21. One Step Closer

Indhira mengusap-usap sayang perutnya yang sudah sedikit membuncit. Sebuah senyum tergores dibibirnya karena membayangkan janin yang kini hidup di rahimnya. Kebahagiaan terbesar dalam hidupnya sedang tumbuh berkembang dalam perutnya. Kebahagiaan yang diberikan dari lelaki yang dicintainya.

Enam belas minggu. Itu yang sudah diinformasikan oleh dokter kandungan beberapa waktu yang lalu saat sedang memeriksa dirinya dengan USG.

Ini memang baru kali pertama dia memeriksakan kandungannya ke dokter. Karena sejujurnya dia bingung dan butuh bimbingan untuk apa yang perlu dilakukannya. Indhira sebatang kara dan tidak pernah punya orang tua yang bisa membimbingnya. Bahkan saat pertama kali menstruasi, Indhira hanya bisa menangis ketakutan sendirian di kamar mandi panti asuhan, dan baru paham kenapa ada produk bernama 'softex' dan sejenisnya yang dijual khusus untuk perempuan.

Dan tentu saja bukan Reza yang menemaninya ke dokter saat ini karena jelas saja lelaki itu tidak berminat. Membiarkannya hamil dan membelanya di depan Aline yang hendak memaksanya aborsi saja sudah sangat disyukuri oleh Indhira.

"Seneng banget ya kamu itu hamil anaknya Pak Reza?" kata Adisty membangkitkan Indhira dari lamunannya.

Indhira menengok ke arah Adisty yang duduk di meja depannya. Mereka sudah memesan makanan dan sedang menunggu pesanan mereka tiba.

Adisty jelas sedang menyindirnya. Dia tidak pernah habis pikir kenapa perempuan polos satu ini tidak pernah bisa lepas dari Reza atasan mereka.

Indhira mengangguk. Antusias.

Adisty menghela napas panjang. Jalan pikiran Indhira selalu membuatnya merasa pasrah.

"Jadi, apa ada yang beda kalau jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan, Dhi?" tanya Adisty lagi.

Indhira sedikit kehilangan senyumnya. Setelah dokter kandungan yang memeriksanya menanyakan apakah dia ingin mengetahui jenis kelaminnya dan Indhira mengiyakan, sang dokter mengatakan bayi di dalam kandungannya adalah lelaki.

Sebenarnya Indhira tidak peduli bayi di dalam perutnya laki-laki atau perempuan. Indhira akan tetap menyayanginya tanpa membedakan, apapun jenis kelamin bayinya. Reza yang menitipkannya pertanyaan tersebut.

Hanya saja, ada pergolakan batin dalam dirinya setelah mengetahui bayinya adalah laki-laki, calon penerus keluarga Budiman. Indhira tidak tahu dia harus senang atau sedih atas fakta tersebut.

Reza memang tidak pernah mengatakan maupun menyiratkan pilihannya perihal jenis kelamin bayi di dalam kandungannya. Reza bahkan tidak pernah kelihatan tertarik untuk memiliki keturunan sama sekali. Dia selalu mengatakan bahwa anak hanyalah keinginan kedua orang tuanya dalam usaha meneruskan garis keturunan keluarga mereka. Tidak pernah lebih.

Namun Reza pernah mengatakan padanya, apa yang akan dan harus terjadi kalau bayi mereka laki-laki dan kalau bayi mereka perempuan.

Reza tidak perlu berhubungan badan dengan Aline, istrinya, kalau Indhira sudah berhasil memberikannya seorang putra. Walau terdengar kurang masuk akal karena entah apa yang akan dikatakan lelaki itu kepada keluarganya, namun demikian yang dikatakan oleh Reza dan tidak pernah ada hal yang dikatakan oleh Reza dan tidak terjadi. Walau kemungkinan terburuknya, Indhira harus merelakan bayi yang dikandungnya selama sembilan bulan akan menjadi milik Aline secara hukum.

Kalau bayi dalam kandungannya adalah perempuan, Indhira masih memiliki kesempatan yang lebih besar agar bayi itu tetap bisa diakui sebagai anaknya secara hukum. Walau sebagai gantinya, Indhira harus rela berbesar hati membiarkan Reza menghamili Aline.

Indhira tidak tahu mana yang lebih baik di antara kedua opsi tersebut dan dia tidak mau terlalu banyak berpikir. Toh, kini dia sudah tahu bahwa bayinya adalah laki-laki. Dan dia harus mulai belajar untuk menerima konsekuensinya.

Indhira menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Adisty, "Bapak mau bayi aku diakui jadi penerus keluarganya kalau bayiku laki-laki, Mbak."

Adisty menaikkan alisnya tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya, yang tentu saja sudah diduga oleh Indhira.

Reza memang punya jalan pemikiran yang tidak normal, walau kini Indhira sudah mulai bisa menerimanya. Indhira mulai merasa dirinya juga mulai tidak normal semenjak mengenal lelaki itu.

"Tapi bayi kamu akan jadi anak sahnya Aline?" tebak Adisty mengingat fakta yang sudah disampaikan Indhira sebelum ini.

Indhira mengangguk.

Adisty nampak terkejut, "Dan kamu biarin gitu aja hal itu terjadi?"

"Memangnya aku bisa apa, Mbak? Bapak ijinin aku mempertahankan anak ini aja aku udah bersyukur."

"Indhira," panggil Adisty sedikit meninggikan suaranya karena gemas, "Bisa nggak kamu jangan memandang diri kamu serendah itu? Bapak itu punya perasaan khusus ke kamu, Dhi, yang aku yakin bahkan lebih besar daripada perasaannya untuk istrinya sendiri. Dan kamu kira awalnya Bapak nggak akan mau bayinya kan? Yang ternyata salah, karena dia tetap biarin bayi kamu lahir, apapun jenis kelaminnya."

Indhira terdiam mendengarkan. Dia menyadari semua yang dikatakan Adisty tidak salah. Dia memang hanya tidak pernah berani untuk berharap lebih.

Adisty menyentuh pundaknya, memberikan dukungan dengan tepukan lembutnya, "Dan sekarang, posisi kamu di atas angin karena ada calon penerus nama keluarganya di perut kamu, Dhi. Harusnya kamu manfaatkan itu, dan bukannya pasrah waktu Reza suruh kamu kasih hak anak ke istrinya."

Indhira nampak bingung memikirkan kata-kata Adisty. Semuanya terdengar masuk akal dan dalam waktu yang bersamaan tidak terdengar masuk akal.

"Aku harus ngapain, Mbak?"

"Bapak suka sama kamu dan kamu udah lama dekat sama dia, harusnya kamu lebih tahu gimana caranya mengambil hati dia. Setelah itu, kamu bilang ke dia perlahan apa yang kamu inginkan." Kata Adisty, "Bilang kamu mau nama kamu tercantum dalam akta lahir anak kalian. Minta Bapak nikahin kamu. Aku rasa itu bukan permintaan yang sulit."

Indhira berusaha mencerna setiap nasehat Adisty dengan seksama. Dia memang sangat menginginkan status bayinya. Dan cara yang disampaikan Adisty terdengar tidak mustahil untuk dilakukannya.

"Aku akan coba, Mbak."

***

Reza tersenyum puas. Tangannya masih bermain-main di atas puncak payudara Indhira yang mengeras karena gairah, sementara gadis itu duduk manis di atas pangkuan dan berhadapan dengannya tanpa busana.

Sepertinya keputusan Reza untuk membiarkan gadis itu tetap hamil tidak terlalu buruk baginya. Indhira terlihat semakin menggairahkan setelah dia hamil. Auranya semakin bercahaya  dan feromonnya semakin kuat. Reza menurunkan tangannya dan mulai menyusuri kulit polos Indhira hingga ke bagian perutnya yang kini sudah mulai sedikit membuncit.

"Apa kata dokter?" tanya Reza seketika ingat kalau perempuan itu ke dokter bersama Adisty tadi siang.

Reza sudah tahu kalau sekretarisnya yang lain itu mengetahui hubungannya dengan Indhira dan terlebih tahu kalau Indhira mengandung anaknya. Indhira sudah mengatakan kepada Reza tidak lama setelah dia sendiri tahu Indhira sedang hamil. Karena tidak pernah ada hal yang dirahasiakan Indhira darinya. Lagipula Reza tahu Adisty cukup dekat dengan Indhira dan wanita itu bukan tipe penggosip, jadi dibiarkannya saja wanita itu mengetahui rahasianya. Dia bisa mengancamnya kapan saja ketika dibutuhkan. Namun untuk saat ini Indhira membutuhkan orang dekat seperti Adisty, jadi Reza menutup mata untuk hal satu ini.

"Laki-laki, Mas." jawab Indhira yang dia yakini paling perlu untuk diketahui lelaki itu.

Reza menarik garis di bibirnya membentuk senyuman sementara jarinya masih berputar-putar di perut buncit di hadapannya, "Bagus kalau gitu. Aku nggak perlu tidur sama Aline."

Indhira membalas senyumnya.

"Aku akan bilang ke Aline dulu dan orang tuaku setelahnya." kata Reza.

Indhira hendak menanyakan sesuatu, namun dia memutuskan untuk menundanya. Indhira mengangguk paham dan kemudian memajukan wajahnya untuk mencium lelaki itu.

Reza sedikit terkejut walau dia menerima ciuman Indhira dengan senang hati. Ini adalah kali pertama gadis itu berinisiatif mencumbunya terlebih dahulu. Biasanya Indhira selalu hanya pasrah menerima apapun yang diinginkannya.

Indhira membimbing jari lelaki itu yang sebelumnya bermain di atas perutnya untuk bergerak semakin turun melewati kedua pahanya yang terbuka lebar karena menduduki tubuh lelaki itu.

Reza tersenyum puas. Dia tidak tahu apa yang membuat Indhira berubah menjadi lebih agresif, tapi Reza menyukainya. Jarinya memasuki gadis itu, merasakan kehangatannya yang lembab sementara gerakan jarinya membuat Indhira mendesis dan sedikit mengangkat tubuhnya.

Indhira menciumnya semakin dalam. Kedua lututnya menopang terbuka di atas sofa, di antara tubuh Reza di bawahnya. Pinggulnya meliuk setiap kali dirasakannya jari lelaki itu memasukinya semakin dalam dan kembali keluar.

"Sexy, Dhira. Aku suka," bisik Reza masih menggerakkan jarinya sambil menjauhkan bibir mereka sejenak. Dia menikmati wajah Indhira yang memerah dengan mata terpejam akibat perbuatannya.

"Mas.." Indhira menurunkan kedua tangannya yang sebelumnya bertengger di rahang keras Reza untuk bergerak turun mengusap dada lelaki itu. Indhira menggerakkan telapak tangannya semakin ke bawah dan menyentuh benda yang mengeras di bawah tubuhnya.

Reza mendesis dalam helaan napas panjangnya. Sentuhan Indhira di bagian bawah tubuhnya membuat Reza menegang.

Indhira meremas dan mengarahkan milik lelaki itu menuju celah di antara kedua pahanya yang sudah basah sambil kemudian menggesekkan inti mereka, membuat Reza menggeram.

Lelaki itu menciumi dan menggigit tengkuk Indhira yang basah karena peluh.

"Masukkan, babe. Jangan siksa aku, Sayang," pinta Reza dalam bisikan sementara kedua tangannya sibuk menjelajah sekujur tubuh Indhira.

Indhira menurutinya. Dia melepaskan remasan di tangannya dan menurunkan tubuhnya perlahan untuk mempersatukan inti mereka.

Reza menggeram sambil memejamkan mata menikmati sempitnya Indhira menjepit tubuhnya. Geramannya terhenti ketika Indhira menghimpit tubuhnya sepenuhnya. Reza mengatur napas dan membuka mata untuk kembali bertatapan dengan gadis itu.

Wajah Indhira merona dan Reza tahu gadis itu menikmati denyutan tubuh mereka saat ini, sama seperti yang dirasakannya.

Indhira menggerakkan tubuhnya kembali naik perlahan, masih tanpa memutus kontak mata mereka, sebelum kembali menjatuhkan tubuhnya untuk dipenuhi lelaki itu diiringi erangan keduanya bersamaan.

Reza menyukai sensasi gila akibat ulah Indhira barusan. Tangannya yang satu meremas rambut Indhira dan tangannya yang lain bergerak ke pinggul gadis itu dan mencengkramkan jarinya kuat di sana.

Indhira kembali menarik dan menghentakkan tubuh mungilnya di atas lelaki itu berkali-kali dengan bantuan tangan besar Reza di pinggangnya.

Mata keduanya masih saling terikat dan Reza menikmati wajah penuh gairah gadis di atasnya. Dia menyukai Indhira yang seperti ini. Mungkin benar apa yang pernah dia dengar bahwa wanita yang sedang hamil lebih menggairahkan.

Reza menahan tubuh Indhira yang menegang tidak berdaya di atasnya. Dia merasakan intinya dicengkram kuat oleh pelepasan gadis itu, dan di saat yang bersamaan Reza memenuhinya.

Dia menghela napas lega setelah pergumulannya mencapai puncak bersamaan. Tubuh Indhira terkulai lemas di atasnya dan Reza menciumi rahang dan pipinya berkali-kali.

"Aku suka kamu bergairah seperti ini, babe." Puji Reza dalam bisikan masih mengecup gadis itu tiada henti, "Aku senang kamu yang hamil anakku, Indhira."

Wajah Indhira penuh peluh dan rambutnya berantakan. Indhira masih memejamkan matanya kelelahan. Namun mendengar kalimat Reza membuat rasa lelahnya terbayarkan.

"Aku juga senang bisa kasih keturunan buat Mas." Jawab Indhira lemah.

Reza mengecup kening Indhira dan membiarkan dia bersandar di dada lelaki itu untuk mengistirahatkan tubuhnya.

"Aku sayang sama Mas Reza," tambah Indhira memberanikan diri walau suaranya terdengar sangat pelan. Indhira bahkan hanya berani berbicara sambil masih menempelkan pipinya ke dada bidang lelaki itu.

Reza menegakkan tubuh Indhira dan membuat pandangan mereka kembali bertemu setelah mendengarnya.

"Coba ulang kamu bilang apa barusan?" Kata Reza menaikkan alisnya penasaran.

"Aku sayang Mas," ulang Indhira dengan suara sama pelannya sambil menurunkan kembali pandangannya ke dada bidang lelaki itu karena malu.

Reza tersenyum penuh kemenangan sambil menghadiahi ciuman di bibir Indhira, "Tentu aja kamu harus sayang sama aku. Kamu milik aku Indhira, dan kamu hamil anak aku sekarang."

"Kalau begitu, aku boleh minta sesuatu dari Mas Reza?" Tanya Indhira memberanikan diri. Dia merasa mungkin ini saat yang paling baik karena dia sudah berhasil membuat mood Reza sangat bagus.

"Bilang aja, kamu mau apa?" Tanya Reza sambil menyisiri rambut Indhira yang basah dengan jari-jarinya.

"Aku mau jadi istri Mas Reza," kata Indhira mantap dengan sisa keberaniannya.

Reza menatapnya, kelihatan sedang berpikir.

"Aku nggak minta Mas Reza cerai sama Mbak Aline. Aku nggak keberatan jadi istri kedua. Aku cuma mau jadi istri Mas Reza," tambah Indhira cepat-cepat.

Reza tersenyum sambil mengusap pipinya, "Kalau itu permintaan kamu, aku kabulkan."

Indhira menatapnya tidak yakin, "Bener, Mas?"

"Nggak ada yang sulit dari permintaan kamu. Besok aku bilang Aline untuk buat surat persetujuan dari dia dan aku akan minta orang urus pernikahan kita secepatnya. Mama Papaku juga nggak akan keberatan, tinggal bilang kamu hamil anak aku dan mereka pasti setuju." Jelas Reza santai.

Indhira tersenyum lega. Dia mencium bibir Reza sekali lagi sebagai ucapan terima kasihnya.

Apa yang dikatakan Adisty kepadanya tadi siang benar. Indhira punya peluang untuk mendapatkan hak asuh anaknya secara hukum. Dia hanya perlu untuk lebih berusaha daripada hanya pasrah dengan apa yang diinginkan oleh Reza.

Menjadi istri kedua bukan masalah yang besar untuk Indhira selama itu bisa memberikannya hak atas bayi dalam kandungannya. Dan Indhira sudah selangkah lebih maju dalam mencapai tujuannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top