18. Submissive Lover
"Jadi selanjutnya gimana? Bapak mau akuin itu anaknya kan?" Tanya Adisty penasaran.
Dia tidak menyangka akan menemukan gadis itu masuk lagi hari senin pagi ini. Dan tentu saja rentetan pertanyaan sudah mengantri untuk ditanyakannya kepada Indhira.
Indhira tersenyum bahagia, "Iya Mbak, Bapak mau akuin bayi aku sebagai anaknya."
"Syukur deh kalo gitu." Kata Adisty terdengar lega, "Tapi status kalian gimana? Kamu bakal dinikahin sama Bapak kan? Istrinya Bapak udah tahu?"
Indhira kelihatan berpikir, "Nggak tahu, Mbak. Lihat gimana nanti aja. Yang penting bayi aku bisa hidup dan punya status."
"Tapi kalau kamu nggak dinikahin sama Bapak gimana anak kamu punya status, Dhi?" Tanya Adisty bingung.
"Status hukum anak aku nanti jadi anaknya Bapak sama Mbak Aline, Mbak." Jawab Indhira.
Adisty menatapnya bingung. "Lho kok begitu? Berarti maksud kamu Istrinya Bapak udah tahu kamu hamil?"
Indhira mengangguk jujur.
Adisty membelalakan matanya, "Serius? Terus dia gimana? Pasti marah besar kan?"
"Iya Mbak. Mbak Aline marah. Tapi kayaknya akhirnya dia terima kok."
"Dan artinya kamu nggak akan jadi ibu sah anak kamu Dhi? Apa bedanya sama kamu dipaksa gugurin bayi kamu?"
"Yang penting dia bisa hidup dan Bapak mau akui dia sebagai anaknya aja aku udah bersyukur, Mbak." Kata Indhira.
Adisty menggeleng-geleng heran. "Astaga Indhi. Pasrah banget sih kamu. Pantes aja kamu dipermainkan sama lelaki segampang itu."
Indhira tertegun, "Bapak nggak mainin aku, Mbak." Jawabnya sedih.
"Maksud aku bukan gitu, Dhi," kata Adisty buru-buru, merasa pemilihan katanya salah karena dia membuat Indhira tersinggung, "Maksud aku kamu harus lebih tegas. Kamu harusnya bilang kalau kamu mau status sebagai ibu untuk anak kamu sendiri."
"Aku.. ikutin apa kata Bapak aja, Mbak." Kata Indhira lagi.
"Terserah kamu lah, Dhi." Kata Adisty sambil menghela napas panjang pasrah.
Indhira tentu ingin dirinya bisa menjadi ibu yang sah bagi bayinya. Tapi kalau Reza sudah mengatakan kalau Aline yang akan menjadi Ibu secara hukum bagi bayi yang akan dilahirkannya, dia tidak berani berbuat apa-apa.
Telepon Indhira berbunyi.
Adisty memanjangkan lehernya untuk melihat siapa yang menghubungi.
"Bapak cariin kamu tuh," kata Adisty menginformasikan.
Indhira mengangkat gagang teleponnya.
"Ya, Pak?" Jawabnya, "Iya, Pak. Baik." Indhira kemudian meletakkan kembali gagang teleponnya.
"Aku masuk dulu ya Mbak. Bapak panggil." Kata Indhira sambil berdiri.
Adisty mengangguk. Dia memperhatikan Indhira yang berjalan masuk ruangan atasan mereka sambil kemudian menutup pintu dan menguncinya perlahan.
Adisty tahu bahwa dia harus menerima semua panggilan telepon satu jam ke depan dan mengatakan kepada siapapun yang menghubungi bahwa atasannya sedang sibuk dan tidak bisa diganggu.
Adisty sudah tahu hubungan gelap yang dimiliki atasannya dan juniornya itu, jauh sebelum lelaki itu menikah dan bertunangan. Semenjak pertama kali Indhira dipekerjakan sebagai junior dan rekan kerjanya.
Adisty berusaha untuk tidak menghakimi apapun. Bahkan setelah dia mengenal Indhira cukup baik, dia tahu gadis itu adalah gadis baik-baik, yang terlalu polos dan lugu, yang sayangnya tidak bisa melepaskan diri dari jeratan lelaki seperti atasannya.
Apapun yang terjadi, bukan haknya untuk turut campur. Ini kehidupan pribadi Indhira dan Reza.
***
"Bulan madu, Mas?" Ulang Indhira bingung.
Reza terduduk lemas di sofa ruang kerjanya. Setelah melampiaskan kekesalannya kepada Indhira yang dipaksanya menungging di sofa dan memuaskannya, Reza sudah mulai tenang.
Reza mengangguk walau dia tahu Indhira yang masih dalam posisi yang sama memunggunginya tidak dapat melihatnya.
Reza menarik pinggang Indhira dan membiarkannya duduk di atas pangkuannya.
"Berapa lama Mas Reza mau pergi sama Mbak Aline?" Tanya Indhira sedikit sedih, menolak mempertemukan matanya dengan lelaki itu.
Reza tersenyum miring, "Kamu nggak rela aku pergi bulan madu sama Aline?" Katanya seraya menarik dagu gadis itu sampai mata mereka bertemu.
Indhira menggeleng pelan, "Nggak apa-apa, Mas. Aku tunggu Mas di apartemen kok."
Indhira merasa dirinya tidak punya hak untuk melarang lelaki itu pergi dengan istrinya. Dan mereka memang belum pergi bulan madu setelah pernikahan mereka, jadi tentu saja cepat atau lambat mereka akan pergi. Mungkin setelah menghabiskan waktu berkualitas mereka sebagai suami istri setelah ini, hubungan mereka akan lebih lengket. Dan Indhira mau tidak mau sedih karenanya.
"Aku pergi tiga hari, Dhi." Kata Reza menjawab pertanyaan Indhira sebelumnya, "Tapi kamu harus ikut. Ajuin cuti ke hrd, nanti aku approve."
"Maksud Mas Reza, aku ikut?" Ulang Indhira merasa salah dengar. Berusaha tidak berharap banyak dan terlalu cepat senang.
Reza mengangguk.
"Tapi ini kan bulan madu Mas Reza sama Mbak Aline. Nggak enak kalau aku ikut, Mas. Mbak Aline juga pasti nggak suka kalau aku ikut."
"Nggak usah ngomongin perempuan sialan itu lagi. Aku jadi harus pergi bulan madu kali ini gara-gara dia juga." Kata Reza kembali kesal mengingat kejadian tadi pagi, saat Mamanya menelepon.
"Kenapa, Mas?" tanya Indhira bingung. Dia tahu lelaki itu sedang kesal tadi dan dia yang harus menerima getahnya menjadi pelampiasan kekesalan lelaki itu, tanpa tahu apa penyebabnya.
"Dia tidur sama orang lain. Tapi bodohnya hampir ketahuan Mamaku gara-gara dia pilih hotel langganan keluargaku. Masalahnya udah selesai dia malah bilang ke Mamaku dia ketemu teman lelakinya itu untuk minta saran karena hubungan kami mendingin beberapa hari belakangan ini. Jadilah Mamaku usul buat kita ambil cuti untuk bulan madu. Sialan Aline!" makinya.
Indhira terlihat terkejut dengan fakta pertama yang disebutkan Reza, "Mbak Aline.. tidur sama lelaki lain, Mas?"
"Kenapa memangnya?" tanya Reza tidak acuh, "Aku sih nggak peduli dia mau tidur sama siapa. Yang pasti nanti kalau aku jadi musti tidur sama dia, aku mau dia cek kesehatan dulu. Jijik aku musti main sama dia. Perempuan kotor."
Sejujurnya Indhira mengkhawatirkan hal yang sama dengan yang baru saja dikatakan oleh lelaki itu. Dia khawatir dengan Reza. Dia khawatir Aline akan menularkan penyakit seksual kepada lelaki itu kalau dia tidur dengan sembarangan lelaki seperti itu.
"Tapi kan nanti Mas Reza memang udah mau bulan madu sama Mbak Aline." kata Indhira.
"Makanya aku ajak kamu ikut, Indhira. Bisa mati bosan aku cuma berduaan sama dia tiga hari dua malam." keluh Reza.
"Tapi nanti Mas Reza akan tidur sama Mbak Aline kan? Mas nggak minta Mbak Aline cek dulu?" tanya Indhira terdengar khawatir.
Reza tersenyum mendengar kata-kata Indhira, "Kamu khawatir aku tidur sama Aline atau khawatir aku kena penyakit seksual?"
Indhira menunduk sebelum menjawab malu, "Aku khawatir sama Mas. Mbak Aline kok nggak mikirin Mas kayak gitu sih? Kalau Mas Reza kena penyakit karena dia gimana."
Reza menciumi pipi gadis itu dengan gemas. Gadis itu begitu manis dan menggemaskan. Makanya Reza selalu menjadikannya nomor satu. Karena seperti itu pula gadis itu memperlakukannya.
"Aku nggak mau tidur sama Aline, Dhi. Makanya aku ajak kamu. Kita main sepuasnya di sana." kata Reza menggiurkan.
Indhira mengangguk, "Ke mana pergi bulan madunya, Mas?"
"Katanya tadi ke lombok. Kita sewa vila yang luas biar seharian kita nggak usah keluar vila." Reza menciumi bibirnya, "Kamu beli bikini, Dhi. Aku mau lihat kamu pakai bikini. Pasti seksi."
Indhira mengangguk patuh sambil tersenyum. Dia ikut senang membayangkan Reza akan memanjakan dan memperlakukannya dengan lembut selama di sana. Semoga saja Aline tidak membuat masalah dan membuatnya menjadi pelampiasan emosi lelaki itu lagi nanti.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top