4. New Ally

Ngepost cerita banyakan dulu sblm bsk mulai kerja dan ga sempet lagi 💪🏻😑

Indhira menautkan pengait bra di balik punggungnya sendiri dengan mudah. Kemudian dia mengenakan kemeja putih busana kerjanya dan mengancingkannya dengan rapi.

Reza sudah memperbolehkannya mandi dan berpakaian lagi. Emosinya sudah mereda setelah dia puas melampiaskannya kepada gadis itu sepanjang siang tadi. Indhira masih merasa perih di bagian bawah tubuhnya setiap kali dia bergerak. Air matanya sempat menetes karena dia kesakitan waktu lelaki itu memaksa memasukinya, walau ternyata itu tidak membuat lelaki itu menyudahi perbuatannya dan malah semakin menikmati kesakitan Indhira dengan menyiksanya.

Reza yang masih duduk bersandar tembok di sisi ranjang mengusap rambut panjang gadis itu dengan sayang. Seolah semua perbuatan kasarnya tadi hanya merupakan bagian dari kasih sayangnya kepada Indhira. Seolah tidak ada yang salah atas apa yang dilakukannya kepada gadis itu.

"Jam berapa pesawat kita?" Tanya Reza sambil memainkan anak rambut Indhira.

"Jam tujuh, Mas. Masih ada tiga jam." Jawab Indhira.

"Kita makan di lounge bandara aja ya. Supaya kamu bisa makan yang banyak." Kata Reza. Dia mengusap rahang dan tulang yang menonjol di sepanjang pundaknya dengan sayang, "kamu belakangan makin kurus, Dhi. Tulang kamu sampai kelihatan begitu."

Indhira mengangguk. Dia memang lapar. Dia merasa lapar sebelum mereka berencana keluar makan siang. Yang tertunda karena Reza marah dan rasa laparnya sempat hilang ketika rasa sakit di tubuhnya lebih mendominasi. Dan kini rasa lapar itu semakin menjadi, apalagi Reza menyebutkan kalau mereka akan segera makan.

"Mana coba aku lihat foto gaun Aline yang kamu pilih?" Kata Reza lagi.

Padahal lelaki itu hanya tinggal mengambil ponselnya sendiri yang tergeletak di nakas dan membuka history dari aplikasi pesan terakhirnya kepada Aline. Namun lelaki itu memilih meminta Indhira yang mengambil ponselnya.

Indhira menurutinya. Dia mengambil ponsel milik Reza di nakas, membuka dengan sidik jarinya yang memang sudah Reza daftarkan di ponselnya lalu membuka pesan terakhir yang dia kirimkan kepada Aline seolah yang membalas pesan itu adalah Reza.

Reza melihat foto Aline, tunangannya mengenakan gaun pengantin yang ditunjukkan Indhira melalui ponselnya. Gaun A-line klasik berbahan tile dengan tali tipis di kedua pundaknya serta deep V neck.

Lelaki itu membayangkan gaun yang sama dikenakan oleh Indhira. Indhira pasti akan kelihatan sangat cantik. Seketika gairahnya kembali meningkat saat dalam imajinasinya gadis itu memperlihatkan belahan dadanya yang rata dalam balutan gaun deep V neck serta tulang-tulangnya yang menonjol terlihat di balik gaun tersebut.

"Kamu suka gaun ini?" Tanya Reza masih mengawasi foto tunangannya yang berbadan bak model tersebut.

Indhira ragu. Dia takut lelaki itu kembali marah atas jawabannya, namun dia mengangguk. "Mbak Aline cantik Mas pakai gaun itu."

"Aku tanya kamu suka gaun itu? Aku nggak tanya Aline bagus atau nggak pakai itu."

Indhira kembali mengangguk pelan.

"Kamu mau pakai gaun itu?" Tanyanya lagi.

Indhira sedikit banyak berharap. Tentu saja dia ingin memakainya. Wanita mana yang tidak ingin mengenakan gaun yang menurutnya nampak cantik dan bisa tampil cantik. Tentu saja dia mau. Apalagi yang mereka bicarakan adalah gaun pengantin. Gaun putih yang diidamkan setiap wanita di dunia untuk dikenakan sekali seumur hidup.

Indhira mengangguk sekali lagi.

Reza terdiam. Indhira kesulitan menebak ekspresi lelaki itu. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan lelaki itu. Dan kata-kata selanjutnya lelaki itu membuatnya menyesal sempat mengharapkan sesuatu.

"Jangan pernah berharap kamu bisa pakai gaun itu dalam hidup kamu," kata Reza dingin, "karena kamu nggak akan pernah bisa menikah sama siapapun."

Reza menatapnya dalam. Pandangannya menusuk Indhira dan membuatnya terluka bersamaan dengan kata-kata yang diucapkannya.

"Karena kamu milikku, Indhira. Kamu cuma milikku. Jangan harap kamu bisa lari dari aku dan menikah, dengan siapapun itu."

Indhira bergidik. Lelaki itu mengucapkan kata-kata penuh ancaman itu dengan nada dingin, dan pada saat yang sama sangat seduktif.

Indhira selalu rela menjadi apapun yang lelaki itu inginkan. Dia tidak pernah berniat untuk lari, seberapa sering pun Reza melukainya. Keberadaan lelaki itu terlalu absolut dalam hidupnya.

Indhira bahkan rela dimadu. Dia tidak pernah mengeluh apalagi cemburu kalau dia hanya akan selalu menjadi simpanan lelaki itu, sementara Reza memilih perempuan pilihan orang tuanya seperti Aline untuk bertunangan dan berstatus resmi menjadi istrinya nanti.

Dan kalau Reza memang tidak pernah ada niat untuk menikahinya, artinya dia memang tidak akan pernah menikah seumur hidup. Dan harapan di sudut hatinya yang paling kecil, untuk bisa mengenakan gaun pengantin yang cantik dan bersanding dengan lelaki itu, harus segera dia simpan rapat-rapat.

***

"Siang, Mbak Aline," sapa Indhira melihat sesosok wanita cantik yang datang ke lantai ruang direksi.

"Siang, Indhi." Balas Aline sambil tersenyum kepadanya, "Reza di dalam kan?!"

"Iya, Mbak. Tapi lagi sama Mbak Adisty di dalam."

Senyum yang tadi menghiasi wajah cantiknya seketika lenyap. Aline membatalkan niatnya melangkah memasuki ruang kerja Reza secara langsung. Dia berhenti di depan meja Indhira dan berjalan mendekatinya, "Berdua aja?"

"Iya Mbak, Bapak lagi mau kasih tugas khusus ke Mbak Adisty."

"Udah berapa lama mereka di dalam?" Tanya Aline dengan nada curiga.

"Hmm, mungkin sekitar lima belas menit, Mbak."

"Kamu kenapa nggak ikut masuk ke dalam?" Tanya Aline dengan nada gemas bercampur menyesal. "Mustinya kamu curiga ngapain mereka berduaan kayak gitu."

"Curiga apa, Mbak?" Tanya Indhira bingung.

"Ya curiga ada apa-apa di antara mereka," kata Aline.

"Tapi kan Mbak Adisty sekretarisnya Bapak. Lagian Mbak Adisty kan udah nikah, Mbak."

Aline memutar bola matanya yang bulat, "Astaga, Indhi kamu polos banget sih? Kamu tau kan berapa banyak perempuan yang coba deketin tunangan aku. Dan menurutku Adisty itu salah satunya lah. Dan kamu coba pikir, Adisty cantik seksi begitu, kucing mana yang dikasih ikan asin nggak akan datang." Kata Aline memaparkan penuh keyakinan, "Aku curiga jangan-jangan bayi kembar Adisty itu anaknya Reza." Tuduhnya.

Indhira tampak terkejut dengan tuduhan wanita itu. Dia mengenal baik Adisty. Wanita itu sudah seperti kakaknya sendiri, dan dia tahu tidak ada hubungan apa-apa antara keduanya seperti yang dituduhkan perempuan didepannya.

"Kamu tau nggak, Reza sampai sempat-sempatin datang ke rumah perempuan itu buat jenguk dia dan kasih hadiah lahiran buat bayi kembarnya bulan lalu." Aline menyilangkan kedua tangan didepan tubuhnya.

"Mbak Adisty nggak kayak gitu, Mbak." Bela Indhira dengan takut-takut. Dia tidak berani melawan, namun dia juga tidak ingin Adisty dijelek-jelekkan didepannya.

"Kamu tuh masih kecil, Dhi, kamu nggak tahu kerasnya Jakarta ini. Nanti kalau kamu udah punya pacar, jagain baik-baik. Kita nggak tahu sehari-harinya pacar kita ketemu sama siapa aja. Bisa aja dia kepincut sama perempuan lain. Banyak perempuan nggak bener di Jakarta." Kata Aline menakut-nakutinya.

Indhira terdiam mendengarkan ceramah wanita itu.

"Tapi kalau sama kamu tuh aku percaya, Dhi." Aline menepuk lengannya bersahabat, "Makanya aku tenang pas tahu kamu yang pergi sama Reza ke Bali kemarin. Aku cuma mau minta tolong sama kamu, lain kali pokoknya kalau kamu mencium sesuatu yang mencurigakan tentang hubungan Reza sama perempuan manapun, kamu kasih tahu aku ya?"

Indhira masih terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa, yang untungnya pembicaraan mereka dihentikan dengan keluarnya Adisty dari ruang kerja Reza.

Aline melihat wanita yang baru saja keluar dari ruang kerja tunangannya dengan wajah tidak bersahabat.

"Siang, Mbak." Sapa Adisty setelah melihat ternyata Indhira tidak sendiri.

Sementara wanita yang disapa itu malah melengos tanpa membalas sapaan Adisty. Dia mengalihkan pandangannya kembali kepada Indhira, seolah tidak ada yang menyapanya sama sekali sebelumnya.

"Nanti kapan-kapan kita makan bareng ya, Dhi. Kita ngobrol-ngobrol lamaan." Kata Aline kepada Indhira sebelum melenggokkan tubuhnya memasuki ruangan Reza dengan sedikit angkuh.

Adisty memandangnya kesal, "Kenapa sih tuh calon istrinya bos? Gayanya udah kayak nyonya besar aja. Belagu banget disapa pura-pura nggak lihat. Tapi sama kamu dia ramah banget ya?"

Indhira hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum bingung. Mana mungkin dia menceritakan seberapa buruk pandangan Aline kepada wanita itu padahal dia tahu jelas semuanya hanya prasangka kecemburuan semata.

Indhira paham bahwa kecemburuan Aline kepada Adisty memang sangat beralasan. Adisty, ibu dari si bayi kembar yang baru dilahirkannya dua bulan lalu memang sosok wanita yang cantik dan seksi. Kulitnya yang sawo matang eksotis dan tubuhnya yang molek terpadu sangat sempurna.

Namun menuduh Adisty dan Reza memiliki hubungan gelap sampai melahirkan anak kembar sudah keterlaluan dan terlalu sembarangan. Karena suami Adisty adalah seorang artis blasteran yang tampan, dan kedua bayi kembarnya jelas memiliki darah blasteran, yang artinya tidak mungkin si kembar itu anak dari lelaki asli Jakarta seperti Reza.

Reza keluar dari ruangan kembali bersama dengan Aline yang sudah  menggandengnya mesra.

"Saya keluar makan siang dulu ya. Kalian kalau ada apa-apa hubungi saya aja ke ponsel." Kata Reza kepada kedua sekretarisnya yang dijawab bersamaan.

"Baik, Pak."

Kemudian mereka berdua mengawasi kepergian Reza dan tunangannya sampai hilang di ujung pintu lift.

"Yuk kita juga makan, Dhi. Itu bos udah dijagain sama monyetnya udah nggak dilepas sampai sore pasti. Apalagi udah dua hari nggak ketemu gara-gara bos ke Bali." Kata Adisty sambil mengambil dompet dan beranjak dari kursinya.

Indhira mengangguk dan melakukan yang sama. Dia harus menghargai waktu bebasnya karena kemungkinan besar nanti malam lelaki itu akan melampiaskan emosi kepadanya lagi, karena itu yang selalu terjadi setiap Reza pergi dengan tunangannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top