16. Recalling

"Aku nggak jadi berhubungan sama Aline." Kata Reza menginformasikan.

"Maksud Mas?" Tanya Indhira tidak paham. Lelaki itu tiba-tiba berbicara tanpa kata pengantar apapun sebelumnya.

"Aku nggak jadi tidur sama dia minggu ini." Jelasnya lagi, "Kamu kan hamil. Lebih baik kita tunggu tahu jenis kelamin bayi kamu aja dulu. Aku nggak perlu repot-repot tidur sama dia kalau bayi kamu laki-laki."

Indhira menatap lelaki itu ragu. Dia tidak yakin segalanya semudah itu.

"Mama sama Papa Mas nggak keberatan bayi itu dari aku? Mas Reza mau ngomong apa sama mereka nanti?"

"Aku yang keberatan!" Katanya kesal mengingat kejadian kemarin malam, "kalau kamu nggak maksa mau hamil dan pakai acara mau kabur dari aku, aku nggak akan pusing-pusing mikirin ini."

"Maksud aku, aku kan bukan istri Mas Reza. Apa kata mereka kalau tahu Mas punya anak bukan dari Mbak Aline?"

Indhira tahu lelaki itu memang punya cara berpikir yang berbeda dari orang normal. Namun harusnya orangtuanya cukup normal untuk marah saat tahu putranya menghamili wanita lain yang bukan istrinya.

"Mereka nggak akan keberatan selama mereka bisa punya keturunan laki-laki. Lain cerita nanti kalau bayi kamu perempuan, Dhi. Makanya kita kasih tahu mereka nanti aja setelah kita tahu jenis kelaminnya."

"Mbak Aline gimana?" Tanya Indhira lagi. "Mas udah ngomong sama dia?"

"Belum, nanti aja aku ngomong sama dia. Ribet ngomong sama Aline. Suka histeris nggak jelas dia. Aku nggak suka." Gerutunya dengan datar.

Ditariknya tubuh gadis itu semakin dekat dalam rangkulannya. Reza mencium leher Indhira kuat dan lama sampai meninggalkan bekas di sana. Dia melakukan beberapa kali di berbagai tempat sekujur tubuh gadis itu sampai puas. Sesekali dia menggigitnya karena terlalu gemas dan tidak sabar. Tangannya bergerak menjelajahi tubuh gadis itu hingga tiba di bagian pangkal pahanya.

Indhira tahu apa yang akan dilakukan lelaki itu selanjutnya.

"Pelan-pelan, Mas," kata Indhira mengingatkan.

Reza memundurkan wajahnya dan membuat pandangan mereka bertemu sambil menaikkan alisnya.

"Kamu udah berani melawan aku, karena bayi itu?" Tuduhnya tidak suka, "kemarin kamu mau ninggalin aku dan sekarang kamu mulai mau ngebantah aku."

"Ini kan bayi Mas. Aku cuma khawatir dia masih belum kuat." Kata Indhira.

Reza menatapnya tajam.

"Aku nggak peduli, Indhira. Aku menomorsatukan kamu dibandingkan apapun. Dan kamu harus menomorsatukan aku dari siapapun."

"Iya, Mas Reza. Buat aku Mas tetap nomor satu, kok. Aku kan nggak nolak. Cuma minta Mas sedikit lebih pelan."

"Aku nggak mau pelan, aku mau kasarin kamu! Itu hak aku." Bantahnya tidak suka.

Indhira menghela napas panjang, "Iya terserah Mas aja." Katanya mengalah.

Reza melanjutkan menggigit lehernya dengan kasar dan meninggalkan banyak bekas di sana sambil melanjutkan aksinya.

Memang apa yang bisa dia lakukan. Lelaki itu mengijinkannya hamil saja sudah merupakan kemajuan yang cukup bagus. Apalagi Reza juga sudah mengubah keputusannya untuk mempertahankan bayi itu untuk menjadi penerus keluarganya kalau Indhira melahirkan bayi laki-laki.

Indhira menyernyit kesakitan saat jari lelaki itu memasukinya dengan kuat. Reza tidak bercanda waktu dia mengatakan akan memperlakukannya dengan kasar.

Indhira mengangkat tubuhnya mengikuti keinginan lelaki itu, melawannya hanya akan membuat Reza semakin marah dan kasar. Kini dia berada di atas pangkuan lelaki itu, menopang tubuhnya dengan kedua lututnya yang terbuka di kanan dan kiri tubuh Reza.

Jari lelaki itu bermain di intinya dengan kuat, sementara salah satu dari sepasang puncak dadanya yang menegang kini sudah berada dalam lahapan mulut Reza.

"Mas Reza, sakit," rintihnya meminta ampun. Intinya terasa sakit dan ujung dadanya perih, sementara dia hanya bisa mengerang minta ampun sambil jari-jarinya meremas kuat di rambut lelaki itu.

Reza tersenyum senang mendengar suara gadis itu. Rintihannya selalu membuatnya bergairah. Darahnya bergejolak membayangkan dirinya akan memenuhi gadis itu.

Reza menarik keluar jarinya. Dia memperhatikan Indhira yang napasnya terengah dan wajahnya memerah karena gairah. Dia menjilat ujung dada gadis itu dan membuat Indhira mendesis karena geli.

"Kamu senang kamu hamil, Indhira?" Tanya Reza dengan datar.

Indhira terdiam. Dia berusaha menebak tujuan Reza dari pertanyaan Reza kepadanya. Lelaki itu selalu sulit diterka.

"Jawab aku!" Perintah Reza.

Indhira mengangguk ragu.

"Aku yang bikin kamu hamil, Dhi. Kamu harus berterima kasih sama aku." Reza menaikkan sedikit tubuhnya dan melepaskan celananya, memperlihatkan intinya yang sudah mengeras karena perempuan itu, "Puasin aku, Indhira!"

Indhira bergerak menurunkan tubuhnya sedikit, menuruti keinginan lelaki itu. Dengan bantuan tangannya yang sempat membuat Reza berdesis dengan sentuhannya, Indhira mempertemukan tubuh mereka, perlahan membiarkan setiap saraf mereka bersentuhan sampai Reza memenuhinya.

Indhira memejamkan mata menikmati lelaki itu yang terasa hangat di dalamnya, sementara Reza mendesah puas sambil menengadahkan wajahnya.

Indhira mulai bergerak naik turun, membuat inti mereka bergesekan dan Reza menggeram akibat ulahnya. Tangan Reza mencengkram kuat di sandaran sofa akibat perbuatan gadis itu. Indhira bergerak semakin cepat sampai peluhnya bercucuran dan rambutnya berantakan sementara desahan keluar dari mulutnya sendiri.

Reza tidak tahan lagi. Tangannya meremas kuat dada gadis itu sementara bibirnya melumat dada Indhira yang lainnya. Tangannya yang lain memaksa gadis itu bergerak makin cepat.

Indhira mengerang saat kedua dadanya terasa sakit akibat perlakuan Reza, walau dia tidak memperlambat gerakannya dan malah semakin mempercepat goyangannya.

"Masih berani pura-pura minta aku jangan kasar-kasar. Aku tahu kamu itu bergairah kalau aku kasarin kamu kan, Indhira?" Kata Reza di tengah-tengah ciumannya sambil sesekali menggigit ujung dada Indhira kuat.

Indhira mengangguk pasrah. Pinggulnya masih bergerak cepat dengan bantuan tangan Reza di pinggangnya walau dia semakin lelah kehabisan tenaga. Reza semakin besar di dalamnya dan Indhira tahu lelaki itu akan pelepasan segera di dalamnya.

"Mas Reza," rintih Indhira penuh permohonan, "Penuhin aku, Mas."

Reza tersenyum miring, "As you wish. Aku akan penuhin kamu, babe."

Reza menghentikan gerakannya di pinggul gadis itu. Dengan cepat dia membalik posisi mereka dan membuat Indhira terbaring di bawahnya.

Kedua tungkai gadis itu terkait di kanan kiri pinggulnya sementara Reza bergerak kasar  didalamnya.

Indhira tergeletak di bawahnya dengan pasrah. Tubuhnya terhentak setiap Reza memasukinya kuat. Napasnya semakin pendek setiap kali Reza menghimpitnya. Mulutnya terbuka berusaha mengambil udara dan di saat yang bersamaan mengeluarkan erangan tidak tertahan akibat lelaki itu.

Indhira membelalakan matanya dan pinggulnya melenting saat tubuhnya tidak kuat lagi menahan ledakan dari dalam tubuhnya saat pelepasan. Kedua kakinya menekuk kaku karena orgasmenya.

Reza menunggu saat organ intinya dicengkram kuat di dalam tubuh gadis itu. Indhira tahu lelaki itu tidak sabar, dia juga sudah mau sampai puncaknya dan Indhira menundanya. Reza menjilati ujung dada indhira seperti bayi kelaparan sambil menghabiskan waktunya.

Reza kembali menghentakan tubuhnya kuat saat Indhira sudah mulai rileks dan lemah. Lelaki itu tidak peduli Indhira sudah lemas dan kehilangan tenaganya. Dia terus menggoyangkan pinggulnya sampai akhirnya dia pelepasan di dalam Indhira, dan membuat gadis itu membelalakan matanya lebar untuk kedua kalinya. Lelaki itu mengisinya dengan cairan hangat.

Reza mendesah puas. Tubuhnya terjatuh di atas tubuh mungil Indhira. Dia butuh istirahat sejenak sebelum melepaskan diri.

Bel pintu apartemennya tiba-tiba berbunyi. Reza bergeming.

Bel berbunyi sekali lagi.

"Mas Reza," panggil Indhira akhirnya, "Ada orang di luar."

"Biarin aja." Jawab Reza tak acuh.

Bel pintu kembali berbunyi beberapa kali dalam waktu yang bersamaan, tanda bahwa sang tamu yang berada di balik pintu mulai tidak sabar.

"Mas.." panggil Indhira lagi, "Aku yang bukain aja nggak apa-apa. Mas Reza bangun sebentar ya."

Reza menggeram kesal. Dia bangkit dan memisahkan dirinya dengan tidak rela kemudian memakai celananya, "Aku aja."

Reza berjalan ke pintu luar membukakan pintu dengan kasar.

Indhira sendiri memanfaatkan waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya. Lelaki itu benar-benar tidak peduli walau dia sudah memintanya untuk lebih pelan demi bayi mereka. Dia berusaha menenangkan diri sambil mencoba menerka-nerka apakah bayinya baik-baik saja dengan perlakuan kasar Reza barusan. Perutnya tidak terasa sakit dan Indhira berharap memang benar demikian.

Indhira mendengarkan suara Reza yang berbincang-bincang dengan nada datar beberapa saat sebelum kembali menutup pintu.

"Indhira, tutupin badan kamu. Ada Aline datang." Kata Reza santai yang membuat Indhira membuka matanya tiba-tiba.

Indhira berusaha menggapai kain satu-satunya yang memang selalu diletakkannya di sofa untuk jaga-jaga kalau dia kedinginan setelah aktivitas mereka.

"Mbak Aline," sapa Indhira begitu dia melihat Aline sudah muncul di belakang Reza yang juga masih bertelanjang dada.

Indhira merapikan rambutnya yang berantakan dan duduk perlahan sambil menahan perih di bagian bawah tubuhnya. Indhira yakin wanita itu pasti bisa melihat bekas ciuman di sepanjang tubuhnya dan sisa cairan di bagian bawahnya yang masih menetes keluar. Karena Indhira menangkap ekspresi jijik bercampur garang di wajah cantik Aline saat menatapnya dari atas ke bawah.

Reza menghempaskan tubuhnya duduk di samping Indhira, di sofa yang sama dengan gadis itu. Tangannya terselip merangkul punggung polos Indhira sementara bibirnya kembali melekat di pundak Indhira tanpa peduli istrinya memperhatikan di hadapannya.

"Aku masuk kamar dulu sebentar ya Mas," kata Indhira sambil menghindar geli dengan ciuman lelaki itu.

Reza melepaskannya.

Indhira berjengit menahan perih saat dia berdiri tiba-tiba. Dia melilit kain ke tubuhnya dan berlari kecil masuk ke dalam kamar.

Reza memperhatikan punggung Indhira yang berjalan memasuki kamar. Sebenarnya dia masih belum rela. Seharusnya Indhira masih ada di bawahnya, dimasukinya sampai kesakitan.

Dan semuanya terhalang karena wanita sialan di depannya ini. Istrinya.

Wanita itu memaksa masuk walau Reza mengatakan dia sedang sibuk tadi saat dia membukakan pintu untuknya. Aline mengatakan ada yang perlu disampaikannya.

"Mau ngomong apa?" Tanya Reza datar.

"Kemana handphone kamu?" Aline balik bertanya, "kenapa kamu nggak balas chat aku, Za?"

"Aku sibuk. Nggak sempat liat hp." Jawabnya asal.

Aline menaikkan alisnya, "Sibuk? Aku lihat kamu banyak waktu luang karena sampai jam segini masih ada di apartemen."

"Sibuk nggak harus keluar apartemen kan?"

"Terserah kamu lah," kata Aline kesal mengalihkan pembicaraan, "Kemana kamu dari semalam? Habis bilang sakit ke Mama Papa kamu dan bilang nggak bisa ikut makan malam kamu ngilang gitu aja. Aku telepon nggak diangkat."

"Nggak kemana-mana. Emang ada urusan penting apa sih?"

"Mama Papa kamu curiga sama kelakuan kamu semalam tau. Mereka hampir mau nyusul ke rumah buat jenguk kamu. Untung aku nahan mereka dan bilang kamu cuma butuh tidur."

Reza tersenyum miring, "Kamu udah pintar bohong sekarang. Udah cocok jadi istri aku."

Aline tahu kata-kata lelaki itu barusan tidak berarti apa-apa. Namun mendengar Reza mengakui dirinya sebagai istrinya dari mulut lelaki itu sendiri berhasil membuatnya tersipu.

Dia bahkan harus mengingatkan dirinya sendiri apa yang baru saja dilakukan suaminya itu dengan pelacurnya barusan di ruang tamu tersebut. Yang nyatanya malah membuat Aline semakin bergairah.

Aline membayangkan dirinyalah yang besok akan terkapar lemas di rumahnya setelah lelaki itu memasukinya dengan kasar.

Besok adalah hari perjanjian mereka. Hari yang ditunggu-tunggunya setelah selama ini Reza hanya ada dalam imajinasi liarnya semata. Dan besok lelaki itu akan bertekuk lutut dihadapannya.

Dia tidak peduli, bahwa sesuai perjanjiannya, Indhira akan berada di sana besok. Dia yakin gadis itu hanya akan gigit jari setelah melihat Reza dipuaskannya.

"Mbak Aline mau minum apa?" Tanya Indhira yang sudah kembali ke ruang tamu mengenakan kaos dan celana pendeknya.

Aline memandangnya dari atas ke bawah meremehkan. Dia masih tidak habis pikir bagaimana Reza bisa bergairah melihat gadis bertubuh rata dan kurus serta tidak menarik seperti Indhira.

"Air putih aja." Jawab Aline ketus.

Indhira berjalan menuju dapur dan membuatkan minuman untuk wanita itu dan Reza.

"Jangan lupa janji kamu besok ke rumah, Za." Kata Aline mengingatkan.

Reza terdiam sambil memikirkan sesuatu.

"Besok kita batal dulu, Line. Rencana kita punya anak diundur dulu." Kata Reza akhirnya.

"Maksud kamu?" Tanya Aline seolah dia salah mendengar.

"Nggak jadi besok. Nanti kita atur ulang lagi aja."

Aline berusaha tenang. Dia tidak mau terlihat dia sangat mengharapkan tidur dengan lelaki itu. "Jadinya kapan?"

"Belum tahu. Mungkin bulan depan, mungkin nggak jadi."

"Maksud kamu apa sih?" Aline kehilangan kesabarannya.

Indhira meletakkan minuman di meja di hadapan sepasang suami istri tersebut.

"Mas Reza, aku masuk kamar aja ya," kata Indhira pamit. Dia tidak enak berada di antara pembicaraan pasangan itu.

"Duduk sini aja, Dhi." Kata Reza menggandengnya untuk duduk di sisinya kemudian mengalihkan pandangannya kepada Aline, "Kamu istri aku, Line. Jadi kamu harus tahu alasan kenapa kita nggak bisa tidur bareng dulu."

Aline menunggu.

"Indhira hamil." Kata Reza datar.

Aline memandang Reza dan Indhira bergantian tidak percaya.

"Kamu bohong," tuduh Aline.

"Buat apa aku bohong, Aline." Reza menghela napas malas.

"Kamu bilang kamu cuma akan punya anak sama aku. Kamu bilang kamu nggak akan punya anak dari dia."

"Ini kecelakaan, Line. Aku juga nggak nyangka." Jelas Reza.

Aline memutar otaknya cepat, dia tidak terima, "Kalau gitu suruh dia gugurin kandungannya."

Indhira refleks memegang perutnya takut. Untuk pertama kalinya dia menganggap Aline menakutkan karena wanita itu menyuruhnya mengugurkan kandungannya. Dia hanya mengira akan mendengar itu dari Reza, namun ternyata Aline malah mengeluarkan pernyataannya lebih gamblang.

"Nggak." Jawab Reza singkat, "Aku punya rencana lain. Kita tunggu beberapa minggu lagi dan cek kandungannya Indhira. Kalau anak itu laki-laki, kamu nggak perlu hamil, Line. Tapi kalau perempuan, baru kita lanjut."

Aline memandangnya tidak percaya, tapi dia memutuskan bertanya, "Kalau anak itu perempuan, kamu akan gugurin kandungannya?"

"Laki-laki atau perempuan, aku nggak akan gugurin dia. Aku udah janji sama Indhira anak itu akan tetap hidup."

"Kalau gitu nggak ada bedanya kan?" Kata Aline ngotot, "Buat anak sama aku, Za. Besok. Nggak perlu nunggu sampai tahu kelamin bayi Indhira dulu."

"Beda, Aline. Aku nggak perlu susah-susah buat anak sama kamu kalau Indhira hamil bayi laki-laki buat aku." Jelas Reza.

"Terus kamu mau bilang apa sama orang tua kamu?" Tanya Aline dengan nada meninggi.

"Ya bilang jujur. Mereka pasti senang selama aku kasih keturunan laki-laki buat mereka. Perkara kita cerai atau anak Indhira akan jadi anak kita berdua itu masalah belakangan. Aku terserah mereka aja."

Aline menatapnya heran dan merasa segalanya tidak masuk akal. Lelaki itu mau anak hasil hubungannya dengan pelacur itu menjadi anaknya secara hukum? Tidak akan dibiarkannya hal itu terjadi. Dia tidak bisa membayangkan anak berwajah serupa pelacur itu harus berstatus putranya dan memanggilnya mama. Dan dia juga tidak bisa membiarkan Reza menceraikannya untuk menikah dengan Indhira. Itu sama saja dengan mempermalukannya di depan teman-teman dan keluarganya. Lelaki itu memilih perempuan lain dibanding dirinya. Perempuan yang lebih rendah darinya.

Aline berdiri dengan kasar dan berjalan keluar dengan marah sambil membanting pintu apartemen.

Dia tidak akan membiarkan ini semua terjadi. Dia tidak akan membiarkan pelacur itu menghancurkan hidupnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top