12 : Parfum :


4,5k words unedited.

Cinder-Bara time.

-;-


12

: p a r f u m :




"Udahlah, Bar. Ikutin aja omongan gue."

Bara menarik oksigen ke dalam saluran pernapasannya. Dia mendesah menatap Nolan yang kini sudah selesai memarkir mobil. Di samping Nolan, terdapat Kartini yang sudah bersiap untuk keluar. "Harus banget ke mall, Lan?" tanya Bara.

"Yep," jawab Nolan, santai. Dia melepas sabuk pengamannya, kemudian menoleh kepada Bara yang duduk di jok belakang. "Turun siah, Bar. Mau di sini terus sampai bego?"

Mengembuskan napas, Bara pun keluar dari pintu kiri, satu sisi dengan pintu Nolan keluar. Tak ada mobil yang terparkir di sebelah Nolan. Pusat perbelanjaan yang mereka kunjungi juga tak bisa dibilang sepi, tetapi cukup ramai. Beberapa orang lalu-lalang berjalan di lapangan parkir outdoor tempat mereka berdiri sekarang. Cuaca cerah dan parkiran outdoor tidak terlalu padat, sehingga Nolan yakin tak perlu parkir di basement.

"Lan, kalau buat beli baju, gue bisa beli sendiri tanpa harus ditemenin," Bara. Dia menatapi fasad pusat perbelanjaan dengan mata agak menyipit karena silau oleh sinar mentari. Dan mendadak, dia jadi teringat bros matahari yang dia berikan untuk ulang tahun Leia.

Bros itu dia yang membeli, sementara Aksel hanya membantu memilihkan mana model yang sekiranya cocok. Bara sendiri juga yang berinisiatif untuk membeli bentuk bros sesuai arti nama Eleiana. Dia hanya berharap semoga Leia menyukai bros itu. Syukur-syukur kalau memang dipakai. Brosnya manis, cocok buat dia, pikir Bara.

"Nggak, Bar. Kita hari ini bareng-bareng cariin lo sesuatu yang bisa naikkin rasa pede lo," jawab Nolan usai mengunci mobilnya. Bunyi bip-bip dari mobil menyentak Bara dari lamunan singkatnya. Bara memang sudah bercerita tentang Leia kepada lelaki itu. Dan alhasil, Nolan malah mencak-mencak karena Bara terlalu rendah diri. Hal selanjutnya yang Bara tahu, Nolan mengajaknya untuk pergi ke pusat perbelanjaan di hari akhir pekan. "Nih ye, Bar. Lo tuh harusnya lebih pede! Gue nggak paham kenapa lo masih rendah diri gini. Badan lo sekarang udah bagus siah."

Bara menoleh kepada Nolan. "Yang badannya begini bukan cuma gue kali, Lan," ujar Bara tenang.

"Are you kidding?" tanya Nolan heran. "You have a friggin eight packs, dammit!" seru Nolan, menepuk dada Bara. "Emangnya, lebih dari 50% cowok di Indonesia pada punya eight packs, apa? Six packs aja belum tentu."

"Secara biologis, baik laki-laki maupun perempuan memang punya six packs, Lan," ujar Bara, masih dengan nada tenang. "Perbedaannya adalah di banyaknya lemak yang tertimbun pada perut. Semakin banyak lemak, ditambah ototnya nggak dibentuk lewat olahraga, bakal semakin susah kelihatan six packs-nya. Lagian, gue nggak punya eight packs."

"Nggak punya dari Hong Kong? Nih, lihat!" seru Nolan jengah sebelum membuka kaus yang Bara kenakan hingga dada. Bara memelototi perbuatan temannya itu. "Gue hitung, yak! Satu... dua...," ujar Nolan seraya menunjuk kotak-kotak di bawah dada Bara.

Bara mendorong Nolan, tetapi Nolan juga menggunakan tenaga untuk menahan tangan lelaki itu. "Anjir, Nolan! Ini lapangan parkir! Orang-orang pada ngelihatin!" seru Bara.

"Tiga... empat...."

"Nolan, itu orang-orang bisa salah paham!"

"Lima... enam...."

"Nolan Prasetya Nugroho, for God's sake!"

"Tujuh dan delapan! Noh, eight packs!" seru Nolan sebelum melepaskan kaus Bara. Dia membenarkan posisi kacamatanya yang sempat miring karena tangan Bara. "Packs lo ada delapan, Bar! Tapi, yang dua packs paling bawah emang agak tipis kelihatannya!"

Bara agak terengah karena emosi. "Demi Tuhan, Nolan Prasetya Nugroho...."

"Kalian udah selesai belum?" sela sebuah suara di dekat mereka. Bara dan Nolan otomatis menoleh kepada suara perempuan yang tadi berujar: Kartini. "Kalian mau berantem sampai kapan? Panas di sini."

Bara menarik napas. "Mbak Kar, ini suami Mbak kelakuannya kayak gini, Mbak nggak masalah?"

Kartini tersenyum. "Nolan dari dulu bukannya emang udah begini?"

Bara memejamkan mata dan menarik napas panjang-panjang. Kartini benar. Nolan kelakuannya memang sudah memalukan dari zaman sekolah. Harusnya dia tidak lagi kaget.

"Kamu takut dianggap gay ya, Bar?" tanya Kartini seraya mendekati Nolan. Dia lalu menggandeng tangan Nolan. "Nggak usah takut. Nanti, saya sama Nolan jalan sambil gandengan, kok, biar orang-orang yang tadi ngelihat kamu disentuh-sentuh sama Nolan nggak salah paham."

"Mbak, please, jangan bilang saya habis disentuh Nolan. Saya ngerasa seolah-olah habis dinodai," ujar Bara, kemudian mendesah. Dia menjauh beberapa langkah dari Nolan saat menyadari lelaki itu berada di dekatnya.

Nolan memutar bola mata. "Ngapain malu sih, Bar? Badan lo bagus gitu."

"Gue nggak suka jadi tontonan," balas Bara sebelum mengikuti Nolan dan Kartini yang berjalan di depan. "Lagian, cowok normal mana yang nggak geli kalau badannya digrepe-grepe cowok lain?"

"Lebay. Orang gue cuma nyentuh dikit doang."

"Udah, udah," lerai Kartini dengan tawa. "Nolan di sini buat bantuin kamu kok, Bar. Biar kepercayaan diri kamu naik. Salah satunya, dengan pakai pakaian yang keren dan bikin kamu lebih pede."

"Trus, Mbak Kartini ikut buat apa?" tanya Bara.

"Buat bantuin menilai baju-baju yang kamu pakai nanti." Kartini tersenyum. "Kamu selama ini pakai bajunya yang gombrong-gombrong terus sih, Bar. Makanya orang-orang pada nggak terlalu tahu kalau badan kamu aslinya bagus."

"Ya kan, saya pakai baju yang ada dari dulu aja," bela Bara.

"Mending baju-baju itu lo sumbangin, Bar," ujar Nolan. "Atau lo kecilin ukurannya di tukang jahit. Lo kan, udah nggak gendut lagi."

Alis Bara menyatu. "Emang apa salahnya sama baju-baju gue yang sekarang? Gue nyaman-nyaman aja pakainya."

"Nggak ada yang salah, emang. Gue cuma merasa fashion yang tepat itu bisa bikin tingkat kepedean lo naik. You need that. Sekadar punya badan bagus ternyata nggak juga bikin kepedean lo naik."

Bara menghela napas. "Gue mikir begini juga biar realistis, Lan."

"Rendah diri dan realistis itu beda tipis, gue akui," balas Nolan. Udara di sekitar mereka terasa dingin setelah memasuki pusat perbelanjaan. "Tapi, ya, lo lebih dominan ke rendah dirinya, Bar."

Bara mendesah. Tak ingin menyangkal hal itu karena memang benar adanya. Dalam diam, dia mengekori sepasang suami istri di depannya hingga mereka sampai di salah satu toko pakaian lelaki yang cukup luas. Interiornya mewah dengan etalase yang menarik mata. Bara suka dengan beberapa model pakaian yang dipajang. Meski demikian, hanya ada tiga pengunjung yang sedang berada di dalam toko itu. Mungkin karena lagi nggak ada diskon, batin Bara.

"Jangan pelit-pelit buat memanjakan diri lo yak, Bar," bisik Nolan selagi istrinya berbincang sejenak dengan salah satu pegawai. "Lagian, kita bakal beli baju. Lo pakainya bisa berkali-kali, nggak cuma satu-dua kali. Kalau agak mahal, moga-moga worth it lah sama kualitas bahannya."

Pegawai di sana menyambut mereka dengan ramah. Mata mereka terlihat takjub melihat sosok Bara yang tinggi menjulang. Salah satu pegawai perempuan mendekati Bara yang sedang melihat-lihat model-model pakaian, lantas bertanya, "Permisi, ada yang bisa saya bantu?"

Bara menoleh, lalu menunduk melihat pegawai yang memasang senyum ramah. Dia pun bertanya sesuatu yang paling krusial tiap kali dia mengunjungi toko pakaian, "Ada baju buat ukuran saya, nggak, Mbak?"

Karyawati itu masih tersenyum. "Ukurannya berapa, Mas?"

"XXL."

Sang pegawai membeliak, lalu sedikit menunduk. "Mohon maaf, Mas. Di sini nggak ada ukuran XXL."

"I see," ujar Bara, tenang. Dia sudah biasa tak menemukan baju ukurannya di toko-toko pakaian. Biasanya, hanya ada sebagian toko yang menjual baju sesuai ukuran tubuh Bara. "Ya udah, makasih, Mbak."

"Ntar dulu, ntar dulu!" sergah Nolan, mencegat Bara di tengah jalannya menuju pintu keluar. "Masa sih, lo XXL? Gue aja L. Lo kan, udah nggak gendut, Bar. Coba aja dulu yang XL."

Bara dengan datar menjawab, "Nggak muat."

"Taiklah nggak muat-nggak muat. Coba dulu!"

Bara spontan memundurkan kepala melihat ocehan Nolan. Menarik napas, dia akhirnya kembali kepada pegawai tadi, lalu bertanya, "Ukuran XL ada, Mbak?"

Karyawati tadi mengangguk. "Ada. Tiap model baju di sini ada ukuran XL-nya. Mas mau model baju apa? Kemeja kerja? Kemeja denim? Atau kalau mau pullover juga ada."

"Coba lihat kemeja yang ukuran XL, Mbak. Mana aja modelnya, terserah."

Ketika karyawati itu pergi untuk mengambil salah satu kemeja sesuai permintaan Bara, Nolan dan Kartini sudah mendekati Bara dengan sebuah kemeja lengan panjang berwarna abu-abu metalik. "Putar badan lo, Bar."

Usai mengikuti perintah Nolan, Bara merasakan punggungnya bersentuhan dengan hanger dan baju. Nolan memastikan ukuran lebah bahu serta panjang badan Bara. Sejeda kemudian, Nolan mendecak. "Yaelah, ini lo muat ukuran XL! Pas kok, Bar. Lo aja yang ngeyel."

Bara mendesah, lalu berbalik dan bertanya, "Lo mau gue nyobain baju ini?"

"Ini yang milihin bini aing. Artinya: lo wajib nyobain."

Kartini tertawa melihat omelan Nolan. "Udah, udah, Lan. Aku nggak maksain Bara buat pakai baju itu. Kalau menurutku sih, kayaknya cocok buat Bara. Tapi, kalau Bara nggak suka dan nggak mau cobain bajunya juga nggak apa-apa."

Merasa tersanjung karena kebaikan Kartini, Bara pun akhirnya berkata, "Saya cobain, Mbak. Terima kasih."

Bara pun pergi ke ruang ganti pakaian. Selang beberapa saat kemudian, dia membuka tirai ruang ganti, lalu menemukan Kartini dan Nolan duduk di kursi tunggu depan ruangan tadi.

Sepasang suami-istri itu kompak mengangkat alis saat melihat Bara. Kemudian, Bara bertanya, "How?"

Baik Nolan dan Kartini sama-sama meletakkan tangan mereka di dada. Bersama, mereka pun tersenyum dan berkata, "Masya Allah, ya akhi."

"Bodo amat, buset," ucap Bara jengkel. Dia kembali kembali ke ruang ganti, hendak menutup tirainya untuk mengenakan pakaian awalnya ketika Nolan mencegat tangannya.

"Sabar dulu, bro," ujar Nolan dengan cengiran cengengesan. Dia menunjukkan empat buah baju dengan model berbeda kepada Bara. "Nih, cobain juga mana model yang lo suka."

Dari empat model baju, Bara hanya memilih tiga di antaranya. Dia menggantungkan baju itu, lalu berkata, "Ntar, gue sekalian mau cari jas. Syukuran kehamilan si Satya jadi pakai dresscode, kan?"

"Jadi." Nolan pun menyengir. "Lo ajak si Leia, gih. Bilang aja... bajunya disuruh couple-an gitu. Trus, lo bilang deh ke Leia 'Lei, aku nggak ada couple, nih. Kamu mau nggak, jadi couple aku?' gitu, Bar!" Nolan terbahak-bahak.

Bara ikut terbahak bersama Nolan. "Semprul emang lo! Mulut sampah! Mana mau Leia diajak pakai gombalan gembel begitu!" Dia menderai tawa kembali.

"Ya... terus, dia bisanya dirayu pakai apa?" Cengiran iblis Nolan tersungging. "Apa perlu dirayu dengan, 'Maukah engkau menjadi makmum seumur hidupku, serta ibu dari anak-anakku, untuk bersedia menemaniku sebagai pasangan di tiap kali aku mendatangi acara?' gitu?"

"Emang sampah mulut lo." Bara terkekeh. "Udah, ah. Lagian, palingan ada aja yang ngajak si Leia buat datang ke acara Satya nanti."

"Lah? Siapa? Orang Zraka sama Satya nggak ada yang kenal Leia."

"Elo?"

"Gue pasti ngajak Kartini. Kalau ngajak Leia juga ya... aneh aja, sih. Ini kan, harusnya jadi acara keluarga. Yang diajak ya... orang-orang yang udah dianggap keluarga banget, gitu. Gue, Kartini sama Leia itu masih sebatas teman."

"Aksel?"

"Yeuh, si Sutet mah, udah pasti ngajak Virga. Kan, si Virga udah balik ke Indonesia."

"Lah, udah lulus toh dia?" Bara membeliak. "Perasaan kemarin masih kuliah."

"Yeuh, ke mana aja Maz?" Nolan memutar bola mata. "Intinya, si Leia nggak akan diajak siapa pun karena nggak ada dari kami yang dekat-dekat amat sama dia. Satu-satunya kemungkinan Leia diajak ya... dari elo."

"Kenapa harus dari gue?"

"Ya kan, yang lagi pedekate ke Leia itu elo. Kalau lo udah yakin, ya lo kenalinlah si Leia ke anak-anak."

"Kenalin sebagai apa?"

"Emangnya lo nganggep dia sebagai apa lo?"

Bara bergeming. Tak bisa menjawab.

Sedetik kemudian, dia mendengar suara Kartini memanggilnya. Kebetulan sekali, perempuan mungil itu membawakan beberapa model jas dan celana dengan warna senada.

Usai berterima kasih, Bara mengenakan satu per satu baju yang dipilihkan Kartini. Dia menyukai semua model dan bahannya yang terasa nyaman.

Kartini dan Nolan duduk di depan ruang ganti sambil mengobrol. Sayup, Bara dapat mendengar isi obrolan mereka; keluarga, acara tujuh bulanan Satya, barang-barang di rumah yang mulai habis, kapan dan siapa yang bisa belanja bulanan; semua obrolan yang biasa terlontar dalam sebuah keluarga. Hatinya menghangat mendengar obrolan ini. Barangkali, suatu saat dia akan mendapati obrolan itu juga dengan seorang perempuan. Atau, mungkin tidak akan pernah. Entah apa yang akan terjadi nanti.

Pada model jas terakhir yang Bara kenakan, Bara keluar dari ruang ganti. Nolan benar, dia memang merasa lebih percaya diri setelah mengenakan pakaian yang lebih cocok untuk bentuk tubuh dan gaya yang dia inginkan. Jas hitam yang dia kenakan terlihat glossy di bawah lampu gantung toko pakaian itu. Dia mengangkat kedua tangannya ketika melihat Nolan dan Kartini yang tersenyum menatap penampilannya. "So?" tanya Bara.

"Eleuh-eleuh...." Nolan geleng-geleng kepala, lalu mengacungkan jempolnya. "Kasep pisan, Bar! Kemejanya kelihatan agak ketat gitu karena otot-otot lo. Adek jadi nggak kuku."

"Najis, sampah. Tobat lo, Lan." Bara selangkah menjauh.

Kartini tertawa dan memukul pelan lengan suaminya. "Udah, ah. Jangan godain Bara mulu." Dia lalu menatap Bara. "Tuh, Bar, kamu lebih keren kalau pakai baju-baju yang pas. Hak buat dandan dan berpenampilan modis bukan cuma buat cewek doang, kok," ujar Kartini dengan senyuman. "Jadi, jangan sungkan-sungkan kalau mau beli baju yang kelihatan oke dan nyaman buat badanmu."

"Tuh, bini aing telah bersabda," timpa Nolan. "Jangan rendah diri lagi ye, Bar."

Bara tersenyum. "Iya, Lan."

"Jangan iya-iya doang, Bar. Ntar nggak tahunya, suatu saat lo malah ngejelek-jelekkin diri sendiri lagi," ujar Nolan memperingati. "Dah, lo keluar pakai baju begini aja. Ntar kancingnya dibuka tiga, biar cewek-cewek pada meleleh."

"Ogah. Yang ada ntar gue malah ditangkap satpam."

Kartini tertawa, begitupula dengan beberapa karyawan yang berdiri dekat dengan Bara. Bara mengancingkan jas dan melihat dirinya di kaca. Dia pun menoleh ke arah Nolan. "Jas ini cocok kan ya, buat dresscode prom night acara tujuh bulanan Satya?"

"Cocoklah, Bar," balas Nolan. Cengirannya kembali tersungging. "Nah, lo ntar ajaklah si Leia datang, trus tanya si Leia pakai baju warna apa buat acaranya. Nanti, lo sesuaikan warna baju dia sama bunga yang nanti lo pakai di saku jas lo. Biar couple-an gitu...."

Bara terkekeh. "Ntar dia marah lagi kalau gue kerjain begitu."

"Hm?" Nolan mengangkat alis, sangsi, disertai senyuman menggoda. "Kalau ternyata dia malah senang, gimana?"

"Ngaco."

"Mulai, deh. Barusan dibilangin."

Bara menarik oksigen yang banyak ke paru-paru. Dia harus bisa mengekspreksikan rasa tidak percayanya ini dengan cara lain. Dia mengganti jasnya dengan baju yang semula dia pakai, lalu keluar dengan dua kantung berisi pakaian yang dia beli.

"Ini satu toko aja? Nggak mau ngelihat-lihat toko yang lain?" tanya Kartini setelah mereka keluar dari toko pakaian.

Bara menggeleng. "Ini udah cukup. Kapan-kapan beli lagi."

"Yakin? Tadi saya sempat lihat ada baju cowok bagus-bagus di toko itu," ujarnya sambil menunjuk toko yang terletak di ujung.

Bara terkekeh. "Nggak usah. Kapan-kapan aja beli lagi. Di toko tadi juga saya udah beli banyak, Mbak. Dan, model-model bajunya saya suka semua."

"Kamu nggak suka window shopping, ya? Kayak Nolan?"

"Suka, kok," jawab Bara. "Cuma yah... kalau udah kelar, ya... ya udah. Kenapa harus ngelihat-lihat toko lain di saat kita emang nggak ada niat beli lagi, entah itu karena mau berhemat atau karena uang habis?"

Kartini menarik napas, lalu manggut-manggut. "Ya sudah. Kalau gitu, kita makan aja, ya?"

Dua lelaki di sebelah Kartini mengiakan, lalu mereka berjalan menuju salah satu restoran makan Indonesia. Sesampainya di salah satu restoran, Kartini izin pergi dulu untuk melihat-lihat lipstick yang sedang dijual tak jauh dari restoran yang mereka datangi, dan hanya titip pesan makanan yang dia lihat dari menu. Kemudian usai Bara duduk bersama Nolan di salah satu sudut, mereka memesan makanan dan mulai menceritakan hal yang tadi—bahkan dari kemarin—mengganjal di benaknya.

"Lan," panggil Bara, yang direspons dengan tolehan kepala dari pria berkacamata itu. "Aksel bilang kalau Leia dulu pernah naksir gue, pas zaman gue masih gendut-gendutnya."

Nolan mengernyit. "So?"

"Ya... masa iya, si Leia naksir gue pas gue masih gendut? Dia naksir gue dengan badan gue yang sekarang aja, gue nggak percaya."

"Rendah diri lo emang kampret sih, Bar." Nolan menggaruk-garuk belakang telinganya. "Tapi yah, gue nggak bisa nyalahin lo juga. Cewek-cewek dari zaman SMA yang nge-bully lo itu semuanya emang bego." Pria berkacamata itu pun menghela napas. "Ketololan masa sekolah. Semoga aja mereka tobat."

Bara tersenyum tipis. Terkenang masa SMA-nya dulu saat dia tiap hari bertemu Nolan, Hizraka, dan Mahesa. Bara teringat saat dia mendengar segerombolan perempuan sedang mengobrol dan salah satu di antaranya berkata, 'ih, awas, yang kalah ntar nikahnya sama si Bara yang gendut dekil itu ewwh'. Dari media sosial, dia dapat melihat bahwa beberapa perempuan yang dulu mengejeknya sekarang sudah menikah, sebagian menjadi gendut, sebagian menjadi orang sukses di bidangnya masing-masing, dan sebagian lagi tidak diketahui kabarnya. Nazla, kakak kelasnya yang dulu pernah mengerjainya pun sekarang sudah menjadi model terkenal. Lucu bagaimana waktu menggerus keadaan dan menjadi saksi nasib manusia yang berubah.

"Tapi, Bar, itu kata kuncinya, kan?" tanya Nolan, membangunkan Bara dari kereta lamunan. "Leia pernah naksir lo. Yah, kalau memang benar dia pernah naksir lo, berarti itu udah terjadi di masa lampau. Sekarang, dia masih naksir lo apa enggak?"

Bara menatapi meja, mengangkat bahu. "I don't even know what should I do if it's true."

"Then, go find it out," balas Nolan seraya menyenderkan punggung di kursi. "Ini pertanyaan simpel yang harus lo tanyakan ke diri lo sendiri: lo suka sama Leia atau enggak?"

Bara masih memandangi meja dengan tatapan sedang berpikir. "I don't know, Lan. Itulah yang bikin gue bingung. Leia itu emang baik banget. Tapi, yah... dari yang gue lihat, dia baik ke semua orang gitu. Bukan cuma ke gue."

Nolan menatap Bara dengan sedikit memicing. "That's not the point, Bar. Nggak masalah mau si Leia itu baik ke semua orang, baik ke elo doang, atau lo justru nggak dipeduliin sama dia. What matters is what you feel about her. Terlepas dari segala kebaikan, kecantikan, atau segala kelebihan Leia, what do you feel about her?"

Pandangan Bara masih penuh pergulatan batin. Terlihat ada garis di tengah sepasang alisnya. "I'm sorry. I don't know."

"Or you don't wanna know?" tekan Nolan. "Gue paham, Bar. Lo rendah diri karena itu self defense lo terhadap rasa sakit hati yang lo alami karena lo selama ini dihina-hina sama orang banyak, selalu dibanding-bandingkan sama Aksel, dan akhirnya lo kayak gini karena lo nggak mau ngarep terlalu tinggi. Karena tiap kali lo naksir cewek, selalu lo yang berakhir patah hati soalnya cewek yang lo taksir malah naksir cowok lain, yang di mata lo lebih wah daripada lo sendiri. Lo kapok naksir cewek cantik karena mereka selalu manfaatin atau ngerjain lo. Pun ketika lo naksir cewek yang bener-bener baik dan menerima lo kayak si Putri, akhirnya lo yang harus nanggung patah hati karena Putri malah naksir dokter senior. Sekarang, giliran ada Leia, cewek baik dengan kecantikan bukan main, lo jadi takut buat taruh harapan ke dia. Try to deny me if I'm wrong about this."

Merasa tertampar, Bara pun hanya membisu. Dia tak bisa membalas, sebab yang Nolan katakan memang benar adanya.

Pada akhirnya, dia hanya takut. Takut jika hatinya kembali patah. Takut jika hal yang sama terulang. Takut jika segala waktu yang dia habiskan untuk perempuan yang dia sukai akan sia-sia.

"Teman gue pernah bilang gini," ujar Nolan lagi. "Cinta itu bukan masalah lo ngedapetin orang yang lo suka atau enggak. Masalahnya adalah tentang apa yang bisa lo pelajari dari pengalaman saat lo lagi suka sama seseorang. Jadi, lo nggak usah terlalu mikirin apakah orang yang lo suka bakal jadi sama lo apa enggak. Yang cukup lo pikirin adalah hal-hal apa yang bisa lo pelajari dari orang yang lo suka ini. Semakin banyak pelajarannya, semakin worth it orang ini buat diperjuangkan. Tahu nggak, siapa teman gue yang bilang hal ini?" tanya Nolan. Tanpa perlu tahu respons Bara, Nolan menjawab pertanyaan sendiri, "Teman gue yang ngomong itu namanya Leia. Gue harap lo bisa dapetin pelajaran dari perasaan lo ke dia."

Bara menelan ludah. Lagi, dia merasa tertampar.

Ucapan Nolan—yang menyampaikan ucapan Leia—memang benar.

Bara menyadari bahwa selama ini terlalu fokus pada konsep memiliki dan dimiliki. Dia tak terlalu memikirkan pelajaran hidupnya. Baginya, kalau tidak memiliki itu namanya bukan cinta, tetapi harapan berlebih. Tak pernah terpikirkan olehnya untuk menyadari hal itu; bahwa cinta juga merupakan ujian hidup dan berisi segala pelajaran yang tak kenal henti untuk dipelajari manusia.

Mata Bara memandangi kaca jendela yang menampilkan lalu-lalang orang di jalan depan restoran. Dia mengerjap, merasa ada yang tercubit di dadanya. "Leia is amazing," ujar Bara dengan tatapan menerawang. "But, I don't think I'm worth enough for her."

"Kalau nggak layak ya, berusaha buat layakkin diri lo lah, Bar," ujar Nolan. "Emangnya lo pikir, gue merasa layak sama Kartini pas dulu gue masih kerja di Amrik, tatoan, ngerokok, dan masih belum punya penghasilan cukup buat nafkahin siapa pun? Kagak." Kemudian, Nolan menambahi, "Apa? Lo mau bilang kalau Kartini nerima gue karena gue sekarang punya banyak duit? Gue tonjok juga lo, Bar."

Bara menarik napas. Seiring dengan itu, seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka.

Usai pelayan pergi, melihat Kartini masih belum menunjukkan batang hidung, Bara pun berkata, "You know, gue cuma nggak mau... ntar gue malah merasa ngebuang-buang waktu untuk sesuatu yang sia-sia."

"Sia-sia karena lo deketin Leia?"

Bara mengangguk. "Lo benar, Lan. Gue nggak mau ngarep. It's my self defense mechanism, yang dinilai orang-orang dengan rendah diri. Tapi selama ini gue merasa... itulah yang menyelamatkan gue dari ngarep dan sakit hati berlebih. Gue nggak mau naruh harapan ke siapa pun. Kalau kayak gitu, sama aja kita lagi kasih kontrol ke orang lain buat nyakitin kita. Mending kalau orangnya emang worth it. Kalau enggak? Itu apa namanya kalau bukan wasting time?"

"Bar," ujar Nolan dengan nada serius. "Kalau lo memperjuangkan perempuan yang tepat, segala rasa sakit yang lo terima buat dia itu bakal worth it, termasuk rasa patah hati yang pernah lo terima dari perempuan-perempuan sebelumnya. Kalau dalam proses pendekatan lo sadar bahwa dia nggak worth it buat lo, ya udah, jangan dilanjutin. Batasin diri lo cukup jadi teman. Jangan buang-buang waktu lo buat orang yang nggak layak diperjuangkan."

"Gimana kalau seandainya aja waktu dulu lo kenalan sama Mbak Kartini, dia memang layak, tapi dia lagi suka atau lagi serius jalanin hubungan sama cowok lain?"

Nolan terdiam sejenak. "Gue pastikan dulu bahwa Kartini memang beneran mau sama cowok itu, dan pastiin bahwa cowok itu memang layak buat Kartini. Kalau memang iya, ya udah," Nolan menelan ludah, "gue lepasin dia."

Bara bergeming. Dia menimang sejenak sebelum mengaku, "Itu yang terjadi ke gue sama Putri."

Mereka terdiam. Lalu mulai memakan makanan pesanan masing-masing.

Tak lama, Nolan berkata, "Gue nunggu Kartini sampai delapan tahun," dia menelan kunyahannya, "nggak tahu apakah dia udah nikah, nggak tahu apa dia udah punya anak, dan nggak tahu apa dia masih ingat gue selama gue nunggu. Kalaupun ternyata pas gue ketemu lagi sama dia, ternyata dia udah nikah sama cowok lain atau udah ngelupain gue, gue nggak nyesel, karena gua yakin semua rasa sakit yang gue alami itu worth it. Sebab, Kartini memang selayak itu buat gue perjuangkan. "

Bara menautkan alis. "Walau akhirnya lo harus melepaskan?"

"Pada akhirnya kita semua harus melepaskan, Bar," balas Nolan sambil menyendok makanan. "Karena akan ada waktunya orang yang kita cinta kembali kepada Tuhan. Termasuk Kartini."

Lagi-lagi, Bara membisu.

"That reminds me of something," ujar Bara, menyuap lauknya, lalu menelannya. "Tante Varsha—iya, Tante Varsha yang bikin Zraka jadi fanboy-nya—dia pernah bilang bahwa cinta datang sepaket dengan bahagia dan sakit hati. Lo nggak bisa cuma milih salah satu. Akan ada waktunya lo sakit hati, dan ada juga waktunya lo bahagia. Kalau lo harus melepaskan sesuatu atau seseorang yang menurut lo worth it buat diperjuangkan, cari sumber kebahagiaan lainnya. Itulah kenapa, Lan, gue nggak suka nganggep kebahagiaan mutlak cuma dari cinta asmara."

"Then, that's the thing, right?" tanya Nolan dengan heran. "Kalau ternyata Leia worth it dan lo harus ngelepasin dia, ya udah, lepasin, trus cari kebahagiaan lain."

"Gue takut stuck."

"Emangnya lo masih stuck sama Putri?"

"Menurut lo?"

"Nggak. Lo termasuk orang yang cepat sembuh dari patah hati, sih, gue akui. Logika lo jalan mulu soalnya."

Bara terkekeh. Dalam hati, dia bersyukur memiliki teman seperti Nolan. Hanya Nolan yang bisa mengobrol dengannya seperti ini. Hizraka dan yang lain kemungkinan besar tak bisa 'sebawel' Nolan masalah perasaan. "Kalau suatu saat logika gue nggak bisa jalan karena gue terlalu berlarut-larut ke perasaan, gimana?"

"I'll wake you up," ujar Nolan sebelum menyeruput es tehnya. "Itulah gunanya teman."

Bara tersenyum. Sejurus kemudian, Kartini muncul membawa satu goody bag kecil. Ketika perempuan itu sudah duduk, dia berkata, "Habis ini, saya mau ke toko parfum dulu ya, Bar. Tadi udah lihat ada parfum yang saya incar. Cepat, kok. Tinggal beli aja."

Bara dan Nolan pun saling lempar pandangan. Kemudian, Nolan bertanya, "Benar cuma beli parfum aja, kan? Udah tahu mau beli apa, jadi tinggal beli?"

"Iya, tinggal beli, Sayang. Aku nggak akan lama." Kartini tersenyum manis. Kemudian, Nolan mengangguk-angguk.


Seusai makan, mereka pun mendatangi toko parfum yang dituju Kartini. Kontradiksi dengan ucapannya tadi, Kartini justru tak langsung membeli parfum yang dia mau. Dia melihat-lihat parfum yang lain, membandingkan harga dan seleranya. Bara dan Nolan pun menunggu di bangku yang tersedia di dalam toko. Nolan mengamati Kartini yang sedang berbincang dengan sang penjual.

"Eh, Lan, gue penasaran," ujar Bara. Dia menatap Nolan dengan santai. "Lo pas pertama kissing kayak gimana jadinya?"

Nolan meninggikan alis, lalu terkekeh. "Berantakan," balasnya dengan suara agak pelan. Toko parfum itu tak terlalu besar, tetapi jaraknya dengan Kartini bisa jadi membuat gadis itu bisa mendengar suaranya. Nolan pun melanjutkan, "Gue malam pertama aja kebanyakan ketawa."

"Ketawa kenapa?"

"Ya... ketawain karena banyak hal. Ketawain kecanggungan, ketawain yang salah geraklah, apalah. It's my first and her first too. Jadi kalau pas awal agak berantakan, ya wajar. Ntar juga lama-lama ngerti sendiri."

"You are fine with that?"

"Sure. Seks, kissing, dan semacamnya itu tinggal dinikmati aja. Nggak usah terlalu diambil pusing."

Bara manggut-manggut. Kemudian, dia bertanya lagi, "Lan, ini gue juga penasaran. Lo gimana caranya kissing sambil berdiri sama Mbak Kartini?"

Nolan melotot dengan rahang terjatuh. "Are you seriously just made that question?"

Bara mengangguk, masih terlihat santai. "Kan, lo tingginya di atas 175 senti, sementara Mbak Kartini 150 senti aja nggak nyampe. Lo kalau kissing harus nunduk banget, ya?" Sejurus kemudian, Bara menimpali, "Kalau lo nggak mau jawab juga nggak apa-apa."

"Uhm." Nolan menelan ludah, mengalihkan pandangan, menggaruk-garuk kepalanya. "Ya gue nunduk, sih. Nggak nunduk-nunduk banget. Biasa aja."

"Pegal, nggak?"

"Nggak terlalu kerasa, Bar. Biasanya kalau kissing gitu, nggak lama langsung gue seret ke tempat tidur soalnya."

Bara tertawa. "I see." Pandangannya beredar ke sepenjuru toko, kemudian sebuah pertanyaan muncul lagi di benaknya, "Lan, gimana cara lo dekatin Kartini sampai dia mau sama lo?"

Nolan mengangkat bahu. "Gue cuma ngajak dia diskusi, main ke apartemennya, ngobrol-ngobrol, kasih sesuatu yang meaningful—walau waktu dulu gue cuma mampu beliin dia hot chocolate sama marshmallow yang dia suka, ya udah. Yah... gue sendiri masih bingung kalau ditanya kenapa dia bisa suka sama gue."

Kemudian, sebuah ide melintas di kepala Bara. Dia segera mendatangi penjual toko, lalu bertanya rekomendasi parfum yang aromanya lembut. Setelah beberapa kali mencium aroma parfum-parfum yang ditunjukkan oleh penjual toko sesuai permintaan Bara, lelaki itu akhirnya menjatuhkan pilihan pada perfum dengan kemasan botol kaca yang berbentuk kotak, tetapi terlihat elegan. Berisi cairan warna merah jambu yang harumnya seperti campuran bunga dan buah. Wanginya manis, tetapi tidak menyengat, membuat Bara betah mencium wanginya lama-lama.

Bara tersenyum lebar saat menemukan parfum itu. Dia meminta penjual toko mengemasnya dengan kotak kado. Kartini yang melihat itu pun bertanya, "Itu buat siapa, Bar?"

Sontak, Bara membeku. Dia melirik ke arah Kartini yang sudah selesai membeli parfum, kemudian ke arah Nolan yang hanya memberi senyum miring. "Uhm... buat teman, Mbak."

"Cewek? Dia ulang tahun?"

"Uhm... enggak."

Kartini mengangkat alis. Nolan hanya menutup mulut seperti menahan tawa keluar. Wajah Kartini lalu terlihat seolah baru menyadari sesuatu. "Oh, kamu naksir cewek ini toh. Siapa namanya?" tanya Kartini.

"Uh...." Bara mengalihkan pandangan ke arah Nolan. Matanya menyiratkan minta tolong, tetapi jelas, Nolan tak menggubris dan hanya menyeringai.

"Gugup, ya?" tanya Kartini. "Maaf, Bar. Habis, jarang banget saya lihat orang kasih kado parfum, kecuali kalau lagi ultah atau kalau udah dekat banget. Parfumnya bukan yang harganya murah pula," lanjut Kartini, membuat Nolan menyeringai lebih lebar. "Makanya saya nanya siapa cewek yang mau kamu kasih parfum ini. Kali aja saya kenal."

"Wah, kamu pasti kenal banget, Kar," timpa Nolan. "Kita sering main ke kedai dia, kok."

Mata Kartini membeliak. "Leia? Bara naksir Leia?" tanyanya, tak percaya. "Ya ampun. Kapan kalian kenalnya?"

Bara menelan ludah. "Baru dua bulan ini, sih."

"Trus, Lan, kamu udah tahu?" tanya Kartini kepada suaminya. "Kenapa aku baru tahu sekarang?"

"Bini, aku juga baru belakangan ini tahu kalau Bara lagi deketin Leia," balas Nolan. "Makanya aku ajak dia beli baju, sekalian buat pedekate biar kelihatan lebih charming."

"Nah, kebetulan," ujar Kartini. "Kamu ajak si Leia ke acara tujuh bulanan si Satya aja. Biar kenalan sama yang lain."

Bara terdiam. Dia punya firasat bahwa teman-temannya justru malah akan mengerjainya jika mereka tahu dia membawa Leia. "Belum tentu Leia mau juga sih, Mbak."

"Ya nggak apa-apa. Ajak aja dulu. Toh, kan ada saya, Nolan, sama Aksel di sana yang Leia kenal. Lumayanlah buat tambah-tambah kenalan lain."

Lagi-lagi di hari yang sama, Bara dibuat membisu. Dia akhirnya hanya mengiakan, membayar tagihan parfum yang dia beli, lalu pulang bersama Nolan dan Kartini.

Sepasang suami istri itu benar; tak ada salahnya mengenal Leia lebih lanjut dan mengajak perempuan itu ke acara Satya. Salah satu tindakan yang ingin dia lakukan adalah dengan memberikan parfum ini kepada Leia.

Dan setelah itu semua, Bara hanya bisa berdoa semoga saja dia tidak salah gerak.

[ ].




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top