3. Business Travel
Indhira menyeka rambutnya yang basah dengan handuk. Dia baru saja menyelesaikan mandi paginya setelah aktivitas seks sepanjang malam dengan Reza.
Mereka kini berada di hotel bintang lima di Bali. Dengan dalih perjalanan dinas, Reza mengajaknya pergi ke Bali untuk menjauhi kesibukan Jakarta dan menikmati hubungan badannya tanpa gangguan dengan gadis itu.
Indhira duduk di sisi ranjang dan mengambil sebuah strip obat dari dalam tasnya. Dia membuka satu dan menelannya sambil meminum air. Gadis itu rutin meminum pil kb nya. Reza selalu menolak menggunakan pengaman untuk berhubungan dengannya, dan Indhira tidak boleh hamil.
Reza yang enggan bangun dari ranjangnya walau dia sudah membuka mata, memainkan jarinya di punggung terbuka Indhira.
Gadis itu hanya mengenakan tank top mini tanpa bra sehingga punggungnya hanya tertutup sebagian saja.
"Mas nggak mau mandi?" Tanya Indhira sambil menyisiri rambut tebal lelaki itu dengan jari-jarinya.
Reza menggeleng malas.
"Atau mau makan dulu? Aku pesenin sarapan ke restoran ya, Mas mau sarapan apa?"
"Mau sarapan kamu," jawabnya membuat Indhira terdiam karena malu.
Reza yang tadi memainkan jarinya di sepanjang kulit punggung gadis itu, kini berputar-putar di ujung puncak dada gadis itu yang sebelumnya masih tertutup tank top longgarnya.
Dia menyingkap tank top gadis itu saat menjatuhkan tubuh kurus Indhira kembali berbaring di atas ranjang. Mulutnya rmelahap rakus payudara kecil milik Indhira. Payudara yang sangat jarang dilirik oleh lelaki manapun yang melihatnya, entah kenapa Reza selalu melahapnya seolah miliknya sangat menggairahkan.
Indhira menikmati saat tubuhnya dijamah seperti ini oleh lelaki itu. Indhira menikmati seksnya semalam.
Reza tidak menyakitinya sama sekali, semenjak mereka tiba di Bali sampai dengan saat ini, Reza memperlakukannya sangat lembut.
Oleh karena itu Indhira paling suka 'perjalanan dinas', dibanding pergumulan mereka di apartemen atau di kantor, dimana Indhira selalu hanya menjadi pelampiasan emosinya saja.
Indhira sebatang kara di dunia ini. Segera setelah dia dipaksa hidup mandiri dengan keluar dari panti asuhan yang membesarkannya, Reza segera menjadi orang terdekatnya. Majikan dan pemiliknya.
Lelaki itu memberikannya tempat tinggal serta pekerjaan. Dan sebagai gantinya Indhira harus menjadi pemuas nafsu dan pelampiasan emosinya.
Indhira sebenarnya tidak keberatan sama sekali. Terkadang dia merasa takut, namun dia tidak pernah berpikir untuk lari dari lelaki itu. Baginya Reza itu seperti pelindung dan keluarganya.
Indhira tidak sadar celana dalamnya sudah berhasil disingkirkan lelaki itu dan kini Reza telah menarik kedua kakinya kembali melebar. Tungkainya yang kurus menggantung di kanan dan kiri pinggang kekar Reza.
Indhira melingkarkan kedua lengannya di punggung kokoh lelaki itu. Pandangan mereka sejajar dan Reza menciumnya mesra. Lelaki itu memaksanya membuka mulutnya dan mempertemukan lidah mereka.
Lelaki itu selalu suka memasukinya dari belakang. Oleh karena itu, berciuman dan berpelukan seperti ini menjadi momen yang langka sekaligus ditunggu-tunggu oleh Indhira. Dia merasa disayang ketika lelaki itu memandang matanya saat mempersatukan tubuh mereka.
Indhira melenguh pelan saat lelaki itu masuk di antara pangkal pahanya. Mereka bergerak bersama-sama sementara gadis itu mengaitkan kedua kakinya di pinggang lelaki itu.
Reza menyembunyikan kepalanya di celah antara leher Indhira sambil menggigit kuat di sana, berusaha menetralisir denyutan tubuhnya dan tubuh Indhira yang saling bersahutan di bagian bawah mereka yang menyatu.
Indhira meremas rambut lelaki itu erat. Napas mereka beradu cepat seiring dengan gerakan cepat keduanya. Sesekali desisan lepas dari mulutnya ketika lelaki itu menyentak lebih keras untuk memasukinya.
Gadis itu tahu hanya tinggal waktu Reza kembali memenuhinya. Harusnya dia tidak perlu repot-repot mandi dan keramas barusan kalau tahu lelaki itu masih belum puas juga. Kini badannya kembali basah karena keringat dan bekas cairan Reza di seluruh tubuhnya.
Indhira membelalakan matanya lebar, pinggangnya melengkung naik. Lelaki itu baru saja menuntaskan maksudnya di dalam tubuh mungil gadis itu.
Reza tidak memisahkan tubuh mereka. Kepalanya masih bertengger lemah di lekukan leher Indhira, menciuminya di sana dan dada keduanya masih naik turun bergantian berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
Bunyi ponsel mengganggunya. Reza mengumpat pelan walau bergeming dari posisinya. Dia tahu ponsel yang berbunyi bukan miliknya karena dia sudah menonaktifkannya sejak semalam. Dia menginginkan 'perjalanan dinas' ini tanpa gangguan sama sekali, tidak oleh siapapun.
Itu artinya yang baru saja berbunyi adalah ponsel milik Indhira, walau kemungkinan tujuan penelepon tetap saja dia. Indhira tidak punya sanak keluarga dan teman yang akan menghubunginya. Yang memiliki nomor Indhira hanya Reza, Adisty, keluarga Reza, tunangan dan klien-klien lelaki itu.
Indhira berusaha menggapai-gapaikan tangannya menuju ke nakas karena lelaki di atasnya menolak untuk bergerak.
"Mas Reza, Mbak Aline telepon," kata Indhira setelah melihat siapa yang menghubungi ponselnya.
Dan Reza tidak kelihatan peduli. Dia masih melanjutkan menciumi tubuh harum gadis itu.
"Bilang aku masih meeting," katanya singkat.
Indhira nampak ragu, namun memutuskan untuk menerima panggilan itu.
"Halo, pagi, Mbak Aline," sapa Indhira.
"Indhira, pagi. Kamu lagi sama Reza di Bali kan?"
"Iya, Mbak. Tapi Bapak lagi meeting. Ada pesan? Nanti aku sampein ke Bapak." Bohongnya.
"Oh, pantesan aku telepon nggak nyambung-nyambung. Kebiasaan deh dia, pasti hp-nya dimatiin." Gerutunya masih asik berceloteh sendiri, "Oh iya, Indhi, aku mau tanya deh, Adisty ikut ke Bali juga?"
"Nggak Mbak. Mbak Adisty ada di kantor, nggak ikut ke Bali. Kenapa Mbak?"
"Oh, nggak apa-apa. Oke deh." Suaranya terdengar lega.
"Mbak Aline ada mau titip pesan ke Bapak?" Ulang Indhira karena wanita itu belum menjawab pertanyaannya.
"Nggak urgent kok, tapi tolong bilangin Reza aktifin hp-nya nanti ya. Aku kirimin foto-foto gaun pengantin. Aku lagi fitting, mau minta dia pilihin yang dia suka."
"Baik Mbak, nanti aku sampaikan ke Bapak."
"Makasih ya, Indhira."
"Sama-sama, Mbak." Kata Indhira sambil mengakhiri sambungan ponselnya.
"Mbak Aline titip pesan supaya Mas Reza aktifin hp Mas. Katanya dia lagi fitting sekarang terus minta Mas pilih gaun pengantin yang Mas suka."
Reza berdecak lagi. Dia benci perempuan itu menghubunginya pagi-pagi begini untuk sesuatu yang menurutnya tidak penting. Sama sekali. Mengganggu mood paginya yang sudah cukup baik karena Indhira memuaskannya.
Lelaki itu bangun dari atas Indhira. Akhirnya memisahkan penyatuan mereka karena kini dia sudah kehilangan gairahnya.
"Kamu aja sana yang pilih," kata Reza tak acuh berjalan ke kamar mandi, "Pilih yang kamu suka aja. Tapi jangan sekarang. Siangan aja biar dia kira aku meeting. Males musti ladenin dia pagi-pagi."
Reza masuk kamar mandi dan membanting pintunya cukup kuat.
Indhira mengangguk pasrah walau lelaki itu tidak melihatnya lagi. Reza tidak peduli jawaban gadis itu dan lelaki itu tahu Indhira memang tidak pernah menolak perintahnya.
***
"Ya, Lin." Kata Reza sambil tersenyum pada teleponnya.
"Kamu kemana aja sih, sayang, dari semalem loh aku teleponin kamu."
"Semalem aku sampai Bali langsung meeting, terus aku langsung istirahat, lupa hidupin hp dan pagi ini lanjut meeting lagi. Ini baru selesai meetingnya." Jelasnya dengan lembut.
"Aku khawatir sama kamu tau. Nggak ada kabar gitu. Untung kamu pergi sama Indhira. Tadi pagi akhirnya aku telepon dia. Sekalian aku titip pesen ke dia suruh kamu pilih foto. Aku tadi pagi fitting beberapa baju pengantin bareng sama Mama kamu."
"Ya, aku udah pilih kan yang aku suka," bohong Reza. Dia bahkan masih belum membuka aplikasi pesan yang dikirimkan wanita itu sama sekali.
"Makanya aku seneng banget, sayang. Selera kita sama. Aku juga sukaa banget sama yang itu. Tapi tadi Mama malah suka yang ada renda-rendanya, kampungan deh. Tapi aku nggak berani bilang sama Mama, takut dia tersinggung. Kamu bisa bantu ngomong sama Mama nggak nanti pas pulang? Bilang kita ambil yang kamu pilih aja." Rayu Aline dengan suara manja.
"Okey, nanti aku bilang Mama juga kita pilih yang itu ya." Balasnya lembut.
"Makasih banget Sayang. Aku bener-bener suka yang kamu pilih itu. Aku ngerasa gaun itu emang dibuat khusus buat aku. Aku nggak sabar pengen cepet-cepet pakai gaun itu di depan kamu."
"Iya, aku juga nggak sabar lihat kamu pakai gaun itu," balasnya sebelum menambahkan, "Aline, meeting aku masih lanjut. Nanti baru lanjut ngobrol lagi ya."
"Okey. Love you, sayang."
"Love you too."
Reza mengakhiri sambungannya. Senyum yang sedari tadi menghiasi wajahnya seketika menghilang. Dia kembali memasuki kamar setelah sebelumnya berada di balkon saat menerima telepon dari Aline.
"Indhira," panggilnya dingin kepada perempuan yang sedang menyisir rambutnya dan sudah berpakaian lengkap dengan tank top dan celana pendeknya.
Indhira tahu ada yang tidak beres ketika lelaki itu memanggilnya demikian. Artinya moodnya seketika memburuk dan dia sedang kesal.
"Kamu pilih gaun yang mana buat Aline?"
Indhira bingung. Lelaki itu seharusnya hanya perlu membuka aplikasi pesannya karena dia membalas pesan dari Aline melalui ponsel lelaki itu. Tapi Indhira sadar, sepertinya pertanyaan itu hanya sebuah pernyataan yang tidak perlu dijawab Indhira. Karena apapun jawabannya, artinya dia salah di mata Reza.
"Aku suruh kamu pilih salah satu. Tapi bukan yang paling bagus dan disukai Aline, tolol!" Bentaknya kasar, "Kamu pikir kamu kelihatan pintar kalo bisa pilih yang paling bagus? Kamu itu sekretaris aku, bukan sekretaris Aline!"
"Maaf.." kata Indhira sambil menunduk. Jujur dia tidak tahu apa kesalahannya, tapi dia tahu jalan teraman adalah meminta maaf.
Reza mengawasi perempuan yang tanpa perlawanan di hadapannya. Dia masih belum puas melampiaskan emosinya kepada gadis itu. Dia melihat tas selempang yang sudah menggantung di pundaknya.
Sebelum dia menerima telepon dari tunangannya, Reza memang mengatakan kepada gadis itu akan mengajaknya makan siang keluar, setelah semenjak kemarin malam Indhira tidak diijinkan keluar kamar sama sekali.
"Nggak ada makan siang buat kamu dan jangan harap bisa keluar dari kamar hari ini!" Kata Reza menghukumnya.
Indhira mengangguk patuh. Dia tidak berani bergerak dan masih berdiri di tempatnya.
"Lepasin celana kamu dan naik ke ranjang."
Indhira tahu akan seperti ini akhirnya. Walau dia sempat merasa antusias untuk keluar kamar. Dia tahu perubahan mood lelaki itu selalu sangat cepat dan begitu pula nasibnya.
Indhira melepaskan tas selempang yang sudah menggantung di pundaknya dan meletakkannya di lantai. Dia membuka kaitan celana pendeknya dan menurunkannya hingga kini dia kembali polos.
Indhira naik ke atas ranjang, memposisikan tubuhnya membelakangi tubuh lelaki itu. Kedua tumit dan telapak tangannya menopang tubuhnya di atas ranjang.
Indhira menunggu hukumannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top