam makan siang Bara, Reza, dan Putri berkumpul di salah satu warung bubur ayam, kala Reza izin sejenak keluar, Bara bertanya langsung pertanyaan yang mendekam di otaknya, "Put, lo suka sama Reza?"

Tubuh Putri tegang. Dia tak jadi menyuapkan buburnya. Pipinya pun seketika merona. Dia melirik Bara takut-takut. "J-jangan bilang-bilang. Awas aja."

Dan, di detik itulah Bara tahu bahwa dia harus membunuh perasaannya sendiri.

Bara lalu berusaha kembali fokus pada makanannya, tetapi mendadak selera makannya hilang. Jantungnya seperti diperas. Rasa-rasanya, dia ingin menyendiri di suatu tempat. Merenung. Memikirkan kehidupan. Menjauh dari bisingnya manusia. Membuat jarak dari Putri dan Reza.

Dia mendapatkan kesendirian itu setelah pulang ke rumah. Ini aneh sekali. Bahkan setelah dia tak lagi bertemu Putri dan Reza usai makan siang, jantungnya masih terasa diremas dan tak jua hilang hingga sekarang Bara menatap langit-langit kamarnya.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Bara berusaha tidur dengan memejamkan matanya. Namun ketika terpejam, indra-indra perasaannya seolah lebih terfokus di rasa sakit di hatinya yang masih tak sirna. Bara bingung kenapa. Dia tak ingin menangis, tetapi rasanya pedih. Dia tak ingin teriak, tetapi rasanya, salah satu sudut otaknya meraung-raung ingin menjerit.

Butuh waktu dua hari hingga akhirnya dia bisa agak waras, mulai mempertanyakan diri sendiri daripada berkubang di rasa sakit. Kenapa dia? Kenapa dia bersedih? Bukankah harusnya dia sudah terbiasa menghadapi hal ini? Gadis yang dia cinta ternyata tidak membalas perasaannya, atau sudah mencintai pria lain. Bukankah itu sudah biasa dia alami? Lantas, kenapa kali ini terasa berbeda?

Kenapa Bara harus bertemu gadis setulus Putri?

Bara menarik napas. Dia pun kembali bertanya-tanya, sudah layakkah aku mendapatkan cinta yang tulus?

Sebab, sepanjang hidupnya, Bara paham menyalahkan orang lain atau keadaan takkan mengubah apa pun. Apabila dia tak mendapatkan sesuatu yang dia inginkan, barangkali dirinya memang masih belum layak mendapatkannya, atau ada kejutan lain yang lebih baik untuknya. Bara sadar dia sudah dewasa dan harus lebih sering berbesar hati untuk terus introspeksi diri. Apa yang salah? Apa dia kurang tulus mencintai Putri? Apa dia kurang baik? Barangkali, itu. Barangkali, dia memang belum baik untuk Putri. Sebab jika disandingkan dengan Reza, apalah dia ini? Dalam lubuk hati, meski rasanya pedih, Bara membenarkan bahwa Putri jelas layak mendapatkan lelaki sebaik Reza.

Duka dalam dirinya seolah mengambil alih tubuh untuk mulai bernostalgia dengan kenangan. Bara mengambil buku Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh-nya di nakas, sekadar untuk mengalihkan fokus. Dia melompat dari bab ke bab, dan menemukan salah satu bagian puisi Kesatria yang dia suka. Bagian itu adalah ketika Ferre, tokoh utama di kisah itu, sedang bertaruh dengan perempuan yang dia cintai. Mereka bertaruh, siapa pun di antara mereka yang lebih sering merasakan rindu setelah berpisah, maka harus mencoreng kertas tergantung berapa kali mereka sedang merindukan satu sama lain. Pertaruhan itu harus dilaksanakan dengan jujur. Siapa pun yang memiliki corengan garis di kertas paling banyak, maka dialah pemenangnya. Kemudian, Ferre pun membuat sebuah puisi dalam benaknya sesaat setelah gadis yang dia cintai selesai memberitahu peraturannya. Puisi itulah yang begitu Bara suka.

Dia membaca ulang puisi itu, mengenangnya, sekaligus mengenang sosok Putri.


Sudah kumenangkan taruhan ini, bahkan dengan amat adil.

Jauh sebelum kau menyerahkan kertas dan pensil.

Karena rinduku menetas sebanyak tetes gerimis.

Tidak butuh kertas, atau corengan garis.

Genggamlah jantungku dan hitung denyutannya.

Sebanyak itulah aku merindukanmu, Putri.


Dengan mengetahui perasaan gadis itu kepada Reza, Bara memutuskan untuk bekerja di pedalaman. Entah apakah dia bisa bertemu perempuan seperti Putri lagi.

Pada akhirnya untuk mengungkapkan rindunya, Bara menggunggah foto berisi puisi di dalam buku favoritnya itu dan mengetik bahwa puisi itu untuk gadis berinisial PMJ—Putri Marsha Jusuf. Puisi yang begitu Bara suka, dan kini dia merasa sangat berelasi dengan puisinya jika teringat Putri. Putri yang tak hanya menilainya dari fisik. Putri yang akan dia tinggalkan.

Tanpa menyadari bahwa ada satu hati yang juga patah karena puisi itu.

[ ].




-;-

konsulen: dokter spesialis yang berwenang buat kasih nilai ke residen dan koas. CMIIW

A/N

Mohon diingat lagi. Kisah ini fiksi, bukan justifikasi. Emang kebetulan si Bara lagi apes kerja di RS yang ternyata orang-orangnya cukup banyak yang "drama". Nggak semua RS begini. Nggak semua dokter arogan dan merasa diri mereka dewa. Nggak semua dokter suka memanfaatkan koas/residen. Nggak semua perawat itu centil. Dan nggak semua petugas kesehatan yg perempuan itu doyan ngegosip.

p.s.

Kalau kalian mau beli novel Nona Teh dan Tuan Kopi: Parak, gue saranin sih ntar aja sekalian beli sama seri keduanya, Arkais. Jadi lo gausah nunggu2 lagi gitu. Masukkin Arkais ke library kalian buat info lebih lanjut. Baca Prakatanya dulu ya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top