6. Non-sense Promise
Indhira terbangun karena merasa ada yang mengusiknya. Lelaki itu masih menimpa tubuhnya dan memeluknya.
Rambut hitam tebal lelaki itu berada sekepal dari dagunya. Kepalanya bergerak-gerak di sana sedang menikmati sesuatu.
Indhira merasakan basah yang hangat di pundak buah dadanya secara bergantian. Lelaki itu sedang memainkan lidahnya di sana. Indhira memang terlelap terlalu pulas semenjak semalam Reza sudah membiarkannya tidur.
Lelaki itu nampak tidak peduli walau tahu Indhira masih tertidur. Dia tetap mengecap-ngecapkan bibirnya di kulit kenyal Indhira dengan penuh nafsu seperti bayi kelaparan.
Indhira mengangkat tangannya lemah dan mengusap rambut tebal lelaki itu.
Reza baru tersadar kalau wanita di bawahnya sudah terbangun. Dia segera menyesuaikan posisinya masih di atas gadis itu walau sudah bersiap-siap.
"Untung kamu bangun," katanya serak menahan gairah, "Aku hampir masukin kamu yang lagi tidur, babe. Aku mau masukin kamu."
"Ini udah pagi, Mas. Nanti kita telat ke kantornya." Kata Indhira lemas karena masih mengantuk. Walau sedetik kemudian dia melenguh pelan saat tubuhnya terdorong.
Reza sudah mulai memasukinya dengan keras dan perlahan. Tidak peduli dengan kata-kata Indhira tentang ke kantor. Kepalanya kembali menunduk dan dia kembali menyedot ujung payudara gadis itu seolah sedang menyusu.
Indhira mengusap rambut lelaki itu sambil sesekali meremasnya pelan ketika dia merasa ujung saraf di dadanya terasa perih saat Reza menggigitnya. Lelaki itu menggerakkan pinggulnya pelan dan berirama menjelajahi Indhira sementara kedua tangannya menahan kedua kaki gadis itu merapat.
Indhira merasa nikmat. Dia selalu suka ketika Reza memperlakukannya dengan sangat lembut saat memasukinya, seolah dia sangat disayang lelaki itu. Dia selalu rela melayani lelaki itu kalau Reza sedang normal. Saat dia sedang tidak marah dan emosinya stabil.
Reza menggigitnya kuat saat pelepasan, membuat Indhira mengerang kesakitan, namun tetap terasa enak.
Lelaki itu melepaskan diri setelah puas, kembali berbaring telentang di samping wanita itu sambil memejamkan matanya.
Indhira mengambil ponselnya yang tadi bergetar namun tidak langsung diambilnya karena dia tahu itu hanya bunyi pesan masuk. Pesan dari Aline.
Indhira menatap ke arah Reza sambil menimbang-nimbang. Mood lelaki itu kelihatan sedang baik. Mungkin memberitahu dan meminta ijin sekarang adalah waktu yang paling tepat.
"Mas Reza," panggilnya, "kalau Mbak Aline ajak aku makan siang berdua boleh nggak?"
Reza membuka matanya yang semenjak tadi terpejam masih menikmati sensasi di dalam gadis itu.
"Mbak Aline ajak aku makan siang. Tapi kalo Mas Reza nggak kasih, aku bilang aja aku nggak bisa." Katanya buru-buru.
"Ngapain dia ajak kamu makan siang? Tumben banget." Kata Reza curiga.
"Dia mau ajak ngobrol-ngobrol, Mas." Kata Indhira memutuskan untuk jujur. Karena tidak pernah sekalipun dia pernah berpikir untuk membohongi lelaki itu. "Kemarin pas Mbak Aline ke kantor ajak Mas makan siang, dia kan sempet ngobrol sebentar sama aku di luar, dia ajak aku kapan-kapan makan bareng. Terus barusan dia chat aku nanya hari ini bisa nggak."
"Mau ngobrol apa dia sama kamu?"
"Tapi Mas jangan ngomong ke dia lagi ya," kata Indhira walau dia tahu Reza tidak akan pernah berjanji untuk melakukannya, "Mbak Aline kayaknya cemburu Mbak Adisty deket sama Mas."
Reza menaikkan alisnya heran. Tertarik.
"Dia khawatir kalo Mas lagi berduaan sama Mbak Adisty kayak kemarin di ruangan gitu. Mungkin dia mau denger cerita dari aku." Tebaknya.
Reza tersenyum miring, "Ada-ada aja perempuan."
"Tapi wajar kok kalo Mba Aline cemburu. Kan banyak yang deketin Mas." Kata Indhira lagi.
Reza mengangkat tubuhnya dan bersandar di pinggir ranjang. Dengan sebelah tangannya, dia menarik tubuh mungil Indhira dalam rangkulannya dengan mudah, untuk duduk bersisian dengannya.
"Masa? Kok kamu nggak cemburu?" Reza menempelkan bibirnya ke tengkuk gadis itu, membuatnya bergidik.
Indhira terdiam, menahan geli di tengkuknya karena ciuman lelaki itu.
"Kamu kesal nggak kalau aku lagi deket sama Aline?" Godanya.
Indhira menggeleng. "Tapi aku takut.."
"Takut apa?" Tanya Reza akhirnya berhenti menempelkan bibirnya ke kulit Indhira.
"Takut Mas ninggalin aku kalau udah nikah sama Mbak Aline."
Reza terhenyak. Tidak menyangka kata-kata barusan keluar dari mulut Indhira. Reza memutar tubuh ramping Indhira untuk berhadapan dengannya.
"Kamu tahu aku nggak akan lepasin kamu, Dhira, walau kamu memohon kayak apapun. Aku memang akan nikah sama Aline. Tapi aku nggak akan melakukan apapun sama dia kecuali hamilin dia." Jelas Reza dengan tegas, "Atau kalau kamu mau, kamu bisa ada waktu aku hamilin dia, biar kamu bisa tahu aku nggak ngapa-ngapain lagi sama dia."
Lelaki itu memang selalu gila. Tapi kata-katanya barusan sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dia bisa ada saat lelaki itu akan berhubungan seksual dengan Aline.
"Mana bisa, Mas," kata Indhira menghentikan kata-kata tidak masuk akalnya barusan.
"Nggak ada yang nggak bisa di kamus aku." Katanya yakin, "Segera setelah aku nikah sama Aline, dia harus tahu kamu perempuan aku. Dan dia harus terbiasa kalau kamu ada waktu aku berhubungan badan sama dia."
"Tapi aku nggak mau Mbak Aline ada waktu kita yang melakukan." Kata Indhira memberikan syarat.
"Ya iya, Indhira. God, aku nggak ajak kamu threesome juga. Aku lakukan ini demi kamu. Kamu mau kan?"
Indhira akhirnya tersenyum. Kata-kata Reza bahwa dia melakukan semuanya demi Indhira membuat gadis itu terenyuh. Walau yang dilakukannya tidak normal dan tidak waras. Indhira mengangguk.
"Good. Mungkin kamu kalau mau makan siang sama dia boleh juga. Biar dia kenal kamu lebih dekat." Kata Reza final memberikan ijinnya.
***
"Maaf, Mbak Aline, aku telat." Kata Indhira dengan langkah sedikit terburu-buru menghampiri meja dimana wanita cantik itu duduk dengan anggunnya.
"Nggak papa, aku emang dateng pagian kok. Sini duduk, terus sekalian pesan makanan kamu. Aku udah pesan makanan duluan Dhi." Kata Aline menyodorkan menu makanan kepada Indhira yang sedang merapikan duduknya.
Indhira memilih menu makanan untuknya sendiri. Nasi goreng dan es teh manis.
"Reza di kantor?" Tanya Aline setelah pelayan meninggalkan mereka.
"Bapak lagi ada lunch meeting, Mbak."
"Lho, kamu kok nggak temenin? Nggak apa-apa malahan aku ajak makan siang."
"Nggak apa-apa, Mbak. Bapak lunch meeting sama temen lamanya doang. Jadi aku nggak perlu ikut."
Aline mengangguk-angguk paham.
"Kamu tinggal dimana, Indhi?" Tanya Aline lagi.
"Di daerah karet, Mbak."
"Ohya? Wah deket sama apartemen Reza dong. Kamu ngekost di sana?" Kata Aline menarik kesimpulan sendiri.
Indhira hanya mengangguk. Tidak mungkin dia menjawab bahwa dia tinggal dengan Reza di apartemennya.
"Kamu udah berapa lama kerja sama Reza?"
"Hmm, udah dua tahun Mbak."
"Udah lumayan juga ya. Berarti kamu udah kenal kan sifatnya Reza kayak gimana."
Indhira mengangguk.
Aline menghela napas panjang. "Reza tuh baik sama semua orang. Dia orangnya lembut. Aku tuh jadinya suka bingung sebenernya dia gimana ke aku."
"Maksudnya Mbak?"
"Ya aku jadi nggak tahu gimana sebenernya perasaan dia ke aku, Dhi, karena meskipun dia baik dan lembut sama aku, toh dia memang seperti itu ke orang lain juga." Jelas Aline,
Indhira terdiam. Baginya kelembutan Reza merupakan barang langka. Terhitung dengan jari berapa kali Reza bersikap lembut kepadanya, karena setiap hari Indhira selalu dijadikan objek pelampiasan emosi dan hasratnya saja.
"Menurut kamu Reza itu gimana sih ke aku, Dhi?" Tanya Aline menyadarkan gadis itu dari lamunan.
Indhira yang tiba-tiba diberikan pertanyaan itu bingung. Entah jawaban apa yang harus diberikannya. Pasalnya, dia memang tidak pernah bisa memahami pemikiran Reza, apalagi perasaan lelaki itu.
"Pertanyaan aku mungkin susah buat kamu jawab ya. Ya iya sih, meskipun kamu udah kerja sama dia lama, hubungan kalian kan tetap atasan bawahan ya." kata Aline akhirnya menjawab pertanyaannya sendiri, "Oke kalo gitu aku ganti pertanyaannya, selain kamu, selama ini apa ada perempuan lain yang deket sama Reza?"
Aline buru-buru menambahkan sambil memutar bola matanya malas mengingat nama wanita itu sebelum membiarkan Indhira menjawab, "Oke, exclude Adisty juga. Aku anggap mereka memang nggak ada apa-apa."
Indhira menggeleng memberikan jawaban.
"Beneran?" tanya Aline sedikit terdengar berharap.
Indhira mengangguk.
Wanita cantik itu menghela napas lega, "Syukur deh kalo gitu. Reza itu baik, tapi karena dia baik bikin aku sebagai tunangannya jadi merasa insecure. Aku takut kalau sebenernya dia punya hubungan sama perempuan lain selain aku."
Indhira mendengarkan.
"Tapi dengar kamu bilang kalau dia nggak pernah deket sama perempuan lain bikin aku merasa lega, Dhi." kata Aline sambil tersenyum pada gadis di depannya itu, "Aku mau kasih tahu sesuatu ke kamu. Kamu akan jadi orang pertama yang tahu ini selain keluarga aku sama keluarga Reza. Kita udah nentuin tanggal pernikahan kita."
Aline tersenyum dengan bangga, "Tanggal lima belas mei, dua bulan lagi."
"Selamat ya Mbak Aline. Aku ikut senang." kata Indhira memberikannya selamat.
"Iya aku nggak sabar, tahu nggak? Inget waktu itu yang aku nelepon kamu pas di Bali? Akhirnya aku udah nentuin gaun yang mau aku pakai, Reza juga setuju. Tempat juga udah aku booking tadi pagi sebelum ke sini. Sekarang tinggal kirim undangan dan cari dekor." ceritanya bersemangat, "Sama aku cari bridesmaid buat aku. Kamu mau jadi bridesmaid aku nggak?"
Indhira terlihat bingung ketika tiba-tiba ditanya secara langsung seperti itu.
"Kamu mau kan bantuin aku, Dhi?"
"Harusnya bisa sih, Mbak. Tapi aku kabarin lagi ya, Mbak."
"Oke, makasih ya." kata Aline sambil tersenyum senang, "Yang bikin aku ragu kemarin cuma perasaan Reza aja, tapi berkat ngobrol sama kamu aku jadi tenang, Indhi."
Makanan mereka akhirnya tiba. Dan Indhira mulai mengisi perutnya dengan makanan karena kelaparan. Sementara dilihatnya ternyata wanita itu hanya memesan salad dan air mineral.
"Mbak Aline cuma makan itu aja?" tanya Indhira sambil menatap mangkok Aline yang hanya berisi beraneka sayuran.
"Iya, aku lagi diet, Dhi. Kan dua bulan lagi aku mau menikah. Aku mau jadi yang paling sempurna di hari pernikahan aku nanti."
"Tapi Mbak Aline udah kurus kok. Badannya bagus malahan." kata Indhira tulus. Apalagi dibandingkan dengan tubuhnya sendiri yang rata, tubuh Aline juga sama rampingnya namun terlihat seksi dengan lekukan tubuh dan dadanya yang besar.
"Perut aku masih banyak lemaknya, Dhi." keluhnya, "Aku musti banyak perawatan nih sebelum nikah. Nanti sore aku udah ada janji mau ke klinik juga buat perawatan muka."
"Mbak Aline mukanya udah halus gitu mau perawatan apa lagi, Mbak?" tanya Indhira bingung berusaha mencari kekurangan di wajah sempurna wanita itu.
Aline tertawa, separuh karena merasa Indhira lucu, separuh karena dia merasa bangga dengan sanjungan gadis itu. Aline menarik rambutnya ke belakang.
"Kamu tuh beneran polos banget sih, Dhi. Kamu udah punya pacar belum?" tanya Aline kepadanya.
Indhira menggeleng.
"Pernah pacaran?"
Indhira kembali menggeleng. Dia tidak pernah pacaran waktu masih tinggal di panti asuhan. Dan setelah keluar dari panti asuhan, mana mungkin Reza membiarkannya berpacaran dengan lelaki manapun.
"Makanya kamu nggak tahu, Dhi. Wajah dan tubuh itu aset utama kita sebagai perempuan. Kamu pikir gimana caranya aku bisa dapat Reza kalau aku nggak ngejaga itu semua. Dan kalau kamu nggak mau lelaki kamu nanti kabur gara-gara lihat perempuan yang lebih cantik, ya kamu musti berusaha lebih keras."
Indhira mendengarkan dengan seksama.
"Kayaknya aku harus kenalin kamu sama cowok deh biar kamu nggak polos-polos banget, Dhi."
"Nggak usah, Mbak. Aku nggak boleh pacaran." tolak Indhira buru-buru.
"Siapa yang larang kamu? Orang tua? Kamu udah umur berapa sih, Dhi?"
"Dua puluh dua, Mbak." jawab Indhira.
"Tuh kan kamu udah umur dua dua, masa masih dilarang-larang sih?" kata Aline heran.
Indhira hanya tersenyum kecil menjawabnya.
"Ya udah terserah kamu lah. Aku nggak maksa juga."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top