Prolog
"Jadi, kamu tinggal di sini?"
Pria di hadapanku ini memindai dengan tatapan yang sulit diartikan, setiap sudut ruang tamu kecil rumah yang aku tinggali bersama Ayah sejak aku berusia lima tahun.
Aku hanya tersenyum simpul sebagai jawaban. Aku pikir dia tidak sebodoh itu sampai tidak mengerti maksud dari senyumanku.
"Apa sikapmu selalu seperti ini saat menyambut tamu?" tanyanya lagi dengan alis meninggi sebelah.
Aku membuka pintu lebih lebar. "Oh, Bapak mau masuk? Silakan kalau begitu."
Pria itu tampak berjengit ketika mendengarku memanggilnya 'Bapak'. Ah, biarlah. Memang dia jauh lebih tua dariku kok. Mungkin umurnya sekitar awal tiga puluhan.
"Jadi, Bapak ada perlu apa sampai datang ke mari?" tanyaku setelah kami duduk bersisian di kursi rotan tua ruang tamuku.
"Apa kamu nggak pernah nawarin minum ke tamu?"
Astaga! Pria ini benar-benar tidak tahu diri. Mengganggu hari liburku yang damai, menggedor pintu layaknya debt collector, dan sekarang minta minum layaknya seorang bos menyuruh pelayannya. Tolong, ingatkan aku untuk tidak mencampur minumannya dengan racun tikus!
Aku kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi secangkir teh.
"Kalau Bapak ke mari karena disuruh Bu Rosita, tolong sampaikan pada beliau, jawaban saya masih sama dengan yang sebelumnya. Saya tidak bersedia."
Dia tersenyum masam. "Kalau masalahnya segampang itu, saya nggak mungkin ke mari."
Alisku bertaut mendengar kalimatnya yang berbelit-belit.
"Saya sendiri bingung menjelaskannya. Mungkin lebih jelasnya kamu bisa bertanya pada orangtua saya," katanya seraya menyesap teh yang aku hidangkan. "Jadi, tunggu apa lagi? Setengah jam cukup kan, buat dandan?"
Aku menggeleng tegas. "Saya tidak akan pergi sebelum Bapak menjelaskan semuanya."
Dia berdecak tampak jengkel dengan ucapanku. "Saya tahu kamu nggak mau tinggal di rumah orangtua saya. Tapi, tolong Alisha, kamu tahu sendiri keadaannya bagaimana. Beri alasan yang masuk akal, supaya orangtua saya percaya dengan pilihan yang kamu ambil."
"Dan satu lagi, tolong jangan panggil saya 'Bapak'. Saya nggak setua itu," lanjutnya sembari kembali menyesap teh. "Saya nggak akan pergi dari sini, sebelum kamu ikut saya."
Aku melotot mendengarnya, "Bapak bilang apa tadi?"
Dia balik memelototiku saat mendengar aku kembali memanggilnya 'Bapak'. Ah, sudahlah. Ada yang lebih penting dari itu semua. Aku baru saja akan mempertegas pertanyaanku ketika kudengar dia mengulangi ucapannya.
"Ya, saya bakal nunggu di sini."
"Saya bakal lapor ke RT kalau Bapak nggak mau pergi dari sini," ancamku tanpa takut.
Dia hanya mengangkat bahu lalu tersenyum menyebalkan. "Silakan. Saya sudah menemui RT kamu dan meyakinkan beliau, karena saya sudah menebak, kamu bakal menolak."
Dia nggak lagi mabuk, kan? Ke mana Rahesa Rusmantoro yang sopan dan baik, yang aku temui dua minggu lalu? Kenapa dia jadi menyebalkan seperti ini?
Pasti ada campur tangan Pak Prasetyo dan Bu Rosita di dalamnya. Entahlah, mereka begitu ingin aku tinggal bersama mereka. Hei, aku tidak selemah itu sampai harus tinggal bersama mereka setelah musibah itu terjadi.
Aku tidak mungkin mengatakan alasannya sejujurnya, bahwa aku tidak menyukai Medusa yang ada di rumah itu. Medusa itu terlalu pintar memakai topeng di wajahnya.
Seandainya saja kemalangan itu tak menimpaku secara bertubi-tubi sebulan yang lalu, mungkin ini semua tak perlu terjadi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top