13. Wife Visit
Tidak seperti hari-hari biasanya, Indhira hari ini menyediakan biskuit di meja kerjanya. Biasanya dia tidak pernah makan di waktu kerjanya, namun dia punya alasan kali ini.
Dia harus menghindari dirinya terlihat hamil, terutama di depan Reza. Oleh karena itu dia harus rajin mengisi perutnya setiap waktu. Dia tahu itu satu-satunya cara membuat rasa mualnya hilang.
Adisty melihat pemandangan tidak biasa itu. Rekan kerjanya makan di sela-sela waktunya bekerja. Dan tentu saja dia tahu apa alasannya.
"Pak Reza udah tahu, Dhi?" tanya Adisty memastikan.
"Belum, Mbak." Indhira menggeleng.
Adisty memandangnya heran. Beberapa hari sudah berlalu semenjak mereka mengetahui Indhira hamil. Hari-hari sesudahnya pun Indhira sudah nampak kembali tenang, tidak panik dan kalut seperti saat pertama kali dia mengetahuinya. Makanya Adisty mengira gadis itu sudah berbicara dengan lelaki itu dan menemukan solusi permasalahannya. Tujuan awal Adisty hanya ingin memastikan apa langkah selanjutnya yang akan diambil Indhira, dan dia tidak menyangka gadis itu belum melakukan apapun.
"Kenapa belum?"
Indhira terdiam sebentar sebelum menjawab, "Belum bisa, Mbak. Pak Reza nggak akan mau. Aku udah pernah coba ngomong sama dia."
"Tapi kamu ngomong tanpa bilang sama dia kamu udah hamil kan?"
Indhira mengangguk.
"Ya kamu harus bilang dulu, Dhi. Kalo nggak gimana kamu bisa tahu dia beneran nggak mau," kata Adisty terdengar gemas.
Indhira terdiam lagi. Dia tidak bisa menceritakan kepada Adisty tentang Reza. Wanita itu tidak akan percaya kalau dia mengatakan Reza tidak akan membiarkan sesuatu yang tidak disukainya terjadi, termasuk kehamilannya.
Reza sudah mengatakan dia tidak mau Indhira hamil, yang artinya seberapa besarpun keinginannya, hal tersebut tidak akan terjadi. Dan Indhira tahu, lelaki itu tidak akan segan membunuh darah dagingnya sendiri. Karena sejak awal dia tidak memiliki keinginan untuk punya anak, dari siapapun itu.
Dan memberitahukan berita ini kepada Reza sama saja dengan dia siap membiarkan Reza menggugurkan bayinya. Dan Indhira tidak pernah siap. Atau lebih tepatnya dia tidak mau.
Ini mungkin akan menjadi kesempatan terakhirnya bisa memiliki anak. Kalau sampai Reza tahu dia hamil dan mengambil keputusan menggugurkannya, lelaki itu jelas tidak akan membiarkan kejadian yang sama terulang lagi. Indhira pernah berhasil menghindari keinginan lelaki itu untuk tidak melakukan tubektomi, tapi setelah ini Reza tidak akan membiarkan kesalahan yang sama terulang.
Jadi Indhira merasa kini pilihan berada di tangannya. Dia yang harus mengambil keputusan. Antara siap kehilangan bayinya dengan memberitahu Reza, atau mempertahankan bayinya dan pergi dari kehidupan lelaki itu diam-diam. Dan keputusannya sudah hampir pasti.
"Mbak bantu aku ya?" kata Indhira akhirnya kepada Adisty.
"Bantu apa, Dhi?"
"Jangan kasih tahu Bapak." Indhira jujur takut wanita itu akan memberitahu kepada Reza karena tidak sabar.
"Kamu masih nggak mau kasih tahu Pak Reza?"
"Bukannya nggak mau kasih tahu, Mbak. Tapi nggak sekarang."
Adisty berdecak gemas. "Nggak sekarang itu kapan Dhi? Semakin kamu nunda semakin nggak baik, kamu tahu kan?"
"Iya Mbak, segera kok." kata Indhira menyudahinya.
***
"Ya, Adisty?" Kata Reza berbicara dengan mesin interkom di meja kerjanya.
Tubuhnya menghimpit tubuh lemas di depannya yang terbujur di atas meja kerjanya dalam posisi telungkup.
"Maaf ganggu Pak, Ibu Aline datang mau ketemu Bapak."
"Suruh tunggu sebentar." Kata Reza sambil langsung mematikan lagi teleponnya tanpa menunggu jawaban.
Tanpa aba-aba, Reza kembali menarik dan memajukan tubuhnya kuat, membuat gadis di depannya merintih kesakitan atas gerakan tiba-tibanya tersebut.
"Mas.."
"Kita lanjut dulu. Aku udah mau keluar." Katanya tanpa menghentikan gerakannya.
Dia tidak akan membiarkan perempuan berstatus istrinya itu mengganggu kepuasan siang harinya. Biar saja wanita itu menunggu di luar. Salahnya sendiri datang tanpa memberikan kabar. Dan seharusnya wanita itu sadar Reza tidak akan buru-buru menyelesaikan maksudnya hanya karena dia tiba di sini.
Reza menyelipkan tangannya ke balik kemeja Indhira yang memang sudah berantakan. Tangannya meremas-remas dada gadis itu untuk membantunya cepat naik.
"Mas Reza.." kata Indhira nampak kelelahan menahan sesuatu. Napasnya memburu dan rambutnya berantakan.
Reza mempercepat gerakannya semakin kasar. Dia mendamba puncak orgasme gadis itu.
Indhira menegang. Tubuhnya mengerat kaku saat mereka keluar bersamaan. Reza menggigit telinganya kuat untuk menetralisir sensasi gila dalam tubuhnya.
Reza terengah. Dia menunggu sebentar sebelum memisahkan tubuhnya. Reza memasang rapi kembali celananya dan mengaktifkan interkom di mejanya untuk menghubungkannya kembali dengan sekretarisnya di luar ruangan.
"Bilang Ibu dia udah boleh masuk, Adisty."
"Baik Pak." Jawab Adisty.
Reza berjalan menuju pintu ruang kerjanya dan membuka pintu yang tadi dikuncinya.
"Masuk Line," kata Reza membiarkan wanita itu masuk sebelum kembali mengunci pintu ruang kerjanya.
Aline terkejut melihat pemandangan yang dilihatnya di atas meja kerja lelaki itu. Wanita itu tahu apa yang sedang terjadi di dalam ruangan saat dia hanya disuruh menunggu di luar dan Adisty, sekretaris suaminya yang lain mengatakan suaminya sedang bersama pelacur itu di dalam ruangan dan tidak bisa diganggu.
Namun Aline tidak menyangka lelaki itu membiarkannya menyaksikan sisa perbuatannya dengan perempuan lain. Indhira, perempuan pengganggu hubungannya itu, terkapar di atas meja kerja, dengan kemeja dan rambut berantakan serta rok dan celana dalamnya tergeletak di lantai.
Indhira bergerak pelan dari atas meja saat menyadari ada orang lain selain mereka di ruangan itu. Dia sempat kehilangan kesadaran beberapa menit setelah klimaksnya barusan.
"Siang, Mbak Aline," sapa Indhira sambil buru-buru memasang kembali pakaian dalam dan roknya.
Aline tidak bisa menyembunyikan wajah jijiknya menyaksikan pemandangan barusan.
Pasangan itu tidak merasa ada yang salah dengan perbuatan mereka dan kini tidak berniat menyembunyikan sama sekali hanya karena Aline tidak berkomentar apa-apa selama ini.
"Memangnya kalian nggak bisa melakukan itu di rumah ya? Tindakan kalian itu sama sekali nggak bermoral!" Kata Aline kesal sambil duduk di salah satu sofa.
Reza duduk di sofa di hadapan perempuan itu sambil menjelaskan santai, "Aku selalu mau Indhira setelah makan siang."
Sementara Indhira masih sibuk merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan dengan buru-buru.
"Aku keluar dulu ya Mas," kata Indhira sambil melangkah cepat menuju ke pintu keluar.
"Duduk di sini dulu, Indhira." Kata Reza memberikan perintah sambil menepuk sofa di sampingnya.
Indhira berhenti. Dia menurut dan duduk di sisi lelaki itu.
Reza mengusap sebulir peluh di pelipisnya, "istirahat dulu aja disini sebentar. Kamu pasti masih capek." Katanya sambil kemudian merangkulnya.
Aline harus berdeham keras ketika lelaki itu malah kembali asik menciumi tengkuk perempuan di sebelahnya.
"Tapi Mbak Aline mau ngomong Mas. Nanti aku ganggu," kata Indhira sedikit menghindar. Dia sadar bahwa wanita di hadapannya tidak nyaman dengan perbuatan mereka.
"Nggak apa-apa," kata Reza lagi, "Kamu nggak keberatan kan Line?" Tanyanya retoris kepada Aline karena dia tidak kelihatan menunggu bantahan.
"Terserah," kata Aline kesal namun tidak berani membantah. "Aku cuma mau bilang aku mau minta hakku. Minggu ini."
"Hak?" Reza menaikkan alisnya bingung.
"Kamu bilang aku harus bilang jauh hari untuk kita berhubungan," kata Aline masih berusaha menaikkan dagunya angkuh menghilangkan rasa malu.
Reza tertawa, "Itu bukan hak kamu, Aline. Kamu nggak punya hak mendapatkan kepuasan dariku. Itu hak Indhira. Kewajiban kamu memberi anak buat aku." Lelaki itu menekankan kata kewajiban di kalimat terakhirnya.
Wajah wanita itu memerah. Dia merasa terhina dengan kata-kata lelaki itu. Walau dia tetap tidak berani memperpanjang. Kenangan saat lelaki itu menghadiahinya tamparan di wajahnya minggu lalu masih sangat terasa. Dia takut kepada lelaki itu. Meski anehnya, di saat yang bersamaan, dia menginginkan lelaki itu.
"Terserah kamu mau bilang apa, Za. Kamu bisa atau nggak?" Kata Aline menuntut.
Reza mengalihkan pandangannya kepada Indhira dalam rangkulannya. "Gimana, Dhi? Kamu bisa?"
Indhira mengangguk, "terserah Mas. Aku ikut Mas aja."
Aline awalnya merasa hanya Reza yang tidak waras. Mulai dari menikahinya hanya untuk memperoleh anak namun masih berhubungan dengan perempuan lain. Hingga mengajak perempuan lain itu menyaksikan Reza dan dia istrinya untuk berhubungan badan.
Aline sebenarnya bahkan sengaja mengatakan ini semua di depan pelacur kecil itu. Dia berharap menemukan kekecewaan di wajah perempuan itu saat mendengar kekasihnya akan bersetubuh dengan wanita lain, seperti yang selama ini dirasakan Aline setiap tahu suaminya itu sedang bersama dengan Indhira.
Walau ternyata dia salah. Indhira nampak pasrah dan biasa saja. Gadis itu tidak memperlihatkan sama sekali tanda-tanda keberatan mendengar kekasihnya itu akan berhubungan seksual dengan wanita lain, di depan matanya. Sepertinya pelacur kecil itu sama tidak warasnya.
"Oke, hari minggu ya kalau gitu." Kata Reza menyanggupi, "Tapi pastikan kamu lagi masa subur ya, Line. Aku nggak mau buang-buang waktuku sampai harus berkali-kali melakukannya. Atau sekalian kamu beli alat tes kesuburan dulu aja." Usulnya.
Setiap kata-kata yang keluar dari mulut lelaki itu selalu berhasil membuatnya merasa rendah dan marah. Aline tidak pernah diperlakukan seperti itu sebelumnya dan dia akan membuat lelaki itu menyesal mengatakannya.
"Ada apa lagi?" Tanya Reza karena wanita itu masih nampak menunggu.
Aline memandangnya lama sebelum akhirnya menggeleng, "Udah itu aja yang mau aku bilang. Aku balik dulu."
"Kamu jauh-jauh kesini cuma buat bilang itu aja?" Tanya Reza tidak percaya, "Kamu bisa chat atau telepon aja kan kalau gitu."
Sejujurnya tujuan Aline datang adalah untuk bertemu lelaki itu. Baginya Reza sangat menyebalkan. Dia benci dengan lelaki yang menghancurkan hidup sempurnanya selama ini. Walau dalam waktu yang bersamaan Aline menginginkannya. Lelaki gila itu membuatnya bergairah dengan seluruh perlakuan dan perkataan kasarnya.
Aline berdiri sambil membawa tasnya.
Reza berbisik kepada Indhira walau Aline dapat mendengarnya cukup jelas.
"Aku mau lagi, Dhi. Kamu tunggu disini. Sebentar kita lanjut lagi." Katanya sambil berjalan mengikuti Aline menuju pintu keluar.
Dan segera setelah wanita itu keluar, Reza menutup pintunya dan menguncinya kembali dari dalam.
Aline memejamkan mata dan mengeratkan genggamannya. Dia berusaha untuk pura-pura tidak tahu. Dia akan membiarkan mereka kali ini.
Dia tidak percaya bahwa perempuan kurus itu bisa memuaskan suaminya sementara dia tidak bisa. Dia akan membuktikannya minggu ini. Lelaki itu akan memohonnya setelah mereka berhubungan nanti. Reza akan bertekuk lutut kepadanya setelah ini, seperti yang dilakukan semua lelaki kepadanya setelah melewati malam dengannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top